• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

6.1. Alokasi Curahan Kerja

6.4.1. Penerimaan Pertanian

Hasil pendugaan parameter penerimaa pertanian dapat dilihat pada Tabel 25. Hasil pendugaan parameter persamaan penerimaan pertanian mempunyai koefisien determinan (R2) sebesar 0.72161, yang menunjukkan bahwa keragaman penerimaan pertanian dapat dijelaskan oleh peubah bebas curahan kerja pertanian rumahtangga (CKU), luas areal (LA), jarak lahan pertanian (JRL), biaya usahatani (BU) dan intensitas penyuluhan pertanian (IPP) sebesar 72.16 persen. Nilai uji F-hitung adalah 17.63 berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen, yang menjelaskan bahwa seluruh peubah bebas tersebut dapat menjelaskan dengan baik perilaku penerimaan pertanian.

Tabel 25. Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Pertanian Rumahtangga Responden

Peubah Parameter

Dugaan t-hitung Taraf Nyata Elastisitas Intersep 775859.6 0.47 0.6407

Curahan kerja

pertanian 25624.81 1.63 0.1130 0.213225 Luas areal 164600.5 0.08 0.9388 0.008609 Jarak lahan pertanian 133232.3 5.98 <.0001 0.559838 Biaya usahatani -40.4487 -1.08 0.2874 -0.08152 Intensitas Penyuluhan Pertanian 1575139 3.25 0.0026 0.200932 R2 0.72161 Fhit 17.63 N 40       

Seluruh peubah bebas yang ada di dalam persamaan tersebut mempunyai tanda yang sesuai dengan yang diharapkan. Curahan kerja pertanian mempunyai tanda positif, dimana semakin tinggi curahan kerja pada kegiatan pertanian maka ada kecenderungan produksi pertanian juga semakin tinggi sehingga penerimaan pertanian juga semakin tinggi. Sekalipun demikian, penerimaan pertanian tidak responsif terhadap curahan kerja pada kegiatan pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan alokasi kerja pada kegiatan tersebut tidak membawa perubahan yang besar pada penerimaan pertanian. Satu persen perubahan alokasi kerja hanya meningkatkan penerimaan pertanian sebesar 0.21 persen. Hal ini terlihat pada setiap peningkatan satu hari orang kerja hanya meningkatkan penerimaan pertanian sebesar Rp. 25 624. 81, yang menunjukkan bahwa produktifitas kerja di pertanian per hari orang kerja cukup rendah dibandingkan dengan kegiatan produktif lainnya.

Luas areal bertanda positif yang menunjukkan bahwa semakin tinggi lahan yang dikelola rumahtangga maka produksi pertanian juga semakin tinggi sehingga

penerimaan rumahtangga juga meningkat. Hanya saja penerimaan pertanian juga tidak responsif terhadap luas areal yang diusahakan. Meningkatnya luas areal sebesar satu persen hanya meningkatkan penerimaan pertanian sebesar 0.008 persen. Hal ini mengindikasikan rendahnya produktifitas lahan di daerah tersebut, karena sistem bercocok tanam yang dilakukan masih sangat sederhana tanpa ditunjang input-input pertanian seperti pupuk yang dapat mendorong terjadinya peningkatan produktifitas lahan. Rendahnya penggunaan input-input pertanian yang diperlukan untuk meningkatkan produktifitas lahan disebabkan akses rumahtangga terhadap input-input tersebut sangat rendah, karena desa tersebut merupakan salah satu desa yang cukup terisolasi sebelum adanya proyek. Akses ke desa lain ataupun ibukota distrik maupun kabupaten hanya bisa ditempuh dengan menggunakan transportasi laut berupa long boat milik pribadi atau speed boat milik perusahaan. Selain itu lembaga-lembaga pertanian yang menjual input-input pertanian belum ada di kedua desa yang menjadi lokasi penelitian.

Jarak lahan pertanian mempunyai tanda positif bertolak belakang dengan yang diharapkan. Dimana semakin jauh jarak lahan pertanian yang dimiliki, maka semakin tinggi penerimaan rumahtangga. Penduduk di lokasi penelitian umumnya mempunyai lebih dari satu fragmen lahan pertanian. Fragmen lahan pertanian tanaman jangka pendek yang dikelola untuk menghasilkan kebutuhan rumahtangga biasanya hanya berjarak dua hingga lima meter dari rumah, sedangkan untuk lahan tanaman jangka panjang ada yang dekat dengan rumah, tetapi umumnya agak jauh dari rumah. Sekalipun demikian, banyak penduduk yang memanfaatkan semua lahan tersebut untuk menanam kedua jenis tanaman

tersebut pada kedua lahan yang ada. Selain itu, ada juga rumahtangga yang memiliki lahan kelapa sawit di Desa Tofoi yang bila ditempuh dengan menggunakan long boat, bisa mencapai satu hingga dua jam perjalanan, sedangkan bila berjalan kaki bisa enam hingga delapan jam perjalanan. Rumahtangga yang belum mengelola sendiri lahan kelapa sawitnya, umumnya setiap bulan mereka menerima uang tunai dari perusahaan kelapa sawit sebesar Rp. 500 000 hingga Rp. 600 000, sedangkan yang telah mengelola sendiri bisa menerima penerimaan tunai sebesar Rp. 3 000 000 hingga Rp. 6 000 000 per bulan. Oleh karena itu sebenarnya penerimaan produk pertanian yang terbesar adalah dari kelapa sawit yang arealnya jauh dari lokasi pemukiman penduduk. Hal ini mengakibatkan secara signifikan jarak lahan mempengaruhi penerimaan pertanian secara positif. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa penerimaan pertanian tidak respon terhadap jarak lahan pertanian. Satu persen peningkatan jarak lahan hanya meningkatkan penerimaan pertanian sebesar 0.56 persen. Artinya bahwa penerimaan pertanian di lokasi yang jauh sangat tergantung dengan jenis komoditi yang diusahakan.

Biaya usahatani yang dikeluarkan oleh petani adalah biaya tetap berupa biaya penyusutan alat pertanian yang dialokasikan untuk membeli peralatan pertanian yang mereka gunakan. Mereka tidak mengeluarkan biaya untuk pembelian bibit maupun pupuk dan obat-obatan sehingga tidak ada biaya variabel yang dikeluarkan untuk kegiatan pertanian. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa investasi rumahtangga terhadap kegiatan pertanian masih sangat rendah. Biaya usahatani mempunyai tanda negatif, artinya semakin bertambah biaya

usahatani akan berpengaruh terhadap penurunan penerimaan dari kegiatan pertanian karena akan mengurangi penerimaan yang diperoleh oleh setiap rumahtangga. Sekalipun demikian, biaya tetap yang dikeluarkan oleh mereka sangat membantu dalam proses produksi terutama untuk pengolahan lahan, karena ada kecenderungan bahwa rumahtangga yang melakukan pengolahan lahan dengan mencangkul lahan dan membuat bedengan produksi pertanian mereka jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak mengolah lahan. Masyarakat di lokasi penelitian boleh dikatakan telah terampil menggunakan cangkul dan membuat bedengan karena sebelum ada proyek LNG Tangguh mereka rutin mendapat penyuluhan yang berkaitan dengan pertanian. Umumnya pekerjaan yang dilakukan oleh kepala keluarga (suami) pada kegiatan pertanian adalah membuka lahan dan mengolahnya, sementara untuk kegiatan penanaman dan pemeliharaan biasanya dikerjakan bersama-sama oleh suami dan istri beserta anggota keluarga lainnya yang terlibat. Bila lahan yang diusahakan tidak diolah terlebih dahulu, maka produksinya juga tidak sebesar bila lahan tersebut diolah. Pengolahan lahan yang dilakukan di daerah penelitian umumnya adalah dengan mencangkul lahan tersebut dan membuat bedeng. Penduduk di lokasi penelitian telah terbiasa menggunakan cangkul untuk mengolah lahan pertanian mereka, sehingga sistem bercocok tanam mereka sedikit lebih maju dibandingkan sistem bercocok tanam masyarakat lokal di daerah Papua lainnya yaitu di Kecamatan Ransiki yang diteliti oleh Suprapto (2001). Artinya bahwa sebenarnya peningkatan produksi pertanian lebih disebabkan oleh cara bercocok tanam yang lebih baik yang ditunjang dengan peralatan atau teknologi yang memadai.

Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa penerimaan pertanian tidak respon terhadap biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan tersebut. Biaya pertanian yang meningkat satu persen hanya menurunkan penerimaan pertanian sebesar 0.08 persen sehingga bukan merupakan kendala yang berarti didalam meningkatkan penerimaan pertanian.

Dalam meningkatkan produksi pertanian di Papua peran penyuluh pertanian masih sangat penting dan diperlukan. Intensitas penyuluhan pertanian mempunyai tanda positif seperti yang diharapkan. Artinya semakin intensif setiap rumahtangga mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian akan meningkatkan penerimaan pertanian. Hal ini diduga disebabkan semakin banyak mereka mengikuti kegiatan penyuluhan maka pengetahuan mereka mengenai cara bercocok tanam akan semakin baik sehingga mereka dapat meningkatkan produksi pertanian mereka. Kemampuan mereka berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya yang diperoleh membuat mereka mampu mengelola pertanian mereka dengan lebih baik. Penyuluhan yang diberikan umumnya adalah cara bercocok tanam seperti membuat bedeng, memanfaatkan pupuk alam, cara menanam dan lain sebagainya. Institusi yang memberikan penyuluhan berasal dari perguruan tinggi dan institusi terkait lainnya seperti Universitas Negeri Papua, penyuluh lapang dari Kabupaten Fak Fak dan lain sebagainya. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa penerimaan pertanian tidak respon terhadap intensitas penyuluhan pertanian, dimana satu persen peningkatan frekuensi mengikuti penyuluhan pertanian hanya meningkatkan penerimaan pertanian sebesar 0.2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas penyuluhan

pertanian bukan merupakan peubah yang secara langsung dapat meningkatkan penerimaan pertanian tanpa adanya perubahan cara bercocok tanam dari setiap rumahtangga. Oleh karena itu untuk meningkatkan penerimaan rumahtangga dari kegiatan pertanian sangat diperlukan partisipasi aktif dari setiap rumahtangga untuk menerapkan pengetahuan yang diperoleh ketika mengikuti penyuluhan.