TESIS
Oleh
HERMANTO MARBUN
107011036/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
HERMANTO MARBUN
107011036/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : HERMANTO MARBUN
Nomor Pokok : 107011036
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum)(Notaris. Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN
Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum
2. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
Nama : HERMANTO MARBUN
Nim : 107011036
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PANDANGAN KRITIS EKSISTENSI PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN
1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH ATAS
SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH
(STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
mamerlukan dukungan kepastian hukum di bidang pertanahan. Sistem publikasi dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yang dipakai oleh UUPA jo PP Nomor 10 Tahun 1961 adalah sistem publikasi negatif. Dalam kenyataannya masih menimbulkan keraguan akan pemberian jaminan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat hak atas tanah. Karena pemilik hak atas tanah masih rentan terhadap gangguan akan gugatan terhadap kepemilikannya dari pihak lain setiap saat. Meskipun PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah masih menggunakan sistem publikasi yang sama dengan PP Nomor 10 Tahun 1961, tetapi aspek kepastian hukum dan perlindungan hukumnya tampak nyata tertuang dalam Pasal 32 ayat (2). Ketentuan pasal ini menegaskan kakuatan sertipikat sebagai alat bukti yang kuat dengan batasan waktu salama 5 tahun yang diperoleh dengan itikad baik. Kepastian ini menghindari rasa was-was pemegang sertipikat tanah atas gugatan pihak lain tersebut. Keberadaan peraturan ini perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya. Karena secara empiris masih timbul adanya pro dan kontra dalam penerapannya.
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang dilakukan dengan secara pendekatan yuridis normatif. Sumber data diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder, pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Fungsi dan peranan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas kepemilikan tanah. Untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, maka masyarakat perlu mendaftarkan tanah guna memperoleh sertipikat hak atas tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah. Namun kekuatan hukum sertipikat hak sebagai tanda alat bukti hak atas tanah, pembuktiannya tidak bersifat mutlak karena masih dapat dilumpuhkan oleh alat bukti lain yang dapat membuktikan sebaliknya.
in the development which needs support by legal certainty in the field of land. The publication system in performing land registration as it is stipulated in UUPA (Land Act) in conjunction with PP No. 10/1961 has a negative publication system. In reality, it still causes doubt about giving legal certainty for the holder of land certificate because he is vulnerable of being claimed any time about the ownership by other people. Although PP No. 24/1997 on Land Registration still uses publication system which is the same as PP no. 10/1961, the aspect of its legal certainty and legal protection are clearly stipulated in Article 32, paragraph (2). The provision of this article confirms the validity of a certificate as strong evidence within five year period obtained with good will. This legal certainty makes the holder of the land certificate firm against other people’s claim. This regulation needs to be implemented consistently because empirically there are still pros and cons in its implementation.
The research used descriptive analytic method with judicial normative approach. The data were obtained by gathering primary and secondary data. The primary data were gathered by performing interviews, and the secondary data were obtained from legal provisions and from literature materials. They were analyzed qualitatively.
The function and the role of land registration are for assuring legal certainty and right certainty on land ownership. In order to obtain legal certainty and right certainty, people should register their land in order to get land certificates as it functions as strong evidence of land ownership. However, the legal power of the certificate of land ownership is not always absolute evidence since other evidence may cancel it.
It is the responsibility of the management of the Land Office if later there is a problem with land certificates they have issued in Medan. They can be taken civil action, administration, and in the form of indemnity. The result of the research showed that a certificate is evidence and valid and the existence of Article 32, paragraph (2) of PP No. 24/1997 should be applied and implemented by the authority in order to have legal certainty and right certainty on the land for the owners of the land certificates. If there is any problem with land certificates, the legal consequence should be corrected through legal mechanism. The person who is injured should be given the compensation, based on Article 1365 of the Civil Code. The National Land Board is only responsible as the witness and can only participate in helping solve the problem. The National Land Board should be responsible for the certificates formally and materially since the land certificates are issued by the National Land Board.
Penyayang, yang telah memberikan rahmat dan hidayatNya serta kasihNya yang
sangat luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian tesis ini,
dengan judul “PANDANGAN KRITIS EKSISTENSI PASAL 32 AYAT (2)
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG
PENDAFTARAN TANAH ATAS SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH (STUDI
KASUS DI KOTA MEDAN)”.
Pada kesempatan ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih yang
sedalam-dalamnya, kepada yang sangat terhormat dan terpelajar, Bapak Prof. Dr.
Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Komisi pembimbing dan Bapak Prof.
Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum serta Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, S.H, MKn
selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat,
bimbingan serta pengarahan kepada saya dalam penulisan tesis ini. Demikian pula
ucapan terima kasih kepada Dosen Penguji Ujian Tesis Ibu Dr. T. Keizerina Devi A,
SH., CN, MHum., dan Ibu Chairani Bustami, S.H, SpN, MKn. Dan juga semua pihak
yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan
tesis ini sehingga tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K) Rektor
Magister Kenotariatan (MKn) dan Ibu Dr. Keizerina Devi A., SH., CN., MHum.
selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) berserta seluruh
staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat
diselesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., MHum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Studi Magister
Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
mendidik dan membimbing.
5. Ibu Rotua Novi Yanti, Kepala Sub Seksi Perkara Pertanahan di Kantor Pertanahan
Kota Medan.
6. Ibu Sri Puspita Dewi, Kepala Seksi Sengketa Konflik dan Perkara di Kantor
Pertanahan Kota Medan.
7. Ibu Elfiani S.H, MKn Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang
penulis sayangi :
1. Ayahanda Syarifuddin Marbun (Alm) dan Ibunda Hetdi Br Rumahorbo yang telah
saudara-Marbun, Keluarga besar Opung si Nova Pasaribu dan Keluarga Hobby Rudianto
Nahampun S.Pi.
2. Istri yang tercinta Limei Pasaribu, S.H, MKn terima kasih atas kesabaran,
perhatian, dukungan, bantuan dan motivasinya selama penulisan tesis ini.
3. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis
berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.
Medan, Agustus 2012 Hormat saya,
Nama : Hermanto Marbun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Kristen Protestan
Tempat/tanggal Lahir : P. Bandar, 05 November 1982
Alamat : Jl. Setia No. 40E, Kel.Tanjung Rejo, Kec.Medan Sunggal – Medan
II. KELUARGA:
Ayah : Syarifuddin Marbun (Alm)
Ibu : Hetdi Br. Rumahorbo
Adik : 1. Fredy Marbun
2. Candra Marbun, Amd. 3. Marlin Marbun, S.Farm.
4. Desma Wati Marbun, Amd.Keb. 5. Roy Marten Marbun
6. Tahan Rony Erwanto Marbun 7. Samuel Dapot Marbun
III. PENDIDIKAN :
SDN 48 SUNGAI RUMBAI – SUMBAR TAHUN 1988 - 1994
SLTP SWASTA SANTO YUSUP – BANDUNG TAHUN 1994 – 1997
SMU SANTA MARIA 3 CIMAHI – BANDUNG TAHUN 1997 – 2000
S1 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA
PADANG – SUMBAR TAHUN 2001 – 2006
S2 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR ISTILAH ... x
DAFTAR SINGKATAN... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Keaslian Penelitian ... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15
1. Kerangka Teori ... 15
2. Konsepsi ... 19
G. Metode Penelitian ... 21
1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan ... 21
2. Sumber Data ... 23
3. Analisa Data... 24
BAB II EKSISTENSI PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TERHADAP PEMILIK SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN ... 25
A. Eksistensi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ... 25
C. Keberlakuan Sertpikat Hak Atas Tanah ... 50
BAB III FUNGSI DAN PERANAN PENDAFTARAN TANAH DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH ... 66
A. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertipikat Hak Atas Tanah ... 66
B. Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Terhadap Pemegang Sertipikat ... 94
C. Fungsi Sertipikat Terhadap Pemilik Sertipikat Hak Atas Tanah ... 104
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN KANTOR PERTANAHAN YANG MENERBITKAN SERTIPIKAT JIKA KEMUDIAN BERMASALAH DI KOTA MEDAN ...109
A. Pertanggungjawaban Kantor Pertanahan Dalam Penerbitan Sertipikat ... 109
B. Upaya Pencegahan Sengketa Sertipikat oleh Pejabat Kantor Pertanahan... 118
C. Sanksi (Hukuman) Bagi Para Pihak Penerbitan Sertipikat Yang Bermasalah ... 127
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...132
A. Kesimpulan ... 132
B. Saran ... 133
DAFTAR PUSTAKA ... 135
Asas nulla-poena : Asas legalitas
Bedrog : Perbuatan curang
Contradictoir delimitation : Upaya mengurangi sengketa mengenai
(tanda) batas-batas tanah
Deelneming : Penyertaan/turut serta
Doodrgel : Norma hukum yang mati
Efisiensi : Ketepatgunaan/ ketangkasan
Eksepsi : Bantahan
Feasible : Suatu permohonan dapat dinilai menurut
hukum layak
Indefeasible title : Pendaftaran menciptakan suatu
In kracht van gewijsde : Putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap
Landrente : Pajak bumi
Lex dura, set tamen scripta : Undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah
Bunyinya
Materiel wederrechtelijkheid : Asas ajaran melawan hukum materil
Nemo plus juris : Seseorang tidak diperbolehkan mengalihkan
suatu hak melebihi hak yang dimilikinya.
Novum : Bukti baru
Onrecht matigedaad : Perbuatan melawan hukum
Overshrijvings Ordonnantie : Ordonansi balik nama
Rechtsverwerking : Orang yang melepaskan haknya dengan
alasan tidak memamfaatkan dan memperoleh
dengan itikad baik
Registration of deeds : Sistem pendaftaran akta
Registration of titles : Sistem pendaftaran hak
Schuld : Memenuhi unsur kesalahan
Simultan : Serentak
Sivis Pacem Para Bellum : Yang berarti hendak damai siapkan perang
Title search : Judul Pencarian
The register is everything : Untuk memutuskan adanya suatu hak dan
pemegang haknya cukup dilihat buku tanahnya
Uniform : Seragam/ sama
Verjaring : Daluwarsa/lewatnya waktu
Verponding : Sebidang tanah
Vis Probandi : Suatu keunggulan bagi akta otentik dibanding
dengan alat bukti lain ialah dari segi kekuatan
pembuktiannya bahwa akta otentik memiliki
kekuatan pembuktian sempurna
Volledige Bewijs Kracht : Kekuatan pembuktian yang memberikan
kepastian hukum yang cukup, kecuali
GPS : Global Positioning System
HGU : Hak Guna Usaha
HPL : Hak Pengelolaan
Jo : Juncto
Kab : Kabupaten
Ka. BPN : Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional
KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
LN : Lembaran Negara
MDN : Medan
PERMENAG : Peraturan Menteri Negara Agraria
PP : Peraturan Pemerintah
PPT : Pejabat Pendaftar Tanah
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
Psl : Pasal
PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara
RI : Republik Indonesia
SDM : Sumber Daya Manusia
SHM : Sertipikat Hak Milik
SKPH : Surat Keterangan Pemberian Hak
UU : Undang-Undang
mamerlukan dukungan kepastian hukum di bidang pertanahan. Sistem publikasi dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yang dipakai oleh UUPA jo PP Nomor 10 Tahun 1961 adalah sistem publikasi negatif. Dalam kenyataannya masih menimbulkan keraguan akan pemberian jaminan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat hak atas tanah. Karena pemilik hak atas tanah masih rentan terhadap gangguan akan gugatan terhadap kepemilikannya dari pihak lain setiap saat. Meskipun PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah masih menggunakan sistem publikasi yang sama dengan PP Nomor 10 Tahun 1961, tetapi aspek kepastian hukum dan perlindungan hukumnya tampak nyata tertuang dalam Pasal 32 ayat (2). Ketentuan pasal ini menegaskan kakuatan sertipikat sebagai alat bukti yang kuat dengan batasan waktu salama 5 tahun yang diperoleh dengan itikad baik. Kepastian ini menghindari rasa was-was pemegang sertipikat tanah atas gugatan pihak lain tersebut. Keberadaan peraturan ini perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya. Karena secara empiris masih timbul adanya pro dan kontra dalam penerapannya.
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang dilakukan dengan secara pendekatan yuridis normatif. Sumber data diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder, pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Fungsi dan peranan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas kepemilikan tanah. Untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, maka masyarakat perlu mendaftarkan tanah guna memperoleh sertipikat hak atas tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah. Namun kekuatan hukum sertipikat hak sebagai tanda alat bukti hak atas tanah, pembuktiannya tidak bersifat mutlak karena masih dapat dilumpuhkan oleh alat bukti lain yang dapat membuktikan sebaliknya.
in the development which needs support by legal certainty in the field of land. The publication system in performing land registration as it is stipulated in UUPA (Land Act) in conjunction with PP No. 10/1961 has a negative publication system. In reality, it still causes doubt about giving legal certainty for the holder of land certificate because he is vulnerable of being claimed any time about the ownership by other people. Although PP No. 24/1997 on Land Registration still uses publication system which is the same as PP no. 10/1961, the aspect of its legal certainty and legal protection are clearly stipulated in Article 32, paragraph (2). The provision of this article confirms the validity of a certificate as strong evidence within five year period obtained with good will. This legal certainty makes the holder of the land certificate firm against other people’s claim. This regulation needs to be implemented consistently because empirically there are still pros and cons in its implementation.
The research used descriptive analytic method with judicial normative approach. The data were obtained by gathering primary and secondary data. The primary data were gathered by performing interviews, and the secondary data were obtained from legal provisions and from literature materials. They were analyzed qualitatively.
The function and the role of land registration are for assuring legal certainty and right certainty on land ownership. In order to obtain legal certainty and right certainty, people should register their land in order to get land certificates as it functions as strong evidence of land ownership. However, the legal power of the certificate of land ownership is not always absolute evidence since other evidence may cancel it.
It is the responsibility of the management of the Land Office if later there is a problem with land certificates they have issued in Medan. They can be taken civil action, administration, and in the form of indemnity. The result of the research showed that a certificate is evidence and valid and the existence of Article 32, paragraph (2) of PP No. 24/1997 should be applied and implemented by the authority in order to have legal certainty and right certainty on the land for the owners of the land certificates. If there is any problem with land certificates, the legal consequence should be corrected through legal mechanism. The person who is injured should be given the compensation, based on Article 1365 of the Civil Code. The National Land Board is only responsible as the witness and can only participate in helping solve the problem. The National Land Board should be responsible for the certificates formally and materially since the land certificates are issued by the National Land Board.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup manusia bukan
saja berfungsi sebagai tempat berdiam, mendirikan rumah, tempat berusaha atau
tempat dimana jasad mereka dikubur, tetapi juga merupakan sumber kekuasaan dan
jaminan hidup bagi suatu bangsa. Seperti diketahui Indonesia merupakan Negara
agraris dimana tanah sangat menentukan bagi kelangsungan hidup rakyat.
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat 3 berbunyi:
“Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, atas dasar hak menguasai dari Negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh Wilayah Republik indonesia menurut UUPA yang individualistik komunalistik religius, selain bertujuan melindungi tanah juga mengatur hubungan hukum hak atas tanah melalui penyerahan sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya.1
Indonesia telah mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah yang uniform
yang berlaku secara nasional, hal ini sebagai konsekwensi berlakunya PP No. 10
Tahun 1961, yang kemudian di sempurnakan kembali dengan PP No. 24 Tahun 1997,
Lembaran Negara Tahun 1997 No. 59, Tanggal 8 Juli 1997 dan baru berlaku aktif 8
Oktober 1997 (Pasal 66), yang merupakan perintah dari Pasal 19 Undang-Undang
Pokok Agraria yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1960.
Salah satu tujuan dari pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria adalah
meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum
mengenai hak atas tanah bagi rakyat Indonesia seluruhnya. Oleh karena itu, untuk
dapat mewujudkan hal tersebut diselenggarakan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah
dalam Undang-Undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) :
(1) untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tanah dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Proses pendaftaran tanah, dilakukan melalui tiga tahap kegiatan, yaitu
kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik, pengumpulan dan pengolahan data
yuridis dan penerbitan dokumen tanda bukti hak. Dalam kegiatan pengumpulan dan
pengolahan data yuridis, yaitu dengan meneliti alat-alat bukti kepemilikan tanah.
Untuk hak-hak lama yang diperoleh dari konversi hak-hak yang ada pada waktu
berlakunya UUPA dan/atau hak tersebut belum didaftarkan menurut PP Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu berupa bukti tertulis, keterangan saksi
dan/atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia
Ajudikasi/Kepala Kantor Pertanahan dianggap cukup untuk mendaftarkan haknya.
Hasil dari proses pendaftaran tanah, kepada pemegang hak atas tanah yang
didaftar diberikan surat tanda bukti hak yang disebut sertipikat. Sertipikat menurut PP
dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang diperlukan dari suatu bidang
tanah yang didaftar.
Terselenggaranya pendaftaran tanah memungkinkan bagi para pemegang hak
atas tanah dapat dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya. Bagi
para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditur dapat
dengan mudah untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang
menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan. Bagi pemerintah dapat
membantu dalam melaksanakan kebijakan di bidang pertanahannya.
Pada awalnya pelaksanaan pendaftaran tanah diadakan menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961
Tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam perjalanan waktu keberadaan PP ini
dianggap belum maksimal karena ada beberapa kendala diantaranya keterbatasan
dana dan tenaga sehingga penguasaan tanah-tanah sebagian besar tidak didukung oleh
alat pembuktian yang memadai. Selain itu PP ini belum cukup memberikan
kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran tanah dengan waktu yang singkat dan
hasil yang memuaskan. Karena tidak ada batas waktu dalam mendaftarkan tanah
yang diperoleh setelah peralihan hak, selain itu yang mendaftar tidak harus Pejabat
Pembuat Akta Tanah tetapi bisa juga pemilik baru dari hak atas tanah sehingga
seringkali tanahnya tidak didaftarkan. Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan ini
dikeluarkanlah peraturan mengenai pendaftaran tanah yang baru untuk lebih
menyempurnakan peraturan pendaftaran tanah sebelumnya, yaitu PP Nomor 24
Kepastian hukum data kepemilikan tanah akan dicapai apabila telah dilakukan Pendaftaran Tanah, karena tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Baik kepastian mengenai subjeknya (yaitu apa haknya, siapa pemiliknya, ada/tidak beban diatasnya) dan kepastian mengenai objeknya yaitu letaknya, batas-batasnya dan luasnya, serta ada/tidak bangunan/tanaman diatasnya.2
PP Nomor 24 Tahun 1997 tetap mempertahankan tujuan dan sistem yang
digunakan dalam Pasal 19 UUPA jo PP Nomor 10 Tahun 1961. PP Nomor 24 Tahun
1997 merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya sehingga banyak
terdapat tambahan, hal ini terlihat dari jumlah pasal yang lebih banyak dan isi PP
tersebut yang lebih memberikan jaminan kepastian hukum dalam hal kepemilikan
tanah. Salah satunya terdapat dalam Pasal 32 yang mengatur bahwa :
(1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu (5) lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.
Ayat (1) pasal ini mengandung makna bahwa sertipikat merupakan alat
pembuktian yang kuat dan selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya maka data fisik
dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang
benar. Sedangkan ayat (2) pasal ini lebih menegaskan lagi jaminan kepastian dan
perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat tanah, dimana mengandung beberapa
syarat, diantaranya :
a. sertipikat tanah diperoleh dengan itikad baik;
b. pemegang hak atas tanah harus menguasai secara fisik tanahnya selama jangka
waktu tertentu yaitu sejak lima tahun diterbitkannya sertipikat tanah tersebut;
c. sejak lima tahun diterimanya sertipikat hak atas tanah bila tidak adanya keberatan
dari pihak ketiga maka keberadaan sertipikat tanah tersebut tidak dapat diganggu
gugat lagi;
Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) tersebut sebenarnya bukan merupakan
suatu ketentuan baru, karena konsep dari pasal ini merupakan konsep yang dipakai
dalam menyelesaikan sengketa tanah pada hukum adat sebelum berlakunya PP
Nomor 24 Tahun 1997. Konsep yang digunakan dalam pasal ini adalah
“rechtsverwerking” yang sudah diterapakan sebelum PP Nomor 24 Tahun 1997
berlaku bahkan jauh sebelum UUPA ada.
Meskipun kepemilikan tanah telah diatur sedemikian rupa, namun masih saja
terdapat permasalahan dalam hal kepemilikan sebidang tanah, misalnya saja terhadap
sebidang tanah yang sudah dikuasai oleh subjek hukum selama bertahun-tahun dan
telah dilengkapi dengan sertipikat. Terhadap tanah itu masih ada pihak luar yang
menuntut hak atas tanah tersebut. Permasalahan ini sering terjadi di berbagai daerah
di Indonesia.
Masalah hak atas tanah di Indonesia bukanlah masalah sederhana untuk
permasalahan yang rumit dan komplek. Hal ini disebabkan sumber daya tanah tidak
mungkin lagi bertambah sementara manusia yang membutuhkan tanah semakin
bertambah, masalah tanah berkaitan erat dengan sosial budaya, aspek ekonomi, aspek
hukum, aspek politik bahkan aspek pertanahan dan keamanan Negara.3
Indonesia, sebagian besar penghidupan masyarakatnya masih mengandalkan
ekonomi mereka di sektor pertanahan. Banyak sekali usaha yang berkaitan dengan
pertanahan. Kondisi tata kota yang berubah-ubah di Indonesia menyebabkan
banyaknya masalah pertanahan, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di
Indonesia.
Sehubungan dengan itu maka pencatatan yang sistimatis dari tanah dan hak
atas tanah merupakan hal yang sangat penting, baik bagi administrasi Negara maupun
bagi perencanaan dan pengembangan penggunaan tanah itu sendiri, serta bagi
kepastian hukum dalam peralihan, pemindahan atau pembebanan hak atas tanah,
sehingga konflik di bidang pertanahan dapat diminimalkan. Pencatatan yang
sistimatis ini kemudian dikenal dengan lembaga Pendaftaran Tanah.
Awalnya pendaftaran tanah bukan sebagai hal yang penting asasnya
dilakukan, sebab yang diprioritaskan adalah fungsi haknya yakni bagaimana supaya
dapat memberikan manfaat bagi seluruh anggota keluarga kawasan yang hidup di atas
tanah tersebut. Hanya saja, karena perkembangan kehidupan manusia yang satu sama
lain tidak mempunyai nasib yang sama dalam mengembangkan hidupnya, sudah
3Djamester A. Simarmata,Hukum Pertanahan dan Prinsip Ekonomi,Jurnal Hukum Bisnis,
barang tentu tanah milik bersama akan menjadi sasaran yang dikeluarkan
bahagiannya dari kepemilikan bersama tersebut.
Erman Rajagukguk dalam penelitian disertasinya menemukan bahwa ada beberapa desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah mencoba mempertahankan sifat pemilikan bersama atas tanah untuk mencegah penjualannya kepada orang luar desa dan untuk mencegah kenaikan harga dengan cara membatasi penjualan hanya boleh dilakukan antar sesama penduduk dari desa yang sama, namun dalam kenyataannya usaha ini tidak efektif, sering pihak penjual memberikan surat kuasa yang tidak dapat menghindar dari hukum.4
Akhirnya milik bersama yang sifatnya publiekrechelijke-pun, semakin
terindividualisasikan menjadi hak milik privat. Di tengah-tengah terindividualisasinya
hak-hak yang pada awalnya hak bersama, lembaga pendaftaran tanah kepemilikan
hak atas tanah tersebut. Sebaliknya dengan pendaftaran tanah ini dapat
mengamankan hak-hak atas tanah perseorangan atau milik sekelompok masyarakat
dan badan hukum. Sehingga pemiliknya dapat terlindungi secara yuridis dan teknis
untuk digunakan dialihkan dan atau diikatkan sebagai jaminan hutang oleh
pemiliknya.5
Sampai dengan saat ini Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang
seharusnya dapat menjadi jalan keluar bagi permasalahan di atas masih mendapatkan
banyak pro dan kontra. Mengingat keberadaan pasal ini tidak sesuai dengan sistem
publikasi negatif yang dianut oleh pendaftaran tanah di Indonesia, dimana sertipikat
bukanlah merupakan alat bukti yang mutlak melainkan sertipikat merupakan alat
4Erman Rajagukguk,Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah Dan Kebutuhan Hidup, Cet.
1, Jakarta, Chandra Pratama, 1995, hal. 87.
5
bukti yang kuat. Berdasarkan uraian di atas bahwa tertarik untuk meneliti dan
membahas sejauh mana implementasi dan keberadaan dari Pasal 32 ayat (2) PP
Nomor 24 Tahun 1997 ini terhadap permasalahan-permasalahan pendaftaran tanah
dan pendapat berbagai pihak dengan adanya penerapan pasal 32 ayat (2) PP Nomor
24 Tahun 1997 ini dalam menyelesaikan permasalahan pendaftaran tanah.
Produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah berupa sertipikat hak atas tanah,
mempunyai banyak fungsi bagi pemiliknya, dan fungsinya itu tidak dapat digantikan
dengan benda lain. sertipikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang
kuat. Inilah fungsi yang paling utama sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (2)
huruf c UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah. Apabila telah jelas namanya
tercantum dalam sertipikat itu.
Sertipikat hak atas tanah memberikan kepercayaan pihak bank/kreditor untuk
memberikan pinjaman kepada pemiliknya. Bagi pemerintah, adanya sertipikat hak
atas tanah juga sangat menguntungkan walaupun kegunaan itu kebanyakan tidak
langsung.
Adanya sertipikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada Kantor Agraria. Data tentang tanah yang bersangkutan secara lengkap telah tersimpan di Kantor Pertanahan, dan apabila sewaktu-waktu diperlukan dengan mudah ditemukan. Data ini sangat penting untuk perencanaan kegiatan pembangunan misalnya pengembangan kota, pemasangan pipa-pipa irigasi, kabel telepon, penarikan pajak bumi dan bangunan.6
Menurut A.P. Parlindungan pembuktian hak-hak atas tanah di Indonesia
sangatlah komplek sekali karena tidak ada tradisi ataupun peraturan yang
menyebutkan keharusan pendaftaran tanah tersebut.7 Oleh karenanya menurut
Sudargo Gautama kepada pemegang hak-hak atas tanah yang bersangkutan harus
diwajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah, dengan demikian akan memberikan
kepastian hukum, jika tidak diadakan kewajiban ini maka pendaftaran tanah itu
sendiri tidak akan memberikan arti sama sekali, yang hanya mengakibatkan kerugian
yang tidak kecil jika dilihat dari sudut tenaga, alat-alat dan ongkos-ongkos yang
dikeluarkan.8
Menurut Pitlo dalam ajaran umum Hukum Perdata tentang pendaftaran, maka saat dilakukannya pendaftaran tanah maka hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan benda (dalam hal ini tanah) diumumkan kepada pihak ketiga atau masyarakat umum, sejak saat itu pulalah pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya dengan maksud ia menjadi terikat dan wajib menghormati hal tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatutan.9
Menurut PP Nomor 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah ditegaskan
bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah :
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas tanah.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah, agar dengan mudah memperoleh data tentang sebidang
tanah jika diperlukan.
7
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,Bandung, Mandar maju, 1993, hal.127
8Sudargo Gautama,Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,Bandung, Alumni, 1990, hal.49 9
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Bahwa yang menjadi objek pendaftaran tanah, sebagaimana ditentukan Pasal
9 PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah:
1) a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
b. Tanah hak pengelolaan. c. Tanah wakaf.
d. Hak milik atas satuan rumah susun. e. Hak tanggungan.
f. Tanah Negara
2). Dalam hal tanah Negara, sebagai objek pendaftaran adalah tanah sebagaimana dimaskud pada Pasal 9 ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara melakukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah.10
Semua hak-hak atas tanah yang tercantum pada ayat (1) tersebut diatas,
dengan membuktikan tanah tersebut di Kantor Pertanahan, akan diterbitkan sertipikat
hak atas tanahnya yang merupakan salinan dari buku tanah. Sedangkan tanah Negara
tidak diterbitkan sertipikat. Sertipikat yang diterbitkan tersebut diserahkan kepada
yang berhak sebagai alat bukti haknya.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah, kepada para pemegang hak atas tanah diberikan penegasan tentang sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat. Untuk itu dinyatakan selama belum dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar.11
Penerbitan sertipikat dan diberikan kepada yang berhak dimaksudkan agar
pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Sedangkan fungsi
sertipikat adalah sebagai alat pembuktian kepemilikan hak atas tanh. Hal ini lebih
10Chadidjah Dalimunthe,Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya,USU
Medan, 2005, hal. 173
diperkuat lagi dengan dikeluarkannya PP Nomor 24 Tahun 1997. Ketentuan Pasal 32
tersebut adalah dalam rangka memberikam jaminan kepastian hukum dibidang
pertanahan menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya sungguhpun sistem
publikasi yang digunakan adalah sistem negatif.
Sesuai dengan sistem negatif yang telah dianut dalam Pendaftaran Tanah di
Indonesia, maka berarti sertipikat tanah yang diterbitkan bukanlah merupakan alat
bukti yang tidak bisa diganggu gugat, justru berarti bahwa sertipikat itu bisa dicabut
dan dibatalkan. Oleh karena itu tidak benar bila ada anggapan bahwa dengan
memegang sertipikat tanah berarti pemegang sertipikat tersebut adalah mutlak
pemilik tanah dan ia pasti akan menang suatu perkara karena sertipikat tanah adalah
alat bukti satu-satunya yang tidak tergoyahkan.
Menurut Penjelasan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah,
dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah
dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan
pembuktian sertipikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh
UUPA.12 Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan yang
sebaiknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sehari-hari maupun
dalam sengketa di Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang
tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan dan bahwa orang tidak
dapat menuntut tanah yang bersertipikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika
selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak mengajukan
gugatan pada Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan
hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau
oleh orang lain suatu badan hukum yang mendapatkan persetujuannya.
Dalam realitas kehidupan ditengah-tengah masyarakat terdapat fakta bahwa
masih bayak persoalan/ sengketa tanah yang berawal dari belum terciptanya kepastian
hukum bidang tanah seperti masih adanya sengketa/perkara dibidang pertanahan
sebagai akibat baik karena belum terdaftarnya hak atas tanah maupun setelah
terdaftarnya hak atas tanah, dalam arti setelah tanah itu bersertpikat.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana eksistensi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 terhadap pemilik sertipikat hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota
Medan?
2. Bagaimana fungsi dan peranan Pendaftaran Tanah dalam memberikan
perlindungan hukum bagi pemilik Sertipikat Hak Atas Tanah?
3. Bagaimana pertanggungjawaban Kantor Pertanahan yang menerbitkan
Sertipikat jika kemudian bermasalah di Kota Medan?
C. Tujuan Penelitiaan
1. Untuk mengetahui eksistensi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 terhadap pemilik sertipikat hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota
2. Untuk mengetahui fungsi dan peranan Pendaftaran Tanah dalam memberikan
perlindungan hukum bagi pemilik Sertipikat Hak Atas Tanah.
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban Kantor Pertanahan yang menerbitkan
Sertipikat jika kemudian bermasalah di Kota Medan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu hukum agraria, dalam hal pendaftaran tanah khususnya
mengenai kepastian hukum sertipikat hak atas tanah.
2. Manfaat Praktis
a. Menambah wawasan penulis mengenai perkembangan terbaru hukum
pertanahan nasional terutama mengenai kepastian hukum sertipikat hak atas
tanah.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah
Indonesia, Badan Pertanahan Nasional dan lebih khusus lagi bagi pemerintah
Kota Medan, Kantor Pertanahan Kota Medan sebagai bahan evaluasi
pelaksanaan pendaftaran tanah untuk menghasilkan sertipikat hak atas tanah.
c. Memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat pemegang sertipikat
hak atas tanah sebagai tanda bukti yang kuat berdasarkan Peraturan
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengetahuan dan informasi yang diperoleh dari perpustakaan
pada saat dilaksanakan penelitian, ternyata belum ada dilakukan penelitian tentang
PANDANGAN KRITIS EKSISTENSI PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH
ATAS SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH (STUDI KASUS DI KOTA MEDAN),
kalaupun ada lokasinya berbeda maka keaslian penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik.
Penelitian tentang pendaftaran tanah ini pernah juga dilakukan oleh beberapa
peneliti, tetapi disamping lokasi, objek dan cakupan penelitiannya berbeda:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Saudara Anggasan Siboro, Mahasiswa Program
Magister Ilmu Hukum Sumatera Utara, dengan judul Kebijakan Pemberian Hak
Pengelolaan Atas Tanah Dalam Perspektif Otonomi Daerah (Studi Pemko
Medan), penelitian ini menitikberatkan pembahasannya mengenai bagaimana
pemberian Hak Pengelolaan atas tanah di lingkungan Pemko Medan.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Saudari Efrina Nofiyanti Kadayu, Mahasiswi
Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul
Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah yang Berasal dari Tanah Negara di
Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang, Penelitian ini
menitikberatkan pembahasannya mengenai bagaimana pelaksanaan pendaftaran
tanah yang berasal dari tanah Negara di Kecamatan Labuhan Kabupaten Deli
3. Penelitian yang dilakukan oleh Saudari Santi Octavia, Mahasiswi Program
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul Kepastian
Hukum Pendaftaran Tanah Dikaitkan dengan Penggunaan Blanko Akta
Pertanahan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, penelitian ini menitikberatkan
pembahasannya mengenai Blanko akta pertanahan yang digunakan oleh PPAT
memenuhi syarat otensitas dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,13 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14 Kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis.15 Kerangka teori yang dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini adalah
teori kepastian hukum.
Kepastian hukum ini diwujudkan dengan diselenggarakannya suatu sistem
pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dimaksud adalah suatu proses tata usaha dan
tata cara untuk mencapai kepastian hukum yang sah tentang hak atas tanah16 yang
13J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,Jilid I, FE
UI, Jakarta, 1996, hal. 203
14Ibid,
hal. 6
merupakan kegiatan tata usaha Negara di bidang pertanahan sebagai bagian dari tertib
administrasi tata usaha Negara. Pendaftaran tanah untuk saat ini dipusatkan pada
bagian Pendaftaran Tanah bekerjasama dengan Bagian Pengukuran, serta Bagian
Pemberian Hak yang dikelola oleh instansi Badan Pertanahan Nasional (BPN)17
Pasal 19 ayat (1) UUPA di atas dapat dikategorikan sebagai payung hukum
dari kegiatan Pendaftaran Tanah.18 Dengan kata lain, Pasal 19 UUPA itu merupakan
norma hukum yang masih bersifat garis besar, sehingga memerlukan peraturan yang
lebih rendah sebagai aturan yang lebih konkrit dari pada ketentuan yang lebih tinggi
yaitu UUPA itu sendiri.19 Peraturan tersebut antara lain PP Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
Kenyataannya beberapa yang berkaitan dengan Pendaftaran Tanah tersebut
yang terhimpun dalam suatu sistem hukum pertanahan banyak terjadi ketumpang
tindihan antara peraturan tersebut satu sama lain baik sinkronisasinya secara vertikal
maupun horinzontal sehingga menimbulkan keragu-raguan akan kepastian hukum
tersebut, padahal dalam suatu undang-undang ataupun peraturan, kepastian hukum
meliputi dual hal yakni pertama, kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang
tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu
secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar
Undang-undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan
17Pasal 14 Perpres RI No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional, disebut
sebagai Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah.
18
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi,Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 12.
prinsip hukum undang-undang tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu
sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti
hanya demi undang-undang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah
menyentuh kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, peraturan hukum yang
demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodrgel) atau hanya sebagai
penghias yuridis dalam kehidupan manusia.20
Menurut Muhammad Yamin “memperbaiki kepastian hukum, memang bukan
satu-satunya dan juga tidak bisa berdiri sendiri, namun dengan mengetahui hak dan
kewajiban masing-masing yang diatur dalam hukum sangat dimungkinkan tidak
terjadi sengketa”21artinya bila kepastian hukum yang dijadikan sasaran, maka hukum
formal adalah wujud yang dapat diambil sebagai tolak ukurnya, dengan demikian
perlu mengkaji hukum formal sebagai basis dalam menganalisis suatu kebijakan
yang dapat memberikan suatu kepastian hukum.
Pada sistem hukum di Indonesia berlaku sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kolompok, norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana norma yang lebih rendah berlaku, misalnya Keputusan Menteri Agraria bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi yakni Keputusan Presiden bidang pertanahan yang mengacu kepada norma yang lebih tinggi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, kemudian norma yang lebih tinggi berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
20
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Bandung, Alumni, 2006, hal. 118
21Muhammad Yamin,Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa
yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (groundnorm) di Indonesia adalah Pancasila.22
Menurut Boedi Harsono mendefinisikan Pendaftaran Tanah yakni suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur berupa pengumpulan ketarangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.23
Pendaftaran tanah bukan sekedar administrasi tanah, tetapi pendaftaran adalah
memberikan hak atas tanah, artinya dengan terdaftarnya tanah seseorang, jika
sekalipun Negara membutuhkan tanah tersebut untuk kepentingan umum, Negara
tidak dapat lagi dengan serta merta mencabut hak atas tanah seseorang.24 Jadi
pendaftaran tanah mempunyai arti yang penting berkenaan dengan hak keperdataan
seseorang, bukan hanya sekedar suatu perbuatan administrasi belaka.25
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut diatas, dapat diketahui bahwa tujuan
pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak
atas tanah melalui penyempurnaan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah
serta menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap dengan memperhatikan
kepentingan rakyat, bangsa dan Negara.
22Lihat Hierarki Norma Hukum dari Hans Kelsen dalam buku Maria Farida Indrati Soeprapto,
Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya,Cet. 11, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 25
23
Boedi Harsono, Hukum Agrari Indonesia (Hukum Tanah Nasional), Jilid I Djambatan, Revisi 2003, hal. 72
2. Konsepsi
Dalam kerangka Konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau
pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.26 Guna
menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, selain itu juga
dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini, yang dimaksud dengan :
1. Kepastian hukum adalah kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang
tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu
secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di
luar undang-undang tersebut dan kepastian dalam melaksanakan norma-norma
dan prinsip hukum undang-undang terebut.
2. Hak Atas Tanah yaitu hak penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan
kepada pemegang hak untuk memakai suatu bidang tanah tertentu untuk
memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya.
3. Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud pasal 19 ayat (2)
huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengolahan, tanah wakaf, hak milik atas
satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan
dalam buku tanah yang bersangkutan.
4. Sertipikat Hak Atas Tanah adalah sebagai alat pembuktian yang kuat sepanjang
data fisik dan data yuridis di dalamnya sesuai data yang ada dalam surat ukur dan
buku tanah.
26
5. Pendaftaran Tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1 ayat (1) adalah : “ Rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”
6. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek
pendaftaran tanah yang belum di daftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa atau kelurahan.
7. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.
8. Badan Pertanahan Nasional adalah lembaga pemerintahan non departeman yang
menangani urusan pertanahan di Indonesia.
9. Data Fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan
rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan adanya bangunan atau bagian
10. Data Yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan rumah
susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban lain
yang membebaninya.
11. Buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan
data fisik suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya.
12. Adjudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran
tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data
fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk
keperluan pendaftarannya.
13. Kekuatan pembuktian sempurna adalah kekuatan pembuktian yang mutlak dan
mengikat, apa yang disebut dalam akta tersebut merupakan bukti yang sempurna
sehingga tidak perlu dibuktikan dengan pembuktian lain selama
ketidakbenarannya dapat dibuktikan.
14. Sengketa Atas Tanah merupakan selisih atau pertengkaran yang disebabkan oleh
perebutan atas kepemilikan sebidang tanah,27 yang memerlukan tindakan untuk
perdamaian terhadap perselisihan tersebut.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan
Meneliti pada hakekatnya berarti mencari, yang dicari dalam penelitian
hukum adalah kaedah, norma atau Das Sollen, bukan peristiwa, perilaku dalam arti
fakta atau Das Sein. 28 Penelitian ini bersifat Diskritif Analisis, artinya bahwa
penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan
menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan kepastian hukum sertipikat hak atas tanah kaitannya dengan
ketentuan pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
“yuridis normatif”. Metode yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder. Penelitian
yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan.29 Data sekunder adalah
data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan membaca dan mengkaji
bahan-bahan kepustakaan.30 Metode pendekatan yuridis normatif yang digunakan adalah
metodein concretoyaitu apakah hukumnya sesuai untuk diterapkanin concretoguna
menyelesaikan suatu perkara tertentu.31 Metode pendekatan di atas digunakan dalam
mengadakan penelahaan berbagai hal yang berhubungan dengan penerapan Pasal 32
ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dikaji dan diteliti
berdasarkan peraturan-peraturan, literatur kepustakaan, teori-teori hukum,
putusan-putusan Pengadilan.
28Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,Ed. 2 Cet 2, Yogjakarta,
Liberty, 2001, hal. 29
29 Ronny Hanityo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), hal 11
2. Sumber Data
Penelitian normatif ini dilakukan dengan batasan studi dokumen atau bahan
pustaka saja yaitu berupa data sekunder. Data sekunder yang digunakan terdiri dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang
digunakan berupa norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan,
bahan hukum yang tidak dikodifikasikan dan bahan hukum dari zaman penjajahan
hingga kini masih berlaku. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan
berupa buku, makalah, dan hasil penelitian di bidang hukum.32
Bahan utama dari penelitian ini adalah Data Sekunder yang dilakukan dengan
menghimpun bahan-bahan berupa :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa :
1. UUD 1945
2. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti
KUH Perdata.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok
Agraria.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan
Penjelasannya.
5. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Peraturan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah.
6. Putusan-putusan Mahkamah Agung dan Pengadilan.
32
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan
hukum primer antara lain : Tulisan atau pendapat para pakar hukum terutama di
bidang hukum pertanahan.
c. Bahan hukum tertier, yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain :
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia
2. Ensiklopedia Indonesia
3. Berbagai majalah hukum yang berkaitan dengan masalah pertanahan
4. Kamus hukum
5. Surat kabar dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini
sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan
dilakukan.
3. Analisa Data
Untuk mengelola data yang diperoleh dari studi dan wawancara, maka dalam
hasil penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu data sekunder yang terdiri
dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh, akan dianalisis secara
kualitatif dan kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika hukum
dengan cara deduktif. Dari data yang dianalisis tadi diharapkan dapat memperoleh
BAB II
EKSISTENSI PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TERHADAP PEMILIK SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH DI
KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN
A. Eksistensi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pada
ketentuan menimbang pada poin b dibunyikan bahwa pendaftaran tanah yang
penyelenggaranya oleh UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria ditugaskan kepada Pemerintah, merupakan sarana dalam memberikan
jaminan kepastian hukum yang dimaksudkan, pelaksanaan pendaftaran tanah
berdasarkan Peraturan Pemerintah, meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali dan pemeliharaan pendaftaran tanah.
Meski terdapat beberapa peraturan yang berlaku dengan Hak atas Tanah.
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Hak atas Tanah :
a. UU Nomor 3/Prp/1960 tentang Penguasaan Benda-benda tetap milik
perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB);
b. UU Nomor 51 Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang
berhak atau kuasanya;
c. PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan HPL atas tanah;
d. PP Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara penetapan ganti rugi oleh Pengadilan
Tinggi sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda
e. Peraturan PMA/KaBPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang ketentuan pelaksanaan
Keppres Nomor 55 Tahun 1993;
f. Peraturan PMA/KaBPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan
kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah
Negara;
g. Peraturan PMA/KaBPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tatacara pemberian
dan pembatalan hak atas tanah Negara dan hak pengelolaan.
Di Indonesia baru pertama kali mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah
dalam sejarahnya, seiring dengan diberlakukannya PP Nomor 10 Tahun 1961
Tentang Pendaftaran Tanah. Dengan berlakunya peraturan tersebut, telah berlangsung
Era Baru dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah di Indonesia, atas hal ini diperkuat dengan diberlakukannya
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1986, dimana didalam Pasal 2 ketentuan
tersebut menegaskan bahwa Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi :
1. merumuskan kebijakan dan perencanaan penguasaan dan penggunaan tanah;
2. merumuskan kebijakan dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah dengan
prinsip-prinsip dalam UUPA;
3. melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah dalam upaya
memberikan kepastian hak di bidang pertanahan;
4. melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah dalam rangka memelihara tertib
5. melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan serta
pendidikan dan latihan tenaga-tenaga yang diperlukan di bidang administrasi
pertanahan;
6. lain-lainnya yang ditetapkan oleh Presiden.
Berdasarkan pada angka 3 (tiga) tersebut di atas, jelas bahwa Badan
Pertanahan juga mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pendaftaran
tanah dalam upaya memberikan kepastian hak di bidang pertanahan. Dengan
demikian berlakulah suatu pendaftaran tanah yang uniformuntuk seluruh Indonesia,
untuk hak-hak atas tanah yang tunduk kepada UUPA ataupun sesuatu yang diatur
oleh suatu ketentuan undang-undang yang berada di luar UUPA.
Dengan adanya pendaftaran tanah tersebut, bertujuan untuk kepastian hak
seseorang, pengelakan suatu sengketa perbatasan (karena ada surat ukurnya teliti dan
cermat) dan juga untuk penetapan suatu perpajakan. Namun dalam konteks yang
lebih luas lagi pendaftaran tanah itu selain memberikan informasi mengenai suatu
bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai
untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian informasi mengenai
bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan
tanah/bangunannya.
Kalau dilihat dari Pasal 19 UUPA, memberikan arahan tujuan dari
(1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pedaftaran tanah
di seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah;
(2). Pendaftaran tanah tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a) pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanah tersebut;
c) pemberian surat tanda bukti-bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
(3). Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan
masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial-ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria;
(4). Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran tanah termasuk dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa
rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembiayaan-pembiayaan tersebut.
Dalam PP Nomor 10 Tahun 1961, Pendaftaran Tanah di Indonesia
berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c tersebut di atas, jelas bahwa surat tanda bukti
hak atas tanah adalah sebagai tanda bukti yang kuat. Dengan demikian pendaftaran
tanah di Indonesia mempergunakan Sistem Torrens, hanya saja tidak jelas dari
negara mana ditiru. Kalau Sistem Torrens Positif yang berlaku di Australia sertipikat
itu tidak dapat dibatalkan dan sah keberadaannya dan apa yang tertuang dalam
sertipikat itu adalah yang benar serta kalau ada orang yang membuktikan maka dia
kerugian dari Pemerintah bagi pihak yang mengklaim tersebut. Sedangkan Indonesia
menganut Sistem Torrens Negatif, sertipikat dianggap sebagai alat bukti yang kuat
kecuali seseorang dapat membuktikan kebenarannya maka sertipikat tersebut dapat
dibatalkan.
Hal seperti ini sering kali terjadi, sengketa tanah diajukan bahkan tidak jarang
membatalkan suatu sertipikat yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah dan bahkan
juga sering kali merugikan pihak pemilik sertipikat yang dibatalkan tersebut pada hal
tidak jarang mereka adalah pemilik yang beritikad baik.
Setelah berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menggantikan PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Pada prinsipnya pendaftaran tanah fungsinya sama sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1961, namun ada sedikit perbedaan pengaturan yaitu pada ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada pokoknya dinyatakan dengan tegas “Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam 5 (lima) tahun sejak diterbitkan sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut”.33
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, atas gugatan yang diajukan terhadap
sertipikat tanah setelah lewat 5 (lima) tahun apabila diajukan lewat waktu/daluwarsa.
PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jelas terhadap proses
penerbitan suatu sertipikat hak atas tanah pasti diumumkan ke khalayak ramai,
dimana salah satu tujuan dari pengumuman tersebut adalah untuk pihak-pihak yang
merasa haknya dirugikan untuk mengajukan keberatan, namun terhadap hak-hak
tersebut tidak pernah digunakan oleh Penggugat, maka berdasarkan pada Pasal 32
ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, seseorang yang
menggugat keabsahan suatu sertipikat hak atas tanah diberikan kesempatan selama 5
(lima) tahun untuk menegakkan haknya apabila merasa dirugikan untuk keberatan
atau membatalkan sertipikat dimaksud.
Dengan adanya penegasan dalam pasal 36 tersebut, maka sebenarnya dalam
Pendaftaran Tanah kita sertipikat sebagai suatu alat bukti yang kuat dan terhadap
sistem yang dianut menjadi 2 (dua) sistem karena didalam Pasal 32 memberikan
pembatasan untuk dapat digugatnya suatu sertipikat yaitu setelah berlakunya
sertipikat selama 5 (lima) tahun maka sertipikat itu tidak dapat digugat. Sistem
Tersebut adalah:34
1. Torrens Negatif
Sebelum masa 5 (lima) tahun, sertipikat itu dapat dibatalkan selama bisa
dibuktikan kepemilikan.
2. Torens Positif.
Setelah berlaku 5 (lima) tahun sertipikat tersebut tidak dapat dibatalkan.
Dua sistem tersebut yang diamanatkan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, yang
tujuannya tidak lain diberikan untuk menyempurnakan PP Nomor 10 Tahun 1961
guna lebih memberi kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah, namun
sampai saat ini keberadaan Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak pernah
dilaksanakan mengingat kondisi pendaftaran tanah dan keadaan di Indonesia, masih
menganut seperti yang ada dalam PP Nomor 10 Tahun 1961.
Harusnya dengan diberlakukannya PP Nomor 24 Tahun 1997 selama 15
Tahun sudah sepatutnya diberlakukan secara mutlak artinya, sertipikat tanah yang
sudah berlaku lebih dari 5 (lima) tahun tidak dapat dibatalkan. Dengan demikian
sudah tidak dapat di ganggu gugat karena telah diberikan waktu yang cukup lama.
Dan kalau sudah lebih dari 5 (lima) tahun sertipikat diterbitkan, sedangkan yang
menggugat mempunyai bukti-bukti yang kuat tentang kepemilikinnya.
Terhadap gugatan itu tidak membatalkan sertipikat, namun sertipikat itu tetap
berlaku dan terhadap yang menggugat diberikan ganti kerugian oleh Pemerintah
karena mempunyai alas hak yang kuat karena dapat dibuktikan keabsahan dari
penguasaan hak atas tanahnya.35
Dalam hal ganti rugi tersebut tentunya, sebagai yang melakukan pembayaran
ganti rugi adalah Badan Pertanahan Nasional dengan menggunakan sistem
penganggaran yang ada di dalam negara, dan didalam pelaksanaaannya tentu perlu
dengan pengawasan yang melekat. Dan apabila didalam penerbitan sertipikat
sebelumnnya bagi pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya atau
memanfaatkan keadaan tertentu untuk keuntungan pribadi atau orang lain atau badan
usaha lainnya, akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Boedi Harsono Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 bertujuan pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif tetapi dilain pihak untuk secara seimbang memberi kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertipikat sebagai alat buktinya yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.36
Menurut Abdul Rahim mengatakan setuju adanya penerapan Pasal 32 ayat (2)
PP Nomor 24 Tahun 1997 dan beliau juga berpendapat bahwa hakim tidak
menerapkan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 disebabkan karena :37
a. Secara materi diatur secara undang-undang pada hal kalau dilihat dalam PP
hakim tidak terikat;
b. Oleh karena PP hakim tidak tahu tentang masalah itu;
c. Karena tidak mau sama sekali menerapkan dengan prinsip bahwa hakim tidak
boleh menolak perkara putusan dengan keyakinan hakim.
Menurut Maria S. W. Sumardjono, tujuan dari penerapan Pasal 32 ayat (2) PP
Nomor 24 Tahun 1997 yang berasal dari Konsep “rechtsverwerking” ini dalam
pendaftaran tanah adalah untuk memberikan ketegasan pada 2 pihak, yakni.38
1) Bagi pemegang sertipikat, jika telah lewat waktu lima tahun tidak ada
gugatan/keberatan, maka ia terbebas dari gangguan pihak lain yang merasa
sebagai pemegang hak atas tanah tersebut;
36Boedi Harsono,Op.Cit,hal 480
37Wawancara dengan Bapak Abdul Rahim Lubis,Kepala Seksi Penetapan Hak Atas Tanah
Perorangan Pada Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara,Tanggal 23 Maret 2010
38