• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

TANAMAN PEGAGAN DI ANDOSOL

Abstrak

Penggunaan fungi mikoriza arbuskula (FMA) sebagai agensia hayati pada beberapa jenis tanaman saat ini mulai banyak mendapat perhatian. Hal ini tidak saja karena kemampuannya untuk bersimbiosis dengan berbagai jenis tanaman, tetapi yang utama adalah FMA dapat membantu tanaman dalam meningkatkan penyerapan unsur hara. Dewasa ini, penting artinya mendapatkan bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai sumber fosfor (P) yang harganya murah, aman bagi lingkungan, dan mudah tersedia. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan jenis bahan alami yang dapat digunakan sebagai sumber P alternatif yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan biomassa tanaman pegagan. Percobaan rumah kaca dilaksanakan dengan tujuan menguji efektivitas FMA pada jenis dan dosis pupuk P alami terhadap pertumbuhan dan biomassa tanaman pegagan (Centella asiatica (L.) Urban). Percobaan dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap yang disusun secara faktorial. Faktor pertama ialah perlakuan FMA (inokulasi FMA dan tanpa FMA). Faktor kedua ialah dosis pupuk P alami (4 taraf dosis batuan fosfat 150, 300, 450, 600 kg ha-1 dan 4 taraf dosis tepung tulang sapi 125, 250, 375, 500 kg ha-1 serta perlakuan kontrol/tanpa pemupukan), yang diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan inokulasi FMA meningkatkan pertumbuhan, serapan hara dan biomassa tanaman pegagan. Pupuk P alami berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, serapan hara dan biomassa tanaman pegagan. Perlakuan FMA dan pupuk P alami tidak saling berinteraksi kecuali pada serapan hara N. Inokulasi FMA mampu meningkatkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total masing-masing sebesar 14.7, 17.1, dan 18.0%. Rekomendasi dosis maksimal batuan fosfat untuk produksi biomasa kering pegagan pada penggunaan FMA adalah sebesar 483.3 kg ha-1, dan dosis maksimal tepung tulang sapi adalah sebesar 339 kg ha-1.

Kata kunci: pegagan, fungi mikoriza arbuskula, pupuk P alami, batuan fosfat, tepung tulang sapi

Abstract

The use of arbuscular mycorrhiza fungi (AMF) as biological agents in several types of plants are now starting to get more attention. This is due to its ability to symbiosis with various species of plants, specifically to improve the uptake of plant nutriens. It is important to find the alternative materials that can be used as sources of phosphorus due to the need of lower cost, environmentaly friendly, and easily available. Rock phosphate and cow bone meal are some of the

natural sources that can be used as a phosphorus for AMF growth and development substrats and increasing growth and biomass of asiatic pennywort (Centella asiatica (L) Urban). A glasshouse experiment was conducted to determine the effectiveness of AMF and different type and dosage of natural phosphate as a fertilizer to increase growth and biomass of asiatic pennywort. The experiment was arranged in completely randomized design with two factors, i.e. treatment of AMF (with and without inoculation of AMF) and type of different of P natural fertilizer (dosage of rock phosphate: 150, 300, 450, and 600 kg ha-1 ; dosage of cow bone meal: 125, 250, 375, and 500 kg ha-1, and without fertilizer as a control), with three replications. The result showed that inoculation of AMF and P natural fertilizer significantly increased the growth, nutrient uptake, and biomass of asiatic pennywort. AMF and P natural fertilizer treatment did not interact except on N nutrient uptake. Inoculation of AMF can increase dry weight of leaf, dry weight of shoot, and total dry weight of production respectively by 14.7, 17.1, and 18.0%. Maximal dosage recommendation of rock phosphate and cow bone meal for production biomass is 483.3 and 339 kg ha-1 applied with AMF.

Key word: Centella asiatica (L) Urban, arbuscular mycorrhiza fungi, P natural fertilizer, rock phosphate, cow bone meal

Pendahuluan

Tuntutan konsumen terhadap keamanan dan kesehatan pangan makin menguat yang menghendaki produksi pertanian yang bebas cemaran bahan-bahan kimia dan logam berat yang membahayakan bagi kesehatan. Di sisi lain harga pupuk yang makin tinggi dan ketersediaannya yang semakin terbatas berpotensi mengakibatkan usahatani tidak efisien. Untuk itu budidaya untuk menghasilkan produk pertanian yang aman harus dilakukan dengan meminimalkan penggunaan input kimiawi.

Penggunaan FMA sebagai agensia hayati pada beberapa jenis tanaman saat ini mulai banyak mendapat perhatian. Hal ini tidak saja karena kemampuannya untuk bersimbiosis dengan berbagai jenis tanaman, tetapi yang utama adalah FMA dapat membantu tanaman dalam meningkatkan penyerapan unsur hara. Di samping itu FMA juga mampu melestarikan sumberdaya lahan baik secara fisik serta kimia tanah serta keseimbangan biologi sehingga keseimbangan biologis selalu terpelihara.

Fungi mikoriza berpotensi memfasilitasi penyediaan berbagai unsur hara bagi tanaman terutama P. Perbaikan pertumbuhan dan kenaikan hasil berbagai

67

tanaman berkaitan dengan perbaikan nutrisi P tanaman. Unsur hara, khususnya P, berpengaruh langsung dan berpengaruh tidak langsung terhadap FMA melalui respon tanaman terhadap ketersediaan hara, misalnya dengan mengubah pertumbuhan akar atau fotosintesis. Kadar, bentuk, dan kelarutan sumber hara P merupakan faktor penting bagi pembentukan dan perkembangan FMA. Kadar hara P dilaporkan berkorelasi negatif (Amijee et al. 1989; Koide & Li 1990), tidak berkorelasi (Tawaraya et al. 1996), atau berkorelasi positip (Carrenho et al. 2001) terhadap FMA bergantung kepada jenis FMA, jenis tanaman, bentuk, dan kelarutan sumber P-nya (Cardoso 1996; Tawaraya et al. 1996; Nikolaou et al. 2002; Bhadalung et al. 2005). Pada batas-batas tertentu penambahan P merangsang perkecambahan spora FMA, tetapi kadar P yang tinggi akan menghambat pertumbuhan FMA. Kadar hara substrat tidak boleh melampaui batas maksimum 70 ppm untuk P dan 50 ppm untuk N (Feldman & Idczak 1992). Penggunaan fosfat yang rendah kelarutannya, misalnya dalam bentuk batuan fosfat, kalsium fosfat, dan tepung tulang lebih efektif untuk memelihara perkembangan FMA dan meningkatkan kolonisasi akar (Nikolaou et al. 2002).

Tepung tulang sapi dan batuan fosfat sebagai sumber hara P alami cukup potensial, hasil analisis laboratorium pasca panen Balittro pada bulan Nopember 2009 terhadap sampel tepung tulang sapi dan batuan fosfat yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan kandungan P2O5 masing-masing sebesar 15.07, dan

9.83%. Hasil penelitian Nusantara et al. (2007) mendapatkan bahwa tepung tulang ayam dan tepung kulit telur memberikan efek yang kurang baik terhadap perkembangan FMA dan hasil terbaik adalah dengan tepung tulang sapi. Batuan fosfat merupakan sumber hara P dan bersifat dapat melepaskan fosfat secara lambat yang kelarutannya makin tinggi dengan meningkatnya kemasaman tanah (Bogidarmanti 2008). Keunggulan pupuk P tersebut didasarkan pada tingkat kelarutannya, sehingga sesuai digunakan pada tanah-tanah dengan daya fiksasi tinggi, terutama pada tanah masam, seperti tanah andosol (Leiwakabessy & Sutandi 2004).

Informasi mengenai keunggulan FMA dalam meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman sudah banyak disampaikan, namun hal tersebut belum mampu mendorong percepatan pemanfaatan FMA sebagai agen hayati.

Penyebab utama permasalahan tersebut adalah respon terhadap inokulasi FMA seringkali bersifat lambat dan tidak menentu (Nusantara 2011).

Berbagai laporan tersebut menunjukkan bahan organik berpotensi meningkatkan kelimpahan dan sporulasi FMA dalam tanah, namun demikian hasil akhirnya ditentukan oleh jenis FMA, jenis tanaman inang, jenis bahan organik, derajat dekomposisi, kadar hara bahan organik khususnya fosfat, dan karakteristik tanah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh FMA, jenis serta dosis pupuk P alami terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman pegagan.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor dari dari bulan April sampai dengan bulan September 2010. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan antara lain: aksesi pegagan Boyolali, tanah jenis andosol, inokulum FMA campuran (mix) Cicurug, basamid, pot plastik, polybag, pupuk kandang sapi, batuan fosfat, tepung tulang sapi, abu sekam, kertas saring, aquades, bahan-bahan kimia untuk pewarnaan akar. Batuan fosfat diperoleh dari Laboratorium Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), sedangkan tepung tulang sapi diperoleh dari Brebes, karakteristik kimia masing-masing bahan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Kadar hara batuan fosfat dan tepung tulang sapi

Jenis unsur Batuan fosfat Tepung tulang sapi

N (%) 1.04 4.07 P (%) 9.83 15.07 Nisbah N/P 0.10 0.27 K (%) 0.11 0.06 Ca (%) 21.82 10.20 Mg (%) 0.19 0.40

Hasil analisis Laboratorium Pasca Panen Balittro, Bogor.

Peralatan yang digunakan terdiri dari : leaf area meter, jangka sorong, seperangkat alat penyaring sieving, seperangkat alat untuk sterilisasi tanah, gelas

69

ukur, kaca obyek, kaca penutup, pinset, pipet, pisau scalpel, cawan Petri, mikroskop, timbangan analitik, timbangan kasar, ayakan, oven, alat ukur dan alat tulis.

Metode Penelitian

Percobaan faktorial dengan dua (2) faktor dan disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah jenis isolat FMA, yaitu: (1) tanpa FMA dan (2) FMA asal Cicurug. Faktor kedua adalah jenis dan dosis pupuk P alami dengan 9 taraf, yaitu: 0 (kontrol), 150, 300, 450, 600 kg ha-1 batuan fosfat; 125, 250, 375, dan 500 kg ha-1 tepung tulang sapi. Percobaan terdiri dari 18 perlakuan dan tiga ulangan, setiap unit perlakuan terdiri dari 4 pot dan diulang 3 kali sehingga terdapat 216 pot percobaan. Denah percobaan disajikan pada Lampiran 6.

Model aditif linier yang digunakan adalah: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Dimana :

Yijk = nilai pengamatan untuk faktor FMA ke-i, faktor pupuk P ke-j dan pada

ulangan ke-k µ = nilai tengah umum

αi = pengaruh faktor FMA pada level ke-i (i = 1,2)

βj = pengaruh faktor pupuk P pada level ke-j (j = 1,2,3,45,6,7,8,9)

(αβ)ij = interaksi FMA pada level ke-i, dan pupuk P pada level ke-j

εijk = galat percobaan untuk faktor FMA ke-i, pupuk P ke-j, dan ulangan ke-k

(Sastrosupadi 2000; Mattjik & Sumertajaya 2002)

Pelaksanaan penelitian dimulai dari persiapan media tanam, penyiapan inokulum FMA, persiapan bahan tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pengamatan, dan analisis di laboratorium. Teknik budidaya mengacu pada Januwati dan Yusron (2005).

Persiapan media tanam

Tanah jenis andosol dari lapangan dibersihkan dari batuan/kerikil dan kotoran, dikering-anginkan, digemburkan dan diayak dengan ukuran 2 mm. Tanah kemudian disterilkan dengan cara fumigasi menggunakan basamid dengan dosis

40 g per 1 ton tanah). Tanah yang sudah dibersihkan dan dikeringkan dihamparkan dengan alas plastik, selanjutnya basamid sesuai dengan dosis di taburkan di atas hamparan tanah serta diaduk secara merata. Campuran tanah dan basamid selanjutnya diberi air secukupnya sehingga kondisinya lembab dan basamid terlarut pada tanah. Langkah berikutnya adalah menutup tanah yang disterilisasi dengan plastik secara rapat. Satu minggu kemudian lapisan tanah dibalik dan ditutup lagi dengan plastik. Proses sterilisasi diakhiri pada minggu kedua, dengan membuka plastik penutup. Tanah dibiarkan beberapa hari untuk memastikan proses inkubasi selesai sehingga tidak memberikan efek negatif dari basamid, apabila dari tanah tersebut tumbuh gulma atau tumbuhan lain maka menandakan tanah steril tersebut sudah siap digunakan. Selanjutnya menimbang tanah sebanyak 5 kg dan dimasukkan dalam pot plastik dengan diameter 40 cm. Pembibitan

Pembibitan pegagan dilakukan dalam polybag berukuran (10 cm x 15 cm), dengan media pembibitan adalah campuran tanah dan pupuk organik dengan perbandingan 1:1 yang sebelumnya sudah disterilkan, media tanam selanjutnya dibasahi kemudian dibuat lubang tanam. Sumber bibit berasal dari stek stolon 3 ruas dari induk tanaman pegagan aksesi Boyolali. Sebelum bibit pegagan ditanam, inokulum FMA sebanyak 20 g dimasukkan terlebih dahulu ke dalam lubang tanam, sehingga diharapkan terjadi kontak antara FMA dengan akar tanaman. Inokulasi tidak dilakukan pada bibit perlakuan tanpa mikoriza. Untuk menghindari kontaminasi antar perlakuan (mikoriza dan non mikoriza), bibit dipisahkan dalam bak-bak plastik yang berbeda, demikian pula penempatannya saling berjauhan, selanjutnya bibit ditempatkan pada tempat yang teduh. Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan penyiraman dan pengendalian hama serta penyakit bila ditemukan gejala serangan. Bibit siap ditanam pada umur satu bulan.

Penanaman dan Pemeliharaan

Media tanam yang digunakan adalah media dengan tanah jenis Andosol. Aplikasi perlakuan pupuk P alami diberikan bersamaan dengan penyiapan media, yaitu diberikan sebelum tanam dengan cara mencampurkan pupuk P alami secara

71

merata pada pot sesuai dengan dosis perlakuan. Sedangkan untuk kecukupan hara N dan K menggunakan pupuk kandang dengan dosis 500 g/pot (20 t/ha) dan abu sekam 34 g/pot yang aplikasinya diberikan secara bersamaan dengan pupuk P alami. Pot-pot yang telah berisi media tumbuh tersebut disusun pada rak-rak di rumah kaca yang di bawahnya diberi alas sehingga pot tidak menyentuh langsung pada permukaan rak. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kontaminasi FMA antar perlakuan melalui air penyiraman. Selanjutnya pot-pot tersebut disiram air hingga basah dan dibiarkan satu malam sebelum penanaman.

Sebelum dilakukan penanaman, dibuat lubang tanam pada media sebesar ukur pot bibit dengan lebar 10 cm dan kedalaman 15 cm. Bibit yang sehat berumur kurang lebih empat minggu (4–5 daun), dipindahkan dari pot pembibitan ke dalam media tanam masing-masing satu bibit secara hati-hati sehingga akar masih menyatu dengan media tumbuh bibit. Kebersihan selama menanam harus dijaga agar tidak terjadi kontaminasi antar perlakuan.

Pemeliharaan dilakukan selama kurang lebih 16 minggu. Pemeliharaan antara lain meliputi: penyiraman, pengendalian hama penyakit, kebersihan lingkungan tempat percobaan. Pemberian air dilakukan secukupnya setiap dua hari. Pengendalian hama dilakukan apabila ditemukan gejala serangan dan dilakukan secara manual, dalam pengendalian hindari penggunaan bahan kimia. Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap semua satuan percobaan, pengamatan karakter agronomi mengacu pada panduan deskriptor yang dikembangkan khusus untuk tanaman pegagan dengan beberapa modifikasi (Bermawie et al. 2006), meliputi : (a) jumlah daun tanaman induk (dihitung jumlah daun pada tanaman induk yang sudah membuka sempurna), (b) panjang tangkai daun (diukur dari permukaan tanah hingga ujung tangkai daun), (c) diameter tangkai daun (diukur pada bagian tengah tangkai daun menggunakan jangka sorong), (d) tebal daun (diukur menggunakan jangka sorong), (e) panjang daun (diukur dari pangkal daun sampai ujung daun), (f) lebar daun (diukur lebar daun terlebar), (g) luas daun total (diukur dengan menggunakan alat leaf area meter), (h) jumlah daun total (dihitung jumlah keseluruhan daun pada tanaman), (i) jumlah stolon primer

(dihitung jumlah stolon yang tumbuh dari tanaman induk), (j) jumlah stolon sekunder (dihitung jumlah stolon yang tumbuh pada stolon primer), (k) jumlah buku pada stolon primer terpanjang (dihitung jumlah buku/ruas pada stolon primer terpanjang), (l) jumlah buku pada stolon primer terpendek dihitung jumlah buku/ruas pada stolon primer terpendek), (m) jumlah daun pada stolon primer terpanjang (dihitung jumlah daun pada stolon primer terpanjang), (n) jumlah daun pada stolon primer terpendek (dihitung jumlah daun pada stolon primer terpendek). Karakter pigmen yang diukur (a) klorofil a, (b) klorofil b, (c) klorofil total. Komponen hasil dan hasil yang diamati: (a) bobot kering terna (ditimbang bobot kering terna per tanaman/pot), (b) bobot kering daun (ditimbang bobot kering daun per tanaman/pot), (c) panjang akar (diukur dari pangkal batang sampai ujung akar), (d) bobot kering akar (ditimbang bobot kering akar tanaman induk dan anakan). Komponen hara yang diamati meliputi: (a) kadar hara N (dilakukan analisis kadar N daun), (b) kadar hara P (dilakukan analisis kadar P daun), (c) kadar hara K (dilakukan analisis kadar K daun), (d) Serapan hara N daun (dihitung dengan mengalikan antara kadar N daun dengan bobot kering daun), (e) serapan hara P daun (dihitung dengan mengalikan antara kadar P daun dengan bobot kering daun), (f) serapan hara K (dihitung dengan mengalikan antara kadar K daun dengan bobot kering daun).

Pengamatan kolonisasi FMA dilakukan di laboratorium Ekofisiologi Balittro Bogor menggunakan metode pewarnaan akar dari Philips dan Hayman (1970) yang dimodifikasi Koske dan Gemma (1989) sebagai berikut. Akar dipisahkan dari bagian atas tanaman dan dicuci bersih yang diikuti perendaman dalam larutan KOH 10% dan dipanaskan pada suhu 90 0C selama 1 jam atau 120

0

C selama 15 menit. Langkah selanjutnya akar dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan larutan KOH dan direndam dalam larutan H2O2 selama 10–30

menit. Cuci akar dengan air mengalir sampai bersis selanjutnya direndam dalam larutan HCl 1% selama 5–10 menit. Pindahkan larutan HCl dan akar direndam dalam larutan pewarna berupa campuran laktogliserin dan larutan tryphan blue 0.05% panaskan pada suhu 90 0C selama 1 jam atau 120 0C selama 5 menit. Akar siap diamati, kolonisasi ditandai dengan kenampakan struktur hifa, vesíkula, arbuskula atau salah satu dari ketiganya di bawah mikroskop. Kolonisasi FMA

73

pada akar tanaman (diukur berdasarkan proporsi bidang pandang bermikoriza terhadap total bidang pandang yang diamati). Aras kolonisasi ditentukan berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992) yang dimodifikasi sebagai berikut: < 5% = Sangat rendah (Kelas 1), 6–25% = Rendah (Kelas 2), 26–50% = Sedang (Kelas 3), 51–75% = Tinggi (Kelas 4), dan > 75% = Sangat tinggi (Kelas 5).

Pengamatan kadar hara jaringan dilakukan di laboratorium Pasca Panen Balittro mengikuti metode baku analisis hara jaringan. Sampel daun yang dianalisis mengacu Ghulamahdi et al. (2009) yaitu: untuk kadar N pada posisi daun ke-4 tanaman induk, kadar P pada posisi daun ke-3 tanaman induk, dan kadar K pada posisi daun ke-4 tanaman induk. Pengamatan pigmen (klorofil daun) dilakukan di laboratorium Pasca Panen Balittro mengikuti prosedur Sims dan Gamon (2002).

Analisis data

Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor dan interaksinya, jika hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s Multiple Range Test. Analisis ragam menggunakan program SAS versi 9.1

Penyiapan inokulum FMA

Inokulum FMA asal Cicurug diperbanyak secara kultur pot dengan media zeolit berukuran 1–2 mm dengan tanaman inang sorgum. Pengecambahan benih sorgum dilaksanakan pada baki plastik berisi medium tumbuh zeolit yang telah dicuci. Penanaman bibit sorgum dilakukan setelah tumbuh 3–4 daun kurang lebih berumur 7 hari, dilakukan pada pot plastik tempat air mineral berukuran 240 mL yang bagian bawahnya berlubang. Ke dalam pot diisikan medium tumbuh berupa 150 g zeolit yang sudah disterilkan terlebih dahulu. Pemeliharaan kultur meliputi penyiraman, pemberian hara dan pengendalian hama penyakit. Larutan hara yang digunakan adalah pupuk majemuk dengan komposisi (25% N, 5% P, 20% K) dengan konsentrasi 1 g/l air. Pemberian larutan hara dilakukan seminggu sekali sebanyak 20 ml tiap pot kultur. Setelah kultur berumur ± empat bulan, dilakukan

pemanenan dengan cara menghentikan penyiraman dan membiarkan tanaman inang kering. Selanjutnya akar tanaman di potong-potong dan bagian yang keras dibuang, untuk kemudian diekstrak sporanya dari medium tumbuh menggunakan metode penyaringan basah (Gerdermann & Nicolson 1963) yang kemudian diikuti dengan sentrifugasi (Brundrett et al. 1996), pembilasan dengan air dan penyaringan ulang menggunakan penyaring berukuran 150 dan 45 µm. Air berisi spora dituangkan ke cawan Petri untuk selanjutnya dilakukan penghitungan kepadatan spora.

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa bibit pegagan yang diperlakukan dengan FMA memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibanding kontrol, yang ditunjukkan dengan tinggi bibit yang lebih baik serta jumlah daun yang lebih banyak serta lebih sehat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8.

a b c

Gambar 8 Perbanyakan spora FMA (a), bibit pegagan bermikoriza (b) bibit non- mikoriza (c) pada umur 1 bulan di pembibitan

Inokulasi FMA berpengaruh sangat nyata dan nyata terhadap jumlah daun tanaman induk, jumlah tangkai daun tanaman induk, jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah daun total, jumlah bunga, luas daun, serapan hara N, P, K, bobot segar (akar, daun, terna, total), bobot kering (akar, daun, terna, total), produksi segar dan kering (daun, terna), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tangkai daun, panjang daun, lebar daun, diameter tangkai daun, tebal daun, jumlah buku pada stolon

75

primer terpendek, jumlah daun pada stolon primer terpanjang dan terpendek, jumlah klorofil a, jumlah klorofil b, total klorofil, dan panjang akar (Tabel 10). Tabel 10 Rangkuman hasil analisis ragam pengaruh inokulasi fungi mikoriza

arbuskula (FMA), sumber dan dosis pupuk P alami terhadap peubah yang diamati

No Peubah FMA Dosis

P alami

M*P KK

1. Jumlah daun tanaman induk ** tn tn 18.88

2. Jumlah tangkai daun ** tn tn 18.91

3. Panjang tangkai daun tn tn tn 17.78

4. Panjang daun tn tn tn 14.66

5. Lebar daun tn tn tn 15.63

6. Diameter tangkai daun tn tn tn 13.62

7. Tebal daun tn tn tn 14.12

8. Jumlah stolon primer ** tn tn 13.21

9. Jumlah stolon sekunder ** tn tn 19.44

10. Jumlah buku pada stolon terpanjang ** ** tn 5.98 11. Jumlah buku pada stolon terpendek tn tn tn 26.07 12. Jumlah daun pada stolon terpanjang tn ** tn 16.06 13. Jumlah daun pada stolon terpendek* tn tn tn 17.69

14. Jumlah daun total ** * tn 19.40

15. Luas daun ** ** tn 16.13 16. Klorofil A tn tn tn 21.70 17. Klorofil B tn tn tn 34.44 18. Total klorofil tn tn tn 33.46 19. Serapan hara N * ** * 17.96 20. Serapan hara P ** * tn 18.18 21. Serapan hara K ** * tn 17.58 22. Panjang akar tn * tn 11.40

23. Kolonisasi FMA akar tan induk ** tn tn 23.61 24. Kolonisasi FMA akar tan anakan ** tn tn 20.14 25. Bobot kering akar per tanaman ** ** tn 15.61 26. Bobot kering daun per tanaman ** * tn 18.02 27. Bobot kering terna per tanaman ** * tn 15.95 28. Bobot kering total per tanamn ** ** tn 14.39 Pupuk P alami berpengaruh sangat nyata dan nyata terhadap jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah daun pada stolon primer terpanjang, jumlah daun total, jumlah bunga, luas daun, serapan hara N, P, K, panjang akar, bobot segar (akar, daun, terna, total), bobot kering (akar, daun, terna, total), produksi segar dan kering (daun, terna), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman induk, jumlah tangkai daun tanaman induk, panjang tangkai daun, panjang daun, lebar daun, diameter tangkai daun, tebal daun, jumlah stolon

primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpendek, jumlah daun pada stolon primer terpendek, jumlah klorofil a, jumlah klorofil b, dan jumlah total klorofil. Kombinasi perlakuan FMA dan pupuk P alami tidak menunjukkan interaksi pada semua peubah yang diamati kecuali pada serapan hara N (Tabel 10).

Jumlah daun tanaman induk, jumlah tangkai daun tanaman induk, dan panjang tangkai daun tanaman induk

Perlakuan tanpa inokulasi FMA menghasilkan jumlah daun, dan jumlah tangkai daun pada tanaman induk yang lebih banyak dan berbeda sangat nyata (P < 0.01) dibandingkan dengan inokulasi FMA, sedangkan pada peubah panjang tangkai daun tanaman induk tidak terdapat perbedaan. Dosis pupuk P alami tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman induk, jumlah tangkai daun, dan panjang tangkai daun tanaman induk dibanding tanpa pemberian pupuk (Tabel 11).

Tabel 11 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap rata-rata jumlah daun tanaman induk, jumlah tangkai daun, dan panjang tangkai daun pada