• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. KONDISI EKOLOGI, EKONOMI DAN SOSIAL EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

6.2. Kondisi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove

Dalam penelitian ini, valuasi ekonomi difokuskan pada nilai manfaat langsung (direct use value), mengingat tujuan dari valuasi ekonomi ini hanya untuk memenuhi

kriteria penyusunan kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove, sehingga tidak mengevaluasi total nilai ekonomi hutan mangrove.

Manfaat langsung (Direct use value)

Manfaat langsung (direct use value) berhubungan dengan output langsung yang dapat dikonsumsi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Manfaat langsung diperoleh melalui pendekatan nilai pasar dari berbagai produk komoditas hutan mangrove yang diliput di lokasi penelitian, yang meliputi: pemanfaatan hasil hutan (pengambilan kayu dan pembibitan mangrove); pemanfaatan hasil perikanan (penangkapan ikan, udang dan kepiting) ; pemanfaatan tambak (kepiting).

Nilai manfaat langsung (direct use value) yang diperoleh dari setiap kegiatan, berdasarkan analisis ekonomi menunjukkan nilai manfaat ekosistem hutan mangrove sebesar Rp 7.445.373,01 per hektar per tahun, dengan total biaya operasional dari masyarakat dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove sebesar Rp 4.348.114,94 per hektar per tahun, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp 3.097.258,07 per hektar per tahun (Tabel 9).

Kayu bakar

Kayu mangrove di lokasi penelitian umumnya digunakan masyarakat untuk keperluan kayu bakar, bahan bangunan, pembuatan tiang pancang dan untuk pembuatan bagan. Menurut Anwar (2009), jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata,

R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 12.600,/m2 yang cukup untuk memasak selama sebulan sekeluarga dengan tiga orang anak. Kayu bakar mangrove sangat efisien, dengan diameter 8 cm dan panjang 50 cm cukup untuk sekali memasak untuk 5 orang. Kayu bakar menjadi sangat penting bagi masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan bakar minyak melambung tinggi.

Tabel 9. Rekapitulasi Analisis Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Lokasi Studi

No. Jenis Pemanfaatan Biaya

(Rp/Ha/Th) Nilai Manfaat (Rp/Ha/Th) Keuntungan (Rp/Ha/Th) 1 2 3 4 5 Kayu bakar Bibit mangrove Ikan Kepiting Udang 491.685,36 2.031,06 2.226.801,51 1.053.272,97 574.324,04 646.892,06 642.639,53 3.027.641,44 2.052.638,26 1.075.561,72 155.206,70 640.608,47 800.839,93 999.365,29 501.237,68 Sumber : Hasil analisis data primer ( 2008)

Pengambilan dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai kayu bakar pada ekosistem hutan mangrove oleh masyarakat nelayan, setelah dilakukan valuasi ekonomi berdasarkan hasil pengambilan kayu dan harga di pasaran, diperoleh nilai manfaat kayu mangrove dengan periode pengambilan kurang lebih 17 kali per tahun, jumlah kayu yang diambil sekitar 104 meter kubik per tahun, harga rata-rata Rp 12.600 per meter kubik, rata-rata manfaat kayu bakar yang diperoleh sebesar Rp 21.840.000 per tahun. Analisis nilai manfaat langsung setelah dikuantifikasi dengan seluruh biaya pengeluaran diperoleh sebesar Rp 646.892,06 per hektar per tahun dengan keuntungan sebesar Rp 155.206,70/Ha/tahun (Lampiran 7).

Bibit Mangrove

Pengambilan bibit mangrove yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian dengan cara mengambil propagul yang telah jatuh di bawah pohon induk, bibit mangrove yang tumbuh secara alami dilakukan penjarangan untuk dipindahkan di polibag, dimana kantong yang telah berisi bibit ditempatkan di pinggir pantai sekitar vegetasi induknya, pengambilan bibit mangrove ini dilakukan pada hutan mangrove di dusun Pelita Jaya Kecamatan Seram Barat. Frekwensi pengambilan bibit mangrove dilakukan sekitar 2 sampai 4 kali per tahun, jumlah bibit yang dikumpulkan sekitar 2500 pohon per orang dengan harga Rp 1.350 per pohon. Sesuai hasil analisis valuasi ekonomi menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh masyarakat dari pengambilan bibit mangrove, dengan menjumlahkan seluruh manfaat yaitu sekitar Rp 642.639,53 per hektar per tahun, dengan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 640.608,47 per hektar per tahun (Lampiran 8).

Ikan

Sebagian masyarakat pesisir yang ada di lokasi penelitian termasuk kelompok penangkapan tradisional, yaitu penangkapan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di lokasi penelitian, daerah penangkapan ikan dilakukan di sekitar hutan mangrove atau dengan jarak tertentu dari garis pantai, dengan menggunakan alat tangkap yang bervariasi seperti : jaring, bagan/perahu, serok dan pancing. Hasil tangkapan sebagian dipasarkan di luar dusun atau dijual sebagai umpan kepada nelayan penangkap kepiting bakau. Sarana yang digunakan sebagian besar adalah perahu kecil yang bermotor tempel (5 PK) atau perahu dayung dengan alat tangkap pancing. Jenis tangkapan ikan adalah ikan baronang, ikan selar, ikan kembung, ikan tenggiri dan ikan layang. Bagi nelayan dengan modal yang memadai biasanya mengkhususkan tangkapan pada ikan umpan seperti ikan teri, anak ikan kembung, ikan sarden dan lain-lain dengan alat tangkap bagan, sistem pemasarannya lebih mudah, karena akan langsung dibeli oleh kapal-kapal penangkap ikan tuna. Dari hasil wawancara dengan para nelayan di lokasi penelitian, harga ikan di pasaran adalah Rp 3.000 sampai Rp 45.000 per kg, frekuensi rata-rata pengambilan ikan oleh masyarakat 258 trip per tahun dan hasil tangkapan ikan rata-rata sekitar 1081,67 kilogram per tahun. Hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung ikan yang tertangkap sekitar Rp 3.027.641,44 per hektar per tahun, dengan keuntungan yang diperoleh nelayan sekitar Rp 800.839,93 per hektar per tahun (Lampiran 9).

Udang

Masyarakat wilayah pesisir di lokasi penelitian umumnya melakukan penangkapan udang di sekitar ekosistem mangrove, dengan menggunakan jaring dan alat pancing sederhana. Harga jual udang di pasaran sekitar Rp 10.000 per kilogram, frekuensi penangkapan udang yang dilakukan masyarakat 190 trip per tahun dan hasil tangkapan rata-rata sekitar 691,67 kilogram per tahun. Hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung udang yang tertangkap sekitar Rp 1.075.561,72 per hektar per tahun, dengan keuntungan yang diperoleh nelayan sekitar Rp 501.237,68 per hektar per tahun (Lampiran 10).

Kepiting

Sumberdaya kepiting bakau merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui dan berpeluang ekspor karena mempunyai nilai ekonomi tinggi. Hasil tangkapan kepiting bakau cukup tinggi, khususnya di Kecamatan Huamual Belakang Dusun Maseka Jaya, hal ini terlihat dari ukuran panjang alat karapas yang digunakan yang sesuai untuk diekspor. Di kecamatan Seram Barat hasil tangkapan kepiting juga cukup tinggi, namun umumnya penangkapan kepiting dilakukan dengan menggunakan bubu. Jenis-jenis kepiting yang sering tertangkap adalah jenis Scylla tranquebarica, Scylla serrata dan Scyla oceanica. Hasil tangkapan kepiting dalam jumlah besar dijual ke pasar dan sering juga dipesan langsung oleh konsumen. Harga jual kepiting di pasaran adalah sekitar Rp 10.000 sampai Rp 45.000 per kilogram, frekuensi penangkapan kepiting yang dilakukan masyarakat sekitar 23 trip per tahun, hasil tangkapan rata-rata sekitar 600 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh nelayan sekitar Rp 33.000.000 per tahun. Hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung kepiting yang tertangkap sekitar Rp 2.052.638,26 per hektar per tahun, dengan keuntungan yang diperoleh nelayan sekitar Rp 999.365,29 per hektar per tahun (Lampiran 11).

Pengelolaan ekosistem hutan mangrove bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga diperlukan adanya valuasi ekonomi yang tepat guna mengetahui nilai manfaat ekosistem hutan mangrove tersebut. Manfaat ekosistem hutan mangrove secara langsung berhubungan dengan output yang dapat dikonsumsi masyarakat, misalnya makanan, biomas, kesehatan dan rekreasi. Disamping itu ekosistem hutan mangrove memberikan manfaat tidak langsung bagi masyarakat yang diperoleh dari manfaat jasa-jasa lingkungan sebagai pendukung aliran produksi dan konsumsi, misalnya hutan mangrove sebagai pelindung dari badai, gelombang dan abrasi pantai.

Stakeholders diharapkan dapat memahami manfaat ekosistem hutan mangrove, sehingga dalam pengelolaannya dapat menjaga fungsi keberlanjutan ekosistem, disamping tetap mengacu pada aturan konservasi dan kebijakan yang sudah ditetapkan. Valuasi ekonomi ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Dengan valuasi ekonomi dapat memberikan nilai berdasarkan

asumsi-asumsi penilaian yang dianalisis guna mengetahui besarnya biaya pengelolaan dan manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan hutan mangrove, sehingga dapat memberikan informasi pengambilan kebijakan dalam pengelolaan seluruh sumberdaya secara optimal.

Valuasi ekonomi yang dilakukan untuk melihat manfaat langsung dari ekosistem hutan mangrove bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya, meliputi hasil kayu bakar, bibit mangrove, ikan, udang dan kepiting. Secara keseluruhan keuntungan yang diperoleh masyarakat dari manfaat langsung hutan mangrove cukup tinggi bila dibandingkan dengan luasan mangrove di wilayah tersebut. Hasil wawancara dengan para responden, sebagian mengatakan mereka mendapatkan pendapatan yang cukup dari kegiatan pemanfaatan mangrove sebagai penghasil kayu dan hasil laut lainnya, sedangkan yang lainnya mengatakan pendapatan mereka masih kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari.