• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

5.2.4. Komposisi Penduduk Menurut Pekerjaan

Tabel 12 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di kedua desa tersebut mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan. Aktivitas penangkapan udang sebagai sumber mata pencaharian/pendapatan keluarga dimulai pada bulan maret tahun 2000 bersamaan dengan hadirnya PT. Usaha Mina yang berperan sebagai penampung hasil tangkapan udang yang beroperasi hingga bulan Juni 2001.

Tabel 12. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Utama di Desa Tanah Merah dan Saengga Tahun 2001 dan 2002

No Pekerjaan

Tanah Merah Saengga Penduduk

Total %

Penduduk

Total %

Pria Wanita Pria Wanita

Σ % Σ % Σ % Σ % I Pertanian 1 Petani 5 3.47 9 15.79 14 6.97 0 0 0 0 0 0 2 Nelayan/pen angkap udang 84 58.33 26 45.61 110 54.73 56 61.54 12 66.67 68 62.39 3 Menokok sagu 0 0.00 1 1.75 1 0.50 0 0 0 0 0 0 4 Peternak 1 0.69 0.00 1 0.50 0 0 0 0 0 0 Sub total 90 62.50 36 63.16 126 62.69 56 61.54 12 66.67 68 62.39 II Non pertanian 5 Pedagang 2 1.39 13 22.81 15 7.46 1 2.85 4 22.22 5 4.59 6 Guru 3 2.08 4 7.02 7 3.48 3 8.57 1 5.56 4 3.67 7 Paramedic 1 0.69 1 1.75 2 1.00 0 0 0 0 0 0 8 Pensiunan 1 0.69 0.00 1 0.50 1 2.85 0 0 1 0.92 9 Buruh 8 5.56 0.00 8 3.98 0 0 0 0 0 0 10 Karyawan (BP, calmarine, dll) 37 25.69 0.00 37 18.41 30 85.71 1 5.56 31 28.44 11 Menganyam (tikar, noken) 0 0.00 3 5.26 3 1.49 0 0 0 0 0 0 12 Operator chainsaw 2 1.39 0.00 2 1.00 0 0 0 0 0 0 Sub total 54 37.50 21 36.84 75 37.31 35 38.46 6 33.33 41 37.61 Total 144 100 57 100 201 100 91 100 18 100 109 100

Sumber: Sensus Rumahtangga, November 2001 dan Sensus Rumahtangga, Februari, 2002

Setelah perusahaan tersebut tutup, yang menjadi penampung udang adalah PT. Bintuni Mina Raya (BMR) melalui perpanjangan tangan kopermas dan para

penampung udang lainnya. Hal ini mengakibatkan kegiatan menangkap udang merupakan mata pencaharian utama masyarakat desa tanah Merah dan Sengga hingga sekarang.

Masuknya proyek LNG Tangguh di Kawasan Teluk Bintuni membuka peluang kerja bagi masyarakat setempat, terutama bagi penduduk yang berada di sekitar desa yang terkena dampak langsung karena mereka mendapat prioritas untuk direkrut pada sub kontraktor BP. Hal ini mengakibatkan pada tahap konstruksi, penduduk di lokasi penelitian banyak yang bekerja di proyek tersebut.

5.3. Karakteristik Rumahtangga Responden

Karakteristik rumahtangga responden dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Karakteristik Rumahtangga Responden Tahun 2008

No Karakteristik Rumahtangga LNG Non LNG

1. Umur suami (tahun) 39.77 37.96

2. Umur istri (tahun) 34.80 32.12

3. Pendidikan suami (tahun) 7.97 7.44 4. Pendidikan istri (tahun) 6.57 5.56 5. Jumlah anggota keluarga (orang) 7.1 6.24 6. Jumlah angkatan kerja keluarga

(orang)

3.95 3.16

7. Jumlah balita 1.40 1.16

Sumber : Data Penelitian diolah

Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata umur suami dan istri pada keluarga yang tidak bekerja di LNG lebih rendah dibandingkan dengan umur suami dan istri yang salah satu anggota keluarganya bekerja di LNG. Pendidikan suami yang anggota keluarganya bekerja di LNG relatif sama dibandingkan dengan yang tidak bekerja di LNG, dimana rata-rata pendidikan suami yang

anggota keluarganya bekerja di LNG adalah 7.97 dan yang tidak bekerja di LNG adalah 7.44 atau setara dengan SMP kelas dua tetapi putus sekolah. Sedangkan pendidikan istri yang anggota keluarganya bekerja di LNG Tangguh pendidikannya lebih tinggi satu tahun dibandingkan istri yang anggota keluarganya tidak bekerja di LNG. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Suprapto (2001) mengenai perilaku ekonomi rumahtangga petani di Irian Jaya, tingkat pendidikan suami maupun istri di Desa Tanah Merah dan Saengga cenderung lebih tinggi daripada di Kecamatan Ransiki. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat setempat tentang pentingnya pendidikan cukup tinggi sekalipun daerah tersebut cukup terisolasi sebelum adanya Proyek LNG Tangguh.

5.4. Mata Pencaharian Utama Rumahtangga Responden

Mata pencaharian utama rumahtangga responden dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 menunjukkan bahwa untuk rumahtangga responden yang bekerja di LNG, mayoritas dari mereka menggantungkan hidupnya sepenuhnya sebagai karyawan pada proyek tersebut sedangkan rumahtangga responden yang tidak bekerja di LNG mayoritas mereka menggantungkan hidupnya pada mata pencaharian utama sebagai nelayan. Hal ini berkaitan erat dengan penerimaan tunai yang mereka terima perbulannya, dimana baik rumahtangga responden yang mempunyai mata pencaharian utama sebagai karyawan pada proyek LNG maupun nelayan setiap bulannya mereka menerima uang tunai dari hasil kerja mereka sehingga mereka cenderung memilih untuk lebih banyak mencurahkan waktunya

pada dua kegiatan tersebut, sekalipun kegiatan usahatani juga tetap mereka lakukan.

Tabel 14. Mata Pencaharian Utama Rumahtangga Responden Tahun 2008

No Mata Pencaharian Utama LNG Non LNG Jumlah Responden (orang) Persentase (%) Jumlah Responden (orang) Persentase (%) 1 Petani 2 5.00 2 8.00 2 Nelayan 11 27.50 20 80.00 3. Proyek LNG 23 57.50 0 0.00 4. Pedagang 1 2.50 1 4.00 5. Meubel 0 0.00 1 4.00 6. Pembuat perahu 0 0.00 1 4.00 7. Guru 2 5.00 0 0.00 8. Tukang chainsaw 1 2.50 0 0.00 Total 40 100.00 25 100.00

Sumber : Data Penelitian diolah

Awalnya mata pencaharian utama di Desa Tanah Merah maupun Saengga hingga tahun 1998/1999 adalah bertani dan menokok sagu. Cara bertani yang mereka lakukan adalah ladang berpindah. Namun kegiatan ini merupakan strategi antara untuk budidaya tanaman tahunan. Umumnya mereka menanam tanaman jangka pendek hanya satu dua kali pada tahun pertama yang juga disertai dengan menanam tanaman tahunan sehingga pada tahun-tahun selanjutnya ladang tersebut perlahan-lahan menjadi kebun tanaman tahunan.

Jenis-jenis tanaman jangka panjang yang dibudidayakan oleh masyarakat setempat antara lain kelapa, rambutan, nangka, durian, nenas, sukun, pisang, pepaya, sirsak dan kedondong. Sementara tanaman jangka pendek yang diusahakan antara lain kasbi (singkong), betatas, keladi, jagung, tomat, kacang panjang, bayam, rica, gedi, kangkung dan sawi. Rata-rata luas areal yang diusahakan oleh responden baik yang bekerja di LNG maupun yang tidak bekerja

di LNG adalah di bawah setengah hektar, yaitu sebesar 0.4 Ha. Hal ini menunjukkan beberapa hal, antara lain: (1) usahatani saat ini bukanlah merupakan mata pencaharian utama penduduk di lokasi penelitian, karena bukanlah merupakan sumber pendapatan tunai (cash income) yang besar, (2) kepemilikan lahan usahatani menjadi relatif lebih kecil semenjak adanya proyek LNG Tangguh karena lahan-lahan produktif penduduk Tanah Merah telah dialihkan menjadi areal konstruksi proyek tersebut. Adapun lahan masyarakat yang dibebaskan sebesar 3 666 hektar milik klen Soway, Simuna dan Wayuri. Bagi penduduk Tanah Merah pembebasan lahan tersebut mengakibatkan hilang atau berkurangnya akses ke lahan yang selama ini mereka gunakan untuk berkebun, berburu, dan mengambil hasil hutan.

Tempat penjualan produk pertanian yang dihasilkan oleh penduduk adalah di Desa Tanah Merah, karena telah ada pasar yang dibangun di desa tersebut. Hal ini memudahkan petani untuk memasarkan hasil pertaniannya, sehingga mereka tidak perlu lagi ke Desa Tofoi maupun ke ibukota Kecamatan sebelumnya untuk memasarkan hasil pertanian mereka.

Aktivitas penangkapan udang sebagai sumber mata pencaharian utama keluarga mulai ditekuni oleh penduduk setempat setelah hadirnya PT. Usaha Mina yang berperan sebagai penampung hasil tangkapan udang yang beroperasi hingga bulan Juni 2001. Setelah perusahaan tersebut tutup, PT. Bintuni Mina Raya (BMR) yang menjadi penampung udang melalui perpanjangan tangan kopermas dan para penampung udang lainnya. Hal ini mengakibatkan kegiatan menangkap udang merupakan mata pencaharian utama masyarakat desa tanah Merah dan

Sengga hingga sekarang. Adanya pembangunan dan pengoperasian pelabuhan ekspor LNG dan pelabuhan kargo saat ini mengakibatkan berkurangnya akses masyarakat Desa Tanah Merah maupun Saengga untuk melaut mencari udang dan ikan.

Pada saat masa konstruksi, pihak proyek LNG Tangguh memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk mengambil bagian pada pembangunan proyek tersebut sesuai dengan salah satu komitmen sosial yang memang telah disepakati oleh pihak pengelola proyek dan para stake holder yang ada. Komitmen tersebut telah dipenuhi perusahaan dengan memberikan kesempatan kepada masing-masing keluarga di sekitar wilayah terkena dampak langsung proyek, termasuk Desa Tanah Merah dan Saengga untuk bekerja di proyek selama masa konstruksi. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk terlibat dalam masa konstruksi dan sekaligus menjadikan pekerjaan yang mereka lakukan di proyek sebagai mata pencaharian utama. Adapun pekerjaan yang mereka lakukan pada masa konstruksi umumnya adalah pekerjaan dengan tingkat ketrampilan yang rendah dan menengah, seperti tenaga konstruksi, perbengkelan, supir, tukang masak dan cleaning service. Selain itu perusahaan juga mempunyai komitmen untuk merekrut tenaga kerja pada jangka menengah dan panjang di wilayah tersebut, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7, sekalipun jumlahnya tidak sebanyak pada tahap konstruksi proyek.

Setiap pekerja yang telah direkrut oleh sub kontraktor BP-Migas akan bekerja sesuai dengan jam dan hari kerja yang telah ditetapkan oleh kontraktor serta etika tingkah laku kerja lainnya (code of conduct). Selain itu setiap pekerja

yang telah diterima dipekerjakan dengan status lajang dan menempati tempat tinggal yang telah ditetapkan bagi mereka oleh sub kontraktor. Mereka hanya dapat meninggalkan lokasi konstruksi proyek pada saat cuti atau berkaitan dengan hal-hal penting lainnya di luar kendali perusahaan. Pada saat cuti para pekerja tersebut dikirim ke daerah tempat mereka direkrut. Bila masa kontrak mereka telah habis atau bila terjadi pemutusan hubungan kerja karena hal-hal tertentu, maka para pekerja tersebut dikembalikan ke daerah asal mereka (daerah mereka sebelum bekerja di proyek).

5.5. Penerimaan Tunai Rumahtangga Responden

Rata-rata penerimaan tunai rumahtangga responden dari berbagai aktivitas produksi yang mereka lakukan dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Rata-rata Penerimaan Tunai Rumahtangga Responden Tahun 2008 No Mata Pencaharian Utama LNG Non LNG Penerimaan Tunai (Rp) Persentase (%) Penerimaan Tunai (Rp) Persentase (%) 1 Petani 6 600 862.50 12.33 9 046 900.00 20.60 2 Nelayan 13 879 312.50 25.93 24 101 600.00 54.87 3. Proyek LNG 27 131 925.00 50.70 0.00 0.00 4. Berburu 365 625.00 0.68 1 130 200.00 2.57 5. Menokok sagu 1 015 000.00 1.89 1 060 000.00 2.41 6. Lain-lain 4 525 000.00 8.46 8 568 666.68 19.55 Total 53 517 725.00 100.00 43 925 366.68 100.00 Sumber : Data Penelitian diolah

Tabel 15 menunjukkan bahwa penerimaan tunai rumahtangga yang bekerja di LNG Tangguh lebih besar daripada rumahtangga yang anggota keluarganya tidak bekerja di LNG. Bagi rumahtangga yang bekerja di LNG Tangguh, sumber utama penerimaan tunainya adalah penerimaan dari bekerja di LNG Tangguh, sedangkan yang tidak bekerja di LNG, sumber utama penerimaan

tunainya adalah kegiatan menangkap udang. Dimana kegiatan menangkap udang semenjak tahun 2000 merupakan kegiatan yang merupakan sumber utama penerimaan uang tunai dari masyarakat setempat.

Bila dibandingkan dengan data sensus yang dilakukan oleh BP Migas pada tahun 2002 untuk Desa Saengga PERTAMINA dan BP memperkirakan penghasilan rumahtangga di Simuri (Saengga) adalah Rp.18 311 000 per tahun per KK, dan bahwa 41 persen dari angka tersebut adalah hasil dari penangkapan udang. Sedangkan untuk Desa Tanah Merah penghasilan penduduk berkisar antara Rp. 4 050 000 hingga Rp. 31 011 000 per tahun Pada saat sensus tersebut dilakukan harga udang Rp. 25 000 per kg, sedangkan pada saat penelitian dilakukan, harga udang sudah mencapai Rp. 35 000 per kg. Jumlah tangkapan udang juga mengalami penurunan yang cukup besar. Berdasarkan sensus tersebut, pada saat musim udang, rata-rata jumlah udang yang diperoleh sekali melaut adalah berkisar antara 10 kg hingga 30 kg atau rata-ratanya sekitar 20 kg, sedangkan pada saat penelitian ini dilakukan, rata-rata udang yang dapat ditangkap oleh rumahtangga responden rata-ratanya 8.9 kg. Hal ini sesuai dengan wawancara yang dilakukan terhadap keseluruhan responden, yang mengatakan bahwa sebelum adanya proyek, sekali melaut mereka biasa menangkap udang berkisar antara 15 kg hingga 30 kg, tetapi setelah adanya proyek, jumlah tangkapan udang mengalami penurunan. Menurut mereka, hal ini disebabkan karena daerah penangkapan udang yang selama ini mereka manfaatkan untuk melaut telah menjadi zona larangan yang ditetapkan oleh pihak proyek LNG dengan alasan keamanan.

Harga sagu per tumang dengan ukuran diameter 30 cm pada saat sensus tersebut adalah Rp. 20 000 bila dijual di desa tersebut, sedangkan pada saat penelitian ini dilakukan harga sagu dengan ukuran yang sama telah mencapai Rp 100 000. Tidak ada informasi dari sensus tersebut mengenai hasil buruan yang diperoleh penduduk apakah dijual atau semuanya dikonsumsi sendiri pada saat itu, tetapi pada saat penelitian ini dilakukan hasil buruan berupa babi hutan, rusa, lao-lao (kangguru) dan kasuari dijual dengan harga perikatnya yang diperkirakan mempunyai berat satu hingga satu setengah kilo sebesar Rp. 10 000.

Perbedaan harga maupun jumlah tangkapan udang, hasil buruan dan jumlah sagu yang dihasilkan diduga mengakibatkan perbedaan nilai penerimaan yang diperoleh oleh penduduk di desa yang sama pada waktu yang berbeda. Atau dengan kata lain, peningkatan penerimaan tunai tersebut diakibatkan karena peningkatan harga setiap komoditi.

VI. PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA RESPONDEN