• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEPASTIAN HUKUM TERKAIT PELAKSANAAN

D. Sertipikat Hak Guna Bangunan Sebagai Bukti Kepastian

yang diperoleh Yayasan melalui Perikatan Untuk Melakukan Jual Beli maka yayasan harus menurunkan/ merubah hak milik tersebut menjadi Hak Guna Bangunan dengan konsekuensi bahwa hak tersebut tidak lagi menjadi hak yang terkuat dan terpenuh. Dengan demikian Akta Perikatan Untuk Melakukan Jual Beli Nomor: 73 dan Sertipikat Hak Milik No.38/Jati sebagai alas hak atas suatu bidang tanah bagi Yaspendhar, menimbulkan akibat hukum berupa kewajiban untuk mendaftarkan perubahan hak atas tanah dimaksud dari Hak milik menjadi hak guna bangunan yang prosedurnya dapat ditempuh melalui Keputusan Menteri Agraria/ Kepala BPN Nomor 16/1997.

Setelah Yaspendar mendaftarkan perubahan hak atas tanah tersebut, hak baru yang diberikan oleh pemerintah kepada Yaspendhar adalah Hak Guna Bangunan, bukan hak milik atau hak pakai selama digunakan seperti yang dimohonkan Yaspendar awalnya.126Hal ini dikuatkan dengan diterbitkannya Sertipikat Hak Guna Bangunan No.301/ Jati/ Medan Maimun atas nama Pemegang Hak YAYASAN PENDIDIKAN HARAPAN MEDAN dengan berakhirnya hak pada tanggal 10 Januari 2026.

Penyelenggaraan pendaftaran tanah bagi Yaspendhar pada dasarnya merupakan tugas Negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah namun oleh karena

126Surat Permohonan Yaspendhar Kepada Kanwil BPN Prop. SUMUT melalui Kepala Kantor Pertanahahan Kotamadya Medan tanggal 21 Juli 1997.

sumber daya pemerintah terbatas dimungkinkan juga pihak yang berkepentingan dalam hal ini Yaspendar untuk mengajukan permohonan pendaftaran haknya dalam rangka memberikan kepastian hak di bidang pertanahan. Untuk memperoleh kepastian hak atas tanah rangkaian kegiatan pendaftaran tanah dilakukan secara sistematik. Dengan pengajuan kebenaran materil berupa pembuktian data fisik dan data yuridis hak atas tanah sehingga akhirnya dapat diberikan hak dengan diterbitkannaya sertipikat. Dengan diperolehnya sertipikat hak tersebut maka diperoleh kepastian hukum mengenai tanah yang di haki Yaspendhar.

Kepastian hukum tersebut pada hakikatnya masih merupakan kepastian hukum yang relatif. Sebagaimana dikatakan Syafrudin Chandra:

Hakikat kepastian hukum yang sebenarnya terletak pada kekuatan sertifikat kepemilikan hak atas tanah sebagai bukti kepemilikan termasuk di pengadilan, Namun kepastian hukum dengan sistem negatif pada hakikatnya merupakan kepastian hukum yang relatif, dengan pengertian bahwa peraturan perundang- undangan menjamin kepastian hukum selama tidak dibuktikan sebaliknya.127

Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah mempertegas bahwa sistem pendaftaran tanah di Indonesia tidak lagi menggunakan sistim publikasi negatif yang murni (Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam bukti hak), tetapi menggunakan sistim publikasi negatif bertendensi positif. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997 menentukan batas waktu bagi pihak ketiga untuk menggugat, yakni 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertifikat tersebut :

127 S.Chandra, Sertipikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Persyaratan Permohonan di Kantor

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh hak tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.128

Ketentuan dari pasal ini melahirkan suatu lembaga yang dikenal dengan lembaga rechtsverwerking dan ketentuan ini merupakan penyempurnaan dan penegasan terhadap sistim publikasi negatif yang bertendensi positif dari pendaftaran tanah yang diamanatkan UUPA.129

Dengan adanya lembaga publikasi negatif bertendensi positif itu maka pemilik hak atas tanah yang namanya terdaftar di dalam buku tanah akan memperoleh kepastian hukum tentang kepemilikannya atas tanah yang dihakinya setelah lewat waktu 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertipikat tersebut. Sedangkan sebelum berakhir masa 5 (lima) tahun tersebut pihak-pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah yang bersangkutan dapat mengajukan hak atas tanah dimaksud kepada pengadilan melalui gugatan.

Dengan berbagai alasan, ada saja orang-orang tertentu yang membiarkan tanahnya tidak dikerjakan dan kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hak seseorang tersebut untuk menuntut kembali tanahnya menjadi hilang. Dengan kata lain, orang tersebut telah menelantarkan tanahnya dan pencatatan nama orang lain dalam sertipikat dipandang definitip setelah jangka waktu 5 (Lima) tahun tesebut.130

Indonesia sebagai negara hukum wajib memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang sertifikat hak atas tanah demi tercapainya kepastian hukum,

128Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997.

129Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis,Op.cit.h.147. 130Ibid,h.147.

bermanfaat, dan berkeadilan dengan cara merespon kebutuhan serta keinginan pemegang hak atas tanah dalam kehidupan masyarakat bangsa secara transparan. Semua orang adalah sama di hadapan hukum dan atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun.

Karakteristik Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini masih didominasi karakteristik asas negatif, konsekuensinya yaitu hak asasi manusia harus dilihat dan dipahami secara utuh, tidak parsial. Namun pada kenyataannya masih bersifat administratif dan tidak bersifat hak, memberi perlindungan hukum kepada pemilik hak atas tanah tetapi belum kepada pemegang sertifikat hak atas tanah.131

Selain itu juga penerbitan sertifikat oleh BPN bersifat konstitutif, yaitu keputusan administrasi pemerintahan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukumnya adalah negara menjamin dan melindungi pemilik sertifikat tanah. Siapapun juga wajib menghormati adanya hak ini.

Hubungan penerbitan sertifikat tanah dan kepastian hukum adalah hubungan sebab akibat. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 telah menetapkan kepastian hukum yang lebih baik dibanding dengan PP No. 10 Tahun 1961. Jika dalam PP No. 10 Tahun 1961, belum ditentukan batas waktu bagi pihak ketiga untuk menggugat pemilik sertifikat tanah, maka Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997 menentukan batas waktu bagi pihak ketiga untuk menggugat, yakni 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertifikat tersebut. Hanya pada usia sertifikat di bawah lima tahun sajalah pihak lain diberikan kesempatan untuk menggugat kepemilikan atau

penguasaan hak atas tanah pemegang sertifikat, kalau memang mempunyai bukti yang juga berkekuatan hukum sama derajatnya.

Ketentuan diatas ditegaskan dalam pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yang berbunyi : “Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.”

Walaupun sebagai alat bukti, sertifikat bukan satu-satunya alat bukti hak atas tanah. Hak atas tanah seseorang masih mungkin dibuktikan dengan alat bukti lain, misalnya saksi-saksi, akta jual beli, surat keputusan pemberian hak. Hanya saja , sertifikat ditegaskan oleh peraturan perundangan sebagai alat bukti yang kuat, artinya selama tidak ada alat bukti lain yang membuktikan kebenarannya maka keterangan yang ada dalam sertifikat harus dianggap benar dengan tidak perlu bukti tambahan. Sedangkan bukti lain itu, hanya dianggap sebagai bukti permulaan, harus dikuatkan oleh alat bukti lain.132

Semua jenis hak atas tanah, baik hak-hak atas tanah yang sifatnya publickrechtelijke, maupun hak-hak tanah yang sifatnya privat, sesuai jenisnya mempunyai kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkan hak itu sebatas jenis hak tersebut dimiliki si pemilik. Dalam hal ini pemilik haknya memiliki kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkan hak tersebut sebatas isi dan muatan yang ada

132 Kumpulan Tulisan Beberapa Pakar Dalam Rangka Menyambut HUT ke 70 Tahun

pada hak itu sendiri. Bila dilihat secara umum hak atas tanah adalah kewenangan yang diberikan hukum bagi si pemilik atau pemegangnya, untuk berkuasa dan berhak menikmati dan mengambil hasilnya, namun yang dinikmati dan yang diambil hasilnya itu hanya sebatas hak dimaksud.

E. Perpanjangan Hak Guna Bangunan Untuk Mendapatkan Kepastian Hukum