• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Kompetensi Peradilan dalam Gugatan

Permasalahan mengenai kompetensi peradilan dalam mengadili sengketa tanah khususnya gugatan terhadap sertipikat hak atas tanah dimulai sejak terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara, karena sebelumnya sengketa tanah diselesaikan melalui Peradilan Umum.

“Pembahasan masalah kompetensi badan peradilan ini perlu dilakukan mengingat pada substansi ini persoalan gugatan pembatalan hak atas tanah sulit

diidentifikasi secara tegas. Kesalahan identifikasi yurisdiksi materil suatu perkara akan mengakibatkan tidak diterimanya gugatan atau ketidaksempurnaan putusan

pengadilan.”63 Hal ini mengakibatkan tidak dapatnya amar putusan tersebut

dijalankan sehingga menimbulkan kerugian bagi pencari keadilan itu sendiri.

Dari uraian diatas sudah jelas batas-batas kewenangan masing-masing peradilan, akan tetapi pada prakteknya seringkali suatu gugatan perdata dengan objek sertipikat hak atas tanah mengandung aspek Tata Usaha Negara sebaliknya pada gugatan Tata Usaha Negara memuat aspek keperdataan. Kemungkinan ini besar kemungkinan terjadi karena hak-hak keperdataan yang digugat terkait dengan sertipikat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebaliknya sertipikat diterbitkan dengan alas hak yang merupakan bukti hak keperdataan seseorang.

Untuk lebih konkritnya dapat dilihat dari contoh berikut ini:64

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3199 K/Pdt/1992 tanggal 27 Oktober 1994 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan Nomor 42/Pdt/1992/PT.Plg tanggal 6 Juli 1992 jo. Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 67/Pdt.G/1991/PN.Plg tanggal 19 Februari 1992:

Penggugat asal: Drg. FH dkk Tergugat asal : 1. Sa

2. AH

63

Hasan Basri Nata Menggala dan Sarjita, Op.cit. 2005, hal 72.

64 Ibid

3. H.A

4. Badan Pertanahan Nasional cq Kakanwil BPN Prop.SS cq Kepala Kantor Pertanahan Nasional Kotamadya P

Objek gugatan : Sertipikat Tanah Hak Milik Nomor 10737/1989; Fundamentum petendi :

a. bahwa para penggugat adalah ahli waris Ny. Z.H;

b. bahwa para penggugat berdasarkan warisan memiliki sebidang tanah Hak Bekas

Usaha yang belum dikonversi, terletak di 20 (dua puluh) Ilir B II Sekip Kecamatan Ilir Timur, Palembang, seluas ± 4.713 m2 dengan batas-batas seperti terurai dalam Akta Jual Beli tanggal 16 Desember 1974 Nomor 229/1974;

c. bahwa 12 Desember 1974, sebelum Nyonya H mengalihkan kepada Ny. ZH, Ny

H telah mengajukan permohonan Sertipikat Tanah kepada Kantor Pertanahan di Palembang;

d. bahwa Tergugat I dengan alas hak yang bertentangan dengan hukum menguasai

dan menjual tanah Hak Milik Penggugat itu kepada Tergugat II seluas 2.850 m2 dan kepada Tergugat III seluas 1.165 m2 dengan Akta Pengikatan Jual Beli Notaris Darbi, SH Nomor 220 tanggal 15 Mei 1987 dan Nomor 32 tanggal 7 Desember 1987;

e. bahwa tergugat II. III membeli tanah sengketa dari Tergugat I tidak berdasarkan

alas hak yang sah menurut hukum;

f. bahwa dengan demikian Tergugat I, II, III menguasai tanah sengketa bertentangan

g. bahwa tergugat I mengajukan permohonan hak kepada Tergugat IV sehingga keluarlah Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 atas nama Tergugat I, berdasarkan hukum sertipikat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

h. Bahwa Tergugat I, II, III maupun orang lain yang mendapat hak dari Tergugat I,

II, III berdasarkan hukum harus menyerahkan tanah sengketa kepada Para Penggugat dalam keadaan kosong dan baik;

i. Bahwa apabila Para Tergugat lalai menyerahkan tanah tersengketa dalam keadaan

baik dan kosong, padahal putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum

yang pasti, maka Para Tergugat dibebani uang paksa (dwangsom) sebesar

Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari dengan seketika dan sekaligus kepada Para Penggugat terhitung mulai putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang pasti sampai dengan terlaksananya penyerahan;

Petitum:

1. menerima gugatan Para Penggugat seluruhnya;

2. menyatakan sah keputusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Palembang

tanggal 29 Juni 1968 Nomor 101/1968 dan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 159/Pdt.G/1991/PN.Jkt.Sel. tanggal 15 April 1991;

3. menyatakan sah menurut hukum sebidang tanah berupa hak bekas hak usaha yang

belum dikonversi terletak di 20 (dua puluh) Ilir B II Sekip, Kecamatan Ilir Timur, Palembang, seluas ± 4.713 m2 dengan batas-batas seperti terurai dalam Akta Jual Beli tanggal 16 Desember 1974 Nomor 229/1974 adalah sah milik Penggugat- Penggugat;

4. menyatakan batal menurut hukum perbuatan pengikatan jual beli yang dilakukan Tergugat I dengan Tergugat II dan Tergugat III Nomor 220 tanggal 15 Mei 1967 dan Nomor 32 tanggal 7 Desember 1987 Notaris di Palembang Darbi, SH, sehingga Tergugat I, II, III tidak berhak terhadap sebidang tanah yang dikuasai oleh mereka sekarang ini, sebagaimana diuraikan pada Akta Jual Beli tanggal 16 Desember 1974 Nomor 229/1974;

5. menyatakan perbuatan Tergugat IV (Turut Tergugat) yang menerbitkan

Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 atas nama Tergugat I adalah tidak mempunyai kekuatan hukum;

6. menyatakan Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 G.S. Nomor 247/1989 atas

nama Tergugat I adalah tidak mempunyai kekuatan hukum;

7. menghukum agar Badan Pertanahan Nasional Cq Kakanwil BPN Propinsi

Sumatera Selatan Cq Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Palembang (Tergugat IV/ Turut Tergugat) melaksanakan dan menaati keputusan ini;

8. menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III atau orang lain yang

mendapatkan hak dari padanya untuk menyerahkan dalam keadaan baik dan kosong sebidang tanah yang dikuasainya bertentangan dengan hukum sebagaimana diuraikan dalam Akta Jual Beli tanggal 16 Desember 1974 Nomor 229/1974 kepada Penggugat-Penggugat, dan seterusnya.

Adapun analisa mengenai perkara ini adalah sebagai berikut:

Dalam fundamentum petendi, para penggugat antara lain mendalilkan bahwa

pada tanggal 13 Desember 1974, Ny. H telah mengajukan permohonan kepada Tergugat IV untuk memperoleh Sertipikat Tanah. Perbuatan Tergugat IV menerbitkan Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 kepada Tergugat I berdasarkan permohonan yang baru diajukan tanggal 12 Desember 1989, tidak sah menurut

hukum. Fundamentum petendi demikian mengarah pada kesalahan prosedural

penerbitan Sertipikat Tanah. Dan dari 11 butir petitum gugatan, petitum 2 (dua)

sampai dengan 8 (delapan) merupakan petitum pokok. Petitum selebihnya merupakan

petitum tambahan. Petitum 5, petitum 6, petitum 7 berkaitan dengan perbuatan dan hasil perbuatan Pejabat Tata Usaha Negara.

Analisa diatas menunjukkan bahwa dalam kasus tersebut terdapat aspek tata

usaha negara, sekalipun secara keseluruhan fundamentum petendi lebih banyak

mempersoalkan aspek keperdataan kepemilikan atas tanah sengketa. Tuntutan berupa batal Akte Pengikatan Jual Beli Nomor 220 tanggal 15 Mei 1987 dan Nomor 32 tanggal 7 Desember 1987 antara Tergugat I dengan Tergugat II dan tergugat III atas tanah sengketa merupakan petitum pokok. Tuntutan batal akta pengikatan jual beli akan berakibat Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 atas nama Tergugat I tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika Petitum perdata demikian dikabulkan, sebenarnya sudah mengikat Tergugat IV tanpa harus menilai, mempersoalkan, dan menyatakan perbuatan Tergugat IV yang notabene Pejabat Tata Usaha Negara tidak mempunyai kekuatan hukum.

Contoh lain mengenai perkara yang tidak dapat diterima karena salah dalam menentukan kualifikasi perkara adalah :

Perkara sengketa tanah di Kompleks Bandara Kemayoran yang telah diputus di Tingkat Kasasi Nomor 140 K/TUN/2003. Dalam pertimbangan hukumnya hakim

antara lain menguraikan bahwa judex factie telah salah menerapkan hukum, meskipun

obyek gugatan adalah surat keputusan tergugat satu (Kepala Badan Pertanahan Nasional) Nomor 24/HPL/DA/87 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Nomor.

1/Gunung Sahari namun di dalam gugatannya penggugat menguraikan fundamentum

petendi mengenai sengketa kepemilikan tanah bekas hak barat eigendom verponding

Nomor 13886 yaitu antara penggugat dan tergugat III intervensi (Sekretariat Negara cq Badan Pengelola Komplek Kemayoran). Hakim majelis menegaskan bahwa untuk menentukan siapa yang paling berhak atas tanah sengketa harus diajukan gugatannya ke peradilan perdata terlebih dahulu.65

Kenyataan bahwa dalam gugatan kerap terjadi gabungan antara aspek perdata dengan aspek tata usaha negara, maka seharusnyalah hakim Perdata maupun hakim

Tata Usaha negara karena jabatannya (ex officio), melalui putusan sela, menyatakan

bahwa tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Jangan membiarkannya sehingga menghasilkan putusan akhir yang rancu dan diluar kewenangan.

Mengenai tuntutan pembatalan sertipikat hak atas tanah pada Peradilan Umum terdapat beberapa yurisprudensi tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia:

65

a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3838 K/Sip/1971 tanggal 3 November 1971 yang isinya :

1. Menyatakan batal surat bukti hak milik yang dikeluarkan oleh instansi agraria

secara sah, tidak termasuk wewenang pengadilan tetapi semata-mata termasuk wewenang administrasi.

2. Pembatalan surat bukti hak harus diminta oleh pihak yang menang di

pengadilan kepada instansi agraria berdasarkan putusan yang diperolehnya.66

b. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 716 K/Sip/1973 tanggal

5 September 1973 yang isinya pengeluaran/pencabutan dan pembatalan surat sertipikat adalah semata-mata wewenang kantor Pendaftaran dan Pengawasan

Pendaftaran Tanah, bukan wewenang Pengadilan Negeri.67

Menurut Z.A. Sangadji bahwa kaidah hukum dalam kedua yurisprudensi diatas tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa peradilan umum tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan pembatalan sertipikat tanah akan tetapi lebih menunjukkan bahwa pembatalan sertipikat tanah adalah wewenang administrasi. Esensi putusan perdata lebih pada aspek kepemilikan hak atas tanah dan tidak mengambil alih wewenang administrasi tersebut dengan kata lain putusan perdata harus menghindari penggunaan amar putusan: menyatakan batal atau membatalkan

sertipikat tanah oleh karena itu putusan perdata adalah amar declaratoir yang

menyatakan sertipikat tidak mempunyai kekuatan hukum, tidak mempunyai kekuatan

66

Z.ASangadji, Op.cit., hal.54

67 Ibid

berlaku atau tidak mempunyai kekuatan mengikat tanpa harus menilai, mempertimbangkan dan memutuskan perbuatan pejabat atau badan tata usaha negara.

Dalam putusan perdata ini yang bersifat declaratoir hanyalah terhadap

tuntutan beraspek Tata Usaha Negara sedangkan untuk tuntutan yang beraspek perdata itu sendiri putusan tersebut dapat bersifat constitutif dan/ atau condemnatoir.

Apabila keputusan constitutif dan/atau condemnatoir ini menyangkut alas hak yang

dipergunakan dalam penerbitan sertipikat maka sudah cukup untuk mengikat Pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan kewenangan administrasinya yaitu pembatalan hak atas tanah.

Sebaliknya putusan Peradilan Tata Usaha Negara sudah pasti menyatakan tidak sah atau batal suatu keputusan Tata Usaha Negara dengan tambahan menghukum pejabat Tata Usaha Negara untuk membatalkan atau mencabut surat keputusan Tata Usaha Negara, sedangkan mengenai hak-hak keperdataannya tergantung pada bukti pemilikan yang ada pada pihak yang menguasainya. Apabila terjadi sengketa terhadap bukti kepemilikan ini maka harus diselesaikan melalui Peradilan Umum.

D. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Menurut sifatnya dikenal 3 macam putusan yaitu:68

1. Putusan declaratoir adalah putusan yang bersifat menerangkan , menegaskan

suatu keadaan hukum semata-mata.

68

2. Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum

atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru.

3. Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman.

Pada umumnya dalam suatu putusan hakim memuat beberapa macam putusan,

atau dengan kata lain merupakan penggabungan antara putusan decralatoir dan

putusan constitutif atau penggabungan antara putusan declaratoir dengan putusan

condemnatoir dan sebagainya .69

Tidak semua putusan yang sudah berkekuatan hukum pasti harus dijalankan, karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat

condemnatoir yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan

suatu perbuatan.70

Sedangkan ketentuan dalam Bab V angka 4 Petunjuk Tekhnis Nomor 06/JUKNIS/D.V/2007 tentang Berperkara di Pengadilan dan Tindak Lanjut Pelaksanaan Putusan Pengadilan bahwa Putusan Pengadilan dalam rangka perkara pertanahan secara administratif dapat ditindaklanjuti pelaksanaannya apabila telah

mempunyai kekuatan hukum tetap yang bersifat menghukum (condemnatoir) dan

bersifat constitutif (menciptakan status hukum baru) sedangkan putusan yang bersifat

declaratoir tidak dapat ditindaklanjuti pelaksanaannya karena hanya bersifat

pernyataan sesuatu yang telah jelas.

69

Ibid, hal 110.

70

Apabila dikaitkan dengan uraian diatas maka putusan perdata dapat dijadikan dasar permohonan pembatalan hak atas tanah apabila didalam putusan tersebut

disamping amar declaratoir terhadap aspek tata usaha negara, terdapat amar yang

bersifat contituitif dan/atau condemnatoir terhadap tuntutan yang beraspek perdata

maka dapat mengikat Badan Pertanahan Nasional sebagai Badan Tata Usaha Negara untuk melaksanakan kewenangan administrasinya.

Dokumen terkait