• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi dan Tantangan Pembangunan Tahun 2014

BAB 1 - PENDAHULUAN

1.2. Aspek Strategis Organisasi

1.2.3. Kondisi dan Tantangan Pembangunan Tahun 2014

Penyelenggaraan penataan ruang

UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa RTRW Provinsi dapat ditetapkan sesuai UUPR paling lambat tahun 2009, sementara RTRW Kabupaten/Kota diharapkan dapat selesai paling lambat tahun 2010.

Gambar 1.7 Progres Capaian Penetapan Perda RTRW

Tahun Perda RTRW

Persetujuan Substansi Menteri PU

Prov. Kab. Kota Prov. Kab. Kota

2008 0 5 0 1 3 0 2009 2 7 1 9 6 3 2010 5 5 2 6 30 7 2011 3 69 24 15 262 44 2012 4 143 34 2 92 31 2013 7 60 11 0 4 5 Total 21 289 72 33 397 90

Sumber: Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Penataan Ruang tahun 2014

Namun sampai dengan akhir tahun 2013, target tersebut masih belum juga dapat terpenuhi dimana jumlah RTRW Provinsi yang telah ditetapkan sebagai Perda sebanyak 21 Provinsi, sementara RTRW Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan menjadi Perda sebanyak 289 Kabupaten dan 72 Kota.

Sebagian besar Provinsi/Kabupaten/ Kota yang belum menetapkan RTRW-nya sebagai perda menghadapi permasalahan terutama terkait dengan lahan kehutanan (holding zone), proses legislasi di DPRD, dan peta wilayah.

Selain itu, setelah ditetapkannya Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) pada tahun 2008 perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan RTR Pulau/Kepulauan dan RTR Kawasan Strategis Nasional. Hingga akhir tahun 2013, baru 4 RTR yang telah diselesaikan dan ditetapkan sebagai Perpres yang terdiri dari RTR Pulau Sulawesi, RTR Pulau Kalimantan, RTR Pulau Sumatera, dan RTR Pulau Jawa-Bali. Adapun untuk RTR KSN, hingga akhir tahun 2013 sudah ditetapkan 5 RTR KSN yang terdiri dari KSN Jabodetabekpunjur, KSN Sarbagita, KSN Mebidangro, KSN Mamminasata, dan KSN Batam-Bintan-Karimun sehingga masih terdapat 57 RTR KSN yang masih dalam proses pembahasan dan penyusunan.

Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota dan Kawasan Perkotaan mendapatkan perhatian yang cukup besar dalam UU Penataan Ruang. UUPR mengamanatkan bahwa Kota/Kawasan Perkotaan harus dapat menyediakan RTH sebesar 30 persen dari keseluruhan luas wilayah yang terdiri dari 20 persen RTH Publik dan 10 persen RTH Privat. Adapun perkembangan yang terjadi di lapangan, masih banyak daerah yang cenderung mengabaikan

PENDAHULUAN Halaman 21 | 147 Isu yang juga sedang berkembang adalah terkait perlindungan terhadap lahan pertanian pangan yang ada saat ini agar dapat terus dijaga dan dipertahankan keberadaannya. Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, perlindungan atas lahan pertanian pangan berkelanjutan dimaksudkan diantaranya untuk melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan serta menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan.

Selain itu, arus globalisasi yang semakin kuat turut mempengaruhi perkembangan kota tak terkecuali kota-kota di Indonesia. Kota-kota di Indonesia mulai kehilangan identitas dan karakter yang menyebabkan terjadinya fenomena pembangunan kota yang cenderung homogen. Warisan sejarah ataupun budaya yang sebelumnya melekat dengan kehidupan kota mulai hilang seiring dengan berjalannya waktu.

Tantangan bidang Penataan Ruang Tahun 2014 adalah sebagai berikut:

 Percepatan penyelesaian penetapan RTRW Provinsi, Kabupaten, dan Kota perlu terus didorong dalam rangka pemenuhan amanat UU Penataan Ruang yang mensyaratkan RTRW Provinsi telah diselesaikan pada tahun 2009 dan RTRW Kab/Kota telah diselesaikan pada tahun 2010. Hingga akhir tahun 2013, seluruh Provinsi dan Kabupaten telah mendapatkan persetujuan substansi, sedangkan jumlah Kota yang belum memperoleh persetujuan substansi sebanyak 3 Kota. Namu, adanya penetapan daerah otonomi baru pada tahun 2013 menambah daerah yang perlu dibina sebanyak 1 Provinsi dan 14 Kabupaten.

 Rencana Rinci yang merupakan pendetilan dari RTRWN perlu segera diselesaikan agar dapat segera dioperasionalisasikan mengingat muatan RTRWN sendiri akan melalui proses review 5 (lima) tahunan. Untuk RTR Pulau, masih terdapat 3 RTR Pulau masih dalam proses penetapan Perpres di Sekretariat Kabinet (Setkab). Sementara untuk RTR KSN, 6 RTR KSN masih belum disiapkan materi raperpresnya.

 Dalam rangka menekan tingkat pelanggaran pemanfaatan ruang, perlu dilakukan upaya pengendalian dan penegakan hukum terhadap pemanfaatan ruang sesuai aturan yang tertuang dalam RTR secara gencar dan berkelanjutan. Salah satu perangkat yang dibutuhkan untuk mendukung terlaksananya pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif adalah aparatur Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

 Pemerintah Daerah perlu terus dirangsang dan dibina dalam rangka penyediaan RTH baik Publik maupun Privat.

 Perlindungan atas lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi perhatian bersama untuk terus didukung dan dilaksanakan oleh baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

 Kota tidak hanya dipandang sebagai mesin ekonomi, tetapi juga menyimpan potensi yang dapat berwujud kesenian, adat istiadat, bahasa, situs, arsitektur, dan kawasan bersejarah yang bernilai pusaka yang dapat mengisi ruang kota. Salah satu instrumen yang kuat dalam sejarah perkotaan adalah pengaturan teritorial, ruang, dan bangunan berdasarkan konsepsi kosmografi serta kaidah-kaidah penataannya.

 Pembangunan masa depan secara berkelanjutan hendaknya mampu menyinambungkan berbagai peninggalan yang bernilai dan dinamika zaman secara terseleksi, termasuk menjadi alat dan modal dalam pengembangan budaya dan ekonomi kota.

Pengelolaan sumber daya air

Kondisi Infrastruktur Sumber Daya Air (SDA) saat ini menunjukkan tingkat yang beragam, sehingga perlu pembenahan yang segera. Bidang Penyediaan Air Baku yang berkaitan dengan Program Millenium Development Goals (MDG’s) dimana sampai dengan tahun 2014 harus dapat mensuplai 56 m3/dt dalam rangka menyediakan air minum untuk masyarakat dengan target 13,9 m3/dt pada tahun 2014 ini. Kegiatan penyediaan air baku di tahun 2014 harus tercapai karena merupakan tahun terakhir Renstra 2010 - 2014.

Cakupan layanan irigasi dan rawa yang telah dibangun mencapai 276.041 Ha telah melampaui dari Target RPJM 2010-2014 yang harus dicapai adalah 129.380 Ha, dalam tahun 2014 ditargetkan 77.741 Ha, target tahun 2013 bukan merupakan target renstra sehingga kerja keras tetap harus dipertahankan. Waduk yang harus dibangun dengan Target RPJM 2010-2014 adalah sebanyak 9 buah, tahun 2014 sudah menyelesaikan 2 waduk, yang sedang dalam pelaksanaan karena merupakan pekerjaan tahun jamak. Dengan target-target yang ingin dicapai Kementerian PU pada Tahun 2014 diharapkan semua target dapat tercapai dan bahkan dapat melebihi target.

Penyelenggaraan jalan

Pada akhir Tahun 2013 kondisi jalan dalam keadaan mantap mencapai 92,95%. Untuk mencapai kondisi tersebut pada tahun 2013 telah dilaksanakan beberapa penanganan antara lain preservasi jalan sepanjang 34.618 km; preservasi jembatan sepanjang 339.272 m; peningkatan kapasitas jalan yang terdiri dari rekonstruksi dan pelebaran sepanjang 4.134 km dan pembangunan jalan baru sepanjang 435 km; pembangunan jembatan sepanjang 11.167 m; pembangunan flyover/underpass sepanjang 3.838 m; dan pembangunan jalan strategis sepanjang 586 km dan jembatan 529 m di lintas selatan Jawa, perbatasan, terpencil dan terluar serta pembangunan jalan tol sepanjang 8,40 km. Berdasarkan kondisi tersebut terdapat sejumlah permasalahan yang harus dihadapi dan diatasi, diantaranya adalah sebagai berikut:

 Masih kurangnya keseimbangan pembangunan antar wilayah terutama percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI), daerah tertinggal, daerah perbatasan, serta kesenjangan dalam pulau maupun antara kota dan desa;

 Prosentase pertumbuhan kendaraan yang tidak seimbang dengan pertumbuhan infrastruktur jalan;

 Kualitas pelayanan jalan daerah belum memadai;  Masih terjadinya beban berlebih (overloading); dan

 Masih kurangnya integrasi dan sinergi sistem jaringan jalan nasional dengan jalan daerah.

Adapun tantangan yang dihadapi tahun 2014 dalam penyelenggaraan infrastruktur jalan oleh Kementerian PU antara lain:

 Pertumbuhan prosentase jumlah kendaraan dibandingkan panjang jalan yang tidak seimbang sehingga menyebabkan menurunnya tingkat pelayanan jalan terutama dikota-kota besar;

 Masih terdapat beberapa segmen pada jalan lintas pulau yang belum memenuhi standar kapasitas maupun struktur;

PENDAHULUAN Halaman 23 | 147  Masih kurangnya keterpaduan sistem jaringan jalan nasional dengan jalan daerah serta

masih kurangnya pendanaan penanganan jalan daerah di tengah-tengah desentralisasi (otonomi daerah);

 Situasi kelembagaan penyelenggaraan jalan yang masih memerlukan perkuatan terutama dalam menyiapkan produk-produk pengaturan, fasilitasi jalan daerah, dan meningkatkan akuntabilitas kinerja penyelenggaraan jalan;

 Dalam hal investasi jalan tol, masih terdapat masalah pembebasan tanah, ketersediaan pendanaan yang masih terbatas, dan belum intensnya dukungan Pemerintah Daerah;  Ketersediaan Material. Material Material Semen, Batu dan Pasir yang harus didatangkan

dari luar daerah. Dalam waktu – waktu tertentu, material tersebut susah dicari di pasaran mengingat demand yang tinggi untuk keperluan proyek konstruksi lainnya;  Kondisi Geografis. Medan yang cukup sulit dan lokasi pekerjaan yang cukup jauh

sehingga memerlukan waktu dan peralatan khusus untuk mencapai lokasi proyek serta rawan longsor.

Pengembangan infrastruktur permukiman

Pengembangan infrastruktur permukiman mencakup sektor air minum, sanitasi dan permukiman, serta ditambah dengan tugas penataan bangunan dan lingkungan. Adapun permasalahan yang meliputi pelaksanaan pengembangan infrastruktur permukiman diantaranya adalah sebagai berikut:

 Kondisi akses air minum aman nasional pada tahun 2013 adalah 67,7% dengan rincian jaringan perpipaan sebesar 17,9% dan bukan jaringan perpipaan 48,8%, akses air minum aman di perkotaan sebesar 79,3% dan perdesaan 56,2%, masih terdapat idle

capacity sebesar 37.900 liter/detik, keterbatasan air baku untuk air minum sebesar 128

m3/det.

 Komitmen pemda untuk pendanaan air minum (DDUB) hanya 0,04% dari total APBD (2012), selain itu masih terdapat 104 PDAM yang kurang sehat di 2013 (30%) dan 70 PDAM berstatus sakit (20%). Dalam hal kompetensi pengelola SPAM di daerah dimana terdapat kebutuhan peningkatan kompetensi pengelola SPAM di seluruh kab/kota mencapai 51.000 orang sementara Kapasitas Balai Teknis Air Minum dan Sanitasi ± 2.000 orang/tahun.

 Akses pelayanan pengelolaan sampah baru 79,80% (2013) dengan rincian di perkotaan sebesar 87% dan perdesaan sebesar 72,60%. Pada kawasan perkotaan, pengelolan sampah pada sumbernya sebesar 41% dan pengelolaan akhir sampah sebesar 46%. Pada kawasan perdesaan pengelolan sampah pada sumbernya sebesar 69,20% dan pengelolaan akhir sampah sebesar 3,40%.

 Masih rendahnya komitmen pemda dalam pengelolaan sampah yang ditunjukkan dengan besaran anggaran untuk penanganan sampah dibawah 5% dari jumlah anggaran APBD. Selain itu belum seluruh kab/kota memiliki kelembagaan pengelola sampah (regulator dan operator)

 Luas permukiman kumuh perkotaan seluas 37.407 Ha atau setara 3.286 kawasan, baru 215 kab/kota yang memiliki Surat Keputusan Walikota/Bupati tentang permukiman kumuh.

 Dalam hal penataan bangunan dan lingkungan baru 49% kab/kota memiliki perda BG dan masih minimnya BG yang memiliki IMB, 3,1% kab/kota yang baru memiliki SLF, -

0,4% kab/kota yang baru melakukan pendataan BG dan baru 3 bangunan gedung Negara yang sudah bangunan gedung hijau

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka tantangan yang harus dihadapi pada tahun 2014 adalah sebagai berikut:

 Optimalisasi terhadap infrastruktur terkait air minum dan sanitasi yang masih menimbulkan idle capacity dan atau tidak berfungsi, hal ini diharapkan dapat mempersempit gap menuju capaian 100% pada akhir RPJMN ketiga;

 Meningkatkan kondisi PDAM pada kondisi sehat melalui pembinaan terhadap pemerintah daerah, sekaligus mendorong PDAM yang sudah sehat untuk dapat mempertahankan kinerjanya;

 Meningkatkan keandalan data dan informasi (basis data) permukiman yang selama ini menyebabkan kurang optimalnya capaian akibat perbedaan data yang digunakan sebagai acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan program;

 Mendorong pemerintah daerah untuk dapat memenuhi komitmen, terutama dalam hal perencanaan dan penganggaran untuk kegiatan yang menjadi kewenangannya;

 Perlunya menetapkan target-target kinerja yang lebih jelas untuk meningkatkan kinerja TPA yang berwawasan lingkungan di kota metropolitan/besar yang sampai saat ini masih belum menuai hasil yang optimal. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah yang masih rendah, sementara konflik sosial yang berkaitan dengan pengelolaan TPA sampah sampai saat ini masih sering terjadi di samping ketersediaan sarana dan prasarana persampahan yang masih belum memadai.

 Meningkatkan keterpaduan penanganan sistem drainase mulai dari sistem terkecil (tersier dan sekunder) hingga sistem primer yang pelaksanaanya harus selaras dengan RTRW yang berlaku.

 Memperluas akses pelayanan sanitasi dan peningkatan kualitas fasilitas sanitasi masyarakat yang akan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan dan daya saing sebuah kota dan sebagai bagian dari jasa layanan publik dan kesehatan.

 Memenuhi backlog perumahan sebesar 6 juta unit sebagai akibat dari terjadinya penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan keluarga baru, rata-rata sekitar 820.000 unit rumah setiap tahunnya.

 Meningkatkan keandalan bangunan baik terhadap gempa maupun kebakaran melalui pemenuhan persyaratan teknis dan persyaratan administrasi/perizinan.

 Meningkatkan kesadaran masyarakat agar dalam membangun bangunan gedung memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga dapat meminimalkan terjadinya banjir, longsor, kekumuhan, dan rawan kriminalitas.

 Meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang khususnya pemanfaatan ruang bagi permukiman.

 Mengupayakan pengarusutamaan gender dalam proses pelaksanaan kegiatan sub-bidang infrastruktur permukiman, baik dari segi akses, kontrol, partisipasi, maupun manfaatnya.

PENDAHULUAN Halaman 25 | 147

Pembinaan konstruksi

Kondisi yang dihadapi dan menjadi permasalahan dalam melaksanakan program pembinaan konstruksi diantaranya adalah sebagai berikut:

 Reformasi Birokrasi yang telah digariskan melalui Grand Design Nasional mempunyai Visi: “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia”, yaitu pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis.

 Pemerintah Daerah Provinsi belum seluruhnya memiliki Peraturan Daerah tentang Pembinaan Jasa Konstruksi;

 Keterbatasan SDM pembinaan jasa konstruksi di Daerah tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mendukung pelaksanaan program pembinaan jasa konstruksi;  Dinamika struktural Pemerintah Daerah yang masih belum memprioritaskan Jasa

Konstruksi, sehingga kepentingan untuk pembinaan jasa konstruksi masih sebatas ada tidaknya alokasi dana pembinaan konstruksi ke Pemerintah Daerah;

 Jumlah petugas K3 maupun Ahli K3 yang masih rendah menjadi fokus perhatian pembinaan bidang SMK3;

 Belum adanya harmonisasi kebijakan antar instansi/kementerian terkait kebijakan investasi pembangunan infrastruktur;

 Infrastruktur transportasi di wilayah Indonesia bagian timur masih menjadi kendala utama bagi kelancaran logistic dan pasokan MPK yang mengakibatkan terjadinya distorsi harga yang relative tinggi;

 Belum adanya instrumen analisis dalam penyusunan kebijakan pengembangan sektor konstruksi;

 Industri dan investasi material dan peralatan masih terpusat di Pulau Jawa, sementara pekerjaan konstruksi tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dilain pihak, kebijakan investasi infrastruktur secara nasional akan lebih didominasi pengalokasian dana untuk Indonesia bagian timur, sehingga diperlukan penataan sistem MPK yang baik untuk terwujudnya konstruksi yang efektif dan efisien;

 masih terjadi ketimpangan pengelolaan sumber daya investasi di masing-masing wilayah, sehingga kualitas dan kuantitas pemberdayaan sumber daya investasi tidak merata;

 Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik belum diimplementasikan dengan baik di daerah;

 Belum tersampaikanya informasi penjadwalan fora perundingan liberalisasi industri konstruksi;

 Dalam pelaksanaan konstruksi yang dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) PU, pemakaian alat berat belum diwajibkan untuk didukung dengan sertifikasi kelayakannya, sehingga sulit untuk pendataan ketersediaan alat berat konstruksi beserta kondisinya;

Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut diatas, maka tantangan yang dihadapi pada tahun 2014 dalam pembinaan konstruksi diantaranya adalah sebagai berikut:

 Belum optimalnya kapasitas dan kompetensi SDM Badan Pembinaan Konstruksi dalam pelaksanaan anggaran untuk mengimbangi kemungkinan peningkatan alokasi anggaran Program Pembinaan Konstruksi setiap tahunnya.

 Masih rendahnya koordinasi dengan Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota mengingat posisi kelembagaan pembinaan konstruksi yang tidak seragam.

 Belum terpetakanya tipologi permasalahan investasi infrastruktur di Indonesia untuk: (1) bidang Cipta Karya – air minum; (2) bidang Bina Marga – jalan tol, dan (3) Aset Daerah, Daerah Perbatasan, Green Economy, dan Local Wisdom.

 Realisasi investasi infrastruktur pekerjaan umum yang didanai melaui KPS masih berjalan lambat.

 Ketidaktersediaan informasi kebutuhan MPK yang akuntabel di masing-masing sektor konstruksi dan belum tersusunnya kebijakan umum sebagai arahan dalam pengelolaan MPK berbasis pendekatan rantai pasok.

 Pemahaman green construction secara umum masih terbatas pada produk. Di saat yang sama, industry dalam negeri belum mampu menghasilkan produk tersebut, sehingga pelaksanaan konstruksi green construction masih mengandalkan produk impor.

 Data pasar konstruksi di sebagian instansi daerah masih dianggap sebagai data yang bersifat rahasia, salah satunya termasuk bidang bangunan gedung untuk resident dan

non resident.

Penelitian dan pengembangan infrastruktur ke-PU-an

Ketersediaan infrastruktur permukiman yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu daya tarik suatu kawasan/ wilayah disampaing faktor kualitas lingkungan hidup. Sementara ini, kinerja infrastruktur merupakan faktor kunci dalam menentukan daya saing global, selain kinerja ekonomi makro, efisinsi pemerintah dan efisiensi usaha. Ditambah ketersediaan infrastruktur yang belum merata ke semua golongan masyarakat terutama masyarakat miskin. Sejalan dengan adanya fenomena perubahan iklim (climate change), pembangunan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman juga dihadapkan dengan tantangan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (antara lain CO2 dan CH4), meningkatkan penyerapan karbon oleh hutan tropis, dan meningkatnya harga pangan dunia. Dalam mengantisipasi dampak akibat perubahan iklim, dilakukan upaya adaptasi dan mitigasi sektor ke-PU-an terutama terkait dengan dukungan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman untuk menyokong produksi pangan nasional dan respon terhadap pengelolaan infrastruktur dalam mengantisipasi bencana yang terkait dengan perubahan iklim seperti penurunan ketersediaan air, banjir, kekeringan, tanah longsor, dan intrusi air laut.

Dengan demikian, tantangan pembangunan infrastruktur ke depan adalah bagaimana untuk terus meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas dengan kinerja yang semakin dapat diandalkan agar daya tarik dan daya saing Indonesia dalam konteks global dapat terus meningkat. Demikian pula dengan infrastruktur yang berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah diharapkan dapat terus mendorong percepatan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, sekaligus mewujudkan kesejahteraan sosial dan kenyamanan lingkungan.

Berikut hal yang dapat menjadi tantangan pembangunan ke depan terkait aspek penelitian dan pengembangan diantaranya adalah sebagai berikut:

PENDAHULUAN Halaman 27 | 147  Menyediakan IPTEK siap pakai untuk: (i) meningkatkan akses masyarakat terhadap

upaya upaya pengendalian pemanfaatan ruang termasuk mitigasi dan adaptasi terhadap bencana; (ii) menurunkan Biaya Operasi Kendaraan (Aplikasi UU Jalan); dan (iii) pemanfaatan bahan lokal dan potensi wilayah;

 Mempercepat proses standardisasi untuk menambah jumlah SNI maupun pedoman di bidang bahan konstruksi bangunan dan rekayasa sipil yang dapat mengantisipasi semakin meningkatnya proteksi produk dan standar oleh negara lain;

 Memperluas simpul-simpul pemasyarakatan IPTEK PU, Standar bahan konstruksi bangunan dan rekayasa sipil termasuk memperluas kontribusi perguruan tinggi, asosiasi, dan media informasi dalam proses pelaksanaannya;

 Memanfaatkan peluang riset insentif (kegiatan riset yang didanai oleh Kemendiknas bukan oleh Kementerian PU) untuk meningkatkan pengalaman dan keahlian para calon peneliti dan perekayasa sehingga dapat mengurangi kesenjangan keahlian akibat kebijakan zero growth;

 Melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga litbang internasional dalam rangka meningkatkan kompetensi lembaga maupun SDM litbang dalam mengantisipasi dampak pemanasan dan perubahan iklim global, khususnya terhadap penyediaan dan kualitas pelayanan infrastruktur bidang PU dan permukiman;

 Memenuhi tuntutan Reformasi Birokrasi penyelenggaraan Litbangrap IPTEK yang meliputi: (i) perbaikan struktur organisasi agar tepat fungsi dan tepat ukuran; (ii) perbaikan proses kerja untuk meningkatkan kinerja Litbangrap IPTEK; (iii) memperbaiki sistem manajemen SDM untuk meningkatkan kompetensi peneliti dan perekayasa; (iv) keseimbangan antara beban, tanggungjawab, dan insentif masih perlu diperbaiki; dan (v) pelaksanaan pengarusutamaan gender.

 Tantangan penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan pemukiman ke depan juga erat terkait dengan pembangunan berkelanjutan yang menjadi bagian dari 3 (tiga) pilar pembangunan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhann generasi masa depan. Dalam rangka pencapaian program 100-0-100 (100% pelayanan air minum – 0 % bebas permukiman kumuh dan 100% pelayan air limbah) diharapkan pelayanan air bersih pada tahun 2015 meningkat menjadi 84%, yaitu 93% di perkotaan dan 73 persen di perdesaan .

 Tantangan pembangunan berkelanjutan di Indonesia ialah: bagaimana pembangunan fisik, sosial, dan ekonomi dilakukan tanpa mengakibatkan degradasi lingkungan (menjaga kawasan dan lingkungan hunian agar tetap aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan).

 Memberikan Input kepada Direktorat Teknis, Pengembang dan Pemerintah Daerah untuk memperluas pemanfaatan IPTEK, misalnya dalam rangka (i) mengatasi backlog rumah, dan penyediaan fasos fasum bagi MBR, serta mempercepat rekonstruksi pasca bencana (RISHA, Rusun Prefabrikasi, rumah bambu, dll), (ii) peningkatan cakupan prasarana dasar dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman (PamSimas, Plumbing hemat air, Biofilter & Biority komunal), (iii) mengurangi risiko bencana (C-plus, teralis aman kebakaran, selimut api, RISHA, dll) , (iv) perkembangan permukiman akibat bangkitan lalu lintas (model : penataan kawasan permukiman), (v) keandalan bangunan gedung;

 Meningkatkan akses stakeholder terhadap informasi potensi dan ketersediaan bahan bangunan lokal termasuk teknik pemanfaatannya;

Pengawasan dan dukungan manajemen

Kementerian PU menghadapi tantangan untuk mengurangi kebocoran, menjamin peningkatan kualitas hasil pelaksanaan pembangunan dan mengayomi pelaksana dalam melaksanakan tugas dengan baik dan benar sesuai dengan penerapan kebijakan mutu dalam hal pengawasan. Hal itu diharapkan dapat dilaksanakan melalui: peningkatan ketaatan pada peraturan perundang-undangan; peningkatan transparansi dan tertib administrasi, peningkatan ekonomi, dan efektivitas dan efisiensi pembangunan, peningkatan integritas pelaksanaan tugas, peningkatan kualitas pemeriksaan dan pengawasan; peningkatan koordinasi aparat pengawasan dan pemberdayaan pengawasan masyarakat;

Saat ini Kementerian PU juga dihadapkan dengan masih adanya hasil pembangunan sarana dan prasarana bidang pekerjaan umum dan permukiman yang kualitasnya masih rendah dan tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan serta tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. Selain itu masih belum secara penuhnya penerapan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur bidang pekerjaan umum dan permukiman, termasuk dengan masih lemahnya Sistem Pengendalian Internal di masing-masing unit kerja. Sementara itu, pelaksanaan pengawasan sendiri dihadapkan dengan permasalahan berupa keterbatasan jumlah SDM auditor dan keterbatasan jumlah ketua tim untuk ditugaskan, hal itu menjadi prioritas untuk dipenuhi sehingga terdapat sejumlah kegiatan yang dikurangi atau ditunda pelaksanaannya. Adapun dalam hal dukungan manajemen meliputi fungsi pemantapan reformasi birokrasi termasuk penyempurnaan tata laksana, peraturan dan bantuan hukum pengelolaan administrasi kepegawaian serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan SDM Kementerian PU. Secara umum fungsi-fungsi tersebut telah dapat dilaksanakan dengan baik namun demikian masih perlu ditingkatkan lagi agar semakin baik dan mampu mendukung fungsi manajemen

Dokumen terkait