• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Pers pada Masa Kemerdekaan Indonesia tahun 1945,

BAB II : LATAR BELAKANG BERDIRINYA IPPHOS

A. Kondisi Pers pada Masa Kemerdekaan Indonesia tahun 1945,

Berdirinya IPPHOS

Pers di Indonesia sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Menurut Edward C. Smith, pers di Indonesia dapat dibagi menjadi empat kurun waktu yang dibedakan berdasarkan kondisi politik. Pembagian tersebut antara lain: Masa Kolonial 1615-1942, Masa Pendudukan Jepang selama Perang Dunia II 1942-1945, Masa Revolusi menentang Belanda 1945-1949, dan Zaman Merdeka era Presiden Soekarno 1949-1966.41 Dapat dikatakan bahwa pers di Indonesia tidak lepas dari pemerintahan masa kolonial, dan pers pada saat ini merupakan kelanjutan dari apa yang pernah bangsa Indonesia perjuangkan pada masa tersebut.

Belanda datang pertama kali di Indonesia pada tahun 1596, dan 19 tahun kemudian mereka memulai satu medium komunikasi berupa gazette (penerbitan berkala atau lembaran berita). Meskipun pada saat itu, pers Cina dan pers Pribumi Indonesia baru muncul pada waktu kemudian, namun pers Belanda yang tetap mendapat paling banyak manfaat sampai masa setelah Perang Dunia II. Kekuasaan Belanda secara efektif berakhir dengan kedatangan bala tentara Jepang

41

Edward Cecil Smith, Pembredelan Pers di Indonesia, Jakarta, PT. Pustaka Grafitipers, 1986, hlm. 49.

pada awal tahun 1942. Pendudukan yang dilakukan oleh Jepang berangsung hingga akhir Perang Dunia II, tahun 1945. Pada kurun waktu tersebut, ternyata Jepang memberi kesempatan terhadap wartawan Indonesia berperan memperoleh pengalaman untuk mengurus media pers di bawah kekuasaan Jepang.42

Pada masa awal abad ke-19, sikap umum pemerintah Belanda terhadap pers mengandung antagonisme. Pernyataan keras disampaikan kepada wartawan, mereka dilarang menunjukkan pendapat sendiri atau berusaha mengadakan penyelidikan yang bebas atas dasar informasi yang disampaikan kepadanya, atau yang paling tidak masuk akal adalah mengecam tindakan penguasa ini atau yang lainnya, karena ia akan menghadapi resiko kemarahan pejabat yang ditimpakan kepadanya, dengan segala akibat yang menyertainya, dan orang baik hati yang martabatnya telah diserang itu dengan serta merta akan berubah menjadi seorang lalim yang mengerikan, tanpa membawa hikmah bagi kaum wartawan yang tidak tahu bagaimana mengurus dengan baik pekerjaannya sendiri.

Sampai awal abad ke-20, Batavia kehilangan dua surat kabar, yakni

Bataviaasch Handelsblad dan Nieuw Bataviaasch Handelsblad. Java Bode

setelah mengalami masa kemerosotan, mulai pulih pada keadaannya semula. Dalam dasawarsa pertama, dua surat kabar lain terbit di Batavia: Bataviaasch

Niewsblad 1855 dan Niews van den Dag Nederlandsch Indie. Tekanan pemerintah

pada tahun 1903 dialami oleh redaktur Niewsblad, J. F. Scheltema, yang harus mengundurkan diri setelah dihukum penjara 3 bulan karena tulisannya yang tajam mengenai sikap mendua pemerintah dalam politik candu.

42

Pada bulan Maret tahun 1906, Undang-Undang Pers yang cukup ketat akhirnya sedikit diperlonggar. Sensor ditiadakan dari Undang-Undang Pers 1856, demikian pula Pasal 17, yang mengharuskan pencetak surat kabar bertanggung jawab apabila penulis karangan tidak bisa dituntut. Masa setengah abad antara tindakan kegelapan pada 1856 dan kelonggaran yang diberikan 1906 disebut Von Faber sebagai masa yang paling suram dalam sejarah pers Hindia Belanda. Mengenai Undang-Undang Pers 1906, ia menambahkan, seandainya kebebasan pers diperoleh lebih awal, tidak diragukan lagi akan timbul protes yang lebih keras terhadap sistem Tanam Paksa, yang menguras habis tanah jajahan untuk mengisi peti simpanan Negeri Belanda. Mungkin akan terjadi pertukaran gagasan yang lebih bebas mengenai segala masalah yang menyangkut kesejahteraan penduduk pribumi, perdagangan, dan pemerintahan. Akhirnya, pemerintah waktu itu akan memperoleh informasi yang lebih baik dan tidak demikian sepenuhnya bergantung pada pendapat pribadi para pejabatnya.

Pers Indonesia lahir dari penderitaan dan tekanan terhadap rakyat serta kemarahan yang berkobar. Betapapun orang merumuskan nasionalisme, pers Indonesia dan dorongan kearah kemerdekaan nasional tumbuh bersama-sama, memupuk satu sama lain. Pers Indonesia dapat dikatakan masih berada di belakang pers bangsa Belanda waktu itu, karena kurangnya tenaga kerja yang cakap, karena kurangnya uang, karena sedikitnya penduduk pribumi yang bisa baca tulis, dan karena tekanan dibawah pemerintahan Belanda waktu itu. Pengawasan pemerintahan terhadap pers dapat menghambat para penerbit mengatasi rintangan-rintangan lain. Satu undang-undang kriminal Belanda

mengganjar dengan hukuman berat penyiaran dengan kata-kata, surat atau gambar, secara langsung atau tidak langsung, secara terbuka atau sembunyi-sembunyi, gagasan yang bertujuan mengacaukan ketertiban dan ketentraman dan mendesak kejatuhan pemerintah Hindia Belanda, atau yang secara terang-terangan melahirkan rasa permusuhan, kebencian, atau kritik terhadap pemerintahan.

Padahal kebebasan dalam pers bukanlah semata-mata kebebasan yang bersifat fungsional ataupun historis, melainkan adalah kebebasan yang bersifat etis, seperti halnya larangan membunuh adalah suatu ketentuan etis karena martabat manusia tidak boleh diperkosa dan bukanlah semata-mata suatu ketentuan fungsional, misalnya karena kalau pembunuhan manusia diperbolehkan, dalam waktu singkat penduduk bumi akan habis dan sejarah manusia akan terhenti. Dalil umum dari etika nilai berbunyi: suatu nilai etis tidak pernah merupakan hasil deduksi dari perkembangan empiris.43

Ordonansi pengawasan pers tahun 1937 memberikan kekuasaan mutlak kepada pemerintah untuk menutup sementara waktu penerbitan surat kabar, tanpa proses hukum, demi kepentingan tegaknya hukum dan ketertiban. Setelah ditahun 1930 dan selama Revolusi Indonesia (1945-1949), Belanda menutup beberapa surat kabar Indonesia yang terbit di daerah pendudukan Belanda. Pers Indonesia tidak mendapatkan banyak dorongan dalam tanggung jawab sosial, undang-undang pers yang bersifat menekan tidak memungkinkan berbuat demikian. Perlakuan penguasa Belanda terhadap pers Indonesia yang bersifat menekan, kebanyakan pers Indonesia menunjukan sifat yang mencolok, yakni melakukan

43

kritik dengan keras. Pers Indonesia dibawah penjajahan menjadi demikian kasar sehingga pemerintah kolonial mendatangkan tenaga-tenaga wartawan untuk membela pemerintah. Seperti tampak dalam sejarah , bahwa pers Indonesia tidak begitu menonjol hingga muncul semangat nasionalisme menjadi penggerak semangat kebangsaan. Dari semangat kebangsaan dan nasionalisme inilah, bangsa Indonesia dapat lebih bergerak terutama dalam hal pers Indonesia.

Pers Indonesia semakin mengalami masa yang cukup membingungkan, ini terjadi pada saat pers Belanda dan Cina yang terdapat di Indonesia diambil alih oleh Jepang. Meskipun penerbitan pers Indonesia masih bisa berjalan, namun tidak lepas dari pengawasan ketat Jepang. Indonesian Historiography memuat satu alinea yang menceritakan tentang surat kabar masa pendudukan Jepang. Indonesia dibagi menjadi dua bagian: Jawa dan Sumatera dikuasai Angkatan Darat Jepang selama pendudukan, sementara Kalimantan, Sulawesi, dan daerah sebelah timurnya dikuasai Angkatan Laut. Sebagai media komunikasi di daerah-daerah tersebut, ada lima surat kabar yang diterbitkan dibawah pengawasan pemerintah militer. Surat kabar tersebut adalah Jawa Shinbun di Jawa, Sumatera

Shinbun di Sumatera, Borneo Shinbun di Kalimantan, Celebes Shinbun di

Sulawesi, dan Ceram Shinbun di Pulau Seram, masing-masing diurus Asahi Press,

Mainichi Press, dan Yomiuri Press.44

Di bawah pemerintahan Jepang, meskipun aturan hidup sangat keras, orang Indonesia memperoleh pengalaman yang kemudian ternyata tidak ternilai harganya. Mereka bekerja sebagai pemimpin pemerintahan dan teknisi yang

44

tadinya dipegang oleh Belanda. Orang Indonesia dijadikan satuan-satuan tempur dan diberi latihan militer, persiapan yang tidak sengaja untuk revolusi. Modal orang Indonesia tersebut padatahun 1945 menjadi jelas bahwa Sekutu akan menang. Sehingga tercapailah cita-cita seluruh bangsa Indonesia, yakni kemerdekaan.

Pers dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, pers lahir untuk memenuhi hajat masyarakat (untuk memperoleh informasi secara terus menerus mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi). Oleh karena itu pers memiliki kedudukan sebagai lembaga kemasyarakatan yang tidak mempunyai kehidupan mandiri, melainkan dipengaruhi dan mempengaruhi lembaga kemasyarakatan yang lain-lain. Pers hidup dalam keterikatan suatu unit organisasi, yaitu masyarakat tempat pers beroperasi. Cara kerjanya, muatan atau siarannya, tujuan serta cara melakukan kontrol sosial, pendek kata segala sasaran serta aktivitasnya tergantung pada falsafah yang dianut masyarakatnya.45 Dari sinilah bangsa Indonesia yang memperoleh pengalaman akan dunia pers dapat mengembangkan usahanya membantu perjuangan bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan melalui media pers.

Perkembangan pers menumbuhkan gejala kultur modern bagi masyarakat, dan dianggap sebagai suatu fenomena yang mempunyai pola tetap, memiliki organisasi terstruktur, berada di dalam kerangka besar suatu masyarakat, tetapi juga berdiri sendiri. Pers berkembang menjadi suatu kelembagaan masyarakat,

45

lembaga sosial.46 Bangsa Indonesia dapat berperan aktif dalam perkembangan pers, yakni mendukung semangat nasionalisme bangsa.

Dokumen terkait