• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Pembatalan Hak Atas Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Pembatalan Hak Atas Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Medan"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

DEWI PURNAMA JULIANTI

077011012/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(2)

ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN HAK ATAS TANAH

DI KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEWI PURNAMA JULIANTI

077011012/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN HAK ATAS TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Dewi Purnama Julianti

Nomor Pokok : 077011012 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Notaris Syahril Sofyan,SH,MKn) (Dr.T. Keizerina Devi A, SH,CN,MHum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 10 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Notaris Syahril Sofyan SH, MKn

2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, MHum, CN

3. Notaris Chairani Bustami, SH, MKn

(5)

ABSTRAK

Pendaftaran tanah di Indonesia bertujuan untuk menjamin kepastian hukum atas bidang tanah yang telah terdaftar. Sistem pendaftaran tanah yang dianut di Indonesia yaitu sistem negatif bertendensi positif memberikan alat bukti yang kuat bukan mutlak Untuk menganulir kekeliruan yang mungkin terjadi pada proses pendaftaran tanah, disediakan sarana korektif berupa pembatalan hak atas tanah. Pembatalan hak atas tanah pada hakikatnya adalah pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah dan atau sertipikat sehingga tanah tersebut kembali statusnya menjadi tanah negara. Pembatalan hak atas tanah dapat dikarenakan cacat administrasi dalam penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah maupun untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Amar putusan pengadilan yang berisi perintah untuk membatalkan sertipikat hak atas tanah, secara administratif, harus ditindak lanjuti oleh pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dengan mengeluarkan surat keputusan pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang serta merta membatalkan sertipikat hak atas tanah. Namun kenyataannya Badan Pertanahan Nasional, sangat jarang mengeluarkan surat keputusan pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah padahal putusan pengadilan mengenai pembatalan sertipikat relatif banyak.

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu bertujuan untuk menggambarkan serta menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai pembatalan hak atas tanah. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian kepustakaan dengan pendekatan perundang-undangan terurama untuk mengkaji peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pembatalan hak atas tanah. Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan dan analisisnya dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa persoalan pembatalan hak atas tanah terkait dengan masalah kompetensi peradilan disebabkan sulitnya mengidentifikasi yurisdiksi materil gugatan karena biasanya gabungan antara aspek perdata dengan aspek tata usaha negara. Masih terdapat kelemahan dalam peraturan-peraturan pembatalan hak atas tanah yang menjadi kendala dalam penyelesaian permohonan pembatalan hak atas tanah. Kantor Pertanahan Kota Medan relatif baik dalam menangani permohonan pembatalan hak atas tanah pada tahap awal dan telah sesuai dengan tata cara dan prosedur yang telah ditetapkan..

(6)

ABSTRACT

Land registration in Indonesia ia aimed to assure about the land registered of law assurance. It obtaines negative tend to positive system of law giving strong evidence not absolute. Correcting some mistakes that could be happen in it’s process made corrective means available that is land right cancellation. Land Right Cancellation is about the cancellation of it’s Decree and/ or certificate so that the land revert to land state status. It can be caused administration defect in the you know publication of the land right awarding decree as well as to execute the court said. The command that cancel land certificate must be followed by government administratively. In fact, Land National Agency rarely issued the cancellation are much more.

This study is aimed to describe and analyse data. This study used normative law by studying literature of act, particularly to examine the act about land right cancellation. Data collected by literature study and analyzed qualitatively using deductive method.

The conclusion of this study is the matter of land right cancellation about the court competencies that caused of hardly identification of claim material jurisdiction. It is usually merged between civil aspect and administration aspect. There are some weakness in the act of land right cancellation application. Medan City Land Office handles it well in the early steps of it and appropriate with the procedure determined.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Penulis panjatkan yang telah memberi

kemudahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini yang berjudul

“ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN HAK ATAS TANAH DI KANTOR

PERTANAHAN KOTA MEDAN”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam

menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan

ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis

untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister

Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi

Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN, selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

sekaligus pembimbing utama yang dengan penuh perhatian memberi bimbingan

(8)

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program

Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus

pembimbing yang dengan penuh perhatian memberi dorongan, bimbingan, dan

saran kepada penulis;

5. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan perhatian, dukungan dan masukan kepada penulis;

6. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku dosen penguji yang telah

memberikan masukan serta kritik yang membangun kepada penulis;

7. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, selaku dosen penguji yang telah

memberikan masukan serta kritik yang membangun kepada penulis;

8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di Program Studi

Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

9. Kepada yang terhormat dan terkasih kedua orang tuaku H. Abd. Djalil Siregar,

SH dan Hj. Hartaty Harahap sebagai orang tua terbaik yang selalu tulus, sabar

dan tabah dalam segala hal dari dulu, sekarang, esok dan seterusnya menjadi

bagian dalam hidup penulis;

10.Buat keluargaku Abang-Abangku Muhammad Sutan Siregar, SH, Muhammad

Rajamin Siregar, SH, dan Muhammad Pandapotan Siregar, SH, kakak- kakak

iparku Liza Mayanti Hasibuan, SS, Marlina Agustina Harahap, S.Hut, Spd, Sri

Wahyuni Harahap serta keponakan-keponakanku tercinta Alwi, Raihan, Putri,

Naila “Kokong”, Hania, Tasya, terima kasih yang tulus buat doa, semangat dan

(9)

11.Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan 2007 khususnya Kelas A

semoga kekompakan kita terjaga selalu. Temanku Lenny Mutiara Ambarita, Sri

Puspita Dewi terima kasih atas bantuannya sehingga tesis ini dapat selesai. Tak

lupa kuucapkan terima kasih yang setulusnya kepada dosen dan teman-teman

alumni STPN 1999 atas dukungannya terutama Bapak Hasan Basri Nata

Menggala, Seti Kuncoro, Aries “Ences”, Umron Ridho, Aan Rosmana semoga

kita bisa sukses bersama.

Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya

sehingga Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini. Penulis

menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini

dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Agustus 2009

Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Dewi Purnama Julianti

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 3 Februari 1973

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kapt. M.Jamil Lubis No. 12 Medan

II. Keluarga

Nama Ayah : H. Abd. Djalil Siregar, SH

Nama Ibu : Hj. Hartaty Harahap

III. Pendidikan

1. SD Negeri 064037 Medan (1980-1986)

2. SMP Negeri 15 Medan (1986-1989)

3. SMA Negeri 1 Medan (1989-1992)

4. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta (1995-1999)

5. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2002-2005)

6. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana

(11)

DAFTAR ISI

2. Metode Pendekatan Penelitian... 37

3. Sumber Data... 38

4. Alat Pengumpulan Data ... 39

(12)

BAB II KOMPETENSI BADAN PERADILAN DALAM

PEMBATALAN HAK ATAS TANAH... 40

A. Kompetensi Peradilan Umum dalam Gugatan Pembatalan Hak Atas Tanah... 44

B. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Gugatan Pembatalan Hak Atas Tanah ... 48

C. Problematika Kompetensi Peradilan dalam Gugatan Pembatalan Hak Atas Tanah ... 55

D. Pelaksanaan Putusan Pengadilan... 63

BAB III PERATURAN-PERATURAN TENTANG PEMBATALAN HAK ATAS TANAH... 66

A. Kewenangan Pembatalan Hak Atas Tanah ... 68

B. Subjek Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah ... 76

C. Objek Pembatalan Hak Atas Tanah ... 77

D. Syarat-Syarat Permohonan Pembatalan Hak Atas Tanah ... 80

E. Prosedur Permohonan Pembatalan Hak Atas Tanah... 81

BAB IV IMPLEMETASI PERATURAN PEMBATALAN HAK ATAS TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN... 85

A. Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional ... 85

B. Kedudukan Kantor Pertanahan dalam Pembatalan Hak Atas Tanah ... 87

C. Implementasi Peraturan Pembatalan Hak Atas Tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 106

A. Kesimpulan... 106

B. Saran... 108

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

Dalam Menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas

Tanah ... 73

2. Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi bangsa Indonesia bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung

didalamnya harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tanah

sebagai permukaan bumi serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya sangat

dibutuhkan oleh setiap manusia baik sebagai tempat tinggal maupun sebagai sumber

kehidupan, dengan kata lain manusia secara langsung atau tidak langsung selalu

membutuhkan tanah untuk memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan ekonomi, sosial,

budaya dan sebagainya. Akan tetapi tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin

tinggi akan tanah, yang jumlahnya relatif tetap, menimbulkan banyak benturan

kepentingan yang berakibat munculnya permasalahan di bidang pertanahan.

Masalah pertanahan, merupakan suatu masalah strategis yang terkait dengan

faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, maupun budaya, harus segera ditangani karena

bila tidak dilaksanakan secara cepat dan tepat justru akan menempatkan pada posisi

dimana tanah menjadi sumber konflik di tengah masyarakat.

Kondisi yang counter productive inilah yang disadari oleh semua pihak agar

ke depan masalah pertanahan ditangani dan dikelola secara lebih profesional sehingga

apa yang diamanatkan bahwa tanah agar dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi

(15)

aspek manusia dengan tanah adalah hubungan hukum antara manusia dengan tanah

itu sendiri, baik dalam tatanan masyarakat tradisional maupun masyarakat modern.

Hubungan hukum manusia dengan tanah dikonkritkan melalui lembaga hak

atas tanah. Kepastian hukum hak atas tanah merupakan titik tolak bagi penanganan

maupun pengelolaan masalah pertanahan sehingga tanah itu sendiri memiliki nilai

produktif bagi kehidupan masyarakat pemilik tanah.1

Untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum, pemerintah

melakukan kegiatan pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan

diseluruh wilayah Indonesia agar diperoleh administrasi pertanahan yang baik yang

dapat menjadi sumber data yang akurat apabila terjadi permasalahan di bidang

pertanahan.

Namun walaupun tujuan pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian

hukum, akan tetapi di dalam kenyataannya pendaftaran tanah ini hanyalah bersifat

administratif, sementara tentang pembuktian alas hak yang menjadi dasar

permohonan hak dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui akta otentik,

dibawah tangan dan sebagainya. Sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya fakta

lain yang tidak terungkap pada saat proses pendaftarannya. Kemungkinan ini dapat

terjadi karena dalam kenyataannya banyak tanah-tanah yang tidak jelas

kepemilikannya dan penggunaannya seperti terjadinya peralihan secara terus menerus

1

(16)

tanpa melalui instansi yang berwenang, ketidakjelasan tentang penguasaan tanah

(present land tenure) dan penggunaan tanah (present, land use).2

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya sertipikat, yang

merupakan output pendaftaran tanah, terbuka kesempatan untuk memperoleh haknya

kembali dengan menunjukkan bukti-bukti kepemilikan yang sah melalui pengajuan

gugatan ke lembaga peradilan. Gugatan dapat diajukan ke Peradilan Umum atau ke

Peradilan Tata Usaha Negara sesuai dengan materi gugatan dan kompetensi

masing-masing peradilan. Dalam kapasitasnya, peradilan mengeluarkan keputusan mengenai

status hukum terhadap subjek maupun objek bidang tanah yang digugat tersebut.

Apabila pemberian hak atas tanah oleh pejabat yang berwenang dirasa merugikan

maka dalam gugatan dapat diminta untuk dibatalkan, hal ini dimungkinkan karena

sistem pendaftaran tanah yang dianut di Indonesia yaitu sistem negatif bertendensi

positif yang berarti pemegang hak yang sebenarnya dilindungi dari tindakan orang

lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak sebenarnya. Ciri

pokok dari sistem negatif bertendensi positif ini adalah pendaftaran tanah tidak

menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar adalah pemilik sebenarnya. Nama dari

pemegang hak sebelumnya dari mana pemohon hak memperoleh tanah tersebut untuk

kemudian didaftarkan merupakan mata rantai dari perbuatan hukum dalam

pendaftaran hak atas tanah.3

2

Chadijah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahnnya, (Medan: Universitas Sumatera Utara, edisi revisi 2005), hal. 168.

3

(17)

Untuk menganulir kekeliruan yang mungkin terjadi pada proses pendaftaran

tanah, disediakan sarana korektif yaitu melalui proses pembatalan hak atas tanah.

Pembatalan hak atas tanah pada hakikatnya adalah pembatalan surat keputusan

pemberian hak atas tanah dan atau sertipikat yang diterbitkan sebagai bukti yang kuat

sehingga tanah tersebut kembali statusnya menjadi tanah negara. Pembatalan hak atas

tanah dapat dikarenakan cacat administrasi dalam penerbitan surat keputusan

pemberian hak atas tanah maupun untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap.

Salah satu amar putusan pengadilan antara lain berisi perintah untuk

membatalkan sertipikat hak atas tanah dan terhadap putusan in, secara administratif,

harus ditindak lanjuti oleh pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional

dengan mengeluarkan surat keputusan pembatalan surat keputusan pemberian hak

atas tanah yang serta merta membatalkan sertipikat hak atas tanah. Mengenai

kewenangan, tata cara serta prosedur penerbitan surat keputusan pembatalan surat

keputusan pemberian hak atas tanah telah diatur dalam beberapa peraturan tertulis

antara lain yang paling pokok adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan

Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara, Peraturan Menteri Negara

Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara

Pemberian dan Pembatalan Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, serta Petunjuk

Teknis Nomor 08/JUKNIS/D.V/2007 tentang Penyusunan Keputusan Pembatalan

(18)

Namun kenyataannya selama ini pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan

Nasional, sangat jarang mengeluarkan surat keputusan pembatalan surat keputusan

pemberian hak atas tanah padahal putusan pengadilan mengenai pembatalan sertipikat

relatif banyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa putusan

pengadilan Tata Usaha Negara di Kota Medan, yang memutuskan dengan

membatalkan sertipikat adalah cukup banyak, akan tetapi sampai sekarang dari sekian

banyak putusan pengadilan yang memenangkan pihak penggugat di Kota Medan dan

telah diajukan ke Badan Pertanahan Nasional Pusat belum ada satupun keputusan dari

Badan Pertanahan Nasional Pusat yang membatalkan sertipikat.4

Fakta ini sangat menarik karena pengaturan mengenai pembatalan hak atas

tanah sebenarnya telah dideregulasi sebagaimana peraturan-peraturan yang telah

disebutkan diatas, yang secara konseptual teoritis relatif komprehensif dan mudah

untuk dilaksanakan akan tetapi mengapa dalam tataran praktika empirik sulit

direalisasikan. Berdasarkan fakta ini diyakini masih terdapat kendala maupun celah

hukum yang menyebabkan proses penerbitan surat keputusan pembatalan hak atas

tanah tersebut tidak mudah didapatkan dan memakan waktu yang cukup panjang. Hal

inilah yang perlu diteliti dan ditelusuri sehingga nantinya dapat diperoleh gambaran

yang jelas dimana letak titik krusial yang harus diluruskan demi kelancaran proses

pembatalah hak atas tanah tersebut.

4

(19)

B. Perumusan Masalah

Dari uraian tersebut diatas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang

muncul, adapun permalahan tersebut adalah :

1. Bagaimanakah kompetensi badan peradilan terhadap gugatan pembatalan hak atas

tanah?

2. Bagaimanakah peraturan-peraturan tentang pembatalan hak atas tanah yang

berlaku saat ini?

3. Bagaimanakah implementasi peraturan-peraturan tersebut dalam proses

pembatalan hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari perumusan masalah diatas, maka penulisan tesis ini

bertujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui dan memahami kompetensi badan peradilan dalam mengadili

gugatan pembatalan hak atas tanah.

2. Mengetahui dan memahami peraturan-peraturan tentang pembatalan hak atas

tanah yang berlaku saat ini.

3. Mengetahui dan memahami implementasi peraturan-peraturan tersebut dalam

(20)

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah :

1. Secara Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh berbagai pihak yang

membutuhkan sebagai bahan kajian lebih lanjut mengenai proses pembatalan hak

atas tanah yang benar dan sah menurut peraturan perundang-undangan serta

mengetahui kendala-kendala yang terjadi dalam prakteknya selama ini.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi sebagai bahan

pengetahuan di bidang pertanahan umumnya dan pendaftaran tanah khususnya

mengenai proses pembatalan hak atas tanah.

E. Keaslian Penulisan

Setelah dilakukan inventarisasi terutama di kepustakaan Universitas Sumatera

Utara, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan, adapun penelitian terkait

dengan pembatalan sertipikat hak atas tanah adalah yang berjudul : “Pembatalan

Sertipikat Hak Atas Tanah Dan Perlindungan Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik

(Studi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan)”. Penelitian ini dilakukan oleh

Suriyati Tanjung, salah seorang mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana Program Studi

Magister Kenotariatan Unversitas Sumatera Utara tahun 2006, dengan mengangkat 3

(21)

1. Faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan sertipikat hak atas tanah sebagai alat

bukti yang kuat dapat dibatalkan?

2. Bagaimanakah mekanisme pembatalan sertipikat hak atas tanah?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kepentingan pihak ketiga yang

beritikad baik, dalam hal sertipikat hak atas tanah dibatalkan oleh Pengadilan dan

konsekwensi hukumnya?

Apabila ditinjau dari latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan

sebelumnya terlihat perbedaan titik tolak dan sudut pandang antara penelitian

sebelumnya dengan penelitian ini maka pembahasannyapun akan berbeda pula,

dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah. Sehingga diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat saling melengkapi.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa Latin berarti perenungan, yang

pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki

menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas.5

Beberapa defenisi teori dikemukakan oleh para ahli diantaranya :

a. Soetandyo Wignjosoebroto :

“Teori adalah suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan

maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam

pengalaman.”6

5

Otje Salman, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, (Bandung, Refika Aditama, 2007), hal.21.

6

(22)

b. Pred N. Kerlinger :

”Teori adalah seperangkat konstruk (konsep), batasan, dan proposisi, yang

menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci

hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala

itu.”7

“Teori mempunyai beberapa defenisi yang dikemukakan beberapa ahli, namun

bagi semua ahli, teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping

mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja

hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.”8

“Teori berguna untuk mempertajam atau mengkhususkan fakta, berguna dalam

mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep dan

memperkembangkan defenisi, suatu ihktisar hal yang diketahui, kemungkinan

prediksi fakta mendatang, memberi petunjuk terhadap kekurangan.”9

Penelitian hukum normatif menelaah unsur-unsur hukum yang mencakup

unsur idiel dan unsur riel sehingga menghasilkan kaidah-kaidah hukum dan tata

hukum. Oleh karena itu penelitian normatif ini bertitik tolak dari bidang-bidang tata

hukum (tertulis) tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu

terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan diantaranya

perUndang-undangan tertentu.10

7

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal.14.

8

Otje Salman, Anthon F. Susanto, Op.cit, hal.23.

9

http://staf.ui.edu/internal

10

(23)

a. Hak Atas Tanah

Bagi bangsa Indonesia, hubungan manusia/masyarakat dengan tanah

merupakan hal yang sangat mendasar dan asasi yang dijamin dan dilindungi

keberadaannya oleh konstitusi khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan

bahwa: “ Bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal 33 ayat

(3) UUD 1945 ini memberikan dasar bagi lahirnya kewenangan sebagaimana diatur

dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok

Agraria (UUPA) kepada lembaga pemerintah/negara yang bertanggung jawab atas

pertanahan.

Kewenangan yang dimaksud adalah :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) bertujuan untuk :

1. Meletakkan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat

untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan

(24)

2. Meletakkan dasar-dasar kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak

atas tanah bagi rakyat seluruhnya.11

Apabila dicermati maka dalam UUPA tersebut ada 4 (empat) kelompok

kebijaksanaan utama dalam bidang pertanahan, yaitu : 12

1. Tentang kewenangan

2. Tentang Penguasaan Tanah

3. Tentang Penggunaan Tanah

4. Tentang Pengadministrasian Tanah

1. Kewenangan

Pasal 1 sampai Pasal 5 UUPA isinya adalah tentang usaha untuk

mendudukkan atau memberikan kewenangan kepada pemerintah atau negara sebagai

organisasi kekuasaan tertinggi di Indonesia.

Pengertian kewenangan tersebut mencakup:

a. Bahwa Negara menguasai tanah namun tidak memilikinya.

b. Negara berwenang untuk mengatur penguasaan dan penggunaan tanah.

c. Kewenangan Negara untuk mengatur itu harus diarahkan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat.

d. Negara dapat menguasakan pelaksanaannya kepada pihak lain.

11

Penjelasan Undang-undang Nomor5 Tahun 1960 tentang UUPA

12

(25)

2. Penguasaan Tanah

Ketentuan utama dari penguasaan tanah terdapat pada Pasal 2 UUPA

khususnya ayat (3) yaitu agar tanah itu digunakan untuk hal-hal yang mendatangkan

sebesar-besar kemakmuran rakyat, agar orientasi ini tercapai maka diatur juga dalam

beberapa pasal dalam UUPA mengenai penguasaan tanah ini yaitu Pasal

4,7,9,10,11,12,13,17, dan 18 yang mengamanatkan apa yang boleh dan yang tidak

boleh dalam penguasaan tanah.

Amanat tersebut antara lain :

a. Masyarakat dapat menguasai tanah dengan sesuatu hak tertentu.

b. Tidak dibenarkan adanya pemborosan dalam penguasaan tanah, dalam arti

penguasaan tanah itu tidak boleh melebihi keperluan penggunaannya.

c. Pengusaan sepenuhnya (Hak Milik) hanya boleh bagi Warga Negara Indonesia.

d. Penguasaan tanah tidak boleh dipakai untuk keperluan pemerasan.

e. Tata cara penguasaan tanah oleh pelbagai suku/ masyarakat adat akan

diperhatikan dan perhatian juga diberikan bagi penguasa tanah yang tergolong

ekonomi lemah.

f. Usaha di bidang pertanahan didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka

kepentingan nasional.

g. Usaha bersama dalam penguasaan dan pengusahaan tanah boleh dilakukan

Negara dengan pihak lain.

h. Penguasaan secara guntai (absentee) dilarang.

(26)

j. Pemerintah menetapkan batas maksimum dan minimum penguasaan tanah.

k. Hak atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum.

3. Penggunaan Tanah

Kebijaksanaan penggunaan tanah tertuang dalam pasal 2,4,14,15, dan 18 yang

secara ringkas kebijaksanaan tersebut adalah :

a. Tanah harus dipergunakan untuk hal-hal yang bisa mendatangkan sebesar-besar

kemakmuran rakyat.

b. Penggunaan tanah untuk sesuatu peruntukan tidak boleh boros.

c. Pemerintah membuat rencana umum persediaan, peruntukan, dan penggunaan

tanah.

d. Penggunaan tanah tidak boleh sampai mengakibatkan kerusakan pada tanah.

e. Prioritas pembangunan menentukan prioritas penggunaan tanah.

Kebijaksanaan ini menunjukkan bahwa penggunaan tanah tidak dapat terpisah

dengan penguasaannya, dan sebaliknya penguasaan tanah tidak dapat dipisahkan dari

penggunaannya.

4. Administrasi Pertanahan

Pasal 16 dan 19 UUPA melandasi kebijakan di bidang administrasi

pertanahan, yang intinya adalah :

a. Perlu adanya keseragaman hak-hak atas tanah yang dapat dikuasai baik oleh

perorangan, masyarakat, badan hukum, dan instansi pemerintah.

b. Untuk menghindari kericuhan serta terwujudnya kepastian hak, dan kepastian

(27)

Lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menjadi tonggak sejarah

unifikasi hukum pertanahan di Indonesia. Undang-undang Pokok Agraria, yang tidak

lain adalah pengejewantahan cita bangsa yang diamanatkan dalam konstitusi yaitu

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan aturan dasar yang menjadi pegangan semua

pihak dalam menyelesaikan masalah-masalah pertanahan. Akan tetapi

Undang-undang Pokok Agraria tidak mengatur tanah dalam segala aspek dan dimensi tapi

hanyalah mengenai aspek hukum tanah sebagai permukaan bumi yang tidak terlepas

dari aspek penguasaan dan penggunaan yang timbul karenanya.

“Hukum Tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya akan tetapi hanya

mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah.”13

Dalam Undang-undang Pokok Agraria telah ditetapkan tata jenjang atau

hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita yaitu :14

1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas

tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik.

2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek

publik.

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek

perdata dan publik.

4. Hak- Hak Perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas :

13

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 1997), hal.16

14

(28)

a. Hak Hak Atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara

lansung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut

dalam Pasal 16 dan 53;

b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan, Pasal 49;

c. Hak Jaminan Atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal

25,33,39, dan 51.

Hak-Hak Atas Tanah sebagai lembaga hukum telah ditentukan dalam Pasal 16

ayat (1) UUPA yang dibedakan berdasarkan kewenangan yang diberikan pada

masing-masing Hak Atas Tanah yaitu :

1. Hak Milik

2. Hak Guna Usaha

3. Hak Guna Bangunan

4. Hak Pakai

5. Hak Sewa

6. Hak Membuka Tanah

7. Hak Memungut Hasil Hutan

8. Hak-Hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan

ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai

yang disebutkan dalam Pasal 53.

Hak-hak penguasaan atas tanah tersebut diatas meliputi aspek publik dan

perdata yang didalamnya terdapat kewenangan sekaligus kewajiban dan larangan bagi

(29)

Undang-undang Pokok Agraria telah mengakomodir aspek perdata, karena

sejak lahirnya Undang-undang Pokok Agraria maka semua ketentuan mengenai

benda dalam buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam

yang terkandung didalamnya telah dicabut, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai

hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini dengan

mengingat Pasal 57 (diktum memutuskan angka 4).15 Ini berarti bahwa

Undang-undang Pokok Agraria memiliki aspek-aspek perdata karena mengatur beberapa hak

atas tanah yang menjadi objek perbuatan-perbuatan perdata.16

“Hak-hak atas tanah, yang merupakan bagian dari hak-hak perorangan/

individual hanya mengandung aspek perdata saja artinya hanya meliputi hubungan

antara subjek hak baik perorangan maupun badan hukum perdata serta Pemerintah

yang menguasai tanah untuk keperluan memenuhi kebutuhan dan atau melaksanakan

tugasnya masing-masing.”17

“Bagi sarjana hukum objek perhatian hukumnya bukan tanahnya, melainkan

hak-hak dan kewajiban–kewajiban yang berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan

15

Hak-hak kebendaan yang sudah dicabut dalam buku II KUHPerdata, yang diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria, sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, tidak lagi termasuk dalam lapangan keperdataan melainkan menjadi objek dari hukum yang lain yaitu hukum agraria. (Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Perdata, Hukum Benda, (Yogyakarta : Liberty 1981), hal.29

16

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung : Alumni, 1983), hal.32.

17

(30)

dikuasai dalam berbagai bentuknya, meliputi kerangka hukum dan institusionalnya,

pemindahannya serta pengawasannya oleh masyarakat.”18

b. Pendaftaran Tanah

Hak-hak individu yang sifatnya keperdataan, sekalipun sebenarnya pada

awalnya berasal dari hak adat yang bersifat hak bersama semacam hak ulayat, kecil

kemungkinannya kembali menjadi hak-hak yang bersifat komunal, sudah diakui

sebagai hak yang utuh dengan segala kewenangan yang diatur oleh peraturan

perundangan dan konsekuensinya pada sipemilik harus ada jaminan atas pelaksanaan

hak tersebut dan pemanfaatannya sesuai dengan fungsinya serta terjamin status

haknya sesuai dengan nama hak-hak atas tanah sebagaimana di dalam Pasal 16

UUPA yang dijabarkan lebih lanjut eksistensinya dari Pasal 20 hingga 43 UUPA.19

Untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah maka oleh pemerintah

dilaksanakan pendaftaran tanah. Persoalan penyelenggaraan pendaftaran tanah

mengenai tanah-tanah di Indonesia baru mendapat penyelesaian secara prinsipil

dengan diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960, yang menetapkan

Pasal 19 ayat (1) sebagai dasar pelaksanaan pendaftaran tanah yang menyebutkan

untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di

seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah.20

18

Ibid, hal 16. bandingkan dengan Lichfield, Nathaniel and Darim-Drabkin, Haim, Land Policy in Planning, (London : George Allen & Unwin Ltd, 1980), hal 13.

19

Mhd.Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 2008), hal.97

20

(31)

Pengertian pendaftaran tanah menurut Pemerintah Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu:

Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Sedangkan pengertian pendaftaran tanah adalah :

Suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus-menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka menjamin jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk

penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya.21

Berdasarkan pengertian tersebut, pendaftaran tanah dapat dibedakan menjadi

dua yaitu pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran

tanah . Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang

dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum di daftar berdasarkan PP

Nomor 10 Tahun 1961 atau PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Sedangkan pemeliharaan data pendaftaran tanah merupakan kegiatan pendaftaran

tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar

tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat karena adanya

perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.

21

(32)

Jadi kegiatan pendaftaran tanah, meliputi :

1. Bidang Fisik, yaitu pengukuran, pemetaan dan pembukuan yang menghasilkan

peta-peta pendaftaran dan surat ukur.

2. Bidang Yuridis, yaitu pendaftaran hak-hak atas tanah, peralihan hak dan

pendaftaran atau pencatatan dari hak-hak lain ( baik hak atas tanah maupun

jaminan) serta beban-beban lainnya.

c. Tujuan Pendaftaran Tanah

Guna mendukung percepatan kegiatan pendaftaran tanah,22 dikeluarkanlah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang

menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

Adapun tujuan Pendaftaran Tanah menurut pasal 19 UUPA, adalah untuk

memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah . Secara garis besar tujuan

Pendaftaran Tanah dinyatakan dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997, yaitu:

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang

terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang

hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang haknya diberikan

sertipikat sebagai tanda buktinya;

22

(33)

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;

c. Untuk terselenggaranya tata tertib administrasi pertanahan.

Sedang tujuan pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono secara jelas

dinyatakan bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat modern

merupakan tugas Negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah bagi kepentingan

rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.23

d. Sistem Pendaftaran Tanah

“Sistem Pendaftaran Tanah mempermasalahkan apa yang didaftar, bentuk

penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.”24

Menurut Boedi Harsono sistem pendaftaran tanah ada 2 (dua) macam, yaitu sistem

pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak (registration of

title). Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak, setiap

pemberian atau penciptaan hak baru, peralihan serta pembebanannya dengan hak lain,

harus dibuktikan denga suatu akta.

Pada sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftarkan oleh pejabat

pendaftaran tanah. Dalam sistem ini pejabatnya bersifat pasif sehingga ia tidak

melakukan penyelidikan data yang tercantum dalam akta yang didaftar. Maka dalam

23

Ibid.

24

(34)

sistem ini data yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang

bersangkutan. Untuk memperoleh data yuridis yang diperlukan harus melakukan apa

yang disebut “title search” yang dapat memakan waktu lama dan biaya besar.

Pada sistem pendaftaran hak, bukan aktanya yang didaftar, melainkan haknya

yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Akta merupakan sumber

datanya. Untuk pendaftaran hak dan perubahan-perubahan yang terjadi disediakan

suatu daftar isian (register), atau disebut juga buku tanah. Buku tanah ini disimpan di

kantor pertanahan dan terbuka untuk umum. Dalam sistem ini pejabat pendaftaran

tanah bersikap aktif dan sebagai tanda bukti hak diterbitkan sertipikat yang

merupakan salinan register (certificate of title).

e. Stelsel Publikasi dalam Pendaftaran Tanah

Sistem pendaftaran tanah akan mempengaruhi sistem publikasi yang

digunakan pada suatu negara. Untuk itu perlu dibahas juga stelsel publikasi dalam

pendaftaran tanah. Dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah di kenal 2 (dua) stelsel

publikasi, yaitu stelsel publikasi positif dan stelsel publikasi negatif.

a. Stelsel Publikasi Positif

Stelsel publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka harus ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertipikat hak sebagai tanda bukti hak. Pendaftaran atau pencatatan nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah yang membikin orang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, bukan

perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan.25

25

(35)

Maka apa yang tercantum dalam buku tanah dan sertipikat yang dikeluarkan

merupakan alat pembuktian yang mutlak. Pihak ketiga yang mempunyai bukti dan

beritikad baik yang bertindak atas dasar bukti tersebut mendapat perlindungan mutlak

meskipun kemudian keterangan-keterangan yang di dalamnya tidak benar. Dengan

selesainya dilakukan pendaftaran atas nama penerima hak, pemegang hak yang

sebenarnya menjadi kehilangan haknya.26 Pihak ketiga yang merasa dirugikan harus

mendapat ganti rugi (kompensasi) dalam bentuk lain.

Ciri-ciri pokok stelsel ini :27

1. Sistem ini menjamin sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah

tidak dapat dibantah, walaupun ia ternyata bukan pemilik tanah yang sebenarnya.

Jadi sistem ini memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah.

2. Pejabat-pejabat pertanahan dalam sistem ini memainkan peranan yang aktif, yaitu

menyelidiki apakah hak atas tanah yang dipindah itu dapat didaftar atau tidak, dan

menyelidiki identitas para pihak, wewenangnya serta apakah formalitas yang

disyaratkan telah terpenuhi atau belum.

3. Menurut sistem ini, hubungan antara hak dari orang yang namanya tercantum

dalam buku tanah dengan pemberi hak sebelumnya terputus sejak hak tersebut

didaftarkan.

26

Ibid, hal 80.

27

(36)

Kebaikan dari stelsel publikasi positif adalah:28

1. Menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak

dapat dibantah walaupun ia ternyata bukan pemilik yang berhak. Atau kepada

buku tanah diberikan kepercayaan yang mutlak.

2. Pejabat balik nama memainkan peranan yang sangat aktif. Mereka menyelidiki

bahwa hak yang didaftar itu dapat di daftar, apakah formalitas-formalitas yang

diperlukan telah dipenuhi atau tidak, serta identitas para pihak memang orang

yang berwenang.

Sedangkan kelemahan stelsel publikasi positif adalah:29

1. Peranan aktif pejabat-pejabat balik nama akan memakan waktu yang lama.

2. Pemilik yang berhak dapat kehilangan haknya diluar kesalahannya dan diluar

perbuatannya.

3. Apa yang menjadi wewenang pengadilan diletakkan di bawah kekuasaan

administratif.

b. Stelsel Publikasi Negatif

Menurut stelsel ini Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan

dalam sertipikat, oleh karena itu seseorang yang telah tertulis namanya dalam

sertipikat adalah mutlak sebagai pemilik.30 Dalam sistem pubikasi negatif bukan

pendaftaran, tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan

berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak membikin orang yang

28

Mhd.Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Op.cit, hal.173.

29

Ibid. 30

(37)

memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak, menjadi pemegang haknya yang

baru.31

Jadi jaminan perlindungan yang diberikan oleh stelsel publikasi negatif ini

tidak bersifat mutlak seperti halnya stelsel publikasi positif. Selalu ada kemungkinan

adanya gugatan dari pihak lain yang dapat membuktikan bahwa dialah pemegang hak

yang sebenarnya.

Ciri pokok Stelsel Publikasi Negatif

1. Pendaftaran hak atas tanah tidak menjamin bahwa nama yang terdaftar dalam

buku tanah tidak dapat dibantah jika ternyata dikemudian hari diketahui bahwa ia

bukan pemilik sebenarnya. Hak dari mana yang terdaftar ditentukan oleh hak dari

pemberi hak sebelumnya, jadi perolehan hak tersebut merupakan mata rantai

perbuatan hukum dalam pendaftaran hak atas tanah

2. Pejabat pertanahan bersifat pasif, artinya tidak berkewajiban menyelidiki

kebenaran data-data yang diserahkan kepadanya.

Kebaikan dari stelsel publikasi negatif ini yaitu adanya perlindungan kepada

pemegang hak sejati. Pendaftaran tanah juga dapat dilakukan lebih cepat karena

pejabat pertanahan tidak berkewajiban menyelidiki data-data tanah tersebut.

Sedangkan kelemahan dari Stelsel Publikasi Negatif adalah : 32

1. Buku tanah tidak memberikan jaminan yang mutlak.

2. Peranan yang pasif dari pejabat balik nama.

3. Mekanisme yang sulit dan sukar dimengerti oleh orang-orang biasa.

31

Boedi Harsono, Op.cit, hal 80

32

(38)

c. Stelsel Publikasi menurut UUPA

Stelsel publikasi yang digunakan dalam UUPA adalah stelsel negatif yang

mengandung unsur positif karena berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 32 ayat

(3) dan Pasal 38 UUPA akan menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku

sebagai alat pembuktian yang kuat. Kata “kuat” berarti tidak mutlak , sehingga

membawa konsekuensi bahwa segala hal yang tercantum di dalamnya mempunyai

kekuatan hukum dan diterima sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada

pihak lain yang membuktikan sebaliknya dengan alat bukti lain bahwa sertipikat

tersebut tidak benar. Untuk memenuhi unsur positip maka pemerintah sebagai

penyelenggara pendaftaran tanah harus berusaha agar sejauh mungkin dapat disajikan

data yang benar dalam buku tanah dan peta pendaftaran.

Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan

bahwa dalam Peraturan Pemerintah ini tetap mempertahankan sistem publikasi tanah

yang dipergunakan UUPA, yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif.

Unsur positif dalam Peraturan Pemerintah ini tampak jelas dengan adanya upaya

untuk sejauh mungkin memperoleh data yang benar, yaitu dengan diaturnya secara

rinci dan seksama prosedur pengumpulan data yang diperlukan untuk pendaftaran

tanah, pembuatan peta-peta pendaftaran tanah dan surat ukurnya, pembuktian hak,

penyimpanan dan penyajian data dalam buku tanah, penerbitan sertipikat serta

(39)

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menggunakan sistem

pendaftaran hak (registration of titel). Hal ini terlihat dengan adanya buku tanah yang

memuat data fisik dan data yuridis tanah yang bersangkutan dan diterbitkan sertipikat

sebagai tanda bukti hak atas tanah. Ini menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 menggunakan stelsel publikasi negatif yang mengandung

unsur positif. Pengertian negatif disini adalah apabila keterangan di dalam surat

tanda bukti hak itu ternyata tidak benar, maka masih bisa diadakan perubahan dan

dibetulkan. Sedangkan pengertian unsur positif yaitu adanya peran aktif dari pejabat

pertanahan, yaitu sebelum menerbitkan sertipikat dilakukan pengumuman,

menggunakan asas contradictoir delimitatie dalam menetapkan batas-batas tanah dan

menggunakan sistem pendaftaran hak seperti yang dianut oleh negara-negara yang

menganut stelsel publikasi positif.

Biasanya kelemahan stelsel publikasi negatif, oleh negara-negara yang

menganut sistem ini, diatasi dengan menggunakan lembaga acquisitieve verjaring

atau adverse possession, akan tetapi karena UUPA menggunakan dasar hukum adat

maka hukum tanah nasional tidak mengenal lembaga ini, yang dikenal lembaga

rechtsverwerking33 yaitu lampaunya waktu yang menyebabkan orang menjadi

kehilangan haknya atas tanah yang semula dimiliki, kalau tanah yang bersangkutan

selama waktu yang relatif lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai

oleh pihak lain melalui perolehan hak dengan itikad baik.

33

(40)

Rechtsverwerking dirumuskan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 :

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikatnya secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Namun lembaga rechtsverwerking ini pada kasus-kasus konkrit tidak efektif

berlaku karena terdapat sejumlah hal yang tidak jelas yaitu ratio penentuan lampau

waktu 5 (lima) tahun kehilangan hak untuk menggugat dan perhitungan lampau

waktu dimulai sejak sertipikat terbit yang overlapping dengan ketentuan pasal 55

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 mengenai tenggang waktu menggugat untuk

Keputusan Tata Usaha Negara pada umumnya (termasuk Sertipikat Tanah).34

Kenyataan ini dapat dimaklumi karena lembaga rechtsverwerking berasal dari sistem

hukum adat yang bersumber dari hukum yang tidak tertulis, oleh karena itu

keefektifannya tergantung pada hakim sebagai pemutus perkara para pihak yang

bersengketa yang menjadikan tanah yang sudah bersertipikat sebagai objek

perkaranya.35

34

Z.A. Sangadji, Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Gugatan Pembatalan Sertipikat Tanah, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal.39.

35

(41)

f. Sertipikat Hak Atas Tanah

Sebagai hubungan hukum konkret, hak atas tanah dibuktikan dengan

sertipikat hak atas tanah. Dari rangkaian kegiatan pendaftaran tanah, maka setelah

diproses sesuai ketentuan yang berlaku dikeluarkanlah tanda bukti hak atas tanah

yang telah didaftar tersebut yaitu berupa sertipikat. Jadi dapat dikatakan bahwa

sertipikat adalah surat keterangan yang membuktikan hak seseorang atas sebidang

tanah, atau dengan kata lain keadaan tersebut menyatakan bahwa ada seseorang yang

memiliki bidang-bidang tanah tertentu dan pemilikan itu mempunyai bukti yang kuat

berupa surat yang dibuat oleh instansi yang berwenang.36

g. Hapusnya hak atas tanah

Mengenai hapusnya hak atas tanah dirumuskan dalam Pasal 52 ayat (1) PP 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yaitu :

Pendaftaran hapusnya suatu hak atas tanah, hak pengelolaan, dan hak milik atas satuan rumah susun dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan membubuhkan catatan pada buku tanah dan surat ukur serta memusnahkan sertipikat hak yang bersangkutan, berdasarkan:

a. Data dalam buku tanah yang disimpan di Kantor Pertanahan, jika

mengenai hak-hak yang dibatasi masa berlakunya;

b. Salinan surat keputusan pejabat yang berwenang, bahwa hak yang

bersangkutan telah dibatalkan atau dicabut;

c. Akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan

oleh pemegang hakya.

Umumnya masyarakat beranggapan bahwa dengan terdaftarnya nama

seseorang atau badan hukum dalam suatu sertipikat hak atas tanah secara otomatis

mendapat jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk selama-lamanya,

36

(42)

padahal faktualnya tidak demikian.37 Sebagai hubungan hukum konkrit,

diterbitkanlah sertipikat hak atas tanah, sesuai dengan jenis-jenisnya telah ditentukan

dalam UUPA, sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah seseorang atau badan hukum.

Kepemilikan hak atas tanah yang dibuktikan dengan sertipikat tersebut kemungkinan

masih dapat berakhir dengan berbagai sebab. Oleh karena itu maka pembuat

Undang-undang telah memikirkan kemungkinan berakhirnya kepemilikan hak atas tanah bagi

pemegangnya yang dalam terminologi UUPA dikenal dengan hapusnya hak-hak atas

tanah.38

Adapun hapusnya hak atas tanah ini terdiri dari:39

1) Hapusnya hak atas tanah dalam arti luas

Merupakan berakhirnya tanggung- jawab Negara terhadap hak atas tanah

terdaftar di kantor pertanahan dengan atau tanpa kemauan pemegangnya baik

berdasarkan ketetapan konstitutif atau deklaratoir, sesuai dengan Pasal 18,

Pasal 21, Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA yaitu:

a. Karena dicabut untuk kepentingan umum;

b. Karena prinsip nasionalitas;

c. Karena penyerahan atau pelepasan dengan sukarela oleh pemiliknya;

d. Karena ditelantarkan;

37

. Chandra, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Sertipikat Hak Atas Tanah (Studi Kasus: Kepemilikan Hak Atas Tanah Terdaftar yang Berpotensi Hapus di Kota Medan), Medan, Pustaka Bangsa Press, 2006, hal.20.

38 Ibid 39

(43)

e. Karena peralihan hak akibat peristiwa hukum seperti testament dan ab

intestat;

f. Karena peralihan hak akibat perbuatan hukum seperti jual beli, tukar

menukar, hibah dan lain-lain sesuai peraturan perUndang-undangan;

g. Karena tanahnya musnah;

h. Karena jangka waktunya berakhir;

i. Karena syarat tidak dipenuhi oleh pemiliknya.

2) Hapusnya hak atas tanah dalam arti sempit.

Merupakan berakhirnya tanggung jawab Negara terhadap hak atas tanah yang

terdaftar di kantor pertanahan tanpa kemauan pemegangnya baik yang

berdasarkan ketetapan konstitutif ataupun deklaratoir yang oleh kepala kantor

pertanahan dilaksanakan pencatatan di buku tanah dan disurat ukur

bersangkutan, yaitu:

a. Hapusnya hak atas tanah karena dibatalkan berdasarkan putusan

pengadilan;

b. Hapusnya hak atas tanah karena dicabut untuk kepentingan umum;

c. Hapusnya hak atas tanah karena tanahnya musnah akibat bencana alam.

h. Pembatalan hak atas tanah

Seperti telah diuraikan diatas, bahwa sertipikat sebagai tanda bukti hak hanya

bersifat kuat dan bukan mutlak. Hal ini merupakan konsekuensi dari pemilihan stelsel

negatif bertendensi positif dalam UUPA, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan

(44)

merasa haknya terlanggar dengan terbitnya sertipikat tersebut, ke badan peradilan

agar ia dapat memperoleh kembali haknya dengan menujukkan bukti-bukti lain.

Sasaran gugatan antara lain berupa tuntutan pembatalan atau tidak mempunyai

kekuatan mengikat sertipikat tanah, pembatalan atau tidak mempunyai kekuatan

mengikat peralihan atau balik nama sertipikat tanah atau pencabutan sertipikat

tanah.40

Dalam UUPA, pembatalan hak atas tanah merupakan salah satu sebab

hapusnya hak atas tanah tersebut. Apabila telah diterbitkan keputusan pembatalan hak

atas tanah, baik karena adanya cacat hukum administrasi maupun untuk

melaksanakan putusan pengadilan, maka haknya demi hukum hapus dan status

tanahnya menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara.41

Pembatalan hak atas tanah karena mengandung cacat administrasi dapat

dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh pejabat yang

berwenang tanpa permohonan. Cacat administrasi ini meliputi :

a. Kesalahan prosedur

b. Kesalahan penerapan peraturan perUndang-undangan

c. Kesalahan subjek hak

d. Kesalahan objek hak

e. Kesalahan jenis hak

f. Kesalahan perhitungan luas

40

Z.A. Sangadji, Op.cit, hal. 38

41

(45)

g. Terdapat tumpang tindih hak atas tanah

h. Data yuridis atau data fisik tidak benar

i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

Sedangkan pelaksanaan pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus melalui

permohonan yang berkepentingan dengan melampirkan putusan pengadilan.

Dalam ilmu hukum dikenal ajaran mengenai kebatalan yaitu kebatalan mutlak

(absolute nietigheid) dan kebatalan nisbi (relatief nietigheid). Pembedaan kedua jenis

kebatalan ini terkait dengan akibat yang dapat muncul dari hubungan hukum yang

tercipta.42

Pengertian kebatalan mutlak dan kebatalan nisbi adalah sebagai berikut:43

1) Kebatalan mutlak dari suatu perbuatan atau juga disebut dengan batal demi

hukum.

Suatu perbuatan hukum harus dianggap batal meskipun tidak ada pihak yang

mengajukan pembatalan atau tidak perlu dituntut secara tegas. Perjanjian yang

batal demi hukum harus dianggap perjanjian tesebut tidak pernah ada.

Dalam lapangan hukum administrasi, suatu keputusan yang tidak memenuhi

syarat sah keputusan Tata Usaha Negara maka keputusan demikian berakibat

batal dan dianggap keputusan tersebut tidak pernah ada.

42

Hasan Basri Nata Menggala dan Sarjita, Pembatalan dan Kebatalan Hak Atas Tanah, Yogyakarta, Tugujogia Pustaka, 2005, hal.58.

(46)

2) Kebatalan nisbi adalah kebatalan suatu perbuatan yang terjadi setelah

dimintakan pembatalan oleh orang yang berkepentingan.

Kebatalan nisbi mensyaratkan adanya tindakan aktif pihak yang

berkepentingan untuk memohon pembatalan suatu hubungan hukum tertentu.

Kebatalan nisbi dapat dibedakan menjadi:

a. Batal atas kekuatan sendiri (nietig van rechswege), dimana kepada hakim

dimintakan agar menyatakan batal (nietigverklaard).

b. Dapat dibatalkan (vernietigbaar) dimana hakim akan membatalkan, apabila

terbukti suatu perbuatan hukum ditemukan adanya hal-hal yang

menyebabkan kebatalan seperti adanya paksaan, kekeliruan, penipuan dan

lain-lain.

Ajaran kebatalan dalam konteks pemberian hak atas tanah menentukan status

hak penguasaan atas tanah. Apabila permohonan pemberian hak atas tanah

mengandung cacat yuridis yang bersifat subyektif maka sewaktu-waktu peristiwa

yang melahirkan hak tersebut dapat digugat keabsahannya (vernietigbaar). Bilamana

dapat dibuktikan gugatan keabsahan suatu perbuatan hukum tersebut benar maka

hakim akan memutuskan menyatakan batal hubungan hukum yang telah terjadi yang

selanjutnya dapat dijadikan dasar untuk memohon pembatalan surat keputusan

pemberian hak atas tanah dan/ atau sertipikat hak atas tanah.

Mengenai kebatalan mutlak pada dasarnya juga dianut dalam Hukum Tanah

Nasional. Hal ini ditunjukkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996

(47)

dengan menggunakan istilah hapusnya hak karena hukum. Hapusnya hak karena

hukum maka atas tanah tersebut kembali kepada kondisi semula misalnya Hak Guna

Usah menjadi Tanah Negara (Pasal 3 ayat (2) ). Norma yang terkandung dalam Pasal

27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA juga dapat dikatakan sebagai pelaksanaan prinsip

ajaran kebatalan mutlak karena berakibat hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan.

i. Kompetensi Badan Peradilan dalam sengketa tanah

Sertipikat hak atas tanah dikeluarkan pemerintah dalam hal ini Badan

Pertanahan Nasional selaku Badan Tata Usaha Negara ditujukan kepada seseorang

atau badan hukum (konkret, individual) yang menimbulkan akibat hukum pemilikan

atas sebidang tanah yang tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut dari instansi

atasan atau instansi lain (final). Dengan demikian sertipikat hak atas tanah memiliki

sisi ganda, pada satu sisi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan di sisi

lain sebagai Tanda Bukti Hak Keperdataan (kepemilikan) seseorang atau badan

hukum atas tanah.44

Oleh karena itu ada 2 (dua) badan peradilan yang berwenang memeriksa

perkara dengan objek gugatan sertipikat hak atas tanah yaitu Peradilan Umum dan

Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut Putusan Mahkamah Agung tanggal 3 November 1971 Nomor

383/K/Sip/1971, pengadilan tidak berwenang membatalkan sertipikat. Hal tersebut

kewenangan administrasi, yaitu Menteri Negara Agraria / Kepala BPN.45

44

Z.A. Sangadji, Op cit, hal. 36.

45

(48)

Sertipikat merupakan Keputusan Tata Usaha Negara oleh karena itu

keputusan pembatalan sertipikat hak atas tanah harus dilakukan oleh Pejabat Tata

Usaha Negara yang memegang kewenangan administratif. Oleh karena itu putusan

peradilan mengenai pembatalan sertipikat hak atas tanah harus ditindak lanjuti

dengan keputusan pembatalannya oleh Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini

Badan Pertanahan Nasional, melalui permohonan yang berkepentingan.

2. Konsepsi

“Konsep (concept) adalah kata yang menyatakan abstraksi yang

digeneralisasikan gejala-gejala tertentu. Kerangka konsepsional merupakan gambaran

bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti.”46

Dalam penulisan tesis ini sangat perlu dilakukan pemilihan dan penegasan

terhadap perumusan konsep–konsep yang sesuai dan yang akan dipakai, agar tidak

terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian, menafsirkan, dan memahami

maksud dari isi dari setiap pembahasan yang akan dilakukan dalam tesis ini nantinya.

Pengertian Hak Atas Tanah adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(1) UUPA merupakan hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama

dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.

Sertipikat hak atas tanah adalah tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah

46

(49)

yang telah didaftar sebagai alat pembuktian yang kuat. Istilah sertipikat ini sendiri

tidak diuraikan secara eksplisit dalam UUPA, akan tetapi interpretasi otentiknya telah

diberikan dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah yaitu: Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang

termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data

yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

Pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan putusan pemberian hak atas

tanah atau sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat

hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Peraturan Menteri Negara

Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Pasal 1 angka 14).

Keputusan pembatalan hak atas tanah dan atau keputusan pendaftaran hak atas

tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

adalah keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat/badan tata usaha negara yang

berwenang berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang

amarnya secara tegas menyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau

intinya sama dengan itu :

a. Suatu surat keputusan pemberian hak; atau,

b. Suatu hak atas tanah ; atau,

(50)

d. Pendaftaran hak yang meliputi pendaftaran konversi, pendaftaran, peralihan hak,

pendaftaran pemisahan/penggabungan hak. (Petunjuk Teknis Nomor

08/JUKNIS/D.V/2007 tentang Penyusunan Keputusan Pembatalan Surat

Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah/ Pendaftaran/ Sertipikat Hak Atas Tanah.

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini

adalah deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu

individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran

suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala

dengan gejala lain dalam masyarakat.47

Dalam penelitian deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan objek atau

peristiwanya, kemudian menelaah dan menjelaskan serta menganalisa data secara

mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan yang berlaku maupun dari

berbagai pendapat ahli hukum yang ada relevansinya sehingga diperoleh gambaran

tentang keadaan yang sebenarnya yang berhubungan dengan proses pembatalan hak

atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan.

2. Metode Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan penelitian yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini

adalah yuridis normatif, yaitu dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan

47

(51)

dengan maksud tujuan penelitian, meliputi penelitian terhadap asas hukum, sumber-

sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta

dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah

menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dibantu dengan data

yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian.

Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder.

Data sekunder tersebut diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan antara lain

Undang-undang Dasar 1945, Undang-Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah dan sebagainya.

b. Bahan hukun sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa bahan-bahan hukum

primer tersebut, antara lain berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya

tulis ilmiah dan berbagai makalah yang berkaitan.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus umum, kamus bahasa, majalah,

(52)

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah

melalui:

1. Studi dokumen atau kepustakaan, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yang meliputi segala jenis peraturan perundang-undangan

yang terkait dengan masalah yang diteliti.

b. Bahan hukum sekunder yang meliputi pendapat para ahli hukum yang bersumber

pada buku-buku berisi teori atau pendapat para ahli hukum.

2. Studi Lapangan, yaitu wawancara terhadap pejabat di Kantor Pertanahan Kota

Medan untuk memperoleh data mengenai pembatalan hak atas tanah di Kantor

Pertanahan Kota Medan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke

dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data

yang akan digunakan adalah analisis data secara kualitatif yang diolah dengan

menggunakan metode deduktif dan kemudian ditarik kesimpulan dari pembahasan

(53)

BAB II

KOMPETENSI BADAN PERADILAN DALAM PEMBATALAN HAK ATAS TANAH

Pengadilan sebagai tempat terakhir bagi pencari keadilan diharapkan dapat

berfungsi menyelesaikan persengketaan secara adil dan benar tidak terkecuali

sengketa tanah. Terhadap perkara yang diajukan, pengadilan tidak boleh menolak

untuk memeriksa dan mengadili meskipun tidak atau kurang jelas hukumnya karena

hakim dianggap tahu akan hukumnya (Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman).

Salah satu ciri negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial

power) yang merdeka. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilindungi oleh konstitusi

yaitu :

Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 :

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

Gambar

Tabel 1. Kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Dalam Menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah
Tabel 2. Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Dalam Menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas

Referensi

Dokumen terkait

(2) Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh hak tersebut dengan itikad baik dan secara nyata

(2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan

“Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara

Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara

“Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata