TESIS
OLEH
RINI AFRIANTY
097011130/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
T E S I S
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
RINI AFRIANTY
097011130/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
Nomor Pokok : 097011130
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Chairani Bustami, SH, SpN, MKn) (Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota : 1. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn
Pakai. Peraturan ini muncul dikarenakan adanya peraturan yang tidak membolehkan yayasan untuk memiliki hak milik atas tanah (Pasal 21 UUPA jo PP No. 38/1963). Untuk memperoleh kepastian hak milik No. 38/Jati yang dimiliki oleh Yaspendhar, maka dilakukanlah perubahan hak milik yang dimohonkan haknya bersamaan dengan penggabungan bekas Hak Guna Bangunan No. 102/Jati atas nama Yaspendhar yang telah berakhir jangka waktunya pada tahun 1997, juga tanah negara yang dikuasai oleh Yaspendhar semenjak tahun 1967 namun haknya belum didaftar oleh Yaspendhar. Berkenaan dengan adanya penggabungan bidang-bidang tanah ini maka dapat dijadikan dasar untuk pemberian haknya adalah PMNA No. 9/1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, dikarenakan belum adanya peraturan yang mengatur penggabungan sertifikat atas beberapa bidang tanah yang berlainan jenis haknya. Proses pendaftaran hak tersebut dimulai pada tahun 1997 dan dikabulkan dengan terbitnya Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 301/Jati pada tanggal 5 Juni 2008. Panjang jangka waktu dalam proses penerbitan sertifikat tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan perubahan dan pemberian hak tersebut. Diantaranya adalah faktor birokrasi yang panjang sehingga memakan waktu yang lama, ditambah lagi faktor yang mewajibkan pemohon atas uang pemasukan kepada negara dan keterbatasan anggaran yang dimiliki Yaspendhar sebagai badan hukum nirlaba/non profit. Faktor lain yang menjadi penghambat dalam proses percepatan pendaftaran tanah bagi Yaspendhar adalah pengenaan kewajiban dalam hal perpajakan/fiskal, walaupun telah mendapatkan pengurangan biaya namun tetap masih dirasa memberatkan.
Untuk menjelaskan dan memecah permasalahan di atas metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis melalui metode pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengkaji berbagai aspek dari segi ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai yayasan dan hak atas tanahnya. Meneliti dan menelaah dari segi pelaksanaannya, sehingga dapat diimplementasikan.
Disarankan kepada BPN untuk menetapkan aturan mengenai penggabungan atas beberapa bidang tanah yang berlainan jenis haknya, selain itu juga BPN perlu meningkatkan kemampuan SDM dan kinerjanya serta memperbaiki sistem administrasi dalam rangka efisiensi dan percepatan proses pendaftaran tanah. Memberikan keringanan dalam uang pemasukan negara, perpajakan dan tarif pelayanan pendaftaran tanah.
Building Rights to Right of Use. This regulation was enacted because there was a regulation which prohibited a foundation to own an ownership on land (Article 21 of UUPA in conjunction to PP No.38/1963). In order to obtain legal certainty of the ownership No.38/Jati owned by Yaspendhar, the ownership which had been requested should be converted, along with the ex-Building Rights No.102/Jati on behalf of Yaspenhar, and the state land which had been taken possession by Yaspenhar since 1967 and not yet registered would expire in 1997. The combination of these pieces of land would be the reason for giving the right of ownership pursuant to PMNA No.9/1999 on the Procedures of Giving and Abrogating State Land Rights and Supervision Rights since there was no regulation which regulated joint certificate on a piece of land with different rights. The process of registering the rights began in 1997, and it was granted with the issuance of the Certificate of Building Rights No. 301/Jati on June 5, 2008. The long span of time for the process of issuance of the certificate was influenced by some factors which became the constraint in the implementation of converting and giving the rights. These constraining factors were the time-consuming bureaucratic process and the obligation of the applicant to pay some money for the government’s income and the limited budget of Yaspenhar as a non-profit corporate body. Another factor which constrained the acceleration of land registration by Yaspenhar was the obligation for paying the tax; although Yaspenhar had obtained tax cut, it was still felt as a great burden.
In order to explain and solve the problems above, the researcher used descriptive analytic with judicial empirical method by analyzing various aspects of legal provisions on a foundation and its land rights. Its implementation was analyzed so that it could be properly implemented.
It is recommended that BPN should enact a regulation on the combination of some pieces of land with different rights, increase the capability of SDM (Human Resources) and their performance, improve the system of administration in order to make land registration more efficient and faster, and give a relief in tax payments and service costs of land registration.
rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada
waktunya. Adapun judul tesis ini adalah “Pelaksanaan Perubahan Hak Milik
Atas Tanah Menjadi Hak Guna Bangunan Pada Yaspendhar Medan
(Studi : Kampus I-Jln. Imam Bonjol No. 35 Medan)”. Penulisan tesis ini
merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister
dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan
dorongan baik berupa masukan maupun saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih
yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan
amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku
Pembimbing utama, Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku Pembimbing II,
Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN M.Hum selaku Pembimbing III yang telah
dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini.
Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat dan amat terpelajar
Notaris Syahril Sofyan, SH, MKndan Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, yang telah
yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, MSC (CTM), Sp.A (K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan
fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.
2. BapakProf. Dr. Runtung, SH. MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatra Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara sekaligus pembimbing yang
telah memberikan bimbingan serta saran yang membangun kepada penulis Tesis
ini.
4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik
dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.
5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal
telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis, Ayah dan Ibu
mertua, Bapak Kardiman dan Ibu Desmiwati, yang telah memberikan bimbingan,
perhatian dan doa yang cukup besar selama ini, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih atas motivasi, cinta, dan kasih
sayangnya kepada suami tercinta Joko Priadi, SE, Ak, serta ananda tersayang
Muhammad Vadhel Assyidiqhi, Muhammad Alvhin Assyidiqhi, Miracle Kayla
Assyidiqhi dan Muhammad Zidhan Assyidiqhi. Kepada Ketua I Yaspendar Medan
Bapak Awaluddin Sibarani,S.E, Sekretaris II Yaspendar Medan Bapak Syaiful
Nahar,SE, MM, Ibu Nora Nasution, Pembantu Umum Yaspendhar, Kepala Seksi
Pemberian Hak Atas Perorangan BPN Kanwil Sumut BapakAbd. Rahim Lubis, SH,
MKn, yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis. Kepada teman sekelas,
regular khusus angkatan 2009 : Joe, Mighdad, Andy, Rio, Sere, Ade, Toni, Tommy,
Zulkarnain, Azhar, Kiki, Hendra, Bambang, Arman, Yono, Sri, Bekka, Moses, dan
Richard. Juga kepada Staf bagian Pendidikan Magister Kenotariatan USU, Bu
Fatimah, Sari, Winda, Lisa, Afni, Bang Aldy,Bang IkendanBang Rizal yang selama
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,
namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan
manfaat kepada semua pihak.
Medan, Agustus 2011
Penulis,
Nama Lengkap : Rini Afrianty
Tempat/Tanggal Lahir : Dumai, 26 Juni 1975
Status : Menikah
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. Kemuning Indah II Blok IB No. 11 Bekasi
II. KELUARGA
Nama Suami : Joko Priadi, SE, Ak.
Pekerjaan : Swasta
Nama anak Kandung : 1. Muhammad Vadhel Assyidiqhi
2. Muhammad Alvhin Assyidiqhi
3. Miracle Kayla Assyidiqhi
4. Muhammad Zidhan Assyidiqhi
III. PENDIDIKAN
- SD : SD YKPP Dumai (Tahun 1982 s/d 1988)
- SMP : SMP YKPP Dumai (Tahun 1988 s/d 1991)
- SMA : SMA Negeri 10 Padang (Tahun 1991 s/d 1994)
- S1 : Fakultas Hukum Universitas Andalas (Tahun 1994 s/d 1999)
- S2 : Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Keaslian Penelitian ... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12
1. Kerangka Teori ... 12
2. Konsepsi ... 22
G. Metodelogi Penelitian ... 24
1. Spesifikasi Penelitian ... 25
2. Metode Pendekatan... 25
3. Lokasi Penelitian ... 26
4. Teknik Pengumpulan Data ... 26
5. Metode Pengumpulan Data ... 28
6. Analisa Data ... 29
BAB II PELAKSANAAN PERUBAHAN HAK MILIK ATAS TANAH MENJADI HAK GUNA BANGUNAN PADA YASPENDHAR MEDAN ... 31
A. Landasan Hukum Hak Milik ... 31
1. Subjek Hak Milik ... 32
3. Terjadinya Hak Guna Bangunan dan Objek Hak Guna
Bangunan ... 41
4. Peralihan Hak Guna Bangunan... 44
5. Hapusnya Hak Guna Bangunan... 46
C. Pelaksanaan Perubahan Hak Milik Atas Tanah Menjadi Hak Guna Bangunan Pada Yaspendhar ... 48
D. Pemberian Hak Atas Tanah Negara Menurut Permeneg Agraria/ Kepala BPN No. 9/1999... 54
BAB III KEPASTIAN HUKUM TERKAIT PELAKSANAAN PERUBAHAN HAK MILIK ATAS TANAH MENJADI HAK GUNA BANGUNAN PADA YASPENDHAR MEDAN .. 67
A. Pengertian Pendaftaran Tanah ... 67
B. Dasar Hukum Perubahan Hak Milik Atas Tanah Menjadi Hak Guna Bangunan Pada Yaspendhar Medan... 73
C. Pelepasan Hak Untuk Mendapatkan Kepastian Hukum... 76
D. Sertipikat Hak Guna Bangunan Sebagai Bukti Kepastian Hak Atas Tanah ... 78
E. Perpanjangan Hak Guna Bangunan Untuk Mendapatkan Kepastian Hukum ... 83
BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PELAKSANAAN PERUBAHAN HAK MILIK ATAS TANAH MENJADI HAK GUNA BANGUNAN PADA YASPENDHAR ... 85
A. Yayasan Sebagai Badan Hukum Nirlaba... 85
B. Hambatan Dalam Pelaksanaan Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan Pada Yaspendhar Medan... 93
1. Faktor Keterbatasan Anggaran yang Dimiliki Yayasan ... 95
2. Faktor Intervensi Undang-Undang Perpajakan ... 97
3. Kendala Dalam Hal Birokrasi... 98
B. Saran ... 105
Pakai. Peraturan ini muncul dikarenakan adanya peraturan yang tidak membolehkan yayasan untuk memiliki hak milik atas tanah (Pasal 21 UUPA jo PP No. 38/1963). Untuk memperoleh kepastian hak milik No. 38/Jati yang dimiliki oleh Yaspendhar, maka dilakukanlah perubahan hak milik yang dimohonkan haknya bersamaan dengan penggabungan bekas Hak Guna Bangunan No. 102/Jati atas nama Yaspendhar yang telah berakhir jangka waktunya pada tahun 1997, juga tanah negara yang dikuasai oleh Yaspendhar semenjak tahun 1967 namun haknya belum didaftar oleh Yaspendhar. Berkenaan dengan adanya penggabungan bidang-bidang tanah ini maka dapat dijadikan dasar untuk pemberian haknya adalah PMNA No. 9/1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, dikarenakan belum adanya peraturan yang mengatur penggabungan sertifikat atas beberapa bidang tanah yang berlainan jenis haknya. Proses pendaftaran hak tersebut dimulai pada tahun 1997 dan dikabulkan dengan terbitnya Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 301/Jati pada tanggal 5 Juni 2008. Panjang jangka waktu dalam proses penerbitan sertifikat tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan perubahan dan pemberian hak tersebut. Diantaranya adalah faktor birokrasi yang panjang sehingga memakan waktu yang lama, ditambah lagi faktor yang mewajibkan pemohon atas uang pemasukan kepada negara dan keterbatasan anggaran yang dimiliki Yaspendhar sebagai badan hukum nirlaba/non profit. Faktor lain yang menjadi penghambat dalam proses percepatan pendaftaran tanah bagi Yaspendhar adalah pengenaan kewajiban dalam hal perpajakan/fiskal, walaupun telah mendapatkan pengurangan biaya namun tetap masih dirasa memberatkan.
Untuk menjelaskan dan memecah permasalahan di atas metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis melalui metode pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengkaji berbagai aspek dari segi ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai yayasan dan hak atas tanahnya. Meneliti dan menelaah dari segi pelaksanaannya, sehingga dapat diimplementasikan.
Disarankan kepada BPN untuk menetapkan aturan mengenai penggabungan atas beberapa bidang tanah yang berlainan jenis haknya, selain itu juga BPN perlu meningkatkan kemampuan SDM dan kinerjanya serta memperbaiki sistem administrasi dalam rangka efisiensi dan percepatan proses pendaftaran tanah. Memberikan keringanan dalam uang pemasukan negara, perpajakan dan tarif pelayanan pendaftaran tanah.
Building Rights to Right of Use. This regulation was enacted because there was a regulation which prohibited a foundation to own an ownership on land (Article 21 of UUPA in conjunction to PP No.38/1963). In order to obtain legal certainty of the ownership No.38/Jati owned by Yaspendhar, the ownership which had been requested should be converted, along with the ex-Building Rights No.102/Jati on behalf of Yaspenhar, and the state land which had been taken possession by Yaspenhar since 1967 and not yet registered would expire in 1997. The combination of these pieces of land would be the reason for giving the right of ownership pursuant to PMNA No.9/1999 on the Procedures of Giving and Abrogating State Land Rights and Supervision Rights since there was no regulation which regulated joint certificate on a piece of land with different rights. The process of registering the rights began in 1997, and it was granted with the issuance of the Certificate of Building Rights No. 301/Jati on June 5, 2008. The long span of time for the process of issuance of the certificate was influenced by some factors which became the constraint in the implementation of converting and giving the rights. These constraining factors were the time-consuming bureaucratic process and the obligation of the applicant to pay some money for the government’s income and the limited budget of Yaspenhar as a non-profit corporate body. Another factor which constrained the acceleration of land registration by Yaspenhar was the obligation for paying the tax; although Yaspenhar had obtained tax cut, it was still felt as a great burden.
In order to explain and solve the problems above, the researcher used descriptive analytic with judicial empirical method by analyzing various aspects of legal provisions on a foundation and its land rights. Its implementation was analyzed so that it could be properly implemented.
It is recommended that BPN should enact a regulation on the combination of some pieces of land with different rights, increase the capability of SDM (Human Resources) and their performance, improve the system of administration in order to make land registration more efficient and faster, and give a relief in tax payments and service costs of land registration.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yayasan dipandang sebagai bentuk idiil atau filantropis untuk mewujudkan
keinginan manusia dan keberadaannya dirasakan membawa manfaat positif dari sisi
kemanusiaan. Berbagai macam yayasan dengan berbagai karakteristiknya dapat
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah yayasan yang bergerak
pada bidang pendidikan. Yayasan yang bergerak pada bidang pendidikan diantaranya
ada yang mendirikan sekolah, yaitu mulai dari sekolah dasar, menengah, lanjutan
sampai perguruan tinggi, juga mendirikan pusat pelatihan ataupun training dan
sebagainya.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan tidak ada satu peraturan yang secara tegas menentukan status hukum dari
yayasan.
Pertumbuhan yayasan yang tidak diimbangi dengan pengaturan yang memadai, menyebabkan masing-masing pihak yang berkepentingan memberikan penafsirannya sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka. Ada kecenderungan masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status institusi yayasan, dengan tujuan komersial dan menghindari pajak yang merugikan Negara.1
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
menegaskan kedudukan yayasan sebagai badan hukum. Undang-undang yayasan
tersebut kemudian mengalami perubahan, yakni melalui Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004 tentang Perubahan Undang Nomor 16 Tahun 2001.
Undang-undang tersebut diharapkan akan menjadi dasar hukum yang kuat dalam mengatur
kehidupan yayasan di Indonesia serta menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar
yayasan sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan
akuntabilitas kepada masyarakat.
Yayasan dalam menjalankan usahanya, terutama Yayasan Pendidikan
Harapan Medan (Yaspendhar) membutuhkan hak penguasaan atas tanah untuk
mendirikan sekolah. Hak penguasaan atas tanah tersebut merupakan hak atas tanah
yang bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah yang dapat diberikan
kepada perseorangan baik warga Negara Indonesia maupun warga asing, sekelompok
orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun
badan hukum publik.2
Lahirnya Yayasan Pendidikan Harapan pada awalnya merupakan salah satu
manifestasi dari kehendak masyarakat yang merasa tertinggal dalam bidang
pendidikan karena selama tiga setengah abad berada dalam hegemoni kolonialisme
dan dengan munculnya orde baru yang lahir tahun 1966, maka pendidikan
ditempatkan pada posisi utama dalarn proses pembangunan. Sejalan dengan itu
beberapa tokoh masyarakat Sumatera Utara baik dari kalangan sipil maupun militer
pada waktu itu merasa bahwa lembaga pendidikan yang ada selama ini di Sumatera
Utara belum dapat menampung anak-anak sekolah apalagi sekolah yang bersifat
umum namun bernafaskan Islam. Para tokoh masyarakat tersebut mempunyai ide
pendirian sebagai berikut:
1. Untuk membantu pemerintah menanggulangi pendidikan
2. Perlu adanya pendidikan yang lebih baik bagi anak didik, dengan persyaratan a. Mempunyai corak bernafaskan agama (Islam)
b. Mempunyai mutu pendidikan yang berkualitas c Mengusahakan pembayaran yang semurah-murahnya
Ide tersebut dituangkan dalam AD Yaspendhar sebagai maksud dan tujuan sebagai berikut:
1. Membentuk manusia susila yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa serta mempunyai keinsyafan bertanggung jawab terhadap usaha mewujudkan suatu masyarakat sejahtera berdasarkan ajaran Pancasila.
2. Membantu pemerintah dalam melaksanakan/ mempertinggi pendidikan, pengajaran dan penyebaran ilmu pengetahuan dikalangan anak didik khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya menuju tertib masyarakat ber-Pancasila, segala sesuatu dalam arti kata seluas-luasnya.”3
Diiringi dengan usaha untuk mewujudkannya, hasil rumusan dari
pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat tersebut, akhirnya mengalami
kemajuan dan menghasilkan, dengan diserahkannya izin pemakaian gedung/ tanah
yang terletak di Jl. Imam Bonjol No. 35 oleh pemerintah c.q Dep. P dan K kepada
para tokoh masyarakat tersebut. Gedung inilah yang dipergunakan oleh Yaspendhar
dan belakangan diadakan perbaikan dan pembangunan baru.
Pada awalnya tanah dan gedung yang dimiliki Yaspendhar merupakan bekas sekolah ORANGE SCHOOL, terdaftar atas nama pemiliknya Medansche School Vereeniging dengan Hak Erfpacht. Kemudian setelah kembali ketangan pemerintah, gedung tersebut diserahkan kepada FKIP Negeri, SHD, SMEA
3 Yayasan Pendidikan Harapan, Perwujudan Visi dan Misi Yaspendhar Membangun
Kebersamaan dan Profesionalisme Religius Dalam Menghadapi Tantangan Era Globalisasi,
Negeri dan PGSLP Negeri. Pada tahun 1958 gedung ini hanya diberikan pemakaiannya kepada IKIP Negeri Medan dan akhirnya kepada IAIN.
Setelah pemerintah memindahkan sekolah-sekolah tersebut ke tempat lain yang lebih baik, pada tanggal 5 Januari 1967 diadakan serah terima kepada pihak Perguruan Harapan (Berita Acara Serah Terima No. 53/Perw/D/Skp/67), masing - masing ditanda tangani oleh Alm. Bapak Moh. Alwi Oemry Kepala Perwakilan P dan K Sumatera Utara waktu itu mewakili pihak pemerintah dan Bapak Raja Syahnan SH mewakili pihak Perguruan Harapan.4
Pada masa itu bangunan bekasOrange Schooltersebut mempunyai luas tanah
5.533 m2, diatasnya berdiri bangunan yang terdiri dari 18 lokal belajar. Saat itu kelengkapan yang dimiliki oleh Yaspendhar sangat sederhana sehingga perlu
perbaikan dan penambahan. Perbaikan dan penambahan segera diadakan oleh para
pendiri maupun para simpatisan, dengan dana dari dana simpatisan maupun dari dana
pribadi para pendiri.
Selain itu ada juga dana bantuan yang diterima dari Bapak A.J. Mokoginta
yang pada masa itu menjabat Pangkoanda Sum. Kemudian juga dana dari Perwakilan
P dan K serta bantuan dari para dermawan. Maka bertepatan pada tanggal 4 Februari
1967 diresmikanlah perguruan ini oleh Bapak A.J. Mokoginta dengan nama
PERGURUAN HARAPAN. Pada awalnya perguruan ini semula membuka sekolah 9
tahun, lalu kemudian dipecah menjadi SD dan SMP. Hingga akhirnya menyusul
dibukanya Taman Kanak-Kanak.5
Kemudian setahap demi setahap areal kampus Harapan diperluas oleh
Yayasan. Areal kampus I di Jl. Imam Bonjol yang pada mulanya seluas 5.533 m2, yang diperoleh dari pemerintah pada tahun 1967 dan kemudian pada tahun 1976
dimiliki yayasan dengan Hak Guna Bangunan. Seiring dengan bertambah pesatnya
kemajuan Yaspendhar dengan semakin meningkatnya jumlah peserta didik yang
menimba ilmu pada Yaspendhar maka mau tidak mau perluasan harus dilakukan
untuk mengatasi kekurangan infrastruktur sebagai penunjang dalam proses belajar
mengajar.
Pada tahun 1993 Yayasan berhasil pula membeli sebidang tanah seluas 1297 m2 yang dibeli dari TAMPAK SEBAYANG terletak tepat dipersimpangan Jl. Imam Bonjol / H. Misbah sehingga sangat strategis dan tepat berada disamping karnpus Harapan yang ada. Akhirnya setelah yayasan membayar tanah negara di sekitarnya, tanah yayasan di Kampus I menjadi 1.1 Ha. Selanjutnya berkenaan dengan areal kampus tidak mungkin lagi untuk pembangunan gedung baru, maka pengurus yayasan mengambil keputusan untuk mengembangkan arealnya di tempat yang lain. Untuk itu diadakan peninjauan / penelitian yang cukup lama serta melalui rapat-rapat badan pengurus yayasan, maka pada tahun 1996 yayasan membeli sebidang tanah seluas 46.742 m2 yang berlokasi di Jl. Karya Wisata Ujung sekitar ± 200 meter dari perbatasan kotamadya Medan. Belakangan areal tersebut diperluas lagi dengan membeli tanah disekitamya sehingga seluruhnya mencapai: 6 ha. Pada tahap pertama dibangun Gedung yang direncanakan untuk pembangunan Taman Kanak-kanak. Yang peletakan batu pertamanya dilaksanakan pada tanggal 2 September 1996 oleh Almarhum Prof. Dr.A. P.Parlindungan, SH selaku Ketua Harian waktu itu6.
Mengenai hak atas tanah yang dimiliki oleh Yaspendhar, hendaknya lebih
dahulu mengetahui persepsi mengenai pengertian dari hak atas tanah. Hak atas tanah
adalah “hak yang memberikan wewenang untuk memakai tanah yang diberikan
kepada orang atau badan hukum. Pada dasarnya, tujuan memakai tanah adalah untuk
memenuhi dua jenis kebutuhan, yaitu untuk diusahakan dan tempat membangun
sesuatu.”7
6
Ibid, h. 9.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional
membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk, yaitu hak bersifat primer dan hak
bersifat sekunder. Hak primer adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau
dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum dalam waktu lama dan
dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya. Dalam
Undang-Undang Pokok Agraria terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer dan ada
pula yang bersifat sekunder.
Hak atas tanah yang bersifat primer yaitu: 1. Hak Milik atas tanah (HM),
2. Hak Guna Usaha (HGU), 3. Hak Guna Bangunan (HGB), 4. Hak Pengelolaan (HPL) dan 5. Hak Pakai (HP).
Sedangkan hak atas tanah bersifat sekunder :
adalah hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, hak dinikmati dalam waktu terbatas, lagi pula hak-hak itu dimiliki oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak menyewa atas tanah pertanian.8
Urutan pertama dari hak atas tanah yang bersifat primer tersebut adalah hak
milik atas tanah, dikarenakan hak milik atas tanah adalah hak turun temurun, terkuat
dan terpenuh yang dapat di punyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial ( pasal 20 jo. Pasal 6 UUPA ). Selain itu hak
milik juga dapat dialihkan kepada pihak lain. Selanjutnya dalam Pasal 21 UUPA
disebutkan subjek yang dapat memperoleh hak milik antara lain ayat :
(1). “ Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2). Oleh pemerintah ditetapkan badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya”.
Sehubungan dengan perintah pada ayat (2) tersebut diatas maka pemerintah
mengeluarkan peraturan pelaksanananya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 1963 (PP Nomor 38/1963) Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang
Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. dinyatakan:
Badan-badan hukum yang disebutkan dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada Pasal 2, 3 dan 4 peraturan ini:
a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara); b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan
atas Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran-Negara Tahun 1958 No. 139);
c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama;
d. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.9
Dalam penjelasan umum dari peraturan pemerintah tersebut dikatakan bahwa
hanya warga Negara tunggal saja yang pada asasnya dapat mempunyai hak milik atas
tanah, bahwa badan hukum-badan hukum dimaksud yang telah di tunjuk oleh
pemerintah merupakan suatu pengecualian. Hak tanah untuk badan hukum adalah hak
guna bangunan dan hak guna usaha, tergantung pada peruntukan tanahnya. Sedang
bagi badan-badan kegamaan dan sosial disediakan hak pakai, yang dapat diberikan
dengan cuma-cuma dan dengan jangka waktu yang tidak terbatas.
Sebagaimana juga dijelaskan oleh Muhammad Yamin dan Rahim Lubis dalam
Hukum Pendaftaran tanah :
Menurut peraturan perundang-undangan pada umumnya badan hukum tidak diperkenankan menjadi pemegang hak milik atas tanah, oleh karena itu apabila ada badan hukum yang memperoleh hak milik maka hak itu dengan sendirinya menjadi gugur dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Badan hukum yang bersangkutan kemudian dapat memohonkan hak baru yang sesuai dengan penggunaan dan peruntukan tanahnya.10
Dengan kata lain yayasan tidak dibenarkan untuk memperoleh Hak Milik Atas
tanah. Konsekuensinya, jika hak tersebut tidak dialihkan kedalam bentuk hak yang
lain sesuai dengan peraturan yang berlaku maka hak tersebut dapat hapus atau gugur.
Ketentuan mengenai peralihan tersebut diatur melalui Keputusan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Kepmen Agraria/KBPN) Nomor 16
Tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai dan Hak Guna bangunan Menjadi Hak Pakai.
Yaspendhar sebagai yayasan yang telah bergerak di bidang pendidikan selama
lebih dari 44 tahun memiliki hak atas tanah yang berfungsi sebagai salah satu
infrastruktur terpenting penunjang terlaksananya kegiatan belajar mengajar pada
yayasan. Diantara hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh Yaspendhar salah satunya
berasal dari Hak Milik yang dibeli oleh yayasan dari TAMPAK SEBAYANG, yang
bersebelahan dengan Kampus Harapan I tepat dipersimpangan Jalan Imam Bonjol
dan Jalan H. Misbah.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik permasalahan yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan perubahan Hak Milik atas tanah menjadi Hak
Guna Bangunan pada Yaspendhar Medan?
2. Bagaimanakah kepastian hukum terkait pelaksanaan perubahan Hak Milik
atas tanah menjadi Hak Guna Bangunan pada Yaspendhar Medan?
3. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perubahan Hak
Milik atas tanah menjadi Hak Guna Bangunan pada Yaspendhar Medan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan perubahan Hak Milik atas tanah menjadi Hak
Guna Bangunan pada Yaspendhar Medan.
2. Untuk mengetahui kepastian hukum terkait pelaksanaan perubahan Hak Milik
atas tanah menjadi Hak Guna Bangunan padaYaspendhar Medan.
3. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perubahan Hak
Milik atas tanah menjadi Hak Guna Bangunan pada Yaspendhar Medan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu pengetahuan pada umumnya
2. Secara praktik, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran kepada yayasan yang akan melaksanakan perubahan Hak Milik atas
tanah menjadi Hak Guna Bangunan.
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan informasi, data yang ada dan
penelusuran lebih lanjut pada kepustakaan Program Studi Magister Kenotariatan,
Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa belum pernah ada penelitian
sebelumnya yang berjudul “PELAKSANAAN PERUBAHAN HAK MILIK ATAS
TANAH MENJADI HAK GUNA BANGUNAN PADA YASPENDHAR
MEDAN (Studi: Kampus I-Jln. Iman Bonjol No. 35 Medan)”.
Adapun judul tesis yang memiliki unsur kemiripan mengenai pokok
pembahasan dengan penelitian ini antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Saudara Herri Syahputra, Nomor Induk
Mahasiswa 087011088, dengan judul: Proses Peningkatan Hak Atas Tanah dari
Status Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Milik Pada Perumahan Nasional
Martubung Medan, dengan perumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana proses pelaksanaan peningkatan status hak atas tanah dari hak
guna bangunan menjadi hak milik di Perumnas Martubung Medan?
b. Bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan juga peranan
Kantor Pertanahan dalam pelaksanaan peningkatan status hak atas tanah dari
c. Apa saja yang menjadi hambatan bagi terlaksananya peningkatan status hak
atas tanah dari hak guna bangunan menjadi hak milik di Perumnas
Martubung?
2. Penelitian Yang dilakukan oleh Saudara Bukhari Muhammad, Nomor Induk
Mahasiswa 097011129, dengan judul : Perlindungan Pemegang Hak Guna
Bangunan Diatas Hak Pengelolaan PT, Kereta Api Indonesia (Studi Penelitian
di Kabupaten Aceh Utara), dengan perumusan masalah:
a. Apakah PT, Kereta Api Indonesia (Persero) mempunyai kewenangan dalam
memberikan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan miliknya?
b. Bagaimana status hak atas tanah dan bangunan yang berdiri diatas Hak
Pengelolaan PT, Kereta Api Indonesia (Persero) setelah berakhir jangka
waktu Hak Guna Bangunan?
c. Bagaimana pelindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan diatas
hak pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero)?
3. Penelitian yang dilakukan oleh Saudara Robert Purba, Nomor Induk Mahasiswa
017011054, dengan judul : Konsekuensi Hukum Yayasan Sebagai Badan Hukum
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan,
Dengan perumusan masalah:
a. Bagaimana Pelaksanaan yayasan setelah diberlakukan Undang- Undang
organisasai, tujuan pendidikan,sifat dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh
yayasan?
b. Apakah yang menjadi konsekuensi hukum terhadap yayasan sebagai badan
hukum setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003
Tentang Yayasan?
c. Bagaimanakah pandangan para organ yayasan terhadap keberadaan undang
undang yayasan tersebut?
Akan tetapi baik judul maupun materi/substansi dan permasalahan serta
pengkajian dan penelitiannya berbeda sama sekali, dengan demikian penelitian ini
adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan atau pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui
yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berfikir dalam penelitian.11 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana
mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu.12 Sedang dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan
dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.13 Fungsi teori adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang
diamati.14
Dalam menganalisa data yang diperoleh sehubungan dengan pelaksanaan
penurunan status sertifikat tanah hak milik menjadi hak guna bangunan pada yayasan
menggunakan teori fisik yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Bahwa apa yang
dikatakan sebagai Physical person adalah konsep biologis-psikologis, bukan konsep
hukum sebagai mana dikutip :
Physical personbukan entitas untuk hukum atau kognisi hukum, karena hukum tidak memahami manusia dalam totalitasnya, dengan semua fungsi mental dan fisiknya. Rupanya hukum hanya menetapkan tindakan tindakan manusia tertentu sebagai kewajiban atau hak. Dengan kata lain, manusia menjadi bagian dari komunitas yang dibentuk oleh sebuah sistem hukum tidak secara keseluruhan, tetapi hanya beberapa tindakannya yaitu tindakan yang diatur oleh sistim hukum komunitas tersebut. Oleh karena itu mungkin untuk seorang manusia menjadi bagian dari beberapa komunitas hukum yang berbeda pada saat yang sama, dan mungkin untuk perilakunya diatur oleh sistem hukum yang berbeda.15
Physical personadalah pembawa semua kewajiban dan hak. Dengan kata lain
mematahkan konsep karakter biologis-psikologisnya yang menyesatkaan.
Menyesatkan karena konsep tersebut menggandakan objek kognisi antara manusia
12 Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Cet ke II (Jakarta : Rineka Cipta, 1998), h. 19.
13Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi I Cet ke VII (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), h. 7.
14
Lexy J. Meleong,Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), h. 35.
dalam pengertian biologis dan manusia secara psikologis. Sedangkan Legal person
seperti halnyaPhysical person adalah sebuah sistem hukum yang mengatur perilaku
sejumlah manusia, misalnya anggaran dasar sebuah badan hukum, yang merupakan
legal person dari badan hukum tersebut. dengan demikian karena Physical person
bukan manusia makaLegal personjuga bukan supra manusia. Legal personmerubah
perilaku seorang manusia menjadi kewajiban atau hak tanpa menentukan sendiri
subjek individual kewajiban atau hak tersebut, bahwa kewajiban dan hak diberikan
kepada manusia secara tidak langsung, yaitu diperantarai oleh sub sistem hukum
dalam hal ini yayasan sebagai badan hukum.
Esensi dari apa yang dinamakan badan hukum, yang dipersamakan oleh ilmu
hukum tradisional dengan orang secara fisik, digambarkan dengan sangat jelas dalam
analisis terhadap kasus kasus tertentu dari badan hukum, yakni badan usaha. Badan
hukum didefinisikan sebagai komunitas individu yang terhadap mereka tatanan
hukum menetapkan kewajiban dan memberikan hak untuk tidak dianggap sebagai
kewajiban dan hak individu-individu yang membentuk badan usaha sebagai
anggotanya.16
Dapat diasumsikan jika sebuah Yayasan membeli sebidang tanah, hak untuk
mengunakan tanah itu, kepemilikan atas lahan tanpa ada campur tangan pihak lain
dalam penggunaannya merupakan hak Yayasan, bukan hak para anggotanya. Jika hak
ini dilanggar maka Yayasan itulah, bukan anggota perseorangan yang harus
mengajukan gugatan ke pangadilan. Begitu juga kewajiban Yayasan sebagai badan
hukum untuk melaksanakan peralihan hak atas tanah hak milik yang dimiliki oleh
yayasam menjadi hak lain yang sesuai dengan peruntukannya yang diberikan oleh
otoritas yang berwenang untuk itu. Kewajiban tersebut adalah kewajiban yayasan
sebagai badan hukum atau organ, bukan kewajiban individu anggotanya. Menurut
Hans Kelsen:
Konsep pribadi fisik hanya sebagai konstruksi pemikiran hukum dan sepenuhnya berbeda dari konsep manusia, maka yang disebut pribadi fisik sesungguhnya adalah subjek hukum. Hukum erat hubungannya antara manusia sebagai subjek fisik dengan subjek hukum menurut pengertian teknis. Subjek hukum (dalam pengertian teknis yang sempit) adalah korporasi. Korporasi adalah sekelompok individu yang diperlakukan oleh hukum sebagai kesatuan, yakni sebagai pribadi yang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berbeda dari hak dan kewajiban individu yang membentuknya. Korporasi dipandang sebagai pribadi karena peraturan hukum menetapkan hak-hak dan kewajiban tertentu menyangkut kepentingan anggota korporasi, tetapi tidak merupakan hak dan kewajiban dari para anggota, dan oleh sebab itu ditafsirkan sebagai hak dan kewajiban korporasi itu sendiri. Hak dan kewajiban itu diciptakan terutama oleh tindakan organ korporasi.17
Konsep mengenai Hak dan Kewajiban korporasi tersebut juga berlaku bagi
yayasan, dimana hak dan kewajibannya diciptakan oleh tindakan organ yayasan.
Bahwa Perbuatan hukum yayasan, misalnya dalam transaksi hukum berupa
penandatanganan kontrak atau mendaftarkan hak atas tanahnya, bahwa yayasan
tersebut memenuhi kewajiban hukum atau tidak mematuhi kewajiban hukum, hal ini
menegaskan bahwa yayasan adalah subyek dari kewajiban hukum dan hak hukum,
karena tatanan hukum menetapkan hak dan memberikan kewajiban kepadanya.
Melalui perilaku dari individu/organ yayasan itulah badan hukum dalam hal ini
yayasan bertindak.
Menurut ajaran Yuridis-Dogmatis:
Tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Menurut aliran ini meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal asalkan kepastian hukum dapat terwujud. Hukum identik dengan kepastian.18
Selanjutnya Van Kan mengatakan, bahwa hukum bertujuan menjaga
kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan tidak diganggu.
Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat.19
Kepastian hukum yang bersifatRechtscadastermerupakan tujuan tunggal dari
pendaftaran tanah yang juga merupakan kewajiban dari pemerintah20. Rechtscadaster ini artinya hanya untuk pendaftaran tanah saja dan juga hanya menyangkut apa
haknya dan siapa pemiliknya. Dengan kata lain bukan untuk kepentingan
perpajakan.21 Oleh karena itu negara wajib memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut sehingga lebih mudah bagi yayasan untuk
mempertahankan haknya terhadap gangguan pihak lain. Karena dalam kenyataannya
sampai dengan saat ini baru kurang lebih dua puluh persen bidang tanah yang
18Achmad Ali,Menguak Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis)(Jakarta : Gunung Agung, 2002), h. 83.
19
C.S.T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia(Jakarta : Balai Pustaka, 2002), h. 44-45.
20Mhd. Yamin dan Rahim Lubis,Op Cit, h. 167.
terdaftar, seyogianya tetap dipertahankan asas bahwa ketiadaan alat bukti tertulis
menjadi penghalang bagi seseorang untuk membuktikan hak atas tanahnya melalui
tata cara berdasarkan penetapan pemerintah maupun berdasarkan undang-undang.
pengakuan hak berdasarkan penguasaan secarade factoselama jangka waktu tertentu
dan diperkuat dengan kesaksian masyarakat serta lembaga yang berwenang, baik
berdasarkan penetapan pemerintah maupun berdasarkan undang-undang. Pengakuan
hak ini dapat menjadi alas untuk pendaftaran tanah, yang kemudian dapat menjamin
kepastian hukum atas tanah bagi setiap pemilik tanah (sesuai Pasal 19 UUPA).22 Jaminan kepastian hukum dalam penguasaan tanah penting bagi kepentingan
semua warganegara Indonesia, dan badan-badan hukum Indonesia. Kepastian hukum
yang dapat memberikan perlindungan hukum yang seimbang kepada semua pihak
dalam pelaksanaan pembangunan dan kehidupan sehari-hari bagi orang yang
memerlukan penyediaan dan penguasaan tanah.
Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga
dalam arti yuridis juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan yuridis
dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan
kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Hak
penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan
bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu
yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan
itulah yang menjadi kriterium atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan atas
tanah yang diatur dalam hukum tanah.23
Dalam UUPA ditetapkan tata jenjang atau hirarki hak-hak penguasaan atas
tanah dalam Hukum Tanah Nasional, yaitu:
1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik;
2. Hak menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek publik;
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek perdata dan publik;
4. Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas: a. Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara
langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 dan 53;
b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan dalam Pasal 49.
c. Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal 25, 33, 39, dan 51.24
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu
permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Sedangkan menurut Pasal 1
angka (1) UUPA menyatakan: “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.”
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa: Dalam UUPA diadakan
perbedaan antara pengertian “bumi” dan “tanah”, sebagai dirumuskan pasal 1 ayat 3
dan pasal 4 ayat 1 . Yang dimaksud dengan “tanah” ialah permukaan bumi. Perluasan
pengertian “bumi” dan “air” dengan ruang angkasa adalah bersangkutan dengan
kemajuan teknologi dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dalam waktu
yang akan datang. Menurut A.P.Parlindungan untuk menghilangkan keragu-raguan
maka sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 45, disebutkan bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Adanya penambahan kata-kata ruang angkasa
tidak berarti menambahkan pasal 33 ayat 3 UUD 45, maka dapat dikatakan bahwa
penambahan tersebut hanya bersifat deklaratif, dan bukan bersifat konstitutif.25 Sedangkan dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut : “Atas dasar hak
menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badan-badan hukum.”
Dengan demikian, yang dimaksud istilah tanah pada Pasal 4 UUPA tersebut
adalah permukaan bumi.26 Dengan maksud permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat diberikan hak atasnya oleh setiap orang atau badan hukum. Oleh
karena itu hak-hak yang timbul diatas hak atas tanah (permukaan bumi), adalah
termasuk didalamnya bangunan atau benda-benda yang terdapat diatasnya. Menurut
Budi Harsono, dalam hukum tanah Negara dipergunakan apa yang disebut asas
accessieatau asas perlekatan, yakni bahwa bangunan atau benda-benda yang terdapat
diatasnya merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta merupakan bagian dari tanah
25
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 2008), h. 42.
26 Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (1960) dan
yang bersangkutan.27 Sehingga pengertian hak atas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah yang dihaki kecuali apabila ada
kesepakatan lain dengan pihak lain.28
Sedangkan Dalam UUPA kita menganut asas pemisahan horizontal
(horizontale scheiding), dimana bangunan dan tanah bukanlah merupakan bagian dari
tanah, dapat diartikan hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan
bangunan dan tanah yang ada di atasnya.29
Dalam pasal 4 itu juga disebutkan salah satu subjek pemegang hak atas tanah
tersebut badan hukum. Diantara badan hukum yang dimaksud pasal tersebut salah
satunya termasuk Yayasan. sebagai badan hukum, yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, maka terhadapnya berlaku hukum Negara
Indonesia. Pada saat sebelum berlakunya undang-undang tentang yayasan tahun 2001
tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang
yayasan, hanya terdapat dalam beberapa ketentuan KUHPerdata, istilah yayasan
dapat dijumpai dalam Pasal 365, Pasal 899, Pasal 900, Pasal 1680, dan Pasal 1954.
Selain yayasan yang dikenal dalam KUHPerdata, dalam praktek dikenal juga seperti
misalnya yayasan Tionghoa (Chineeshe Stichting) dan yayasan dalam bentuk
wakaf.30
27Boedi Harsono,Op.cit,h, 20.
28 A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria (Bandung : Mandar Maju, 1993), h. 124.
29
Boedi Harsono,Loc.cit,h.20.
Barulah kemudian pada tahun 2001 keluar Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan, yang kemudian dirubah melalui Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001,
undang-undang ini diharapkan dapat menciptakan selain keseragaman juga dapat
menciptakan kepastian hukum mengenai sifat badan hukum, keberadaan, pengurusan
dan pertanggungjawaban pengelolaan yayasan, penggabungan yayasan, hingga
pembubaran yayasan.
Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 dinyatakan bahwa
yayasan baru memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya memperoleh
pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pendirian yayasan harus
dilakukan dengan akta notaris yang memuat anggaran dasar dan keterangan lain yang
dianggap perlu.
Kemudian dalam Keputusan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor C-26.HT.01.10 tahun 2004,
Pasal 1 juga menentukan bahwa akta pendirian yayasan adalah akta yang dibuat
dihadapan notaris yang berisi keterangan mengenai identitas dan kesepakatan para
pihak untuk mendirikan yayasan beserta anggaran dasarnya. Notaris yang membuat
akta pendirian yayasan harus bertanggung jawab penuh terhadap materi akta yang
Dengan demikian untuk dapat menjadi suatu badan hukum, yayasan harus
memenuhi kriteria dan persyaratan, antara lain:
1. Kriteria;
a. Yayasan terdiri atas kekayaan yang dipisahkan;
b. Kekayaan yayasan diperuntukkan untuk mencapai tujuan yayasan;
c. Yayasan mempunyai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan;
d. Yayasan tidak mempunyai anggota.
2. Persyaratan; pendirian yayasan sebagai badan hukum harus mendapat pengesahan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.31
2. Konsepsi
Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori
dan observasi, antara abstraksi dan relitas.32 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut
dengan defenisi operasional.33 Oleh karena itu, kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis
yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional
yang menjadi pegangan kongkrit dalam proses penelitian. Jadi jika teori berhadapan
dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, maka konsepsi masih merupakan
permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat
menjadikan suatu teori.34
31
Alvi Syahrin,Op.cit, h. 64.
Untuk menghindari terjadinya perbedaan pengertian tentang konsep yang
dipakai dalam penelitian ini, maka diperlukan penjelasan mengenai pengertian
konsep yang dipakai, sebagai berikut:
1. Pelaksanaan adalah proses, cara, perbuatan melaksanakan rancangan35 penurunan hak milik menjadi hak guna bangunan.
2. Perubahan hak adalah penetapan Pemerintah mengenai penegasan bahwa
sebidang tanah yang semula dipunyai dengan suatu hak atas tanah
tertentu, atas pemohon pemegang haknya, menjadi tanah Negara dan
sekaligus memberikan tanah tersebut kepadanya dengan hak atas tanah
jenis lainnya.36
3. Hak Milik adalah hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian
wewenang (wewenang untuk menggunakan tanah yang dihaki tanpa batas
waktu), kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang dihaki.37
4. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan
dengan mengingat keperluan keadaan bangunan-bangunannya, jangka
35 Departemen Pendidikan Nasional, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, diakses
pada tanggal 17 Maret 2011. 36
Pasal 1 angka (13) Permeneg Agraria/ Kepala BPN No.9/1999 tentang Tata cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. (Pasal
35 UUPA).
5. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan
dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. (Pasal 1
butir (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan).
Yayasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Yayasan Pendidikan
Harapan Medan.
G. Metodelogi Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak
harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu,
maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul didalam gejala yang bersangkutan.38
1. Spesifikasi Penelitian
Dalam kaitannya dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini maka sifat
penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta
yang terjadi dilapangan serta mengaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta
tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan
dengan keadaan yang terjadi dilapangan. Mengungkap peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.
Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan
dengan objek penelitian.39 Sehingga penelitian ini dapat mengungkapkan data dan menganalisa pelaksanaan penurunan hak milik menjadi hak guna bangunan pada
Yayasan Pendidikan Harapan Medan.
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini untuk menganalisa yayasan sebagai badan hukum terhadap
status hak atas tanah pada yayasan. Metode pendekatan pada penelitian ini adalah
melalui pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu metode pendekatan yang
dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian dengan meneliti data sekunder
(bahan pustaka) terhadap data primer dilapangan karena hukum yang pada
kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat
artinya keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta
prilaku masyarakat yang terkait dengan lembaga hukum tersebut.40
Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan),
kemudian mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem
norma itu bekerja di dalam masyarakat.41
Melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai
aspek hukum baik dari segi ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku mengenai
yayasan dan hak atas tanah. Meneliti atau menelaahnya dari segi pelaksanaannya,
sehingga dapat mengimplemantasikan dalam praktek dilapangan.42 3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian diperlukan bagi penelitian hukum terutama bagi penelitian
hukum empiris, dan lokasi penelitian harus disesuaikan dengan judul dan
permasalahan penelitian.43 Oleh karena itu maka lokasi penelitian ini dilakukan di Propinsi Sumatera Utara, yaitu pada Yayasan Pendidikan Harapan Medan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Bahan hukum yang dikelompokkan ke dalam:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,44 bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.45 Dalam penelitian ini bahan hukum
40Ibid.
41Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h. 47.
42
Soerjono Soekamto,Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya : Bayumedia, 2006), h. 14. 43Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad,Op Cit, h. 170.
primer tersebut berupa : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 Tentang Yayasan, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang
Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas
Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada BPN, Peraturan Menteri
Agraria / Kepala Badan Pertanahan Negara Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Pedoman Penetapan Uang Pemasukan Dalam Pemberian Hak atas Tanah
Negara, Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Negara Nomor
40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah, Peraturan Menteri negara Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Keputusan
Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Negara Nomor 16 Tahun 1997
Tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan, dan
peraturan-peraturan lainnya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, karya ilmiah, pendapat para ahli
hukum, buku-buku teks, surat kabar (Koran), pamphlet, lefleat, brosur, dan
berita internet, yang berkaitan dengan penelitian.
c. Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum yang dapat menjelaskan baik
bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yang berupa kamus,
ensiklopedi, dan lain-lain.46 5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
studi dokumentasi yaitu dengan mempelajari serta menganalisa data yang berkaitan
dengan objek penelitian dan peraturan perundang-undangan, menelaah
pelaksanaannya dan kemudian mengambil kesimpulan. Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen, yaitu dengan
membaca, mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan
perundang-undangan dan bahan-bahan lain, untuk memperoleh data sekunder.
2. Penelitian lapangan (field research) dilakukan untuk menghimpun data primer
dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada nara sumber, dengan
mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara.
6. Analisa Data
a. Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan
kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan
teori-teori yang telah didapat sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut
sebagai kegiatan yang memberikan telaah yang dapat berarti menentang,
mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian
membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri
dan bantuan teori yang telah dikuasai.47
b. Mensistemasi data. Dimana peneliti mengadakan pemeriksaan terhadap
informasi yang didapat dari responden dan narasumber, terutama kelengkapan
jawaban yang diterima dan memperhatikan adanya keterhubungan antara data
primer dengan data sekunder, dan diantara bahan-bahan hukum yang
dikumpulkan satu hal yang perlu diperhatikan adalah data harus
diklasifikasikan secara sistematis.48
c. Menganalisa data kualitatif. Semua data yang diperoleh dari penelitian ini
dianalisa secara kualitatif, yaitu analisis terhadap data-data yang dinyatakan
oleh responden secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang nyata, dan
menganalisa bahan-bahan hukum.49 Karena metode kualitatif ini adalah metode yang mengungkapkan fakta-fakta secara mendalam berdasar
karakteristik ilmiah dari individu atau kelompok untuk memahami dan
mengungkapkan sesuatu.50 Kemudian peneliti harus dapat menentukan data mana atau bahan hukum mana yang memiliki kualitas sebagai data atau bahan
hukum yang diharapkan atau diperlukan, dan data atau bahan hukum mana
yang tidak relevan dan tidak ada hubungannya dengan materi penelitian,
sehingga dalam analisis dengan pendekatan kualitatif ini yang dipentingkan
adalah kualitas data.51
d. Penarikan kesimpulan. Dalam pengolahan data peneliti menarik kesimpulan
bahwa peneliti menggunakan cara induktif, yaitu cara berfikir yang bertolak
dari hal-hal yang khusus yang kemudian dicari generalisasinya yang bersifat
umum, sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan
objek yang diteliti.
BAB II
PELAKSANAAN PERUBAHAN HAK MILIK ATAS TANAH MENJADI HAK GUNA BANGUNAN PADA YASPENDHAR MEDAN
A. Landasan Hukum Hak Milik
Sebelum berlakunya UUPA, hukum atas tanah di Indonesia bersifat dualisme,
artinya selain diakui berlakunya hukum tanah adat yang bersumber dari hukum adat,
diakui pula peraturan mengenai tanah yang didasarkan atas hukum barat. Setelah
berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, berakhirlah masa dualisme
hukum tanah Indonesia menjadi suatu unifikasi hukum tanah. Hak Milik sebagai
suatu lembaga hukum dalam hukum tanah telah diatur baik dalam hukum tanah
sebelum UUPA, maupun dalam UUPA.52Namun begitu sangat perlu bagi kita untuk memahami benar Hak Milik yang diatur dalam UUPA. Berbeda dengan hak
Eigendom yang dikenal dalam KUHperdata dimana hak tersebut bersifat mutlak
seperti disebut pada pasal 570. Sedangkan pada UUPA bahwa hak milik tersebut
tidak boleh bertentangan dengan fungsi sosialnya yang berarti didalam hak tersebut
terkandung hak dari masyarakat.53
Hak milik atas tanah mempunyai sifat dan ciri-ciri sebagaimana disebutkan
pada pasal 20 UUPA ayat :54
52 Adrian Sutedi,Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 1.
53
A.P.Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria (Bandung: Mandar Maju, 2008), h, 137.
54 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
(1) “Hak Turun Temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 (Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial).
(2) Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.”
Dari ayat 1 pasal 20 UUPA tersebut dapat di uraikan sebagai berikut:
Maksud hak turun temurun adalah Hak Milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan apabila pemiliknya meninggal dunia, maka Hak Milik tersebut dapat dilanjutkan oleh warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik. Maksud hak terkuat adalah Hak Milik atas tanah tersebut lebih kuat jika dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain dan tidak mudah hapus. sedangkan terpenuh adalah Hak Milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain.55
1. Subjek Hak Milik
Jika berbicara mengenai subjek dari hak milik atas tanah, hal ini diatur dalam
Psl 21 UUPA ayat :
(1) Hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai Hak Milik.
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum Indonesia yang dapat
mempunyai Hak Milik dan syarat-syaratnya (PP 38/1963).
Selanjutnya dalam ayat 3 dikatakan bahwa bagi Warga Negara Asing yang
setelah berlakunya UUPA ini memperoleh Hak Milik karena adanya pewarisan tanpa
wasiat atau percampuran harta karena perkawinan. Demikian pula Warga Negara
Indonesia yang mempunyai hak milik, setelah berlakunya UUPA telah kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun
setelah diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Dan apabila
telah lewat 1 tahun dari masa tenggang waktu tersebut hak milik atas tanah itu tidak
dilepaskan, maka hak tersebut dengan sendirinya hapus demi hukum, dan tanah
tersebut jatuh kepada Negara.56
Sebagai peraturan pelaksana dari ayat (2) pasal 21 UUPA tersebut, berkenaan
dengan badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah, maka
dikeluarkan PP Nomor 38/1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang dapat
mempunyai Hak Milik Atas Tanah, yaitu Bank-bank yang didirikan oleh Negara
(Bank Negara), Koperasi Pertanian, Badan Keagamaan dan Badan Sosial.57
Sedangkan menurut Pasal 8 ayat (1) Permen Agraria/Kepala BPN No. 9
Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara
dan Hak Pengelolaan, badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah Hak Milik
adalah Bank Pemerintah, Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh
pemerintah.
Dengan demikian bagi pemilik tanah yang tidak memenuhi syarat sebagai
subjek Hak Milik atas tanah, maka dalam waktu 1 tahun harus melepaskan atau
mengalihkan Hak Milik atas tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat,
56Pasal 21 ayat (3) UUPA
ataupun mengalihkan hak tersebut dalam bentuk hak lain sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Selain itu juga dikarenakan Hak Milik merupakan hak yang terkuat dan
terpenuh yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan
kembali suatu hak lain di atas bidang tanah Hak Milik. Hak dimaksud dapat berupa
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, dengan pengecualian Hak Guna Usaha. Hal ini
hampir sama dengan kewenangan Negara sebagai penguasa untuk memberikan tanah
kepada warganya,58 Walaupun hak ini tidak mutlak sama tetapi tetap harus mempunyai fungsi sosial.
2. Peralihan Hak Milik
Sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA, Hak Milik dapat beralih
dan dialihkan kepada pihak lain. Peralihan Hak Milik tersebut dapat dalam bentuk
beralih dan dalam bentuk dialihkan:
1. Beralih artinya berpindahnya Hak Milik atas tanah dari pemilik sebelumnya
kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum. Misalnya : meninggalnya
pemilik tanah. Dengan demikian hak milik atas tanahnya terpindah atau beralih
secara hukum kepada ahli warisnya sepanjang ahli warisnya memenuhi
syarat-syarat sebagai subjek hukum.59
2. Dialihkan/pemindahan hak artinya beralihnya hak milik atas tanah dari
pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum,
58Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya,Hak-Hak Atas Tanah-Seri Hukum Harta Kekayaan, (Jakarta: Kencana, 2007), h.30.