• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang Terdaftar Atas Nama Seorang Ahliwaris (Putusan Mahkamah Syar’iyah Nomor : 0220 PDT.G 2015 MS-TKN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah yang Terdaftar Atas Nama Seorang Ahliwaris (Putusan Mahkamah Syar’iyah Nomor : 0220 PDT.G 2015 MS-TKN)"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEKUATAN SERTIFIKAT SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN HAK ATAS TANAH YANG TERDAFTAR ATAS NAMA SEORANG AHLI WARIS

Berkaitan dengan judul di atas, maka pembahasaan pada bab ini memuat

mengenai tinjauan umum tentang pendaftaran tanah, pengertian sertipikat, sertipikat

hak milik atas tanah, kekuatan sertipikat sebagai alat pembuktian, prosedur

pembatalan hak atas tanah, tinjauan kewarisan islam dan penetapan ahli waris.

Kesemuanya saling berkaitan dengan kasus yang akan dibahas terkait tanah sebagai

objek warisan yang terdaftar atas nama seorang ahli waris.

A. Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah

1. Pengertian Pendaftaran Tanah

Pendaftaran berasal dari katacadastre(bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah

teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai dan

kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin

Capitastrum yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk

pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam artian yang tegas Cadastre adalah

record(rekaman dari lahan-lahan, nilai dari tanah dan pemegang haknya dan untuk

kepentingan perpajakan).45

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor : 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, selanjutnya disebut PP 24/1997, dijelaskan mengenai pengertian

pendaftaran tanah, yaitu: Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara

45

(2)

terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,

pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam

bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,

termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah

ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang

membebaninya.

Data fisik menurut Pasal 1 angka 6 PP 24/1997 adalah keterangan mengenai

letak, batas dan luas bidang dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk

keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Sedangkan

Data yuridis menurut Pasal 1 angka 7 PP 24/1997 adalah keterangan mengenai status

hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan

hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Berdasarkan pengertian di atas pendaftaran tanah merupakan tugas negara

yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk kepentingan rakyat dalam rangka

menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan. Sedangkan penyelenggaraan

pendaftaran tanah meliputi :

a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan yang menghasilkan peta-peta

pendaftaran dan surat ukur, dari peta dan pendaftaran surat ukur dapat

diperoleh kepastian luas dan batas tanah yang bersangkutan;

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut termasuk

(3)

tanah maupun jaminan) serta beban-beban lainnya yang membebani hak-hak

atas tanah yang didaftarkan itu;

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang menurut Pasal 19 ayat (2) huruf c

UUPA berlaku sebagai alat bukti yang kuat.

Mengenai Sertipikat hak atas tanah tentunya tidak akan terlepas dari bahasan

mengenai pendaftaran tanah, karena Sertipikat hak atas tanah merupakan hasil dari

kegiatan pendaftaran yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum hak atas

tanah.

2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Dasar hukum pendaftaran tanah sebagai jaminan kepastian hukum mengenai

hak atas tanah tercantum dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA, yang berbunyi :

“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di

seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan

Peraturan Pemerintah.”

Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu

instruksi agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang sifatnya

recht kadasterartinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Sedangkan untuk

mewujudkan kepastian hukum diperlukan pelaksanaan dari hukum itu sendiri.

Untuk melaksanakan pendaftaran tanah tersebut maka dibuat aturan

pelaksanaanya, yaitu dengan PP No.10 Tahun 1961 dan disempurnakan dengan PP

(4)

operasional teknisnya, yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 dan peraturan lainya.

Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menghasilkan

sertipikat tanah sebagai tanda bukti hak yang kuat, telah mengalami penyempurnaan

dari yang semula merupakan sertipikat tanpa gambar bidang tanah. Sertipikat tanah

kemudian dilengkapi dengan Gambar Situasi dan terakhir disempurnakan menjadi

Surat Ukur yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Penyempurnaan ini antara

lain dimaksudkan untuk memperoleh letak tepat dan batas-batas bidang tanah yang

pasti dan dipetakan dalam peta pendaftaran tanah.

Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan

perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk mencapai tertib

administrasi tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk

peralihan, pembebanan dan hapusnya wajib didaftar.46 3. Tujuan Pendaftaran Tanah

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan peraturan dasar yang

mengatur penguasaan, pemilikan, peruntukan, penggunaan dan pengendalian

pemanfaatan tanah yang bertujuan terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan

tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Salah satu aspek yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut adalah mengenai

kepastian hak atas tanah, yang menjadi dasar utama dalam rangka kepastian hukum

pemilikan tanah. Pasal 19 ayat (1) UUPA menyebutkan tujuan utama pendaftaran

(5)

tanah adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Secara garis besar tujuan

pendaftaran tanah dinyatakan dalam Pasal 3 PP 24/1997, yaitu:47

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain

yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang haknya

diberikan Sertipikat sebagai tanda buktinya;

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Tujuan pendaftaran tanah yang tercantum pada huruf a merupakan tujuan

utama pendaftaran tanah yang diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA. Disamping itu

terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk tercapainya pusat

informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk pemerintah dapat dengan mudah memperoleh data yang diperlukan dalam

mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan

rumah susun yang sudah terdaftar. Dengan demikian terselenggaranya pendaftaran

47Irawan, Soerodjo,Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya 2003,

(6)

tanah yang baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang

pertanahan.

4. Sistem Pendaftaran Tanah

Sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan apa yang didaftar, bentuk

penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.

Menurut Boedi Harsono sistem pendaftaran tanah ada 2 (dua) macam, yaitu sistem

pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak (registration of

title).

Pada sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftarkan oleh pejabat

pendaftaran tanah. Dalam sistem ini pejabatnya bersifat pasif sehingga ia tidak

melakukan penyelidikan data yang tercantum dalam akta yang didaftar. Tiap kali

terjadi perubahan wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Maka dalam sistem ini data

yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan. Untuk

memperoleh data yuridis yang diperlukan harus melakukan apa yang disebut

“titlesearch”yang dapat memakan waktu lama dan biaya.

Pada sistem pendaftaran hak, bukan aktanya yang didaftar, melainkan haknya

yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Akta merupakan sumber

datanya. Untuk pendaftaran hak dan perubahan-perubahan yang terjadi disediakan

suatu daftar isian (register), atau disebut juga buku tanah. Buku tanah ini disimpan di

kantor pertanahan dan terbuka untuk umum. Dalam sistem ini pejabat pendaftaran

tanah bersikap aktif dan sebagai tanda bukti hak diterbitkan Sertipikat yang

(7)

Sistem pendaftaran tanah yang digunakan di Indonesia adalah sistem

pendaftaran hak (registration of titles), bukan sistem pendaftaran akta, hak tersebut

tanpak dengan adanya buku Tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan

data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat

tanda bukti hak yang didaftar.

Sistem pendaftaran tanah akan mempengaruhi sistem publikasi yang

digunakan pada suatu negara. Untuk itu perlu juga dibahas tentang sistem publikasi

dalam pendaftaran tanah. Sistem pendaftaran tanah tergantung pada asas hukum yang

dianut oleh suatu negara dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Dikenal ada 2 (dua)

macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asasnemo plus yuris.

Asas itikad baik berarti orang yang memperoleh hak dengan itikad baik akan

tetap menjadi pemegang yang sah menurut hukum. Jadi asas ini bertujuan untuk

melindungi orang yang beritikad baik, sehingga diperlukan daftar umum yang

mempunyai kekuatan bukti. Sistem pendaftaran tanahnya disebut sistem positif.

Asasnemo plus yurisartinya orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak

yang ada padanya. Jadi pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal.

Asas ini bertujuan untuk melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Ia selalu dapat

menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama orang lain. Sistem pendaftaran

tanahnya disebut sistem negatif.

Dengan adanya pendaftaran tanah diharapkan seseorang akan merasa aman

tidak ada gangguan atas hak yang dipunyainya. Jaminan kepastian hukum terhadap

(8)

melaksanakan pendaftaran tanah. Adapun sistem publikasi dalam pendaftaran tanah

itu antara lain :

a. Sistem Publikasi Positif

Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka

harus ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data

yuridis dan Sertipikat hak sebagai surat tanda bukti hak. Maka apa yang tercantum

dalam buku tanah dan Sertipikat yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang

mutlak.

Pihak ketiga yang mempunyai bukti dan beritikad baik yang bertindak atas

dasar bukti tersebut mendapat perlindungan mutlak meskipun kemudian keterangan

keterangan yang tercantum di dalamnya tidak benar. Pihak ketiga yang merasa

dirugikan harus mendapat ganti rugi (kompensasi) dalam bentuk lain. Ciri-ciri pokok

sistem ini adalah :

1) Sistem ini menjamin sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah

tidak dapat dibantah, walaupun ia ternyata bukan pemilik tanah yang

sebenarnya. Jadi sistem ini memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku

tanah.

2) Pejabat-pejabat pertanahan dalam sistem ini memainkan peranan yang aktif,

yaitu menyelidiki apakah hak atas tanah yang dipindah itu dapat didaftar atau

tidak, dan menyelidiki identitas para pihak, wewenangnya serta apakah

(9)

3) Menurut sistem ini, hubungan antara hak dari orang yang namanya tercantum

dalam buku tanah denganpemberi hak sebelumnya terputus sejak hak tersebut

didaftarkan.48

Kebaikan dari sistem positif adalah :

1) Adanya kepastian dari buku tanah, sehingga mendorong orang untuk

mendaftarkan tanahnya.

2) Pejabat pertanahan melakukan peran aktif dalam melaksanakan tugasnya.

3) Mekanisme kerja dalam penerbitan Sertipikat tanah mudah dimengerti oleh

orang awam.

Sedangkan kelemahan dari sistem positif adalah :

1) Adanya peran aktif para pejabat pertanahan mengakibatkan diperlukannya

jumlah petugas yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama dalam proses

pendaftaran tanah.

2) Pemilik yang sebenarnya berhak atas tanah akan kehilangan haknya oleh

karena kepastian dari buku tanah itu sendiri.

3) Dalam penyelesaian persoalan maka segala hal yang seharusnya menjadi

wewenang pengadilan ditempatkan di bawah kekuasaan administratif.49 b. Sistem Publikasi Negatif

Menurut sistem ini surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat, berarti keterangan-keterangan yang tercantum didalamnya mempunyai

48Bachtiar, Effendie, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya

Alumni, Bandung, 1993, Hal. 32

(10)

kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar selama tidak ada

alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.50

Jadi, jaminan perlindungan yang diberikan oleh sistem publikasi negatif ini

tidak bersifat mutlak seperti pada sistem publikasi positif. Selalu ada kemungkinan

adanya gugatan dari pihak lain yang dapat membuktikan bahwa dialah pemegang hak

yang sebenarnya. Ciri pokok sistem ini adalah :

1) Pendaftaran hak atas tanah tidak menjamin bahwa nama yang terdaftar dalam

buku tanah tidak dapat dibantah jika ternyata di kemudian hari diketahui

bahwa ia bukan pemilik sebenarnya. Hak dari nama yang terdaftar ditentukan

oleh hak dari pemberi hak sebelumnya, jadi perolehan hak tersebut merupakan

mata rantai perbuatan hukum dalam pendaftaran hak atas tanah.

2) Pejabat pertanahan berperan pasif, artinya ia tidak berkewajiban menyelidiki

kebenaran data-data yang diserahkan kepadanya.

Kebaikan dari sistem negatif ini yaitu adanya perlindungan kepada pemegang

hak sejati. Pendaftaran tanah juga dapat dilakukan lebih cepat karena pejabat

pertanahan tidak berkewajiban menyelidiki data-data tanah tersebut. Sedangkan

kelemahan dari sistem negatif adalah :

1) Peran pasif dari pejabat pertanahan dapat menyebabkan tumpang tindihnya

Sertipikat tanah.

50Effendi Perangin,Hukum Agraria Di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi

(11)

2) Mekanisme kerja dalam proses penerbitan Sertipikat sedemikian rumit

sehingga kurang dimengerti orang awam.

3) Buku tanah dan segala surat pendaftaran kurang memberikan kepastian

hukum karena surat tersebut masih dapat dikalahkan oleh alat bukti lain,

sehingga mereka yang namanya terdaftar dalam buku tanah bukan merupakan

jaminan sebagai pemiliknya.51

Kelemahan sistem ini oleh negara-negara yang menggunakannya diatasi

dengan lembaga “acquisitive verjaring”. Sistem publikasi yang dipakai dalam UUPA

adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat

tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, berdasarkan Pasal

19 ayat (2) huruf c, Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 UUPA.

Kata “kuat” berarti tidak mutlak, sehingga membawa konsekwensi bahwa

segala hal yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan diterima

sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada pihak lain yang membuktikan

sebaliknya dengan alat bukti lain bahwa Sertipikat tersebut tidak benar. Penjelasan

Umum PP 24/1997 menyatakan bahwa dalam PP ini tetap mempertahankan

sistempublikasi tanah yang dipergunakan UUPA, yaitu sistem negatif yang

mengandung unsur positif.

Unsur positif dalam Peraturan Pemerintah ini tampak jelas dengan adanya

upaya untuk sejauh mugkin memperoleh data yang benar, yaitu dengan diaturnya

secara rinci dan saksama prosedur pengumpulan data yang diperlukan untuk

(12)

pendaftaran tanah, pembuatan peta-peta pendaftaran tanah dan surat ukurnya,

pembuktian hak, penyimpanan dan penyajian data dalam buku tanah, penerbitan

Sertipikat serta pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.

Menurut Boedi Harsono, PP 24/1997 menggunakan sistem pendaftaran hak

(registration of title). Hal ini terlihat dengan adanya buku tanah yang memuat data

fisik dan data yuridis tanah yang bersangkutan dan diterbitkannya Sertipikat sebagai

tanda bukti hak atas tanah. Umumnya sistem pendaftaran hak digunakan apabila

sistem publikasi yang digunakan adalah sistem publikasi positif. Ini menunjukkan

bahwa PP 24/1997 menggunakan sistem publikasi negatif yang mengandung unsur

positif. Pengertian negatif disini adalah apabila keterangan dalam surat tanda bukti

hak itu ternyata tidak benar, maka masih dapat diadakan perubahan dan dibetulkan.

B. Kekuatan Sertipikat Sebagai Alat Pembuktian Hak Atas Tanah Yang Terdaftar Atas Nama Seorang Ahli Waris

1. Pengertian Sertipikat

Berdasarkan pengertian pada Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak

pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan

yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Adapun yang dimaksud Pasal 19 ayat (2) huruf c pada Undang- Undang

Pokok Agraria dalam pengertian sertipikat, yaitu pemberian surat tanda bukti hak

(13)

yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan yuridis tersebut sesuai dengan

data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, dikatakan

demikian karena selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenaranya,

maka keterangan yang ada dalam sertipikat harus dianggap benar dengan tidak perlu

bukti tambahan, sedangkan alat bukti lain tersebut hanya dianggap sebagai alat bukti

permulaan dan harus dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya.

Jadi sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang merupakan alat

pembuktian yang kuat mengenai macam hak, subyek hak maupun tanahnya.

Penerbitan sertipikat dan diberikan kepada yang berhak dimaksudkan agar pemegang

hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Sedangkan fungsi sertipikat adalah

sebagai alat pembuktian kepemilikan hak atas tanah.

2. Fungsi Sertipikat Tanah

Sertipikat memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya, dari sekian fungsi yang

ada, dapat dikatakan bahwa fungsi utama dari sertipikat adalah sebagai alat bukti

yang kuat, demikian dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, karena itu,

siapapun dapat dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah

bila telah jelas namanya tercantum dalam sertipikat itu. Selanjutnya dapat

membuktikan mengenai keadaan-keadaan dari tanahnya itu misalnya luasnya,

batas-batasnya, ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang tanah dimaksud.

Apabila di kemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak

kepemilikan / penguasaan atas tanah, maka semua keterangan yang dimuat dalam

(14)

karenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benar,

sepanjang tidak ada bukti lain yang mengingkarinya membuktikan sebaliknya. Tetapi

jika ternyata ada kesalahan di dalamnya, maka diadakanlah perubahan / pembetulan

seperlunya. Dalam hal ini yang berhak melakukan pembetulan bukanlah pengadilan

melainkan instansi yang menerbitkannya yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN)

dengan jalan pihak yang dirugikan mengajukan permohonan perubahan sertipikat

dengan melampirkan surat keputusan pengadilan yang menyatakan tentang adanya

kesalahan dimaksud.

Selain fungsi utama tersebut di atas, sertipikat memiliki banyak fungsi lainnya

yang sifatnya subjektif tergantung daripada pemiliknya. Sebut saja, misalnya jika

pemiliknya adalah pengusaha, maka sertipikat tersebut menjadi sesuatu yang sangat

berarti ketika ia memerlukan sumber pembiayaan dari bank karena sertipikat dapat

dijadikan sebagai jaminan untuk pemberian fasilitas pinjaman untuk menunjang

usahanya. Demikian juga contoh-contoh lainnya masih banyak yang kita bisa

sebutkan sebagai kegunaan dari adanya sertipikat tersebut. Yang jelas bahwa

sertipikat hak atas tanah itu akan memberikan rasa aman dan tenteram bagi

pemiliknya karena segala sesuatunya mudah diketahui dan sifatnya pasti serta dapat

dipertanggung jawabkan secara hukum.

3. Kekuatan Hukum Sertipikat Hak atas Tanah sebagai Alat Pembuktian Yang Kuat

Dalam Pasal 1 angka 20 PP 24/1997 yang dimaksud Sertipikat adalah : “surat

(15)

hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan

hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang

bersangkutan.”

Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menguraikan bahwa, “Pendaftaran

tanah diakhiri dengan pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai

alat pembuktian yang kuat”. Ketentuan mengenai pendaftaran tanah diatur lebih

lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 3 huruf a PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah menyebutkan bahwa, “Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum

kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain

yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak

yang bersangkutan, kepada yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah”.

Buku Tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis

dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya. (Pasal 1 angka

19 PP 24/1997).

Menurut Ali Achmad Chomsah, yang dimaksud dengan Sertipikat adalah:52 “surat tanda bukti hak yang terdiri salinan buku tanah dan surat ukur, diberi sampul,

dijilid menjadi satu, yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala

52Ali Achmad Chomzah,Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I-Pemberian Hak Atas

(16)

Badan Pertanahan Nasional.”Surat Ukur adalah dokumen yang memuat data fisik

suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian. (Pasal 1 angka 17 PP 24/1997)

Peta Pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang atau

bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah. (pasal 1 angka 15 PP 24/1997).

Sertipikat diberikan bagi tanah yang sudah ada surat ukurnya ataupun

tanah-tanah yang sudah diselenggarakan Pengukuran Desa demi Desa, karenanya Sertipikat

merupakan pembuktian yang kuat, baik subyek maupun obyek ilmu hak atas tanah.

Menurut Bachtiar Effendie, Sertipikat tanah adalah : “salinan dari buku tanah

dan salinan dari surat ukur yang keduanya kemudian dijilid menjadi satu serta diberi

sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara”53

Mengenai jenis Sertipikat Achmad Chomsah berpendapat bahwa sampai saat

ini ada 3 jenis Sertipikat, yaitu :54

a. Sertipikat hak atas tanah yang biasa disebut Sertipikat.

b. Sertipikat hak atas tanah yang sebelum Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan dikenal dengan Sertipikat Hypotheek dan Sertipikat

Credietverband. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan, penyebutan Sertipikat hyphoteek dan Sertipikat

credietverband sudah tidak dipergunakan lagi yang ada penyebutannya adalah

Sertipikat Hak Tanggungan saja.

c. Sertipikat hak milik atas satuan rumah susun.

(17)

Sedangkan menurut PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

ada beberapa jenis yaitu :

a. Sertipikat Hak Milik

b. Sertipikat Hak Guna Usaha

c. Sertipikat Hak Guna Bangunan

d. Sertipikat Hak Pakai

e. Sertipikat Hak Pengelolaan

f. Sertipikat Tanah Wakaf

g. Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun

h. Sertipikat Hak Tanggungan

Sedangkan hak-hak yang tidak diterbitkan sertipikatnya sebagaimana hak atas

tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 UUPA adalah:

a. Hak Sewa

b. Hak membuka tanah

c. Hak memungut hasil tanah

Sertipikat sebagai surat tanda bukti hak akan bersifat mutlak apabila

memenuhi seluruh unsur yaitu sebagai berikut:

a. Sertipikat diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum

b. Tanah diperoleh dengan itikad baik

c. Tanah dikerjakan secara nyata

d. Dalam waktu 5 tahun diterbitkanya sertipikat tersebut tidak ada yang

(18)

Kantor Pertanahan Kota Medan maupun tidak mengajukan gugatan ke

pengadilan mengenai penguasaan atau penerbitan sertipikat.55

Sebagai tanda jaminan hukum yang diberikan oleh pemerintah atas tanah,

maka Pemerintah memberikan surat tanda bukti hak atas sebidang tanah. Surat Tanda

Bukti Hak ini dinamakan Sertifikat dan berlaku sebagau alat pembuktian yang kuat,

artinya bahwa keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum

dan harus diterima oleh Hakim, sebagai keterangan yang benar, sepanjang tidak ada

alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.

Menurut Undang-Undang Pokok Agraria sebagai landasan hukum bidang

pertanahan di Indonesia, Pasal 19 ayat (2) sub. C disebutkan, sertipikat sebagai alat

pembuktian yang kuat. Pengertian dari sertipikat sebagai alat pembuktian yang kuat

adalah bahwa data fisik dan data yuridis yang sesuai dengan data yang tertera dalam

Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan harus dianggap sebagai data yang

benar kecuali dibuktikan sebaliknya oleh Pengadilan.

Sehingga selama tidak bisa dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis

yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam

melakukan perbuatan hukum sehari-hari, maupun dalam berperkara di pengadilan,

sehingga data yang tercantum benar-benar harus sesuai dengan surat ukur yang

bersangkutan, karena data yang diambil berasal dari surat ukur dan buku tanah

tersebut.

55

(19)

Hal ini lebih diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 dalam ketentuan Pasal 32 yang menyebutkan bahwa :

a. Ayat (1) :

“sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam Surat Ukur dan Buku Tanah hak yang bersangkutan”;

b. Ayat (2) :

“Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut”.

Ketentuan Pasal 32 tersebut adalah dalam rangka memberikan jaminan

kepastian hukum di bidang pertanahan menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya

sungguhpun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif.56 Khususnya pada ayat (2) Pasal 32 tersebut bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah

bersertipikat atas nama seseorang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun

sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak menuntut/mengajukan gugatan pada

pengadilan mengenai penguasaan hak atas atau penerbitan sertipikat tersebut.

Jadi sertipikat hak atas tanah adalah salinan buku tanah dan surat ukur

tersebut kemudian dijilid menjadi satu dengan sampul yang telah ditetapkan

56 Boedi harsono, hukum agraria indonesia: sejarah pembentukan undang-undang pokok

(20)

bentuknya, sehingga terciptalah sertipikat hak atas tanah. Buku tanah itu merupakan

lembaran-lembaran daftar isian, yang berisi dan merupakan surat - surat bukti

mengenai:

a. Macam-macam hak atas tanah yang dibukukan;

b. Subjek yang mempunyainya;

c. Tanah mana yang dihaki (menunjuk pada surat ukurnya atau gambar

situasinya);

d. Hak-hak lain yang membebaninya.

Sertipikat tersebut merupakan produk dari kegiatan tanah. Pendaftaran tanah

tersebut menurut pasal 1 PP 20 Tahun 1997 diartikan sebagai bidang-bidang tanah

dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda

bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.” Kata-kata

“rangkaian kegiatan” menunjuk adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan

pendaftaran tanah. Kata-kata “terus menerus” menunjuk kepada pelaksanaan

kegiatan, bahwa sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Kata “teratur” menunjukkan,

bahwa semua kegiatan harus berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan

yang sesuai.

Hasil dari proses pendaftaran tanah tersebut, kepada para pemegang hak atas

tanah yang didaftar diberikan surat tanda bukti hak yang disebut dengan “Sertipikat”.

(21)

yang memuat data yuridis dan data fisik obyek yang didaftar, untuk hak

masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah.

Data yuridis diambil dari buku tanah, sedangkan data fisik diambil dari surat

ukur, dengan tetap dipergunakannya sistem publikasi negatip yang mengandung

unsur positip dalam kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia, maka surat tanda bukti

hak (sertipikat) berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Seperti dinyatakan dalam

Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2)

UUPA. Artinya, bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data

yuridis yang tercantum di dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar,

baik melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam perkara di Pengadilan.

C. Prosedur Pembatalan Hak Atas Tanah Akibat Putusan Pengadilan.

1. Pengertian dan Dasar Hukum Pembatalan Hak Atas Tanah

Kepemilikan sertipikat hak atas tanah dapat dibatalkan jika keputusan tersebut

mengandung cacat hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pengertian pembatalan hak atas tanah rumusan yang lengkap ada pada Pasal 1

angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3

Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan

Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, yaitu: “Pembatalan keputusan

mengenai pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung

cacat hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah

(22)

Sertipikat cacat hukum adalah penerbitan sertipikat yang keliru pada saat

penerbitannya. Sertipikat cacat hukum antara lain sertipikat palsu, sertipikat asli tapi

palsu dan sertipikat ganda. Sertipikat disebut sertipikat palsu, apabila57 a. Data pembuatan sertipikat adalah palsu atau dipalsukan;

b. Tanda tangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dipalsukan;

c. Blanko yang dipergunakan untuk mem-buat sertipikatnya merupakan blanko

yang palsu/ bukan blanko yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.

Cacat hukum administrasi dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah sebagai

penyebab pembatalan menurut PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999 Pasal 107 meliputi:

Kesalahan prosedur, Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan, kesalahan

subyek hak, kesalahan obyek hak, kesalahan jenis hak, kesalahan perhitungan luas,

kesalahan jenis tanah, terdapat tumpang tindih hak atas tanah, data yuridis dan data

fisik tidak benar, dan kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

Pembatalan hak atas tanah melaksanakan putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap hanya dapat diterbitkan berdasarkan permohonan pemohon,

hal ini ditegaskan dalam Pasal 124 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan

Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, selanjutnya dalam ayat

(2), Putusan Pengadilan dimaksud bunyi amarnya, meliputi dinyatakan batal atau

tidak mempunyai kekuatan hukum atau intinya sama dengan itu.

57

(23)

Kewenangan untuk melakukan pembatalan terhadap sertipikat hak atas tanah

termasuk juga pembatalan sertipikat hak milik atas tanah adalah berada pada Kepala

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam

ketentuan Pasal 73 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia No. 3 Tahun 2011, yang menetapkan “Pemutusan hubungan hukum atau

pembatalan hak atas tanah atau pembatalan data pemeliharaan data pendaftaran tanah

dilaksanakan oleh Kepala BPN RI”.

Pasal 124 PMNA/ KBPN Nomor 9 Tahun 1999 berbunyi “keputusan

pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas permohonan yang

berkepentingan”. Secara umum dapat disimpulkan bahwa piha yang berkepentingan

tersebut adalah orang pribadi atau badan hukum yang mempunyai hubungan hukum

dan kepentingan terhadap hak atas tanah tersebut yang merupakan pihak yang

berpekara di peradilan, baik penggugat maupun tergugat.

2. Objek dan Permohonan Pembatalan Hak Atas Tanah

Secara khusus objek pembatalan hak atas tanah sebagai tindak lanjut

pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam bab V petunjuk teknis nomor

06/JUKNIS/D.V/2007 tentang berpekara di pengadilan dan tindak lanjut pelaksaan

putusan pengadilan yang meliputi;

a. Pembatalan hak atas tanah dan atau pembatalan akibat pencabutan surat

keputusan penetapan hak atas tanah

(24)

c. Pembatalan sertipikat hak atas tanah dan atau

d. Pembatalan pendaftaran peralihan hak

e. Pembatalan pendaftaran peralihan hak tanggungan

f. Pembatalan pendaftaran hak tanggungan

g. Pembatalan terhadap surat keputusan pembatalan sebagaimana tersebut pada

angka 1 sampai dengan angka 6 diatas.

Pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang

telah berkekuatan tetap harus dilakukan berdasaran permohonan pihak yang

berkepentingan. Permohonan pembatalan hak atas tanah tersebut dapat diajukan

langsung kepada menteri atau kepala kantor wilayah provinsi atau dapat juga

diajukan melalui kepala kantor pertanahan kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam

pasal 125 PMNA/KBPN nomor 9 tahun 1999. Permohonan diajukan secara tertullis

yang memuat:

a. Keterangan mengenai diri pemohon

1) Apabila perseorangan; nama , umur, kewarganegaraan, tempat tinggal,

dan pekerjaan (melampirkan foto copy bukti identitas, surat bukti

kewarganegaraan).

2) Apabila badan hukum; nama,tempat kedudukan, akta atau peraturan

pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan

yang berlaku (melampirkan foto copy atau peraturan pendiriannya).

(25)

1) Memuat nomor dan jenis hak atas tanah melampirkan fotocopy surat

keputusan dan surat keputusanya)

2) Letak, batas-batas, dan luas tanahnya dengan menyebutkan tanggal dan

nomor surat ukur atau gambar situasi jika ada.

3) Jenis penggunaan tanahnya (pertanian/non pertanian)

c. Alasan permohonan pembatalan disertai keterangan lain sebagai data

pendukung anatara lain;

1) Foto copy putusan pengadilan dari tingkat pertama sampai dengan

putusan terakhir.

2) Berita acara eksekusi, apabila perkara perdata dan pidana

3) Surat surat lain yang berkitan dengan permohonan pembatalan

Setelah memenuhi persyaratan permohonan, selanjutnya diajukan kepada

pejabat berwenang dalam hal ini dapat diajukan langsung ke menteri atau kepala

kantor wilayah provinsi dan atau melalui kepala kantor pertanahan kota/kabupaten

3. Prosedur permohonan pembatalan hak atas tanah

Tata cara pembatalan hak atas tanah diatur dalam pasal 127 sampai dengan

133 PMNA/KBPN nomor 9 tahun 1999 yaitu;

a. Apabila permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan melalui kantor

pertanahan sebagai berikut

b. Memeriksa dan meneliti kelengkapan berkas permohonan baik data yuridis

dan data fisik

(26)

d. Memerikan tanda terima berkas perrmohonan dan

e. Memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan data

fisik jika masih diperlukan.

f. Melakukan verifikasi terhadap data yuridis dan data fisik permohonan dengan

cara mencocokan hak atas tanah dengan amar putusan pengadilan dengan data

yuridis yang terakhir sebelum diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

g. Menyampaikan berkas permohonn pembatalan hak atas tanah kepada menteri

disertai pertimbangan dan keterangan apabila terdeata perbedaan antara data

yuridis dan data fisik dengan putusan pengadilan.

Setelah berkas permohonan sampai dikantor menteri, maka menteri

memerintahkan pejabat yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan sebagai berikut;

a. Mencatat dalam formula isian yang telah ditentukan .

b. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik dana apabila

belum lengkap segera meminta kepala kekantor pertanahan untuk melengkapi.

c. Meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan

dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidak nya amar

putusan pengadilan dilaksanakan.

d. Memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan

hak atas tanah yang dimohon atau memeberitahukan bahwa amar putusan

pengadilan tidak dapat dillaksanakan disertai dengan alasan dan

(27)

e. Apabila menteri tidak dapat melaksankan amar putusan pengadilan menteri

dapat mohon fatwa kepada mahkamah agung dalam pelaksaaan amar putusan

pengadilan dimaksud.58

D. Tinjauan Umum Kewarisan Islam

Peristiwa kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi pada setiap

yang bernyawa, tak terkecuali manusia. Tentunya dengan adanya pristiwa kematian

maka harta yang ditinggalkan menjadi wajib untuk segera diselesaikan, dengan cara

apa penyelesaian pembagian warisan dan dengan hukum apa yang harus digunakan

dalam pembagian warisan telah menjadi pilihan tersendiri bagi ahli waris untuk

memilihnya.

Kata kewarisan berasal dari kata warasa, kata kewarisan banyak digunakan

dalam al-Qur’an dan kemudian di rinci dalam Sunnah Rasulullah SAW hukum Islam

dibangun.59 Dalam literature Indonesia kata kewarisan dengan awalan “ke” dan akhiran “an” jelas menunjukkan kata benda dan mempunyai makna yang

berhubungan dengan mewarisi, diwarisi dan diwariskan.60

Ketentuan yang mengatur bagaimana cara pemindahan harta warisan yang

ditinggakan oleh pewaris kepada ahli waris, di dalam Islam dikenal sebagai ilmu

Faraidh. ilmuFara’idholeh sebagianfaradhiyunmemberi pengertian yaitu ilmu fiqh

58

Kegiatan berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan pembatalan hak karena melaksanakan putusan pengadilan yang merupakan kewenangan kepala kantor wilayah(pasal 130 pmna/KBPN Nomor 9/ 1999).

59M. Yunus Daulay & Nadarlah Naimi.Fiqih Muamalah. (Medan : Ratu Jaya, 2011) hal. 121 60

(28)

yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara

perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan

pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap

pemilik hak pusaka.61

Islam sebagai agama yang sempurna, telah mengatur secara jelas di dalam

Al-Qur'an hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak

seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan

nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu,

paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Oleh karena itu,

Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris.

1. Pengertian dan Dasar Hukum Waris Islam

Hasbi Ash-Siddieqy mengemukakan Hukum waris Islam adalah suatu ilmu

yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka dan orang yang

tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara

pembagiannya.62Menurut ilmu fiqih, mewaris mengandung arti ialah tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa yang berhak terhadap

harta warisan, bagaimana cara pembagiannya masing-masing.

Fiqih mewaris disebut juga dengan ilmu faraid karena berbicara mengenai

bagian-bagian tertentu yang menjadi hak ahli waris.63 Pasal 171 huruf (a) Kompilasi

61Fatchur Rahman,Ilmu Mewaris,,(Bandung ; Alma’arif 1971), hal. 32.

62Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris,(Jakarta : Bulan Bintang, 1973) hal. 18.

63 H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,

(29)

Hukum Islam mendefinisikan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur

tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris.

Sehingga yang dimaksud dengan hukum kewarisan Islam ialah hukum yang

mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan pemindahan hak dan/atau kewajiban

atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada para ahli warisnya

yang masih hidup, khususnya bagi yang beragama islam. Di dalam Al-Qur’an cukup

banyak ketentuan mengenai pewarisan, setidaknya ada tiga ayat yang memuat tentang

hukum waris. Ketiga ayat tersebut terdapat di dalam surat An-Nisaa ayat 11, 12 dan

176. Allah berfirman yang artinya :

a. Surat An-Nisa’ ayat 11-12;

“Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu,

yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak

perempuan...”.

b. Surat An-Nisa ayat 176

“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah(tidak meninggalkan anak

dan ayah)...”.

Selain sumber hukum dari Al-Qur’an ada juga beberapa hadist yang berkaitan

dengan warisan, antara lain:64

a. Hadist Rasulullah dari Ibnu Abbas r.a

64Afdol,Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil,(Surabaya : Airlangga University Press,

(30)

“Dalam kitab Bulughul Maram, hadist dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:

bersabda Rasulullah SAW, serahkan pembagian warisan itu kepada ahlinya,

bila ada yang tersisa maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat”.

b. Hadist Rasulullah dari Al-Bukhari dan Muslim

“Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas, bahwa

nabi Muhammad SAW bersabda: berikanlah bagian-bagian yang telah

ditentukan itu kepada pemiliknya yang berhak menurut nash, dan apa yang

tersisa maka berikanlah kepada ashabah laki-laki yang terdekat kepada si

pewaris”.

c. Hadits Rasulullah dari Ibnu Abas r.a65

“Ibnu Abbas r.a meriwayatkan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda:

berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu sisanya,

yang lebih utama/yang lebih dekat adalah orang laki-laki”.

d. Hadist Rasulullah dari Ibnu Abas r.a66

Dari Ibnu Abas r.a dari Nabi SAW beliau berkata:bagi-bagilah harta benda itu

diantara ahli Faraidh menurut kitab Allah’(HR.Muslim dan Abu Daud).

Selain itu, di Indonesia sendiri, terkait mengenai dasar hukum ketentuan

pembagian warisan secara islam telah dituangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam

atau yang disingkat KHI, yaitu di dalam Pasal 171-193.

65 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta : Senayan

Abadi Publishing, 2004), hal. 19 dan 22

66Mukhilis Lubis dan Mahmun Zulkifli, Ilmu Pembagian Waris, (Bandung : Cipta Pusaka

(31)

2. Asas-asas Waris dan Sebab Waris

Asas-asas hukum waris Islam yakni :

a. AsasIjbari

Asas Ijbari dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan asas memaksa,

maksudnya ialah asas yang terkandung dalam kewarisan Islam itu menciptakan

adanya proses pemindahan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli

warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Unsur paksaan sesuai

dengan arti terminologi tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima

kenyataan perpindahan harta kepadanya sesuai dengan yang telah ditentukan.67 Selain itu, Asas ijbari dalam hukum waris berarti terjadinya pemindahan

harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup tanpa

ada perbuatan hukum, atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris

semasa hidupnya tidak dapat menolak atau menghalangi terjadinya peralihan

tersebut.68

b. Asas Bilateral

Asas bilateral adalah asas yang berlaku secara timbal balik, baik untuk

laki-laki maupun perempuan. Yang mengandung arti bahwa setiap orang menerima hak

kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis kerabat keturunan

laki-laki dan garis kerabat keturunan perempuan.69 c. Asas Individual

67Syafruddin Amir,Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta : Kencana, 2004), hal.17

68 Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Grup, 2006), hal. 207

69Muhibbin Muhammad, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum Positif di

(32)

Bahwa harta warisan yang akan dibagi kepada para ahli waris secara

perorangan untuk dimiliki masing-masing ahli waris tersebut secara mutlak. Jadi

masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri tanpa terkait dengan

ahli waris yang lainnya, menurut kadar bagian masing-masing. Dengan demikian hak

perorangan tersebut akan tetap terpelihara.

d. Asas Keadilan Berimbang

Dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan

antara yang diperoleh dengan keperluan atau kebutuhannya. Bahwa harus terdapat

keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dalam hukum Islam harta warisan yang

ditinggalkan kepada ahli waris merupakan pelanjutan tanggung jawab pewaris

terhadap keluarganya, oleh karena itu besar kecilnya bagian yang diterima oleh

masing-masing ahli waris seimbang dengan besar kecilnya tanggung jawab yang

dipikulnya.

e. Asas Kewarisan Terjadi Semata Akibat Kematian

Bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku setelah yang

mempunyai harta tersebut meninggal dunia dan selama harta itu tidak dapat beralih

kepada orang lain. pewarisan itu terjadi karena ada yang meninggal dunia.70 Bahwa pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan ahli waris benar-benar masih hidup

pada saat meninggalnya pewaris tersebut. Asas ini berarti bahwa harta seseorang

tidak dapat beralih kepada orang lain selama yang mempunyai harta tersebut masih

hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup

(33)

baik secara langsung maupun setelah ia mati tidak termasuk ke dalam istilah

pewarisan menurut hukum Islam.71

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:72

1. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang

laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim

(bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak,

tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.

2. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak,

saudara, paman, dan seterusnya. Ditinjau dari garis yang menghubungkan

nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, kerabat-kerabat itu

dapat digolongkan kepada 3 (tiga) golongan yakni:

a. Furu’,yaitu anak turun (cabang) dari si mayit

b. Ushul,yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si mayit.73

3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi

danwala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan

budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang

membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang

dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah

mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu

Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang

71Syafruddin Amir,Op Cit,hal.28 72Fatchur Rahman,Op.Cit, hal. 113

(34)

dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya

kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

3. Syarat Waris

Syarat menurut istilah adalah sesuatu yang karena ketiadaannya tidak akan

ada hukum. Syarat-syarat waris ada tiga :

a. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum

(misalnya dianggap telah meninggal).

b. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal

dunia.

Masih hidupnya para ahli waris, maksudnya, pemindahan hak

kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat

benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk

diwarisi. Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak

saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa atau dalam keadaan yang

berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal maka di

antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika

masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha (ahli hukum Islam)

digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu

kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha

menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.

c. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian

(35)

Diketahuinya posisi para ahli waris, dalam hal ini posisi para ahli waris

hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya,

sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan

kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh

dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak

cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi

harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara

seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima

warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena ashabah, ada yang terhalang

hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

4. Terhalangnya seseorang mendapatkan warisan

Menurut Kompilasi Hukum Islam74yang sebagaimana diatur dalam Pasal 173, seorang terhalang menjadi ahli waris oleh putusan hakim yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap dihukum karena:

a. Dipersalahkan karena telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat para pewaris

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris

telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun

penjara atau hukuman yang lebih berat.

74Moh Muhibin dan Adul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003),

(36)

Isi dari Pasal 173 KHI75 di atas sama dengan isi dari Pasal 838 KUHPerdata, akan tetapi dalam Pasal 186 KHI yang dijelaskan oleh H. M. Mawardi Muzamil.

“bahwa seorang laki-laki yang melakukan zina dan mengakibatkan lahirnya anak

hasil zina, maka ia tidak berhak menjadi ahli waris dari anak hasil zinanya, dan anak

hasil zina juga tidak dapat berkedudukan sebagai ahli waris dari laki-laki yang

menyebabkan ia dilahirkan”.

Penghalang, yang kita kenal dengan istilah Al-Hajib, ini ada dua, Pertama:

Karena sifat, seperti: budak, pembunuh dan berbeda agama. Artinya, meskipun

seseorang termasuk ahli waris anak dari si mayit, tetapi karena anak ini yang

membunuh pewaris (yang mewariskan) tadi, anak ini murtad, atau berstatus sebagai

budak, tetapi orang tadi tidak berhak mendapatkan harta warisan. Kedua: Terhalang

dengan orang. Artinya, ahli waris-ahli waris tertentu menjadi terkurangi bagiannya

atau tidak jadi mendapatkan harta warisan dikarenakan keberadaan ahli waris lain

yang lebih berhak. Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk

75Mawardi Muzami, “Hikmah Waris dalam Islam”,

(37)

mewarisi ada tiga macam, yaitu perbudakan, pembunuhan, berlainan agama atau

murtad.

a. Perbudakan

Perbudakan menjadi penghalang untuk mewaris didasarkan pada kenyataan

bahwa seorang budak tidak memiliki kecakapan bertindak atau tidak dapat menjadi

subjek hukum. Di dalam Al-Qur’an telah digambarkan bahwa seorang budak tidak

cakap mengurus hak milik kebendaan dengan jalan apa saja.76 hal ini termuat dalam

Al-Qur’ansuratAn-Nahlayat 75 yang artinya:

”Allah telah membuat perumpamaan ( yakni) seorang budak yang tidak dapat

bertindak terhadap sesuatu pun...”.

Seorang budak tidak dapat mewaris karena ia tidak cakap berbuat. Seorang

budak tidak dapat diwarisi jika ia meninggal dunia, sebab ia orang miskin yang tidak

memiliki harta kekayaan sama sekali. Namun pada masa kini pada dasarnya

perbudakan sudah tidak ada lagi, kalaupun ada mungkin jumlahnya amat kecil.

Perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk

umum yang menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan

hukum. Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk

mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak,

secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak

murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal),

ataumukatab(budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya,

(38)

dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak

merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka

tidak mempunyai hak milik.77

Status budak tidak dapat mempusakai atau hak waris mewarisi. Hal tersebut

disebabkan oleh:

1) Tidak cakap dalam mengurus harta milik

2) Status kekerabatan terhadap keluarganya sudah putus, dan ia diqiyaskan

kepada orang asing, sedangkan mewarisi kepada orang asing itu batal.

b. Pembunuhan

Bila ada orang yang berhak menerima waris, tetapi orang itu membunuh

orang yang akan mewariskan, misalnya ada anak yang tidak sabar menanti warisan

ayahnya, sehingga ia membunuh ayahnya, maka anak tersebut tidak berhak

mengambil pusaka ayahnya.

Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwarris

menyebabkannya tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas

(jumhur) ulama. Hal tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak

menutup kemungkinan untuk menguasai harta seseorang membunuh orang lain.

Karena motivasi yang tidak baik tersebut, maka terhadap orang yang membunuh

tidak diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta peninggalannya. Adapun

pembunuh secara tidak sengaja, maka menurut Imam Malik, dia tetap mendapat

7741M. Ali ash-Shabuni. ”Pembagian Waris Menurut Islam.” http://media.isnet.org

(39)

hartawaris. Sedangkan jumhur ulama berpendapat, pembunuh tidak mendapat harta

waris, baik dengan sengaja atau tidak.

Pada dasarnya pembunuhan itu adalah merupakan tindak pidana kejahatan

namun dalam beberapa hal tertentu pembunuhan tersebut tidak dipandang sebagai

tindak pidana dan oleh karena itu tidak dipandang sebagai dosa. Untuk lebih

mendalami pengertiannya ada baiknya dikategorikan sebagai berikut:78

1) Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, seperti pembunuhan di

medan perang, melaksanakan hukuman mati, dan membela jiwa, harta dan

kehormatan.

2) Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum (tindak pidana kejahatan),

seperti: pembunuhan dengan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja.

Terhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan hak kewarisan dari yang di

bunuhnya, di sebabkan alasan-alasan berikut:

1) Pembunuhan itu memutuskan silaturrahmi yang menjadi sebab adanya

kewarisan, dengan terputusnya sebab tersebut maka terputus pula

musababnya.

2) Untuk mencegah seseorang mempercepat terjadinya proses pewarisan.

3) Pembunuhan adalah suatu tindak pidana kejahatan yang di dalam istilah

agama disebut dengan perbuatan ma’siat, sedangkan hak kewarisan

(40)

merupakan nikmat, maka dengan sendirinya ma’siat tidak boleh di

pergunakan sebagai suatu jalan untuk mendapatkan nikmat.79

Dalilnya, Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda. Artinya “Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris.80 Jalan tengah dari dua pendapat yang berbeda ini, Syaikh Al-Allamah Muhammad bin

Shalih Al-Utsaimin berkata : “Pembunuhan yang disengaja tidak berdosa apabila

pembunuhan itu seperti membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka

membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka tidaklah menghalangi

pembunuhnya mendapatkan harta waris dari yang dibunuh., karena tujuannya untuk

membela diri.81 Demikian juga, misalnya pembunuhan yang disebabkan karena mengobati atau semisalnya, maka tidaklah menghalangi orang itu untuk mendapatkan

harta waris, selagi dia diizinkan untuk mengobati dan berhati-hati”.

c. Berlainan Agama

Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam

menjadi penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta

peninggalan orang yang beragama non Islam. Adapun dasar hukumnya adalah hadis

Rasulullah SAW yang artinya: Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan

orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.82

79Husain Amin Nasution.Hukum Kuarisan Suatu Analisis Komperatif Pemikiran Mujtahid

Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 67

80Aunur Rofiq bin Ghufron,Orang Yang Tidak Berhak Mendapat Harta Waris.”Majalah

As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M.Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.

81ibid

82Muhammad Nafis. “Warisan Bagi Non Muslim dan Murtad.” http://www.pa

(41)

Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda.

Dalam hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman

beliau, Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW, yang

meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada

anak-anaknya yang masih kafir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan terhadap anak

anaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian.

Demikian juga dengan orang yang murtad (orang yang keluar dari agama

Islam) mempunyai kedudukan yang sama yaitu tidak dapat mewarisi harta

peninggalan keluarganya. Orang yang murtad tersebut telah memutuskan shilah

syariah, oleh karena itu para fuqaha sepakat bahwa orang murtad tidak berhak

menerima harta warisan dari kerabatnya.83 5. Menyegerakan Pembagian Warisan

Masalah waktu menyegerakan, maka beberapa ulama menyepakati hal ini,

sebab dikhawatirkan akan timbul masalah di kemudian hari jika pembagian waris

berlama-lama, dan juga mempertimbangkan faktor lain. Bahkan ada anjuran kepada

pemilik harta, untuk membuat wasiat semasa hidupnya, agar sepeninggal nanti, ahli

warisnya harus menyegerakan membaginya secara syar'i, jika tidak maka bisa

terancam dosa.

Pembagian harta warisan harus segera dilaksanakan setalah pewaris

meninggal, tidak boleh ditunda-tunda, kecuali jika ada keadaan tertentu yang tidak

83Ibnu Rusyd,Analisa Fiqih Para Mujahid (terjemahan Bidayatul Mujtahid),Juz III, (jakarta

(42)

memungkinkan, misal karena rumahnya belum laku dijual, atau ada ahli waris yang

masih bayi/kecil, atau ada ahli waris yang banci, atau ada ahli waris yang

hilang/tertawan, maka ada bagian yang dibekukan untuk sementara hingga diketahui

keadaannya. Harta warisan adalah sepenuhnya milik para ahli warisnya, karena itu

tidak boleh mengambil/menguasai harta milik mereka. Segeralah ditunaikan jika

mereka menginginkannya disegerakan, jangan sampai karena lama tidak dibagikan,

akhirnya muncul kecurigaan dan kebencian dari para ahli waris, karena sesungguhnya

mereka bisa jadi sangat membutuhkan harta tersebut.

Menyegerakan pembagian harta warisan memiliki hikmah. Untuk

menghindari adanya konflik, maka sebaiknya apabila orang tua yang bijaksana,

apalagi memiliki harta yang cukup banyak, seharusnya dibuat surat wasiat (testamen)

di hadapan Notaris agar tidak menimbulkan persengketaan di antar ahli waris di

kemudian hari.84

Shiddiq al-Gharyani dalam bukunya ‘Fatawa Muamalat asy-Syaiah’ berkata,

‘Menunda dan memperlama proses pembagian harta warisan akan mengakibatkan

kelupaan, keteledoran, dan kehilangan, atau terjadi pemanfaatan harta warisan oleh

mereka yang tidak berhak, juga berarti memakan harta dengan cara yang bathil, atau

menyia-nyiakan harta dan meremehkan hak orang lain. Ini semua merupakan

persoalan yang perlu diwaspadai, sebab seringkali menimbulkan persoalan serius

seperti konflik, permusuhan, dan putusnya tali persaudaraan

84 Ahmad Sarwat. Harta Warisan Harus Segera Dibagikan, http://www. Rumah fiqih.com

(43)

6. Prosedur Permohonan Penetapan Ahli Waris

Surat keterangan waris merupakan surat yang isinya menerangkan tentang

kedudukan ahli waris dan hubungannya dengan pewaris. Dengan adanya surat

keterangan waris tersebut ahli waris dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta

peninggalan pewaris. Tindakan hukum di sini maksudnya adalah tindakan

pengurusan dan tindakan kepemilikan secara bersama-sama. Apabila ada satu orang

ahli waris yang tidak setuju maka tindakan hukum tersebut tidak dapat dilakukan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 a ayat (1) Stb 1882 Nomor 152 jo Stb 1937

Nomor 116 – 610, bagi orang Indonesia yang beragama Islam di Jawa dan Madura,

surat keterangan warisnya dikeluarkan oleh Pengadilan Agama yang berupa

penetapan ahli waris atau fatwa waris. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 4 ayat

(1)PP No.45 tahun 1957 tentang keterangan waris, bagi orang Indonesia yang

beragama Islam yang berada di luar Jawa dan Madura keterangan warisnya

dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah. Sedangkan berdasarkan

ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum,

bahwa keterangan waris dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri yang berupa surat

penetapan ahli waris.

Namun dengan berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama yang berlaku sejak tanggal 29 Desember 1989, maka kewenangan

Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara warisan khususnya bagi orang Indonesia

yang beragama Islam beralih kepada Pengadilan Agama. Sedangkan berdasarkan

(44)

tanggal 20 Desember 1969 Nomor Dpt/12/63/12/69 sebagaimana telah diralat dengan

Surat Edaran Direktorat Pendaftaran Tanah Direktorat Jenderal Agraria tanggal 13

Juni1977 Nomor Dpt.6/393/VI/77, surat keterangan waris bagi Warga Negara

Indonesia dibagi dalam empat kelompok, yaitu :

a. Golongan keturunan barat (Eropa) dibuat oleh notaris.

b. Golongan penduduk asli surat keterangan waris dibuat oleh ahli waris,

disaksikan oleh lurah dan diketahui oleh camat.

c. Golongan keturunan Tionghoa, oleh notaris.

d. Golongan keturunan Timur Asing lainnya, oleh Balai Harta Peninggalan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 107 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun

1989 tentang Peradilan Agama, dalam hal ada permohonan penyelesaian kewarisan di

luar sengketa waris, Peradilan Agama berwenang mengeluarkan Akta Permohonan

Pertolongan Pembagian Harta Peninggalan (AP3HP), yang selama ini berdasarkan

Pasal 236a RIB menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, yang berbunyi : “Atas

permintaan bersama dari ahli waris atau bekas istri orang yang meninggal, maka

Pengadilan Negeri memberi bantuan mengadakan pemisahan harta benda antara

orang-orang yang beragama manapun juga, serta membuat surat (akte) dari itu di luar

perselisihan.”85

Pengadilan Agama berwenang mengeluarkan surat ketetapan atau fatwa ahli

waris bagi penduduk Indonesia yang bergama Islam, yang didasarkan pada Surat

Edaran Direktorat Jenderal Agraria Nomor Dpt.12/63/12/69 tertanggal 20 Desember

(45)

1969. Penetapan ini dibuat apabila ada permohonan dari para ahli waris. Surat

ketetapan fatwa waris tersebut berisikan tentang nama pewaris, nama para ahli waris,

serta jumlah pecahan bagian masing-masing ahli waris.

Penetapan waris bukanlah merupakan wewenang dari RT atau RW setempat

dimana para pihak atau pemohon bertempat tinggal, melainkan merupakan wewenang

dari Pengadilan Agama dalam hal si pewaris dan ahli waris adalah orang yang

beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada pasal 49 huruf b

Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang-undang No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama

antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

a. Perkawinan, b. Waris, c. Wasiat, d. Hibah, e. Wakaf, f. Zakat, g. Infaq,

h. Shadaqah, dan i. Ekonomi Syariah.

Penjelasan lebih detail mengenai permasalahan waris apa saja yang diatur

dapat dilihat pada penjelasan Pasal 49 huruf b UU Peradilan Agama yang berbunyi :

“…Yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli

waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli

(46)

pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli

waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris…”

Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa untuk mengurus permohonan

penetapan ahli waris dilakukan melalui pengadilan. Permohonan penetapan ahli waris

diajukan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Kemudian apabila dicermati

dengan teliti maka akan ditemukan bahwa format keterangan waris yang diketahui

oleh RT/RW, lurah, maupun camat ini tidak memiliki standart dan bentuknya

bermacam-macam. Data-data yang terdapat dalam keterangan waris kurang akurat,

tidak terdapat data yang berkaitan dengan wasiat. Padahal wasiat adalah hal yang

umum ada didalam masyarakat. Demikian pula dari sisi kebenarannya, keterangan

waris masih dipertanyakan otentitasnya. Seringkali apa yang tertulis dalam

keterangan waris berbeda dengan kenyataan sebenarnya, seperti tidak seluruh ahli

waris tercantum dalam keterangan waris, bahkan ahli waris tidak menandatanginya di

hadapan lurah atau camat yang bersangkutan.

Produk hukum berupa “penetapan” merupakan produk hukum yang hanya

dapat dihasilkan oleh lembaga pengadilan, dengan demikian kantor kecamatan tidak

memiliki wewenang dalam mengeluarkan penetapan tentang ahli waris. Maka yang

berhak mengeluarkan penetapan ahli waris ialah pengadilan, dalam hal ini bagi

mereka yang beragama Islam ialah Pengadilan Agama.

Terkait dengan penetapan ahli waris, maka prosedur yang harus ditempuh

ialah mengajukan surat permohonan Penetapan Ahli Waris ke Pengadilan. Bagi

(47)

Agama, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006

tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU

Peradilan Agama), sedangkan, bagi mereka yang beragama selain Islam, maka surat

permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri.86

Adapun hal-hal yang perlu dipersiapkan antara lain ialah layaknya sebuah

proses permohonan di pengadilan. Permohonan diajukan ke pengadilan oleh ahli

waris, kemudian harus menyiapkan bukti-bukti yang bisa memperkuat dasar

permohonan, seperti misalnya bukti tertulis (surat) berupa akta nikah, silsilah

keluarga yang biasanya terdapat pada kartu keluarga, surat keterangan kematian, surat

pengantar dari kepala desa, serta bisa juga berupa saksi-saksi yang dapat memperkuat

keterangan dalam persidangan.87

Dalam masalah warisan ini dapat ditempuh dua cara, yakni :88 a. Melalui gugatan.

Dalam hal gugatan yang diajukan, berarti terdapat sengketa terhadap objek

waris. Hal ini bisa disebabkan karena adanya ahli waris yang tidak mau membagi

warisan sehingga terjadi konflik antara ahli waris. Apabila terjadi sengketa diantara

ahli waris, yang bersangkutan datang ke Pengadilan Agama untuk mengajukan

perkaranya. Proses akhir dari gugatan ini akan melahirkan produk hukum berupa

putusan. Pengadilan Agama akan menetapkan putusan yang memiliki kekuatan

hukum yang mengikat bagi para pihak untuk tunduk pada putusan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut dikarenakan pentingnya peranan sektor ini mengacu kepada karakteristiknya yang khas di antaranya: Pertama, sifatnya yang padat karya; Kedua, sebagian besar

Green procurement menjadi kriteria kedua dengan persentasi sebesar 27,32% dengan melakukan pemilihan green supplier yang menerapkan standar ISO, memperhatikan efisiensi

Pemakaian nama merek memberikan beberapa keunggulan bagi produsen seperti: memudahkan penjual untuk mengelolah pesanan dan menekan permasalahan, secara hukum

In 2003, for example, Kebon Agung Sugar Mill allocated transportation subsidies up to Rp 5000/quintal of sugarcane, so that the total amount spent reached Rp 4.7 billion; and (ii)

Keterangan: Dalam perbandingan berpasangan kluster green distribution pada pembacaan tabel diatas kotak yang berwarna hijau bahwa penilaian oleh responden 3 pada kriteria

Hasil penelitian imenunjukan terdapat pengaruh yang signifikan antara perputaran modal kerja terhadap profitabilitas melalui variabel intervening perputaran piutang

Selain itu siswa juga antusias mengikuti permainan dalam proses pembelajaran serta mau mengerjakan tugas yang diberikan (walaupun masih terdapat sedikit siswa

[r]