THEIL INDEKS 0.2042 0.1881 0.2203 0.1946
5.1. Kondisi Kawasan Lindung Di Wilayah Kalimantan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Penunjukkan Kawasan Hutan serta TGHK, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan (2008), Kawasan lindung yang merupakan hutan lindung (HL), kawasan suaka alam (KSA), dan kawasan pelestarian alam (KPA) di wilayah Kalimantan adalah seluas 54.415.007 Ha atau 20.30 persen dari total wilayah Kalimantan. Kawasan lindung terbesar berada di Provinsi Kalimantan Timur seluas 4.916,400 Ha, dan terkecil berada di Provinsi Kalimantan Selatan seluas 729.704 Ha. Sementara menurut persentase dari luasan masing‐masing provinsi, terbesar di Kalimantan Barat yaitu 26.8 persen, dan terkecil di Kalimantan Tengah 9,95 persen.
Tabel: 5.1. Kawasan Hutan Menurut Provinsi Di Wilayah Kalimantan.
No Provinsi
Kawasan Hutan1)
Luas Wilayah
Provinsi
(Ha)2
Pangsa KSA, KPA,
dan Hutan Lindung
terhadap Luas
Wilayah Provinsi
(%)
Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam Darat (Ha) Hutan Lindung (Ha) Total (Ha) 1 Kalimantan Barat 1.565.580 2.307.045 3.872.625 14.730.700 26.28 2 Kalimantan Timur 2.164.698 2.751.702 4.916.400 20.453.434 24.03 3 Kalimantan Selatan 175.565 554.139 729.704 3.874.423 18.83 4 Kalimantan Tengah 729.419 800.000 1.529.419 15.356.450 9.95 TOTAL 4.635.262 6.412.886 11.048.148 54.415.007 20.30
Sumber data : 1) Data Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Penunjukkan Kawasan Hutan serta TGHK, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 2008
2) Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, 2010
Berdasarkan TGHK, Kawasan hutan di wilayah Kalimantan seluas 133.695 ribu Ha meliputi 30,6 persen dari total kawasan hutan di seluruh Indonesia. Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT)
Perkembangan Pola Pemanfaatan Ruang di Wilayah Kalimantan Dalam Mendukung Perekonomian Daerah
61
seluas 10.614,2 ribu hektar meliputi 47,2 persen dari total nasional, Hutan Produksi (HP) tetap seluas 14.144,4 ribu hektar meliputi 38,6 persen, dan Hutan Lindung (HL) seluas 6.413 Ribu Ha meliputi 20,3 persen dari total HL nasional. Kondisi ini mengindikasikan betapa tingginya kontribusi wilayah Kalimantan terhadap keberadaan hutan secara nasional, dan sekaligus menjadi paru‐paru dunia.
Tabel: 5.2. Luas Kawasan Hutan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Dan Perairan Serta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)
JENIS KAWASAN
KAWAAN HUTAN (Ribu Ha)
Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi yang dapat Dikonversi Taman Buru TOTAL Kalimantan Barat 2.307 2.446 2.266 514 9.102 Kalimantan Tengah 800 3.400 6.068 4.303 15.300 Kalimantan Timur 2.752 4.613 5.122 14.651 Kalimantan Selatan 554 155 689 266 1.840 TOTAL KALIMANTAN 6.413 10.614 14.144 5.083 ‐ 40.892 NASIONAL 31.604 22.503 36.650 22.796 234 133.695 % DARI NASIONAL 20,3 47,2 38,6 22,3 30,6
Sumber: Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 2008
Namun sejalan dengan berjalannya waktu, dan meningkatnya ketergantungan terhadap kawasan hutan, wilayah hutan di Kalimantan saat ini memiliki masalah serius, karena sangat rentan terhadap perusakan hutan, pembalakan hutan, maupun kebakaran hutan. Pada tahun 2007, luas konversi hutan penggunan pertanian/perkebunan sebesar 1.4 juta hektar atau 30,37 % dari luas konversi kawasan hutan nasional dengan konversi terbesar terjadi di Kalimantan Tengah 619.868,37 hektar. Selain itu, pinjam pakai kawasan hutan sampai dengan tahun 2007 berjumlah 43.109,975 hektar tertinggi di Kalimantan Timur seluas 24.955,640 hektar (sekitar 58% dari jumlah yang dipinjam pakai) dan luas pelepasan kawasan hutan untuk permukiman transmigrasi sebesar 20,77 % (198.727,51 hektar) dari total nasional. Selain itu, kecenderungan terjadinya beberapa bencana alam seperti banjir, longsor dan kekeringan akibat perusakan dan pencemaran lingkungan hidup dan juga terjadinya perubahan iklim global. Tahun 2007, luas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan mencapai 373,19 hektar atau 3,3 % dari luas kebakaran hutan nasional, dengan jumlah hotspot sebanyak 13.289 hotspot, yang tersebar di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Pada tahun 2007 tercatat luas lahan kritis Pulau Kalimantan sebesar 27,9 juta hektar atau 35,88 % dari total luas lahan kritis nasional yang sebagian besar berada di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dan jumlah DAS yang perlu penanganan prioritas (DAS rusak) mencapai 40 DAS. Disamping itu, laju deforestasi yang meningkat juga berdampak semakin tingginya tingkat kerusakan sumberdaya hayati dan non hayati, serta meningkatnya kerusakan DAS dalam kondisi kritis yang mengancam terhadap kelangkaan sumber daya air bersih.
Perkembangan Pola Pemanfaatan Ruang di Wilayah Kalimantan Dalam Mendukung Perekonomian Daerah
62
Tabel:5.3. Angka Deforestasi Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Periode 2003 - 2006 (Ha/Th)
PROVINSI KAWASAN HUTAN TETAP
KSA‐KPA HL HPT HP Jumlah/
Kalimantan Barat 1756,4 3408,8 3.774,60 13.548,80 22.488,7
Kalimantan Tengah 1341,6 1506,2 2.025,10 38.451,00 43.323,8
Kalimantan Selatan 858,6 1102,3 149,9 2.435,00 4.545,7
Kalimantan Timur 9685,2 7704,6 36.284,90 92.749,20 146.424,0
Sumber: Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.
Angka deforestasi kawasan hutan tetap di wilayah kalimantan, tertinggi adalah di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 146,424 Ha/tahun atau sekitar 1 persen dari total kawasan hutan, dan berikutnya di provinsi Kalimantan Tengah sebesar 43.323,8 Ha/tahun (0,3 persen).
Beberapa faktor yang menjadi penyebab terdegradasinya sumberdaya hutan di wilayah Pulau Kalimantan: (i) Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola‐pola tradisional hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan; (ii) Pengembangan Hutan tanaman industri, sebagian besar adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri; (iii) Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari deforestasi; (iv) Pencurian kayu dalam skala yang sangat besar dan yang terorganisasi; (vi) Peran pertanian tradisional skala kecil (ladang berpindah); (vii) Program transmigrasi, yang berlangsung dari tahun 1960‐an sampai 1999; dan (viii) Pembakaran secara sengaja oleh pemilik perkebunan skala besar untuk membuka lahan, dan oleh masyarakat lokal untuk memprotes perkebunan atau kegiatan operasi HPH mengakibatkan kebakaran besar yang tidak terkendali. Banyak kawasan hutan di wilayah Kalimantan yang mengalami kerusakan, sementara nilai manfaatnya tidak dinikmati oleh masyarakat lokal. Bahkan dampak dari kerusakan tersebut harus ditanggung oleh masyarakat lokal yang tinggal di daerah tersebut. Dampak dari semakin tingginya kerusakan hutan pada akhirnya menimbulkan berbagai bencana baik berupa banjir maupun tanah longsor yang kemudian merusak infrastruktur. Selain itu juga terjadi kehilangan sumber daya non hutan seperti keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hal ini karena kerusakan hutan banyak terjadi di kawasan hutan dataran rendah. Seperti diketahui kawasan hutan dataran rendah memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi. Padahal di negara lain keanekaragaman hayati yang tinggi justru dimanfaatkan untuk menghasilkan produk obat‐obatan, kosmetik, bahan pangan, bahan serat, sumber energi dan sebagainya. Berbagai produk bioteknologi tersebut pada saat ini justru menghasilkan nilai tambah yang luar biasa.
Belum akuratnya data kawasan hutan, dapat diindikasikan dari jenis penggunaan lahan non hutan di kawasan hutan (di bawah wewenang kehutanan) luasannya cukup besar. Untuk data agregat Pulau Kalimantan dapat dilihat bahwa pada hutan konservasi (KSA‐KPA) hampir 20% merupakan lahan non hutan. Selanjutnya pada hutan lindung (HL) 11.40% merupakan lahan non hutan. Pada hutan produksi terbatas (HPT) 17.22% merupakan lahan non hutan. Sementara pada hutan produksi (HP) 45.48% merupakan lahan non hutan. Dengan demikian
Perkembangan Pola Pemanfaatan Ruang di Wilayah Kalimantan Dalam Mendukung Perekonomian Daerah
63
secara total 32.35% kawasan hutan, terkonversi menjadi kawasan non hutan pada saat berada di bawah pengelolaan Depertemen Kehutanan. Kondisi inipun tidak terlepas dari adanya konflik antar sektor dan kebutuhan lahan dari pemerintah daerah untuk pelaksanaan pembangunan yang berbasis sumberdaya lahan.
5.2. Kondisi Kawasan Andalan di Setiap Provinsi
Kawasan Andalan merupakan kawasan yang dipilih dari kawasan budidaya yang dapat berperan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan disekitarnya. Pengembangan Kawasan Andalan dimaksudkan sebagai alat guna mendorong dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi suatu kawasan, sehingga wilayah sekitarnya dapat ikut berkembang. Pertumbuhan kawasan andalan diharapkan dapat memberikan imbas positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah sekitar (hinterland), melalui pemberdayaan sektor/subsektor unggulan sebagai penggerak perekonomian daerah dan keterkaitan ekonomi antardaerah. Penekanan pada pertumbuhan ekonomi sebagai arah kebijakan penetapan kawasan andalan adalah mengingat “pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu variabel ekonomi yang merupakan indikator kunci dalam pembangunan” (Kuncoro, 2000:18).
Kawasan andalan di wilayah Kalimantan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Penentuan kawasan andalan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Kebijakan lebih lanjut terhadap kawasan andalan adalah ditetapkannya beberapa KAPET yang tersebar disetiap provinsi.
Perkembangan terakhir dari kawasan andalan/ KAPET berdasarkan alat analisis Tipologi Klassen dapat diketahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing‐masing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Dengan menentukan rata‐rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata‐rata pendapatan per kapita sebagai sumbu horizontal, daerah yang diamati dapat dibagi dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu: daerah cepat‐maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah berkembang cepat (high growth
but low income), dan daerah relatif tertinggal (low growth and low income) (Syafrizal, 1997: 27‐
38; Kuncoro, 1993; Hil,1989).
5.2.1. Pola dan Struktur Ekonomi Kawasan Andalan