BAB II
KEKUATAN SERTIFIKAT SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN HAK ATAS TANAH YANG TERDAFTAR ATAS NAMA SEORANG AHLI WARIS
Berkaitan dengan judul di atas, maka pembahasaan pada bab ini memuat
mengenai tinjauan umum tentang pendaftaran tanah, pengertian sertipikat, sertipikat
hak milik atas tanah, kekuatan sertipikat sebagai alat pembuktian, prosedur
pembatalan hak atas tanah, tinjauan kewarisan islam dan penetapan ahli waris.
Kesemuanya saling berkaitan dengan kasus yang akan dibahas terkait tanah sebagai
objek warisan yang terdaftar atas nama seorang ahli waris.
A. Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah
1. Pengertian Pendaftaran Tanah
Pendaftaran berasal dari katacadastre(bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah
teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai dan
kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin
Capitastrum yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk
pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam artian yang tegas Cadastre adalah
record(rekaman dari lahan-lahan, nilai dari tanah dan pemegang haknya dan untuk
kepentingan perpajakan).45
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor : 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, selanjutnya disebut PP 24/1997, dijelaskan mengenai pengertian
pendaftaran tanah, yaitu: Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara
45
terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam
bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah
ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.
Data fisik menurut Pasal 1 angka 6 PP 24/1997 adalah keterangan mengenai
letak, batas dan luas bidang dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk
keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Sedangkan
Data yuridis menurut Pasal 1 angka 7 PP 24/1997 adalah keterangan mengenai status
hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan
hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.
Berdasarkan pengertian di atas pendaftaran tanah merupakan tugas negara
yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk kepentingan rakyat dalam rangka
menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan. Sedangkan penyelenggaraan
pendaftaran tanah meliputi :
a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan yang menghasilkan peta-peta
pendaftaran dan surat ukur, dari peta dan pendaftaran surat ukur dapat
diperoleh kepastian luas dan batas tanah yang bersangkutan;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut termasuk
tanah maupun jaminan) serta beban-beban lainnya yang membebani hak-hak
atas tanah yang didaftarkan itu;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang menurut Pasal 19 ayat (2) huruf c
UUPA berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Mengenai Sertipikat hak atas tanah tentunya tidak akan terlepas dari bahasan
mengenai pendaftaran tanah, karena Sertipikat hak atas tanah merupakan hasil dari
kegiatan pendaftaran yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum hak atas
tanah.
2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah
Dasar hukum pendaftaran tanah sebagai jaminan kepastian hukum mengenai
hak atas tanah tercantum dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA, yang berbunyi :
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.”
Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu
instruksi agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang sifatnya
recht kadasterartinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Sedangkan untuk
mewujudkan kepastian hukum diperlukan pelaksanaan dari hukum itu sendiri.
Untuk melaksanakan pendaftaran tanah tersebut maka dibuat aturan
pelaksanaanya, yaitu dengan PP No.10 Tahun 1961 dan disempurnakan dengan PP
operasional teknisnya, yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 dan peraturan lainya.
Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menghasilkan
sertipikat tanah sebagai tanda bukti hak yang kuat, telah mengalami penyempurnaan
dari yang semula merupakan sertipikat tanpa gambar bidang tanah. Sertipikat tanah
kemudian dilengkapi dengan Gambar Situasi dan terakhir disempurnakan menjadi
Surat Ukur yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Penyempurnaan ini antara
lain dimaksudkan untuk memperoleh letak tepat dan batas-batas bidang tanah yang
pasti dan dipetakan dalam peta pendaftaran tanah.
Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan
perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk mencapai tertib
administrasi tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk
peralihan, pembebanan dan hapusnya wajib didaftar.46 3. Tujuan Pendaftaran Tanah
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan peraturan dasar yang
mengatur penguasaan, pemilikan, peruntukan, penggunaan dan pengendalian
pemanfaatan tanah yang bertujuan terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan
tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Salah satu aspek yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut adalah mengenai
kepastian hak atas tanah, yang menjadi dasar utama dalam rangka kepastian hukum
pemilikan tanah. Pasal 19 ayat (1) UUPA menyebutkan tujuan utama pendaftaran
tanah adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Secara garis besar tujuan
pendaftaran tanah dinyatakan dalam Pasal 3 PP 24/1997, yaitu:47
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain
yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang haknya
diberikan Sertipikat sebagai tanda buktinya;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Tujuan pendaftaran tanah yang tercantum pada huruf a merupakan tujuan
utama pendaftaran tanah yang diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA. Disamping itu
terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk tercapainya pusat
informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah dapat dengan mudah memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah terdaftar. Dengan demikian terselenggaranya pendaftaran
47Irawan, Soerodjo,Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya 2003,
tanah yang baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang
pertanahan.
4. Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan apa yang didaftar, bentuk
penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.
Menurut Boedi Harsono sistem pendaftaran tanah ada 2 (dua) macam, yaitu sistem
pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak (registration of
title).
Pada sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftarkan oleh pejabat
pendaftaran tanah. Dalam sistem ini pejabatnya bersifat pasif sehingga ia tidak
melakukan penyelidikan data yang tercantum dalam akta yang didaftar. Tiap kali
terjadi perubahan wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Maka dalam sistem ini data
yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan. Untuk
memperoleh data yuridis yang diperlukan harus melakukan apa yang disebut
“titlesearch”yang dapat memakan waktu lama dan biaya.
Pada sistem pendaftaran hak, bukan aktanya yang didaftar, melainkan haknya
yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Akta merupakan sumber
datanya. Untuk pendaftaran hak dan perubahan-perubahan yang terjadi disediakan
suatu daftar isian (register), atau disebut juga buku tanah. Buku tanah ini disimpan di
kantor pertanahan dan terbuka untuk umum. Dalam sistem ini pejabat pendaftaran
tanah bersikap aktif dan sebagai tanda bukti hak diterbitkan Sertipikat yang
Sistem pendaftaran tanah yang digunakan di Indonesia adalah sistem
pendaftaran hak (registration of titles), bukan sistem pendaftaran akta, hak tersebut
tanpak dengan adanya buku Tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan
data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat
tanda bukti hak yang didaftar.
Sistem pendaftaran tanah akan mempengaruhi sistem publikasi yang
digunakan pada suatu negara. Untuk itu perlu juga dibahas tentang sistem publikasi
dalam pendaftaran tanah. Sistem pendaftaran tanah tergantung pada asas hukum yang
dianut oleh suatu negara dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Dikenal ada 2 (dua)
macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asasnemo plus yuris.
Asas itikad baik berarti orang yang memperoleh hak dengan itikad baik akan
tetap menjadi pemegang yang sah menurut hukum. Jadi asas ini bertujuan untuk
melindungi orang yang beritikad baik, sehingga diperlukan daftar umum yang
mempunyai kekuatan bukti. Sistem pendaftaran tanahnya disebut sistem positif.
Asasnemo plus yurisartinya orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak
yang ada padanya. Jadi pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal.
Asas ini bertujuan untuk melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Ia selalu dapat
menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama orang lain. Sistem pendaftaran
tanahnya disebut sistem negatif.
Dengan adanya pendaftaran tanah diharapkan seseorang akan merasa aman
tidak ada gangguan atas hak yang dipunyainya. Jaminan kepastian hukum terhadap
melaksanakan pendaftaran tanah. Adapun sistem publikasi dalam pendaftaran tanah
itu antara lain :
a. Sistem Publikasi Positif
Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka
harus ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data
yuridis dan Sertipikat hak sebagai surat tanda bukti hak. Maka apa yang tercantum
dalam buku tanah dan Sertipikat yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang
mutlak.
Pihak ketiga yang mempunyai bukti dan beritikad baik yang bertindak atas
dasar bukti tersebut mendapat perlindungan mutlak meskipun kemudian keterangan
keterangan yang tercantum di dalamnya tidak benar. Pihak ketiga yang merasa
dirugikan harus mendapat ganti rugi (kompensasi) dalam bentuk lain. Ciri-ciri pokok
sistem ini adalah :
1) Sistem ini menjamin sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah
tidak dapat dibantah, walaupun ia ternyata bukan pemilik tanah yang
sebenarnya. Jadi sistem ini memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku
tanah.
2) Pejabat-pejabat pertanahan dalam sistem ini memainkan peranan yang aktif,
yaitu menyelidiki apakah hak atas tanah yang dipindah itu dapat didaftar atau
tidak, dan menyelidiki identitas para pihak, wewenangnya serta apakah
3) Menurut sistem ini, hubungan antara hak dari orang yang namanya tercantum
dalam buku tanah denganpemberi hak sebelumnya terputus sejak hak tersebut
didaftarkan.48
Kebaikan dari sistem positif adalah :
1) Adanya kepastian dari buku tanah, sehingga mendorong orang untuk
mendaftarkan tanahnya.
2) Pejabat pertanahan melakukan peran aktif dalam melaksanakan tugasnya.
3) Mekanisme kerja dalam penerbitan Sertipikat tanah mudah dimengerti oleh
orang awam.
Sedangkan kelemahan dari sistem positif adalah :
1) Adanya peran aktif para pejabat pertanahan mengakibatkan diperlukannya
jumlah petugas yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama dalam proses
pendaftaran tanah.
2) Pemilik yang sebenarnya berhak atas tanah akan kehilangan haknya oleh
karena kepastian dari buku tanah itu sendiri.
3) Dalam penyelesaian persoalan maka segala hal yang seharusnya menjadi
wewenang pengadilan ditempatkan di bawah kekuasaan administratif.49 b. Sistem Publikasi Negatif
Menurut sistem ini surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat, berarti keterangan-keterangan yang tercantum didalamnya mempunyai
48Bachtiar, Effendie, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya
Alumni, Bandung, 1993, Hal. 32
kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar selama tidak ada
alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.50
Jadi, jaminan perlindungan yang diberikan oleh sistem publikasi negatif ini
tidak bersifat mutlak seperti pada sistem publikasi positif. Selalu ada kemungkinan
adanya gugatan dari pihak lain yang dapat membuktikan bahwa dialah pemegang hak
yang sebenarnya. Ciri pokok sistem ini adalah :
1) Pendaftaran hak atas tanah tidak menjamin bahwa nama yang terdaftar dalam
buku tanah tidak dapat dibantah jika ternyata di kemudian hari diketahui
bahwa ia bukan pemilik sebenarnya. Hak dari nama yang terdaftar ditentukan
oleh hak dari pemberi hak sebelumnya, jadi perolehan hak tersebut merupakan
mata rantai perbuatan hukum dalam pendaftaran hak atas tanah.
2) Pejabat pertanahan berperan pasif, artinya ia tidak berkewajiban menyelidiki
kebenaran data-data yang diserahkan kepadanya.
Kebaikan dari sistem negatif ini yaitu adanya perlindungan kepada pemegang
hak sejati. Pendaftaran tanah juga dapat dilakukan lebih cepat karena pejabat
pertanahan tidak berkewajiban menyelidiki data-data tanah tersebut. Sedangkan
kelemahan dari sistem negatif adalah :
1) Peran pasif dari pejabat pertanahan dapat menyebabkan tumpang tindihnya
Sertipikat tanah.
50Effendi Perangin,Hukum Agraria Di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi
2) Mekanisme kerja dalam proses penerbitan Sertipikat sedemikian rumit
sehingga kurang dimengerti orang awam.
3) Buku tanah dan segala surat pendaftaran kurang memberikan kepastian
hukum karena surat tersebut masih dapat dikalahkan oleh alat bukti lain,
sehingga mereka yang namanya terdaftar dalam buku tanah bukan merupakan
jaminan sebagai pemiliknya.51
Kelemahan sistem ini oleh negara-negara yang menggunakannya diatasi
dengan lembaga “acquisitive verjaring”. Sistem publikasi yang dipakai dalam UUPA
adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat
tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, berdasarkan Pasal
19 ayat (2) huruf c, Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 UUPA.
Kata “kuat” berarti tidak mutlak, sehingga membawa konsekwensi bahwa
segala hal yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan diterima
sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada pihak lain yang membuktikan
sebaliknya dengan alat bukti lain bahwa Sertipikat tersebut tidak benar. Penjelasan
Umum PP 24/1997 menyatakan bahwa dalam PP ini tetap mempertahankan
sistempublikasi tanah yang dipergunakan UUPA, yaitu sistem negatif yang
mengandung unsur positif.
Unsur positif dalam Peraturan Pemerintah ini tampak jelas dengan adanya
upaya untuk sejauh mugkin memperoleh data yang benar, yaitu dengan diaturnya
secara rinci dan saksama prosedur pengumpulan data yang diperlukan untuk
pendaftaran tanah, pembuatan peta-peta pendaftaran tanah dan surat ukurnya,
pembuktian hak, penyimpanan dan penyajian data dalam buku tanah, penerbitan
Sertipikat serta pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.
Menurut Boedi Harsono, PP 24/1997 menggunakan sistem pendaftaran hak
(registration of title). Hal ini terlihat dengan adanya buku tanah yang memuat data
fisik dan data yuridis tanah yang bersangkutan dan diterbitkannya Sertipikat sebagai
tanda bukti hak atas tanah. Umumnya sistem pendaftaran hak digunakan apabila
sistem publikasi yang digunakan adalah sistem publikasi positif. Ini menunjukkan
bahwa PP 24/1997 menggunakan sistem publikasi negatif yang mengandung unsur
positif. Pengertian negatif disini adalah apabila keterangan dalam surat tanda bukti
hak itu ternyata tidak benar, maka masih dapat diadakan perubahan dan dibetulkan.
B. Kekuatan Sertipikat Sebagai Alat Pembuktian Hak Atas Tanah Yang Terdaftar Atas Nama Seorang Ahli Waris
1. Pengertian Sertipikat
Berdasarkan pengertian pada Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak
pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan
yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
Adapun yang dimaksud Pasal 19 ayat (2) huruf c pada Undang- Undang
Pokok Agraria dalam pengertian sertipikat, yaitu pemberian surat tanda bukti hak
yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan yuridis tersebut sesuai dengan
data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, dikatakan
demikian karena selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenaranya,
maka keterangan yang ada dalam sertipikat harus dianggap benar dengan tidak perlu
bukti tambahan, sedangkan alat bukti lain tersebut hanya dianggap sebagai alat bukti
permulaan dan harus dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya.
Jadi sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang merupakan alat
pembuktian yang kuat mengenai macam hak, subyek hak maupun tanahnya.
Penerbitan sertipikat dan diberikan kepada yang berhak dimaksudkan agar pemegang
hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Sedangkan fungsi sertipikat adalah
sebagai alat pembuktian kepemilikan hak atas tanah.
2. Fungsi Sertipikat Tanah
Sertipikat memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya, dari sekian fungsi yang
ada, dapat dikatakan bahwa fungsi utama dari sertipikat adalah sebagai alat bukti
yang kuat, demikian dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, karena itu,
siapapun dapat dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah
bila telah jelas namanya tercantum dalam sertipikat itu. Selanjutnya dapat
membuktikan mengenai keadaan-keadaan dari tanahnya itu misalnya luasnya,
batas-batasnya, ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang tanah dimaksud.
Apabila di kemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak
kepemilikan / penguasaan atas tanah, maka semua keterangan yang dimuat dalam
karenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benar,
sepanjang tidak ada bukti lain yang mengingkarinya membuktikan sebaliknya. Tetapi
jika ternyata ada kesalahan di dalamnya, maka diadakanlah perubahan / pembetulan
seperlunya. Dalam hal ini yang berhak melakukan pembetulan bukanlah pengadilan
melainkan instansi yang menerbitkannya yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN)
dengan jalan pihak yang dirugikan mengajukan permohonan perubahan sertipikat
dengan melampirkan surat keputusan pengadilan yang menyatakan tentang adanya
kesalahan dimaksud.
Selain fungsi utama tersebut di atas, sertipikat memiliki banyak fungsi lainnya
yang sifatnya subjektif tergantung daripada pemiliknya. Sebut saja, misalnya jika
pemiliknya adalah pengusaha, maka sertipikat tersebut menjadi sesuatu yang sangat
berarti ketika ia memerlukan sumber pembiayaan dari bank karena sertipikat dapat
dijadikan sebagai jaminan untuk pemberian fasilitas pinjaman untuk menunjang
usahanya. Demikian juga contoh-contoh lainnya masih banyak yang kita bisa
sebutkan sebagai kegunaan dari adanya sertipikat tersebut. Yang jelas bahwa
sertipikat hak atas tanah itu akan memberikan rasa aman dan tenteram bagi
pemiliknya karena segala sesuatunya mudah diketahui dan sifatnya pasti serta dapat
dipertanggung jawabkan secara hukum.
3. Kekuatan Hukum Sertipikat Hak atas Tanah sebagai Alat Pembuktian Yang Kuat
Dalam Pasal 1 angka 20 PP 24/1997 yang dimaksud Sertipikat adalah : “surat
hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan
hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan.”
Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menguraikan bahwa, “Pendaftaran
tanah diakhiri dengan pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat”. Ketentuan mengenai pendaftaran tanah diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 3 huruf a PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah menyebutkan bahwa, “Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain
yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak
yang bersangkutan, kepada yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah”.
Buku Tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis
dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya. (Pasal 1 angka
19 PP 24/1997).
Menurut Ali Achmad Chomsah, yang dimaksud dengan Sertipikat adalah:52 “surat tanda bukti hak yang terdiri salinan buku tanah dan surat ukur, diberi sampul,
dijilid menjadi satu, yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala
52Ali Achmad Chomzah,Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I-Pemberian Hak Atas
Badan Pertanahan Nasional.”Surat Ukur adalah dokumen yang memuat data fisik
suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian. (Pasal 1 angka 17 PP 24/1997)
Peta Pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang atau
bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah. (pasal 1 angka 15 PP 24/1997).
Sertipikat diberikan bagi tanah yang sudah ada surat ukurnya ataupun
tanah-tanah yang sudah diselenggarakan Pengukuran Desa demi Desa, karenanya Sertipikat
merupakan pembuktian yang kuat, baik subyek maupun obyek ilmu hak atas tanah.
Menurut Bachtiar Effendie, Sertipikat tanah adalah : “salinan dari buku tanah
dan salinan dari surat ukur yang keduanya kemudian dijilid menjadi satu serta diberi
sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara”53
Mengenai jenis Sertipikat Achmad Chomsah berpendapat bahwa sampai saat
ini ada 3 jenis Sertipikat, yaitu :54
a. Sertipikat hak atas tanah yang biasa disebut Sertipikat.
b. Sertipikat hak atas tanah yang sebelum Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan dikenal dengan Sertipikat Hypotheek dan Sertipikat
Credietverband. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan, penyebutan Sertipikat hyphoteek dan Sertipikat
credietverband sudah tidak dipergunakan lagi yang ada penyebutannya adalah
Sertipikat Hak Tanggungan saja.
c. Sertipikat hak milik atas satuan rumah susun.
Sedangkan menurut PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
ada beberapa jenis yaitu :
a. Sertipikat Hak Milik
b. Sertipikat Hak Guna Usaha
c. Sertipikat Hak Guna Bangunan
d. Sertipikat Hak Pakai
e. Sertipikat Hak Pengelolaan
f. Sertipikat Tanah Wakaf
g. Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
h. Sertipikat Hak Tanggungan
Sedangkan hak-hak yang tidak diterbitkan sertipikatnya sebagaimana hak atas
tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 UUPA adalah:
a. Hak Sewa
b. Hak membuka tanah
c. Hak memungut hasil tanah
Sertipikat sebagai surat tanda bukti hak akan bersifat mutlak apabila
memenuhi seluruh unsur yaitu sebagai berikut:
a. Sertipikat diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum
b. Tanah diperoleh dengan itikad baik
c. Tanah dikerjakan secara nyata
d. Dalam waktu 5 tahun diterbitkanya sertipikat tersebut tidak ada yang
Kantor Pertanahan Kota Medan maupun tidak mengajukan gugatan ke
pengadilan mengenai penguasaan atau penerbitan sertipikat.55
Sebagai tanda jaminan hukum yang diberikan oleh pemerintah atas tanah,
maka Pemerintah memberikan surat tanda bukti hak atas sebidang tanah. Surat Tanda
Bukti Hak ini dinamakan Sertifikat dan berlaku sebagau alat pembuktian yang kuat,
artinya bahwa keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum
dan harus diterima oleh Hakim, sebagai keterangan yang benar, sepanjang tidak ada
alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria sebagai landasan hukum bidang
pertanahan di Indonesia, Pasal 19 ayat (2) sub. C disebutkan, sertipikat sebagai alat
pembuktian yang kuat. Pengertian dari sertipikat sebagai alat pembuktian yang kuat
adalah bahwa data fisik dan data yuridis yang sesuai dengan data yang tertera dalam
Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan harus dianggap sebagai data yang
benar kecuali dibuktikan sebaliknya oleh Pengadilan.
Sehingga selama tidak bisa dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis
yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam
melakukan perbuatan hukum sehari-hari, maupun dalam berperkara di pengadilan,
sehingga data yang tercantum benar-benar harus sesuai dengan surat ukur yang
bersangkutan, karena data yang diambil berasal dari surat ukur dan buku tanah
tersebut.
55
Hal ini lebih diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 dalam ketentuan Pasal 32 yang menyebutkan bahwa :
a. Ayat (1) :
“sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam Surat Ukur dan Buku Tanah hak yang bersangkutan”;
b. Ayat (2) :
“Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut”.
Ketentuan Pasal 32 tersebut adalah dalam rangka memberikan jaminan
kepastian hukum di bidang pertanahan menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya
sungguhpun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif.56 Khususnya pada ayat (2) Pasal 32 tersebut bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah
bersertipikat atas nama seseorang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun
sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak menuntut/mengajukan gugatan pada
pengadilan mengenai penguasaan hak atas atau penerbitan sertipikat tersebut.
Jadi sertipikat hak atas tanah adalah salinan buku tanah dan surat ukur
tersebut kemudian dijilid menjadi satu dengan sampul yang telah ditetapkan
56 Boedi harsono, hukum agraria indonesia: sejarah pembentukan undang-undang pokok
bentuknya, sehingga terciptalah sertipikat hak atas tanah. Buku tanah itu merupakan
lembaran-lembaran daftar isian, yang berisi dan merupakan surat - surat bukti
mengenai:
a. Macam-macam hak atas tanah yang dibukukan;
b. Subjek yang mempunyainya;
c. Tanah mana yang dihaki (menunjuk pada surat ukurnya atau gambar
situasinya);
d. Hak-hak lain yang membebaninya.
Sertipikat tersebut merupakan produk dari kegiatan tanah. Pendaftaran tanah
tersebut menurut pasal 1 PP 20 Tahun 1997 diartikan sebagai bidang-bidang tanah
dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.” Kata-kata
“rangkaian kegiatan” menunjuk adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan
pendaftaran tanah. Kata-kata “terus menerus” menunjuk kepada pelaksanaan
kegiatan, bahwa sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Kata “teratur” menunjukkan,
bahwa semua kegiatan harus berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan
yang sesuai.
Hasil dari proses pendaftaran tanah tersebut, kepada para pemegang hak atas
tanah yang didaftar diberikan surat tanda bukti hak yang disebut dengan “Sertipikat”.
yang memuat data yuridis dan data fisik obyek yang didaftar, untuk hak
masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah.
Data yuridis diambil dari buku tanah, sedangkan data fisik diambil dari surat
ukur, dengan tetap dipergunakannya sistem publikasi negatip yang mengandung
unsur positip dalam kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia, maka surat tanda bukti
hak (sertipikat) berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Seperti dinyatakan dalam
Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2)
UUPA. Artinya, bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data
yuridis yang tercantum di dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar,
baik melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam perkara di Pengadilan.
C. Prosedur Pembatalan Hak Atas Tanah Akibat Putusan Pengadilan.
1. Pengertian dan Dasar Hukum Pembatalan Hak Atas Tanah
Kepemilikan sertipikat hak atas tanah dapat dibatalkan jika keputusan tersebut
mengandung cacat hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pengertian pembatalan hak atas tanah rumusan yang lengkap ada pada Pasal 1
angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, yaitu: “Pembatalan keputusan
mengenai pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung
cacat hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah
Sertipikat cacat hukum adalah penerbitan sertipikat yang keliru pada saat
penerbitannya. Sertipikat cacat hukum antara lain sertipikat palsu, sertipikat asli tapi
palsu dan sertipikat ganda. Sertipikat disebut sertipikat palsu, apabila57 a. Data pembuatan sertipikat adalah palsu atau dipalsukan;
b. Tanda tangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dipalsukan;
c. Blanko yang dipergunakan untuk mem-buat sertipikatnya merupakan blanko
yang palsu/ bukan blanko yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Cacat hukum administrasi dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah sebagai
penyebab pembatalan menurut PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999 Pasal 107 meliputi:
Kesalahan prosedur, Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan, kesalahan
subyek hak, kesalahan obyek hak, kesalahan jenis hak, kesalahan perhitungan luas,
kesalahan jenis tanah, terdapat tumpang tindih hak atas tanah, data yuridis dan data
fisik tidak benar, dan kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.
Pembatalan hak atas tanah melaksanakan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap hanya dapat diterbitkan berdasarkan permohonan pemohon,
hal ini ditegaskan dalam Pasal 124 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, selanjutnya dalam ayat
(2), Putusan Pengadilan dimaksud bunyi amarnya, meliputi dinyatakan batal atau
tidak mempunyai kekuatan hukum atau intinya sama dengan itu.
57
Kewenangan untuk melakukan pembatalan terhadap sertipikat hak atas tanah
termasuk juga pembatalan sertipikat hak milik atas tanah adalah berada pada Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 73 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia No. 3 Tahun 2011, yang menetapkan “Pemutusan hubungan hukum atau
pembatalan hak atas tanah atau pembatalan data pemeliharaan data pendaftaran tanah
dilaksanakan oleh Kepala BPN RI”.
Pasal 124 PMNA/ KBPN Nomor 9 Tahun 1999 berbunyi “keputusan
pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas permohonan yang
berkepentingan”. Secara umum dapat disimpulkan bahwa piha yang berkepentingan
tersebut adalah orang pribadi atau badan hukum yang mempunyai hubungan hukum
dan kepentingan terhadap hak atas tanah tersebut yang merupakan pihak yang
berpekara di peradilan, baik penggugat maupun tergugat.
2. Objek dan Permohonan Pembatalan Hak Atas Tanah
Secara khusus objek pembatalan hak atas tanah sebagai tindak lanjut
pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam bab V petunjuk teknis nomor
06/JUKNIS/D.V/2007 tentang berpekara di pengadilan dan tindak lanjut pelaksaan
putusan pengadilan yang meliputi;
a. Pembatalan hak atas tanah dan atau pembatalan akibat pencabutan surat
keputusan penetapan hak atas tanah
c. Pembatalan sertipikat hak atas tanah dan atau
d. Pembatalan pendaftaran peralihan hak
e. Pembatalan pendaftaran peralihan hak tanggungan
f. Pembatalan pendaftaran hak tanggungan
g. Pembatalan terhadap surat keputusan pembatalan sebagaimana tersebut pada
angka 1 sampai dengan angka 6 diatas.
Pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan tetap harus dilakukan berdasaran permohonan pihak yang
berkepentingan. Permohonan pembatalan hak atas tanah tersebut dapat diajukan
langsung kepada menteri atau kepala kantor wilayah provinsi atau dapat juga
diajukan melalui kepala kantor pertanahan kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam
pasal 125 PMNA/KBPN nomor 9 tahun 1999. Permohonan diajukan secara tertullis
yang memuat:
a. Keterangan mengenai diri pemohon
1) Apabila perseorangan; nama , umur, kewarganegaraan, tempat tinggal,
dan pekerjaan (melampirkan foto copy bukti identitas, surat bukti
kewarganegaraan).
2) Apabila badan hukum; nama,tempat kedudukan, akta atau peraturan
pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku (melampirkan foto copy atau peraturan pendiriannya).
1) Memuat nomor dan jenis hak atas tanah melampirkan fotocopy surat
keputusan dan surat keputusanya)
2) Letak, batas-batas, dan luas tanahnya dengan menyebutkan tanggal dan
nomor surat ukur atau gambar situasi jika ada.
3) Jenis penggunaan tanahnya (pertanian/non pertanian)
c. Alasan permohonan pembatalan disertai keterangan lain sebagai data
pendukung anatara lain;
1) Foto copy putusan pengadilan dari tingkat pertama sampai dengan
putusan terakhir.
2) Berita acara eksekusi, apabila perkara perdata dan pidana
3) Surat surat lain yang berkitan dengan permohonan pembatalan
Setelah memenuhi persyaratan permohonan, selanjutnya diajukan kepada
pejabat berwenang dalam hal ini dapat diajukan langsung ke menteri atau kepala
kantor wilayah provinsi dan atau melalui kepala kantor pertanahan kota/kabupaten
3. Prosedur permohonan pembatalan hak atas tanah
Tata cara pembatalan hak atas tanah diatur dalam pasal 127 sampai dengan
133 PMNA/KBPN nomor 9 tahun 1999 yaitu;
a. Apabila permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan melalui kantor
pertanahan sebagai berikut
b. Memeriksa dan meneliti kelengkapan berkas permohonan baik data yuridis
dan data fisik
d. Memerikan tanda terima berkas perrmohonan dan
e. Memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan data
fisik jika masih diperlukan.
f. Melakukan verifikasi terhadap data yuridis dan data fisik permohonan dengan
cara mencocokan hak atas tanah dengan amar putusan pengadilan dengan data
yuridis yang terakhir sebelum diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
g. Menyampaikan berkas permohonn pembatalan hak atas tanah kepada menteri
disertai pertimbangan dan keterangan apabila terdeata perbedaan antara data
yuridis dan data fisik dengan putusan pengadilan.
Setelah berkas permohonan sampai dikantor menteri, maka menteri
memerintahkan pejabat yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan sebagai berikut;
a. Mencatat dalam formula isian yang telah ditentukan .
b. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik dana apabila
belum lengkap segera meminta kepala kekantor pertanahan untuk melengkapi.
c. Meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan
dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidak nya amar
putusan pengadilan dilaksanakan.
d. Memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan
hak atas tanah yang dimohon atau memeberitahukan bahwa amar putusan
pengadilan tidak dapat dillaksanakan disertai dengan alasan dan
e. Apabila menteri tidak dapat melaksankan amar putusan pengadilan menteri
dapat mohon fatwa kepada mahkamah agung dalam pelaksaaan amar putusan
pengadilan dimaksud.58
D. Tinjauan Umum Kewarisan Islam
Peristiwa kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi pada setiap
yang bernyawa, tak terkecuali manusia. Tentunya dengan adanya pristiwa kematian
maka harta yang ditinggalkan menjadi wajib untuk segera diselesaikan, dengan cara
apa penyelesaian pembagian warisan dan dengan hukum apa yang harus digunakan
dalam pembagian warisan telah menjadi pilihan tersendiri bagi ahli waris untuk
memilihnya.
Kata kewarisan berasal dari kata warasa, kata kewarisan banyak digunakan
dalam al-Qur’an dan kemudian di rinci dalam Sunnah Rasulullah SAW hukum Islam
dibangun.59 Dalam literature Indonesia kata kewarisan dengan awalan “ke” dan akhiran “an” jelas menunjukkan kata benda dan mempunyai makna yang
berhubungan dengan mewarisi, diwarisi dan diwariskan.60
Ketentuan yang mengatur bagaimana cara pemindahan harta warisan yang
ditinggakan oleh pewaris kepada ahli waris, di dalam Islam dikenal sebagai ilmu
Faraidh. ilmuFara’idholeh sebagianfaradhiyunmemberi pengertian yaitu ilmu fiqh
58
Kegiatan berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan pembatalan hak karena melaksanakan putusan pengadilan yang merupakan kewenangan kepala kantor wilayah(pasal 130 pmna/KBPN Nomor 9/ 1999).
59M. Yunus Daulay & Nadarlah Naimi.Fiqih Muamalah. (Medan : Ratu Jaya, 2011) hal. 121 60
yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara
perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap
pemilik hak pusaka.61
Islam sebagai agama yang sempurna, telah mengatur secara jelas di dalam
Al-Qur'an hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak
seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan
nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu,
paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Oleh karena itu,
Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris.
1. Pengertian dan Dasar Hukum Waris Islam
Hasbi Ash-Siddieqy mengemukakan Hukum waris Islam adalah suatu ilmu
yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka dan orang yang
tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara
pembagiannya.62Menurut ilmu fiqih, mewaris mengandung arti ialah tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa yang berhak terhadap
harta warisan, bagaimana cara pembagiannya masing-masing.
Fiqih mewaris disebut juga dengan ilmu faraid karena berbicara mengenai
bagian-bagian tertentu yang menjadi hak ahli waris.63 Pasal 171 huruf (a) Kompilasi
61Fatchur Rahman,Ilmu Mewaris,,(Bandung ; Alma’arif 1971), hal. 32.
62Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris,(Jakarta : Bulan Bintang, 1973) hal. 18.
63 H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
Hukum Islam mendefinisikan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris.
Sehingga yang dimaksud dengan hukum kewarisan Islam ialah hukum yang
mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan pemindahan hak dan/atau kewajiban
atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada para ahli warisnya
yang masih hidup, khususnya bagi yang beragama islam. Di dalam Al-Qur’an cukup
banyak ketentuan mengenai pewarisan, setidaknya ada tiga ayat yang memuat tentang
hukum waris. Ketiga ayat tersebut terdapat di dalam surat An-Nisaa ayat 11, 12 dan
176. Allah berfirman yang artinya :
a. Surat An-Nisa’ ayat 11-12;
“Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu,
yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan...”.
b. Surat An-Nisa ayat 176
“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah(tidak meninggalkan anak
dan ayah)...”.
Selain sumber hukum dari Al-Qur’an ada juga beberapa hadist yang berkaitan
dengan warisan, antara lain:64
a. Hadist Rasulullah dari Ibnu Abbas r.a
64Afdol,Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil,(Surabaya : Airlangga University Press,
“Dalam kitab Bulughul Maram, hadist dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:
bersabda Rasulullah SAW, serahkan pembagian warisan itu kepada ahlinya,
bila ada yang tersisa maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat”.
b. Hadist Rasulullah dari Al-Bukhari dan Muslim
“Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas, bahwa
nabi Muhammad SAW bersabda: berikanlah bagian-bagian yang telah
ditentukan itu kepada pemiliknya yang berhak menurut nash, dan apa yang
tersisa maka berikanlah kepada ashabah laki-laki yang terdekat kepada si
pewaris”.
c. Hadits Rasulullah dari Ibnu Abas r.a65
“Ibnu Abbas r.a meriwayatkan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda:
berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu sisanya,
yang lebih utama/yang lebih dekat adalah orang laki-laki”.
d. Hadist Rasulullah dari Ibnu Abas r.a66
Dari Ibnu Abas r.a dari Nabi SAW beliau berkata:bagi-bagilah harta benda itu
diantara ahli Faraidh menurut kitab Allah’(HR.Muslim dan Abu Daud).
Selain itu, di Indonesia sendiri, terkait mengenai dasar hukum ketentuan
pembagian warisan secara islam telah dituangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam
atau yang disingkat KHI, yaitu di dalam Pasal 171-193.
65 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta : Senayan
Abadi Publishing, 2004), hal. 19 dan 22
66Mukhilis Lubis dan Mahmun Zulkifli, Ilmu Pembagian Waris, (Bandung : Cipta Pusaka
2. Asas-asas Waris dan Sebab Waris
Asas-asas hukum waris Islam yakni :
a. AsasIjbari
Asas Ijbari dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan asas memaksa,
maksudnya ialah asas yang terkandung dalam kewarisan Islam itu menciptakan
adanya proses pemindahan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Unsur paksaan sesuai
dengan arti terminologi tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima
kenyataan perpindahan harta kepadanya sesuai dengan yang telah ditentukan.67 Selain itu, Asas ijbari dalam hukum waris berarti terjadinya pemindahan
harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup tanpa
ada perbuatan hukum, atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris
semasa hidupnya tidak dapat menolak atau menghalangi terjadinya peralihan
tersebut.68
b. Asas Bilateral
Asas bilateral adalah asas yang berlaku secara timbal balik, baik untuk
laki-laki maupun perempuan. Yang mengandung arti bahwa setiap orang menerima hak
kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis kerabat keturunan
laki-laki dan garis kerabat keturunan perempuan.69 c. Asas Individual
67Syafruddin Amir,Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta : Kencana, 2004), hal.17
68 Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2006), hal. 207
69Muhibbin Muhammad, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum Positif di
Bahwa harta warisan yang akan dibagi kepada para ahli waris secara
perorangan untuk dimiliki masing-masing ahli waris tersebut secara mutlak. Jadi
masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri tanpa terkait dengan
ahli waris yang lainnya, menurut kadar bagian masing-masing. Dengan demikian hak
perorangan tersebut akan tetap terpelihara.
d. Asas Keadilan Berimbang
Dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan
antara yang diperoleh dengan keperluan atau kebutuhannya. Bahwa harus terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dalam hukum Islam harta warisan yang
ditinggalkan kepada ahli waris merupakan pelanjutan tanggung jawab pewaris
terhadap keluarganya, oleh karena itu besar kecilnya bagian yang diterima oleh
masing-masing ahli waris seimbang dengan besar kecilnya tanggung jawab yang
dipikulnya.
e. Asas Kewarisan Terjadi Semata Akibat Kematian
Bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku setelah yang
mempunyai harta tersebut meninggal dunia dan selama harta itu tidak dapat beralih
kepada orang lain. pewarisan itu terjadi karena ada yang meninggal dunia.70 Bahwa pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan ahli waris benar-benar masih hidup
pada saat meninggalnya pewaris tersebut. Asas ini berarti bahwa harta seseorang
tidak dapat beralih kepada orang lain selama yang mempunyai harta tersebut masih
hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup
baik secara langsung maupun setelah ia mati tidak termasuk ke dalam istilah
pewarisan menurut hukum Islam.71
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:72
1. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang
laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim
(bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak,
tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
2. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak,
saudara, paman, dan seterusnya. Ditinjau dari garis yang menghubungkan
nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, kerabat-kerabat itu
dapat digolongkan kepada 3 (tiga) golongan yakni:
a. Furu’,yaitu anak turun (cabang) dari si mayit
b. Ushul,yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si mayit.73
3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi
danwala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan
budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang
membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang
dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah
mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu
Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang
71Syafruddin Amir,Op Cit,hal.28 72Fatchur Rahman,Op.Cit, hal. 113
dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya
kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
3. Syarat Waris
Syarat menurut istilah adalah sesuatu yang karena ketiadaannya tidak akan
ada hukum. Syarat-syarat waris ada tiga :
a. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum
(misalnya dianggap telah meninggal).
b. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal
dunia.
Masih hidupnya para ahli waris, maksudnya, pemindahan hak
kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat
benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk
diwarisi. Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak
saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa atau dalam keadaan yang
berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal maka di
antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika
masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha (ahli hukum Islam)
digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu
kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha
menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
c. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian
Diketahuinya posisi para ahli waris, dalam hal ini posisi para ahli waris
hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya,
sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan
kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh
dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak
cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi
harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara
seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima
warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena ashabah, ada yang terhalang
hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
4. Terhalangnya seseorang mendapatkan warisan
Menurut Kompilasi Hukum Islam74yang sebagaimana diatur dalam Pasal 173, seorang terhalang menjadi ahli waris oleh putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a. Dipersalahkan karena telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat para pewaris
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
74Moh Muhibin dan Adul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003),
Isi dari Pasal 173 KHI75 di atas sama dengan isi dari Pasal 838 KUHPerdata, akan tetapi dalam Pasal 186 KHI yang dijelaskan oleh H. M. Mawardi Muzamil.
“bahwa seorang laki-laki yang melakukan zina dan mengakibatkan lahirnya anak
hasil zina, maka ia tidak berhak menjadi ahli waris dari anak hasil zinanya, dan anak
hasil zina juga tidak dapat berkedudukan sebagai ahli waris dari laki-laki yang
menyebabkan ia dilahirkan”.
Penghalang, yang kita kenal dengan istilah Al-Hajib, ini ada dua, Pertama:
Karena sifat, seperti: budak, pembunuh dan berbeda agama. Artinya, meskipun
seseorang termasuk ahli waris anak dari si mayit, tetapi karena anak ini yang
membunuh pewaris (yang mewariskan) tadi, anak ini murtad, atau berstatus sebagai
budak, tetapi orang tadi tidak berhak mendapatkan harta warisan. Kedua: Terhalang
dengan orang. Artinya, ahli waris-ahli waris tertentu menjadi terkurangi bagiannya
atau tidak jadi mendapatkan harta warisan dikarenakan keberadaan ahli waris lain
yang lebih berhak. Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk
75Mawardi Muzami, “Hikmah Waris dalam Islam”,
mewarisi ada tiga macam, yaitu perbudakan, pembunuhan, berlainan agama atau
murtad.
a. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang untuk mewaris didasarkan pada kenyataan
bahwa seorang budak tidak memiliki kecakapan bertindak atau tidak dapat menjadi
subjek hukum. Di dalam Al-Qur’an telah digambarkan bahwa seorang budak tidak
cakap mengurus hak milik kebendaan dengan jalan apa saja.76 hal ini termuat dalam
Al-Qur’ansuratAn-Nahlayat 75 yang artinya:
”Allah telah membuat perumpamaan ( yakni) seorang budak yang tidak dapat
bertindak terhadap sesuatu pun...”.
Seorang budak tidak dapat mewaris karena ia tidak cakap berbuat. Seorang
budak tidak dapat diwarisi jika ia meninggal dunia, sebab ia orang miskin yang tidak
memiliki harta kekayaan sama sekali. Namun pada masa kini pada dasarnya
perbudakan sudah tidak ada lagi, kalaupun ada mungkin jumlahnya amat kecil.
Perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk
umum yang menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan
hukum. Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk
mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak,
secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak
murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal),
ataumukatab(budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya,
dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak
merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka
tidak mempunyai hak milik.77
Status budak tidak dapat mempusakai atau hak waris mewarisi. Hal tersebut
disebabkan oleh:
1) Tidak cakap dalam mengurus harta milik
2) Status kekerabatan terhadap keluarganya sudah putus, dan ia diqiyaskan
kepada orang asing, sedangkan mewarisi kepada orang asing itu batal.
b. Pembunuhan
Bila ada orang yang berhak menerima waris, tetapi orang itu membunuh
orang yang akan mewariskan, misalnya ada anak yang tidak sabar menanti warisan
ayahnya, sehingga ia membunuh ayahnya, maka anak tersebut tidak berhak
mengambil pusaka ayahnya.
Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwarris
menyebabkannya tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas
(jumhur) ulama. Hal tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak
menutup kemungkinan untuk menguasai harta seseorang membunuh orang lain.
Karena motivasi yang tidak baik tersebut, maka terhadap orang yang membunuh
tidak diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta peninggalannya. Adapun
pembunuh secara tidak sengaja, maka menurut Imam Malik, dia tetap mendapat
7741M. Ali ash-Shabuni. ”Pembagian Waris Menurut Islam.” http://media.isnet.org
hartawaris. Sedangkan jumhur ulama berpendapat, pembunuh tidak mendapat harta
waris, baik dengan sengaja atau tidak.
Pada dasarnya pembunuhan itu adalah merupakan tindak pidana kejahatan
namun dalam beberapa hal tertentu pembunuhan tersebut tidak dipandang sebagai
tindak pidana dan oleh karena itu tidak dipandang sebagai dosa. Untuk lebih
mendalami pengertiannya ada baiknya dikategorikan sebagai berikut:78
1) Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, seperti pembunuhan di
medan perang, melaksanakan hukuman mati, dan membela jiwa, harta dan
kehormatan.
2) Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum (tindak pidana kejahatan),
seperti: pembunuhan dengan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja.
Terhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan hak kewarisan dari yang di
bunuhnya, di sebabkan alasan-alasan berikut:
1) Pembunuhan itu memutuskan silaturrahmi yang menjadi sebab adanya
kewarisan, dengan terputusnya sebab tersebut maka terputus pula
musababnya.
2) Untuk mencegah seseorang mempercepat terjadinya proses pewarisan.
3) Pembunuhan adalah suatu tindak pidana kejahatan yang di dalam istilah
agama disebut dengan perbuatan ma’siat, sedangkan hak kewarisan
merupakan nikmat, maka dengan sendirinya ma’siat tidak boleh di
pergunakan sebagai suatu jalan untuk mendapatkan nikmat.79
Dalilnya, Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda. Artinya “Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris.80 Jalan tengah dari dua pendapat yang berbeda ini, Syaikh Al-Allamah Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin berkata : “Pembunuhan yang disengaja tidak berdosa apabila
pembunuhan itu seperti membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka
membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka tidaklah menghalangi
pembunuhnya mendapatkan harta waris dari yang dibunuh., karena tujuannya untuk
membela diri.81 Demikian juga, misalnya pembunuhan yang disebabkan karena mengobati atau semisalnya, maka tidaklah menghalangi orang itu untuk mendapatkan
harta waris, selagi dia diizinkan untuk mengobati dan berhati-hati”.
c. Berlainan Agama
Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam
menjadi penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta
peninggalan orang yang beragama non Islam. Adapun dasar hukumnya adalah hadis
Rasulullah SAW yang artinya: Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan
orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.82
79Husain Amin Nasution.Hukum Kuarisan Suatu Analisis Komperatif Pemikiran Mujtahid
Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 67
80Aunur Rofiq bin Ghufron,“Orang Yang Tidak Berhak Mendapat Harta Waris.”Majalah
As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M.Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.
81ibid
82Muhammad Nafis. “Warisan Bagi Non Muslim dan Murtad.” http://www.pa
Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda.
Dalam hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman
beliau, Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW, yang
meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada
anak-anaknya yang masih kafir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan terhadap anak
anaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian.
Demikian juga dengan orang yang murtad (orang yang keluar dari agama
Islam) mempunyai kedudukan yang sama yaitu tidak dapat mewarisi harta
peninggalan keluarganya. Orang yang murtad tersebut telah memutuskan shilah
syariah, oleh karena itu para fuqaha sepakat bahwa orang murtad tidak berhak
menerima harta warisan dari kerabatnya.83 5. Menyegerakan Pembagian Warisan
Masalah waktu menyegerakan, maka beberapa ulama menyepakati hal ini,
sebab dikhawatirkan akan timbul masalah di kemudian hari jika pembagian waris
berlama-lama, dan juga mempertimbangkan faktor lain. Bahkan ada anjuran kepada
pemilik harta, untuk membuat wasiat semasa hidupnya, agar sepeninggal nanti, ahli
warisnya harus menyegerakan membaginya secara syar'i, jika tidak maka bisa
terancam dosa.
Pembagian harta warisan harus segera dilaksanakan setalah pewaris
meninggal, tidak boleh ditunda-tunda, kecuali jika ada keadaan tertentu yang tidak
83Ibnu Rusyd,Analisa Fiqih Para Mujahid (terjemahan Bidayatul Mujtahid),Juz III, (jakarta
memungkinkan, misal karena rumahnya belum laku dijual, atau ada ahli waris yang
masih bayi/kecil, atau ada ahli waris yang banci, atau ada ahli waris yang
hilang/tertawan, maka ada bagian yang dibekukan untuk sementara hingga diketahui
keadaannya. Harta warisan adalah sepenuhnya milik para ahli warisnya, karena itu
tidak boleh mengambil/menguasai harta milik mereka. Segeralah ditunaikan jika
mereka menginginkannya disegerakan, jangan sampai karena lama tidak dibagikan,
akhirnya muncul kecurigaan dan kebencian dari para ahli waris, karena sesungguhnya
mereka bisa jadi sangat membutuhkan harta tersebut.
Menyegerakan pembagian harta warisan memiliki hikmah. Untuk
menghindari adanya konflik, maka sebaiknya apabila orang tua yang bijaksana,
apalagi memiliki harta yang cukup banyak, seharusnya dibuat surat wasiat (testamen)
di hadapan Notaris agar tidak menimbulkan persengketaan di antar ahli waris di
kemudian hari.84
Shiddiq al-Gharyani dalam bukunya ‘Fatawa Muamalat asy-Syaiah’ berkata,
‘Menunda dan memperlama proses pembagian harta warisan akan mengakibatkan
kelupaan, keteledoran, dan kehilangan, atau terjadi pemanfaatan harta warisan oleh
mereka yang tidak berhak, juga berarti memakan harta dengan cara yang bathil, atau
menyia-nyiakan harta dan meremehkan hak orang lain. Ini semua merupakan
persoalan yang perlu diwaspadai, sebab seringkali menimbulkan persoalan serius
seperti konflik, permusuhan, dan putusnya tali persaudaraan
84 Ahmad Sarwat. Harta Warisan Harus Segera Dibagikan, http://www. Rumah fiqih.com
6. Prosedur Permohonan Penetapan Ahli Waris
Surat keterangan waris merupakan surat yang isinya menerangkan tentang
kedudukan ahli waris dan hubungannya dengan pewaris. Dengan adanya surat
keterangan waris tersebut ahli waris dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta
peninggalan pewaris. Tindakan hukum di sini maksudnya adalah tindakan
pengurusan dan tindakan kepemilikan secara bersama-sama. Apabila ada satu orang
ahli waris yang tidak setuju maka tindakan hukum tersebut tidak dapat dilakukan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 a ayat (1) Stb 1882 Nomor 152 jo Stb 1937
Nomor 116 – 610, bagi orang Indonesia yang beragama Islam di Jawa dan Madura,
surat keterangan warisnya dikeluarkan oleh Pengadilan Agama yang berupa
penetapan ahli waris atau fatwa waris. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 4 ayat
(1)PP No.45 tahun 1957 tentang keterangan waris, bagi orang Indonesia yang
beragama Islam yang berada di luar Jawa dan Madura keterangan warisnya
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah. Sedangkan berdasarkan
ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
bahwa keterangan waris dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri yang berupa surat
penetapan ahli waris.
Namun dengan berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang berlaku sejak tanggal 29 Desember 1989, maka kewenangan
Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara warisan khususnya bagi orang Indonesia
yang beragama Islam beralih kepada Pengadilan Agama. Sedangkan berdasarkan
tanggal 20 Desember 1969 Nomor Dpt/12/63/12/69 sebagaimana telah diralat dengan
Surat Edaran Direktorat Pendaftaran Tanah Direktorat Jenderal Agraria tanggal 13
Juni1977 Nomor Dpt.6/393/VI/77, surat keterangan waris bagi Warga Negara
Indonesia dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
a. Golongan keturunan barat (Eropa) dibuat oleh notaris.
b. Golongan penduduk asli surat keterangan waris dibuat oleh ahli waris,
disaksikan oleh lurah dan diketahui oleh camat.
c. Golongan keturunan Tionghoa, oleh notaris.
d. Golongan keturunan Timur Asing lainnya, oleh Balai Harta Peninggalan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 107 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, dalam hal ada permohonan penyelesaian kewarisan di
luar sengketa waris, Peradilan Agama berwenang mengeluarkan Akta Permohonan
Pertolongan Pembagian Harta Peninggalan (AP3HP), yang selama ini berdasarkan
Pasal 236a RIB menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, yang berbunyi : “Atas
permintaan bersama dari ahli waris atau bekas istri orang yang meninggal, maka
Pengadilan Negeri memberi bantuan mengadakan pemisahan harta benda antara
orang-orang yang beragama manapun juga, serta membuat surat (akte) dari itu di luar
perselisihan.”85
Pengadilan Agama berwenang mengeluarkan surat ketetapan atau fatwa ahli
waris bagi penduduk Indonesia yang bergama Islam, yang didasarkan pada Surat
Edaran Direktorat Jenderal Agraria Nomor Dpt.12/63/12/69 tertanggal 20 Desember
1969. Penetapan ini dibuat apabila ada permohonan dari para ahli waris. Surat
ketetapan fatwa waris tersebut berisikan tentang nama pewaris, nama para ahli waris,
serta jumlah pecahan bagian masing-masing ahli waris.
Penetapan waris bukanlah merupakan wewenang dari RT atau RW setempat
dimana para pihak atau pemohon bertempat tinggal, melainkan merupakan wewenang
dari Pengadilan Agama dalam hal si pewaris dan ahli waris adalah orang yang
beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada pasal 49 huruf b
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang-undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. Perkawinan, b. Waris, c. Wasiat, d. Hibah, e. Wakaf, f. Zakat, g. Infaq,
h. Shadaqah, dan i. Ekonomi Syariah.
Penjelasan lebih detail mengenai permasalahan waris apa saja yang diatur
dapat dilihat pada penjelasan Pasal 49 huruf b UU Peradilan Agama yang berbunyi :
“…Yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris…”
Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa untuk mengurus permohonan
penetapan ahli waris dilakukan melalui pengadilan. Permohonan penetapan ahli waris
diajukan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Kemudian apabila dicermati
dengan teliti maka akan ditemukan bahwa format keterangan waris yang diketahui
oleh RT/RW, lurah, maupun camat ini tidak memiliki standart dan bentuknya
bermacam-macam. Data-data yang terdapat dalam keterangan waris kurang akurat,
tidak terdapat data yang berkaitan dengan wasiat. Padahal wasiat adalah hal yang
umum ada didalam masyarakat. Demikian pula dari sisi kebenarannya, keterangan
waris masih dipertanyakan otentitasnya. Seringkali apa yang tertulis dalam
keterangan waris berbeda dengan kenyataan sebenarnya, seperti tidak seluruh ahli
waris tercantum dalam keterangan waris, bahkan ahli waris tidak menandatanginya di
hadapan lurah atau camat yang bersangkutan.
Produk hukum berupa “penetapan” merupakan produk hukum yang hanya
dapat dihasilkan oleh lembaga pengadilan, dengan demikian kantor kecamatan tidak
memiliki wewenang dalam mengeluarkan penetapan tentang ahli waris. Maka yang
berhak mengeluarkan penetapan ahli waris ialah pengadilan, dalam hal ini bagi
mereka yang beragama Islam ialah Pengadilan Agama.
Terkait dengan penetapan ahli waris, maka prosedur yang harus ditempuh
ialah mengajukan surat permohonan Penetapan Ahli Waris ke Pengadilan. Bagi
Agama, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU
Peradilan Agama), sedangkan, bagi mereka yang beragama selain Islam, maka surat
permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri.86
Adapun hal-hal yang perlu dipersiapkan antara lain ialah layaknya sebuah
proses permohonan di pengadilan. Permohonan diajukan ke pengadilan oleh ahli
waris, kemudian harus menyiapkan bukti-bukti yang bisa memperkuat dasar
permohonan, seperti misalnya bukti tertulis (surat) berupa akta nikah, silsilah
keluarga yang biasanya terdapat pada kartu keluarga, surat keterangan kematian, surat
pengantar dari kepala desa, serta bisa juga berupa saksi-saksi yang dapat memperkuat
keterangan dalam persidangan.87
Dalam masalah warisan ini dapat ditempuh dua cara, yakni :88 a. Melalui gugatan.
Dalam hal gugatan yang diajukan, berarti terdapat sengketa terhadap objek
waris. Hal ini bisa disebabkan karena adanya ahli waris yang tidak mau membagi
warisan sehingga terjadi konflik antara ahli waris. Apabila terjadi sengketa diantara
ahli waris, yang bersangkutan datang ke Pengadilan Agama untuk mengajukan
perkaranya. Proses akhir dari gugatan ini akan melahirkan produk hukum berupa
putusan. Pengadilan Agama akan menetapkan putusan yang memiliki kekuatan
hukum yang mengikat bagi para pihak untuk tunduk pada putusan tersebut.