• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompetensi Peradilan Umum dalam Gugatan Pembatalan

Kompetensi Badan Peradilan Umum diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986.

Peradilan Umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan pada umumnya (Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 2004). Kompetensi Pengadilan yang berada dibawah Peradilan Umum adalah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata baik ditingkat pertama maupun ditingkat banding (Pasal 50,51 UU Nomor 8 Tahun 2004).

Mengenai perkara perdata yang menjadi wewenang Peradilan Umum ini tidak dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-undang tersebut.

Beberapa pendapat para ahli mengenai perkara perdata adalah :54

a. Sudikno Mertokusumo :

“Kekuasaan pengadilan dalam perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya, hutang piutang atau hak-hak keperdataan lainnya.”

54

b. Tresna :

“Kekuasaan hukum dari pengadilan sepanjang mengenai pengadilan perdata,

ialah “segala perselisihan tentang hak kepunyaan (eigendom) dan hak-hak yang

keluar dari padanya, tentang tuntutan hutang-piutang atau hak-hak berdasarkan hukum perdata.”

c. Subekti :

“Semua perselisihan mengenai hak milik, hutang piutang atau warisan seperti tersebut diatas atau juga dinamakan perselisihan mengenai hak-hak perdata (artinya: hak-hak yang berdasarkan “hukum perdata” atau hukum sipil adalah semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang hakim atau pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini Hakim atau Pengadilan Perdata.”

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan diatas dapat ditarik benang merah bahwa perkara perdata yang menjadi wewenang (absolut) peradilan umum adalah semua sengketa yang timbul dari perselisihan mengenai hak milik keperdataan serta hak-hak yang timbul karenanya atau dengan kata lain adalah perkara yang bersumber dari hak-hak keperdataan seseorang yang diatur dalam hukum perdata materil.

Sarana untuk mendapatkan keadilan adalah melalui gugatan. Pada dasarnya gugatan dibuat secara tertulis sesuai ketentuan dalam Pasal 118 HIR, bahwa gugatan harus diajukan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Sedangkan bagi penggugat yang buta huruf dapat mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara itu yang nantinya berdasarkan ketentuan Pasal 120 HIR akan membuat atau menyuruh

membuat gugatan tersebut secara tertulis. HIR ataupun RBg, akan tetapi dijumpai

dalam Pasal 8.3 R.V yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat:55

a. Identitas para pihak, pencantuman identitas penggugat dan tergugat material

(principal) yang jelas dan lengkap menghindari kesalahan subjek (error in

subjecto)

b. Fundamentum petendi (posita), memuat uraian mengenai duduk perkara (kasus

posisi) dan uraian mengenai hukum.

c. Petitum, tuntutan yang diminta agar diputuskan oleh hakim.

Dalam gugatan perdata, tidak hanya pribadi atau badan hukum perdata saja yang dapat menjadi penggugat tetapi juga pejabat atau badan Tata Usaha Negara (badan hukum publik) asal saja memenuhi syarat mempunyai wewenang menggugat dan digugat (persona standi in judicio, ius standi, legal standing), memiliki kepentingan hukum dengan objek gugatan dan

berkemampuan untuk bertindak (handelings bekwaamheid).56

Pada gugatan perdata dengan objek gugatan sertipikat hak atas tanah pada umumnya menempatkan Pejabat atau Badan Pertanahan Nasional sebagai salah satu tergugat atau turut tergugat, sangat jarang Pejabat atau Badan Pertanahan Nasional dijadikan sebagai tergugat tunggal.

Dalam banyak kasus, Pejabat atau Badan Pertanahan digugat bukan sebagai tergugat tunggal, bukan pula sebagai tergugat utama disebabkan esensi gugatan lebih ditujukan pada tidak sah perbuatan dan atau hubungan hukum perdata (jual-beli, hutang piutang, waris, hibah dan lain-lain) yang dilakukan orang atau badan hukum perdata yang mendahului dan kemudian menjadi dasar penerbitan atau peralihan suatu Sertipikat Tanah.57

55 Ibid hal 20 56 Ibid hal 30 57 Ibid hal 49

Fundamentum petendi (posita) harus dibuat jelas dan terperinci yang memuat

mengenai duduk perkara (kasus posisi) dan uraian mengenai hukum. Dalam

Fundamentum petendi (posita) minimal harus menggambarkan 3 (tiga) elemen

essensial:58

a. Objek sengketa atau apa yang disengketakan. Misalnya sengketa tanah, sengketa

bangunan dan lain-lain.

b. Kualifikasi perbuatan Tergugat. Perbuatan melawan hukum, ingkar janji dan lain-

lain.

c. Hubungan hukum. Hubungan yang terjadi sebelumnya yang menjadi dasar atau

kausa terjadi sengketa, misalnya jual-beli, hutang piutang, sewa menyewa, waris dan lain-lain.

. Dari isi Fundamentum petendi (posita) ini dapat diidentifikasi mengenai

peradilan mana yang berwenang mengadilinya. Untuk Peradilan Umum yang wewenangnya adalah mengadili perdata seharusnya isi dari gugatan yang diajukan adalah tuntutan mengenai hak-hak keperdataan seseorang yang merasa dirugikan karena adanya perbuatan- perbuatan perdata pula. Tuntutan tersebut dapat berupa menentukan status hak tertentu, ganti rugi dan sebagainya.

Kompetensi Peradilan Umum dalam sengketa dengan objek sertipikat hak atas tanah harus diidentifikasi berdasarkan kewenangan Peradilan Umum itu sendiri. Seperti telah diuraikan terlebih dahulu bahwa Peradilan Umum berwenang mengadili perkara perdata yang bersumber dari sengketa dalam bidang yang diatur dalam hukum perdata materil, oleh karena itu seharusnya sengketa yang timbul pada

58

sertipikat hak atas tanah adalah yang bersifat keperdataan atau dengan kata lain sertipikat dari sisi sebagai alat bukti hak milik keperdataan. Identifikasi tersebut dilakukan dalam isi gugatan penggugat yang dinilai oleh hakim.

Fundamentum petendi merupakan uraian termasuk fakta fakta hukum yang menjadi dasar suatu gugatan, bila berkaitan dengan gugatan hak sehingga lebih menekankan kepada dikabulkannya petitum penggugat agar hakim menentukan status hak tertentu, maka gugatan demikian lebih tepat diajukan kepada Peradilan Umum dan bukan pada Peradilan Tata Usaha Negara. Sebaliknya bila gugatan lebih menekankan kepada dengan dikeluarkannya Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara berupa Sertipikat Hak Atas Tanah, berakibat terganggunya hak penggugat maka gugatan yang demikian lebih

tepat diajukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara.59

Dengan kata lain yang menjadi wewenang Peradilan Umum adalah mengenai gugatan hak-hak keperdataan seseorang.

B. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Gugatan Pembatalan Hak

Dokumen terkait