• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN UMUM

Budidaya untuk menghasilkan bahan baku tanaman pegagan terstandar dengan kadar asiatikosida dan produksi kering daun yang tinggi serta aman di konsumsi perlu dilakukan. Melalui studi efektivitas fungi mikoriza arbuskula pada penggunaan pupuk fosfor alami dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, biomassa dan produksi asiatikosida tanaman pegagan di andosol, diharapkan hasilnya dapat memenuhi standar baku mutu yang dipersyaratkan. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan sumber P alami potensial yang dapat digunakan sebagai pengganti pupuk kimia, dan pemanfaatannya akan lebih sesuai dan efektif apabila diaplikasikan pada tanah-tanah masam seperti andosol. Pada tanah-tanah masam umumnya ketersedian hara P sangat rendah, pada tanah dengan pH < 5.5 P difiksasi oleh Al, Fe, hidroksida, Mn dan liat (Tisdale et al. 1985; Radjagukguk 1983; Tinker & Nye 2000; Cardoso & Kupyer 2006; Akinrinde 2006), P dalam bentuk tidak larut (Holford 1997), berada di luar rizosfer tanaman (Schachtman et al. 1998; Lo´pez-Bucio et al. 2000). Tanah andosol mengandung alofan dan imogolit, umumnya mengalami kemunduran kesuburan yang serius karena rendahnya ketersediaan P akibat kandungan Al dapat ditukar yang tinggi, pada kisaran pH 5 – 5.5 (Cornejo et al. 2007; Meason et al. 2009).

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) diyakini berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, produksi, dan mutu tanaman pertanian, hortikultura, dan kehutanan serta menghasilkan tanaman yang lebih tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik sehingga dapat mengurangi investasi yang diperlukan untuk penyediaan pupuk dan pestisida (Douds & Johnson 2007; Smith & Read 2008). FMA dapat berasosiasi dengan sekitar 80–90% tanaman (Wang & Qui 2006) atau sekitar 73% spesies tanaman (Brundrett 2009), dengan penyebaran sangat luas mulai dari jenis tanah pasiran di pesisir (Delvian 2003), tanah gambut (Ervayenri 1998; Sasli 2008), dataran tinggi di Himalaya (Chaurasia et al. 2005), pada lingkungan yang panas dan kering (Li & Zao 2005), pada tanah- tanah marginal (Smith & Read 1997), tanah masam (Clark 1997; Cuenca et al. 2001; Kartika 2006), tanah alkalin (Swasono 2006) serta pada tanah dengan cekaman ganda Al dan kekeringan (Hanum 2004). Pemanfaatan FMA dengan

 

demikian menjadi penting artinya bagi bangsa Indonesia yang memiliki ragam agroekosistem, ketinggian tempat, tanah-tanah masam, dan kemunduran kesuburan. 

Pemanfaatan batuan fosfat dan tepung tulang sebagai sumber P alami pada kombinasi dengan FMA, didasarkan pada resistensi FMA terhadap bahan-bahan kimiawi. Pertumbuhan dan perkembangan FMA sangat dipengaruhi oleh kadar, bentuk dan kelarutan hara P. Kadar P yang tinggi akan menekan kolonisasi FMA (Zhu et al. 2005), pemupukan P dengan takaran yang tinggi dan kelarutan yang tinggi dilaporkan mengubah produksi kemelimpahan, daya mengolonisasi, dan efektivitas propagul FMA (Gianinazzi et al. 1989; Baon et al. 1992; Johnson 1993; Pfleger & Linderman 1996; Azcon et al 2003; Covacevich et al. 2006).

Informasi mengenai FMA dan pemanfaatannya pada tanaman pegagan sejauh belum ada. Eksplorasi jenis-jenis FMA pada daerah pertanaman pegagan merupakan studi awal yang penting dan diperlukan untuk dapat mengindentifikasi dan memetakan jenis-jenis FMA dominan dan spesifik. Setiap jenis FMA mungkin berbeda-beda dalam kemampuannya membentuk hifa di dalam tanah, baik distribusi maupun kuantitasnya yang berhubungan dengan kemampuan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman (Delvian 2003). Semua FMA tidak mempunyai sifat morfologi dan fisiologi yang sama oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui identitasnya (Budi 2009). Dengan demikian karakterisasi jenis FMA penting dilakukan untuk mendapatkan informasi awal.

Hasil isolasi dari tiga (3) lokasi pengambilan contoh tanah diperoleh beberapa jenis spora FMA pada rizosfer pegagan. Jenis spora dan nilai kepadatan spora FMA pada masing-masing lokasi berbeda. Kepadatan spora sebelum pemerangkapan pada setiap lokasi cenderung sedikit, hasil ini sama dengan hasil penelitian Rainiyati (2007) dan Lapanjang (2010) yang mendapatkan jumlah dan jenis spora FMA terbatas karena belum bersporulasi, dan lebih banyak mengandung propagul lain seperti hifa. Perbedaan kepadatan spora kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan (jenis tanah, hara tanaman, ketinggian tempat, cahaya) dan musim pada saat pengambilan contoh tanah (Rainiyati 2007), jumlah spora meningkat dengan berkurangnya jumlah curah hujan, fluktuasi kelembaban tanah juga dapat mempengaruhi pembentukan spora atau sporulasi

141  

Delvian (2003), kepadatan spora, keragaman, dan infeksi FMA berkorelasi negatif dengan pH tanah (Lee et al. 2009). Perbedaan keanekaragaman dan jumlah spora ditentukan oleh lingkungan dan tata kelola lahan serta tipe lahan (Corryanti et al. 2008).

Hasil yang berbeda diperoleh setelah dilakukan pemerangkapan, Kepadatan spora tertinggi diperoleh hasil pemerangkapan contoh tanah dari KP. Cicurug sebanyak 1435 spora, selanjutnya di KP. Gunung Putri sebanyak 1190 spora dan terendah di KP. Sukamulya sebanyak 555 spora per 50 g tanah. Hasil ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan spora hasil pemerangkapan oleh Widiastuti (2004) yang menemukan 1–474 spora/100 g tanah, Kartika (2006) 161–173 spora/50 g tanah pada rizosfer kelapa sawit, dan Rainiyati (2007) 2–57 spora/50 g tanah pada rizosfer pisang. Isolat FMA yang didapatkan perlu di seleksi untuk mendapatkan FMA potensial melalui penelitian kompatibilitas dan efektivitas terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan biomassa pada tanaman pegagan.

Inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada fase pertumbuhan awal tanaman pegagan belum menunjukkan efektivitasnya terhadap peubah jumlah daun tanaman induk, panjang tangkai daun, jumlah stolon primer dan panjang stolon hingga umur 4 bulan setelah inokulasi. Perbedaan kecepatan tumbuh tanaman lebih dipengaruhi oleh perbedaan aksesi pegagan. Pertumbuhan tanaman akan selalu dipengaruhi oleh faktor genetik terlepas dari pengaruh faktor lingkungan dan interaksi keduanya, masing-masing jenis aksesi memiliki potensi genetik berbeda yang tentunya akan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangannya sebagai salah satu karakter penciri yang membedakan jenis aksesi dengan aksesi lainnya.

Peningkatan respon pertumbuhan pada tanaman yang bermikoriza dipengaruhi oleh kebutuhan fotosintat dari hasil fotosintesis. FMA membutuhkan energi dari hasil fotosintesis untuk perkembangannya sebelum dapat memberikan keuntungan bagi pertumbuhan tanaman inangnya (Thompson et al. 1990). Adanya saling ketergantungan yang kuat antara FMA dengan inangnya dalam bersimbiosis mengakibatkan perubahan ketersediaan fotosintat. Pada penelitian ini

 

diduga FMA belum menunjukkan peran yang memberikan keuntungan yang optimal terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman inangnya.

Inokulasi FMA memegang peranan penting dalam meningkatkan beberapa peubah produksi tanaman pegagan, dengan efektivitas masing-masing isolat berbeda. Perbedaan efektivitas jenis isolat tersebut diduga karena adanya perbedaan kemampuan isolat dalam bersimbiosis dengan akar tanaman, ada kemungkinan setiap isolat memiliki preferensi yang berbeda terhadap eksudat yang dikeluarkan oleh akar tanaman pegagan sehingga efektivitas masing-masing isolat juga berbeda. Dari penelitian ini menunjukan isolat gabungan asal Cicurug lebih efektif meningkatkan hasil tanaman dibanding isolat lainnya termasuk isolat tunggal Glomus etunicatum dan Gigaspora margarita, sejalan dengan hasil penelitian Delvian (2003) yang menggunakan inokulum campuran 2 isolat dan inokulum 3 isolat cenderung lebih efektif dibandingkan isolat tunggal dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman lamtorogung, selanjutnya hasil penelitian Kartika (2006) menunjukkan inokulum campuran 3 isolat lebih efektif dibanding isolat tunggal dalam meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit, serta hasil penelitian Rainiyati (2007) yang menunjukan inokulum gabungan 5 isolat lebih efektif dibanding isolat tunggal dalam meningkatkan pertumbuhan bibit pisang.

Pemberian FMA akan merangsang pembentukan perakaran yang lebih luas sehingga volume akar lebih tinggi. Diduga kecepatan pertumbuhan akar lebih cepat atau setara dengan kecepatan tumbuhan bagian atas tanaman sehingga menyebabkan nisbah tajuk akar lebih rendah. Terdapat korelasi negatip yang sangat nyata antara nisbah tajuk akar dengan bobot kering akar, artinya semakin tinggi bobot kering akar akan mengakibatkan nisbah tajuk akar menjadi rendah. Sebaliknya dengan bobot tajuk, terdapat korelasi positip sangat nyata dengan nisbah tajuk akar.

Inokulasi FMA mampu meningkatkan serapan hara N, P dan K dibandingkan tanpa inokulasi (kontrol), namun demikian kemampuan masing- masing isolat berbeda. Isolat FMA gabungan asal Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Acaulospora sp) mampu meningkatkan serapan hara N, P dan K tertinggi dibandingkan isolat FMA gabungan asal Sukamulia (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Acaulospora sp-1), isolat tunggal Glomus

143  

etunicatum, Gigaspora margarita, dan tanpa inokulasi (kontrol), akan tetapi tidak berbeda dengan isolat FMA gabungan asal Gunung Putri. Dilihat dari persentase infeksi akar oleh FMA menunjukan kriteria tinggi sampai sangat tinggi pada semua jenis isolat FMA yang diberikan. Artinya semua FMA yang diberikan pada penelitian ini memiliki kompatibilitas yang tinggi dan berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan, biomassa tanaman serta serapan hara N, P dan K. Efektivitas setiap FMA selain tergantung jenis FMA itu sendiri juga dipengaruhi oleh jenis tanaman dan jenis tanah serta interaksi antara ketiganya (Brundrett et al 1996).

Kompatibilitas yang tinggi antara mikoriza khususnya isolat gabungan asal Cicurug dengan inangnya sangat menentukan efektivitas mikoriza, hal ini ditunjukkan oleh aktivitas akar dalam penyerapan hara dari tanah. Peningkatan penyerapan hara pada tanaman yang bersimbiosis dengan FMA disebabkan oleh adanya (1) pengurangan jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman, (2) peningkatan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi pada bidang serap, dan (3) perubahan secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman (Abbott & Robson, 1984). Kecepatan masuknya hara, terutama P ke dalam hifa jamur FMA dapat mencapai enam kali lebih cepat daripada kecepatan masuknya P melalui rambut akar (Kabirun 2002). Tanaman yang bermikoriza mempunyai laju penyerapan unsur P meningkat 2–3 kali per unit panjang akar dibanding tanaman tidak bermikoriza (Marschner 1997).

FMA dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman, hasil penelitian Aguilera-Comes et al. (1999) mendapatkan bahwa FMA dapat meningkatkan jumlah daun, luas daun, bobot kering tajuk, akar dan buah Capsicum annuum L meningkat 450%. Dari percobaan pemanfaatan FMA pada tanaman jahe dan nilam menunjukan bahwa inokulasi FMA nyata meningkatkan pertumbuhan dan produksi terna serta kandungan minyak atsiri jahe dan nilam serta serapan hara N, P dan K tanaman (Trisilawati 2000; 2005; 2007).

Isolat FMA gabungan asal Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp- 3, dan Acaulospora sp) FMA memiliki efektivitas tertinggi dalam meningkatkan biomassa dan serapan hara N, P, K pada tanaman pegagan akan tetapi tidak berbeda nyata dengan isolat gabungan asal Gunung Putri (Acaulospora sp,

 

Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Glomus sp-4), sehingga sebagai isolat terpilih untuk digunakan pada tahapan penelitian selanjutnya.

Fungi mikoriza berpotensi memfasilitasi penyediaan berbagai unsur hara bagi tanaman terutama P. Perbaikan pertumbuhan dan kenaikan hasil berbagai tanaman berkaitan dengan perbaikan nutrisi P tanaman. Unsur hara, khususnya P, berpengaruh langsung dan berpengaruh tidak langsung terhadap FMA melalui respon tanaman terhadap ketersediaan hara, misalnya dengan mengubah pertumbuhan akar atau fotosintesis. Kadar, bentuk, dan kelarutan sumber hara P merupakan faktor penting bagi pembentukan dan perkembangan FMA. Kadar hara P dilaporkan berkorelasi negatif (Amijee et al. 1989; Koide & Li 1990), tidak berkorelasi (Tawaraya et al. 1996), atau berkorelasi positip (Carrenho et al. 2001) terhadap FMA bergantung kepada jenis FMA, jenis tanaman, bentuk, dan kelarutan sumber P-nya (Cardoso 1996; Tawaraya et al. 1996; Nikolaou et al. 2002; Bhadalung et al. 2005). Pada batas tertentu penambahan P merangsang perkecambahan spora FMA, tetapi dalam jumlah besar menghambat pertumbuhan FMA. Kadar hara substrat tidak boleh melampaui batas maksimum 70 ppm untuk P dan 50 ppm untuk N (Feldman & Idczak, 1992). Penggunaan fosfat yang rendah kelarutannya, misalnya dalam bentuk batuan fosfat, kalsium fosfat, dan tepung tulang lebih efektif untuk memelihara perkembangan FMA dan meningkatkan kolonisasi akar (Nikolaou et al. 2002).

Tepung tulang sapi dan batuan fosfat sebagai sumber hara P alami cukup potensial, hasil analisis laboratorium pasca panen Balittro pada bulan Nopember 2009 terhadap sampel tepung tulang sapi dan batuan fosfat yang digunakan dalam penelitian ini menunjukan kandungan P2O5 masing-masing sebesar 15.07 dan 9.83%. Hasil penelitian Nusantara et al. (2007) mendapatkan bahwa tepung tulang ayam dan tepung kulit telur memberikan efek yang kurang baik terhadap perkembangan FMA dan hasil terbaik adalah dengan tepung tulang sapi. Batuan fosfat merupakan sumber hara P dan bersifat dapat melepaskan fosfat secara lambat (slow release) yang kelarutannya makin tinggi dengan meningkatknya kemasaman tanah (Bogidarmanti 2008). Keunggulan pupuk P tersebut didasarkan pada tingkat kelarutannya, sehingga sesuai digunakan pada tanah-tanah dengan

145  

daya fiksasi tinggi, terutama pada tanah masam, seperti tanah andosol (Leiwakabessy & Sutandi 2004).

Inokulasi FMA tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap semua peubah yang berkaitan dengan tanaman induk, antara lain: jumlah daun, jumlah tangkai daun, panjang tangkai daun, panjang daun, lebar daun, diameter tangkai daun, dan tebal daun. Terbentuknya anakan yang tumbuh dan berkembang diduga menjadi kompetitor bagi tanaman induk dalam mendapatkan ruang hidup, unsur hara, air dan cahaya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Musyarofah et al. (2007) yang menyatakan bahwa anakan yang sudah mengeluarkan akar dapat mengambil unsur hara sendiri dari tanah sehingga terjadi kompetisi unsur hara antara tanaman induk dan anakannya. Semakin banyak anakan baru yang muncul maka kompetisi akan semakin meningkat, dan tanaman induk pada posisi yang lemah karena kalah jumlah.

Munculnya individu-individu baru juga merangsang infeksi FMA pada sistem perakaran individu-individu tersebut. Hal ini dibuktikan berdasar hasil pengamatan infeksi FMA pada akar tanaman anakan yang menunjukkan persentase infeksinya cukup tinggi. Aktivitas FMA pada akar tanaman anakan lebih tinggi sehingga fasilitasi penyediaan larutan hara juga lebih tinggi dibandingkan pada tanaman induk, dalam simbiosisnya dengan FMA, tanaman harus menyediakan energi berupa karbon fotosintat yang dibutuhkan FMA untuk tumbuh dan berkembang. Sekitar 20% karbon fotosintat dialirkan oleh tanaman ke FMA (Smith & Read 2008).

Sumber pupuk P alami tidak memberikan pengaruh berbeda terhadap peubah pertumbuhan pada tanaman induk (jumlah daun, jumlah tangkai daun, panjang tangkai daun, panjang daun, lebar daun, diameter tangkai daun, dan tebal daun) yang lebih baik dan berbeda dibandingkan perlakuan tanpa pemupukan. Hasil yang sama diperoleh Sutardi (2008) dan Afrida (2009) dalam penelitiannya menggunakan pupuk P anorganik, pada umur pengamatan yang sama tidak memberikan perbedaan terhadap peubah-peubah tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa pupuk P tidak berpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman

 

Inokulasi FMA nyata meningkatkan jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, akan tetapi tidak berbeda nyata terhadap jumlah buku pada stolon primer terpendek. Peubah-peubah tersebut berpengaruh terhadap produksi daun dan terna tanaman pegagan, hal itu didukung adanya korelasi positif yang sangat nyata. Stolon merupakan bagian tanaman pegagan yang mempunyai nilai sangat penting, karena dari jaringan tersebut akan muncul individu-individu tanaman baru yang akan tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang menyerap hara dan air serta memanen cahaya matahari secara mandiri untuk proses fotosintesis. Simbiosis FMA dengan tanaman pegagan nyata efektif meningkatkan pertumbuhan dan berkembangnya tanaman pegagan yang ekstensif, hal tersebut ditunjukkan dengan semakin meningkatnya ekspansi tanaman secara horisontal melalui pembentukan stolon primer dan sekunder yang menyebabkan peningkatan volume permukaan bidang penyerapan hara, air dan cahaya. Diduga FMA mampu memberikan kecukupan hara dan air bagi tanaman melalui kemampuan perluasan daerah penyerapan akar. Peningkatan penyerapan hara pada tanaman yang bersimbiosis dengan FMA disebabkan oleh adanya (1) pengurangan jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman, (2) peningkatan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi pada bidang serap, dan (3) perubahan secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman (Abbott & Robson 1984).

Pemupukan P alami berpengaruh tidak nyata (P> 0.05) terhadap jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer terpanjang, maupun jumlah buku pada stolon primer terpendek. Hasil penelitian ini sama dengan yang diperoleh Sutardi (2008) dan Afrida (2009) yang menggunakan pupuk P anorganik (SP-36) pada jenis tanah yang sama. Jumlah stolon primer, jumlah stolon sekunder, dan jumlah buku tidak berbeda nyata meskipun dipupuk hingga 120 kg P2O5. Dari ketiga penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pupuk P tidak berpengaruh nyata terhadap peubah pertumbuhan tanaman induk pegagan. Penggunaan sumber P tidak mudah larut pada dasarnya tidak ditujukkan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman sedini mungkin, namun lebih ditujukan kepada pemeliharaan kadar P dalam media untuk jangka panjang (Uusitalo et al. 2007).

147  

Inokulasi FMA tidak mempengaruhi jumlah daun pada stolon primer terpanjang dan stolon primer terpendek, akan tetapi berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun total dan luas daun total. Kompetisi akan unsur hara, air dan cahaya merupakan salah satu alasan yang menyebabkan tidak adanya perbedaan. Secara inidvidu daun pada stolon akan berkompetisi tidak hanya dengan daun yang ada dalam satu pada stolon yang sama akan tetapi juga dengan daun yang terbentuk pada stolon lainnya maupun dengan daun pada tanaman induk. Panjang atau pendeknya ukuran stolon tidak mempengaruhi perbedaan perbedaan jumlah daun akibat perlakuan FMA. Jumlah daun total dan luas daun total merepresentasikan hasil aktivitas tanaman dalam penyerapan hara, air, dan cahaya serta proses lainnya yang mendorong tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Simbiosis FMA dengan tanaman diduga mampu memfasilitasi penyediaan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga akan tumbuh lebih baik dan menghasilkan jumlah daun yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang tidak di inokulasi FMA. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air Marschner (1995).

Batuan fosfat dan tepung tulang pada berbagai taraf dosis berpengaruh nyata dan tidak nyata terhadap jumlah daun pada stolon primer terpanjang, jumlah daun total, dan luas daun total, akan tetapi tidak berpengaruh nyata pada jumlah daun pada stolon primer terpendek. P merupakan hara makro esensial yang dibutuhkan tanaman sehingga ketersediaannya sangat penting. Batuan fosfat dan tepung tulang merupakan sumber P alami yang kelarutannya tergolong lambat larut sehingga pelepasan P juga cenderung lebih lambat dan bertahap. Diduga pada saat tanaman pegagan memasuki fase pertumbuhan vegetatif cepat yang ditandai dengan berkembangnya stolon primer, stolon sekunder serta anakan, ketersediaan hara P yang dilepas oleh batuan fosfat dan tepung tulang sapi cukup tinggi.

Perlakuan FMA, pemupukan batuan fosfat, dan tepung tulang sapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah klorofil a, jumlah klorofil b, dan jumlah total klorofil. Pembentukan klorofil dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat yang dihasilkan tanaman, karena karbohidrat dalam bentuk gula digunakan untuk

 

sintesis klorofil. Semakin tinggi karbohidrat yang tersedia akan meningkatkan jumlah klorofil. Pembentukan klorofil juga dipengaruhi oleh pemupukan N (Iqbal 2008).

FMA berinteraksi nyata dengan pupuk P alami dalam meningkatkan serapan hara N daun pegagan, akan tetapi terhadap serapan hara P dan K pada daun tanaman tidak terjadi interaksi. Serapan hara P dan K meningkat dengan adanya simbiosis dengan FMA. Peningkatan serapan hara oleh akar bermikoriza disebabkan meningkatnya kapasitas pengambilan hara karena waktu akar terinfeksi diperpanjang dan derajat percabangan serta diameter akar diperbesar sehingga luas permukaan absorpsi akar diperluas (Abbot & Robson 1984; Smith & Read 1997, 2008), peningkatan enzim fosfatase pada rizosfer dan akar tanaman (Dodd et al. 1987), aktivitas nitrat-reduktase pada spora FMA yang mempunyai kapasitas penyerapan nitrat (Bago et al. 1996).

Berbagai bentuk sumber P sukar larut, misalnya tepung tulang dapat meningkatkan serapan P pada tanaman yang ditumbuhkan dalam pot maupun lapangan (Klock & Taber 1996; Jeng et al. 2006; Romer 2006) dan efektif untuk memelihara FMA dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Cardoso 1996; Nikolaou et al. 2002). Fosfat adalah unsur hara utama yang diserap tanaman dengan bantuan FMA, inokulasi FMA pada cabai dapat meningkatkan penyerapan P sebesar 30.9% di andosol (Haryantini & Santoso 2001). Selain fosfat, FMA dapat meningkatkan penyerapan hara N, K, dan Mg yang bersifat mobil (Sieverding 1991); hara N, P, dan K (Hanum 2004), hara N dan P (Purnomo 2008) FMA meningkatkan serapan hara dari sumber P organik (Widiastuti 2004). Meningkatnya serapan hara oleh tanaman inang menjamin kebugaran tanaman agar tetap mmasok karbon ke rizosfer (Kaschuk et al. 2010) yang diperlukan untuk pembentukan hifa ekstraradikal dan sporulasi FMA.

Panjang akar tidak dipengaruhi oleh perlakuan FMA, akan tetapi bobot kering akar dipengaruhi sangat nyata. Panjang akar diartikan sebagai pertambahan ukuran akar vertikal ke arah bawah, sedangkan bobot kering merupakan resultante volume akar yang terbentuk secara keseluruhan. Diduga bahwa FMA berperan dalam pembentukan, perkembangan dan ekspansi sistem perakaran tanaman yang dikolonisasi. Hasil tersebut bermakna bahwa simbiosis FMA dengan tanaman

149  

pegagan efektif, karena mampu meningkatkan bobot kering akar sebagai salah satu karakter yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman secara keseluruhan.

Infeksi pada akar tanaman pegagan bermikoriza tergolong sangat tinggi (> 75%) (Rajapakse & Miller 1992), baik pada akar tanaman induk maupun akar tanaman anakan. Sedangkan pada tanaman yang tidak di inokulasi FMA tidak ditemukan adanya kolonisasi. Infeksi pada akar tanaman anakan dapat terjadi karena jarak dengan akar tanaman induk (yang diinokulasi FMA pada fase pembibitan) tidak terlalu jauh. Akar tanaman induk yang terkolonisasi FMA akan membentuk appresoria dan selanjutnya membentuk hifa ekstraradikal yang berekspansi di rizosfer tanaman. Akar tanaman anakan mengeksudasi asam-asam organik yang akan menarik FMA untuk bersporulasi. Spora FMA terbentuk dari ujung hifa ekstraradikal yang menggelembung dan kemudian terlepas dari hifa ektraradikal tersebut (Smith & Read 2008). Spora yang terbentuk selanjutnya akan berkecambah membentuk hifa dalam tanah atau dari akar tanaman anakan kemudian menyentuh permukaan akar, membentuk appresoria dan menembus dinding sel akar untuk membentuk hifa intraradikal.

Pupuk P alami berpengaruh nyata terhadap panjang akar dan bobot kering akar. Pegagan merupakan tanaman dikotil yang memiliki sistem perakaran serabut sehingga dominasi pertumbuhan kearah samping. Penambahan hara P melalui pemupukan mampu meningkatkan bobot kering akar dibandingkan tanpa pemupukan, hal tersebut dapat dipahami bahwa salah satu fungsi P adalah menginduksi sistem perakaran tanaman agar tumbuh lebih baik. Namun demikian