• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : LATAR BELAKANG BERDIRINYA IPPHOS

B. Proses Berdirinya IPPHOS

1. Tokoh-tokoh Pendiri IPPHOS

a. Alex Mendur

Alex Mendur memiliki nama lengkap Alexius Impurung Mendur. Alex Mendur dilahirkan pada tanggal 7 November 1907 di Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Alex Mendur merupakan putra dari August Mendur dan Ariance Mononimbar. Alex Mendur adalah anak tertua dari 11 bersaudara. Diceritakan bahwa sewaktu Ariance Mononimbar mulai mengandung anaknya yang pertama, tidak ada tanda-tanda yang istimewa. Ariance pun tetap sehat-sehat saja, beliau tidak menyadari bahwa kelak ia akan melahirkan anak yang pada masa dewasa akan sangat berperan bagi dunia pers, khususnya di Indonesia. Setelah sembilan bulan kandungannya, lahirlah seorang bayi laki-laki yang mungil.Bayi mungil tersebut ialah Alex Mendur.

Kehidupan Alex Mendur saat beranjak remaja seperti kebanyakan anak seusianya. Ayahnya yang hanya bekerja sebagai petani dan pedagang, menginginkan Alex mendapatkan bekal pendidikan yang tinggi. Pada usia 6 tahun, Alex dimasukkan ke sekolah yang bernama Volkschool Gouvernement. Menurut Abraham Assa, teman sekolah dan teman sepermainan Alex Mendur disebutkan bahwa, ia lebih rendah satu kelas dari Alex Mendur. Ia orangnya rajin

46

dan pandai, periang, suka berkelakar dengan teman-temannya dan selalu gembira, cekatan dalam segala hal dan situasi, penurut dan patuh pada perintah kedua orang tuanya. Watak Alex diturunkan dari ayahnya yang keras dan disiplin. Sampai pada tahun 1918, pada usia11 tahun, Alex menyelesaikan sekolahnya.

Pada waktu sekolah, Alex sangat senang mendengarkan pelajaran ilmu bumi, karena Guru yang mengajarkan pelajaran itu bisa menerangkan, sehingga menarik bagi yang mendengarkannya. Begitu pula Alex tertarik mengenai peta-peta bumi dan kepulauan yang ada di Indonesia, terutama tanah Jawa. Oleh karena itu, ketika mendengar ada saudaranya datang dari tanah Jawa, Alex gembira sekali dan ia ingin pergi kesana. Saudara Alex tersebut bernama Anton Nayoan, ia berasal dari Desa Tondegesan, Kecamatan Kamangkaoan. Bapak Nayoan di Jawa (pada masa itu masyarakat luar Jawa menyebut Batavia dengan sebutan Jawa) sudah bekerja sebagai karyawan pada perusahaan Belanda yang menjual alat-alat dan bahan-bahan keperluan dan perlengkapan fotografi. Mendengar bahwa Alex akan pergi ke tanah Jawa, orang tua Alex keberatan. Pasalnya pada waktu itu Alex belum cukup umur dan masih terlalu muda untuk pergi jauh-jauh, tetapi Anton dengan sabar membantu menjelaskan maksud dan tujuan Alex pergi, pada akhirnya dengan perasaan berat orang tua Alex mengikhlaskan kepergian Alex ke tanah Jawa.

Pada usia 25 tahun, tepatnya pada tahun 1932, Alex Mendur diterima bekerja pada harian De Java Bode sebagai wartawan foto. Pada waktu itu di Jakarta, juru potret hanya sedikit yakni sekitar tiga orang. Di antara tiga orang tersebut Alex merupakan satu-satunya orang Indonesia, dan dua yang lain adalah

orang Belanda. Alex Mendur bekerja di De Java Bode tidak lama, hanya tiga tahun dari 1932-1935, tetapi bekerja di De Java Bode banyak pengalaman yang tidak dapat dilupakan dan merupakan kenang-kenangan tersendiri bagi Alex. Setelah tahun 1936, Alex bekerja di KPM, meskipun Alex hanyalah tamatan Sekolah Rakyat, namun karena kedekatannya dengan Presiden Direktur KPM, Meneer Evert, Alex dapat bekerja di KPM. Di KPM, Alex ditempatkan pada bagian publikasi dan reklame.

Pada saat Jepang melaksanakan invasinya di Indonesia, yakni tahun 1942, keadaan di Indonesia sangat kacau. Hal ini mengakibatkan pula pada kehidupan Alex Mendur. Di masa awal penjajahan Jepang kehidupan Alex Mendur dan keluarganya mengalami masa suram.Para pemuda termasuk Alex ikut kedalam barisan propaganda dan pelopor. Alex kemudian ditunjuk oleh pemerintah Jepang untuk bekerja sebagai kepala bagian fotografi kantor berita Domei. Dalam perkembangan pekerjaannya tersebut memberikan peluang akses bagi Alex untuk lebih banyak bekerja sebagai wartawan foto guna melakukan dokumentasi terhadap setiap peristiwa yang terjadi di Indonesia pada masa itu. Foto Alex Mendur dapat dilihat pada gambar 2 yang terdapat pada lampiran.

b. Frans Soemarto Mendur

Frans Mendur memiliki nama lengkap Frans Soemarto Mendur. Adik kandung dari Alex Mendur ini lahir pada tahun 1913 di Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara.Sejak menjejakkan kakinya di tanah jawa, Frans mendur memiliki orang tua angkat yang berasal dari Jawa Timur.

(…)Dari mana ia mendapatkan nama Soemarto di depan

nama Frans Mendur itu, jawabnya: Dari orang tua angkat saya yang kala itu menjadi manteri penjual garam di Sidoarjo, Jawa Timur.47

Tujuan Frans Mendur di Pulau Jawa adalah untuk hidup mandiri dan membantu mengurangi beban orang tua di rumah. Alex Mendur merupakan mentor pribadi Frans dalam memberikan pendidikan dan kemampuan di dunia fotografi. Semenjak itu, masa depan Frans telah dituntun oleh sang kakak untuk turut terjun dalam dunia pers sebagai wartawan foto.

Alex mengajak Frans Mendur dengan harapan agar Frans dapat hidup mandiri seperti kakaknya. Orang tua Frans adalah petani dan menetap di Manado, namun Frans adalah sosok yang selalu bersemangat demi menggapai kehidupan lebih baik. Setelah tidak bersekolah, ia rela melakukan berbagai pekerjaan yang halal. Frans pernah menjadi penjual rokok di pinggir jalanan Surabaya, inilah yang membuat jiwa baja untuk Frans agar bertahan hidup semakin terasah. Dia lalu menentukan garis hidupnya setelah iabelajar memotret kepada Alex, kala itu Alex Mendur sedang bekerja sebagai wartawan foto pada surat kabar Java Bode di Betawi. Setahun kemudian di tahun 1935, Frans Mendur ingin coba-coba sendiri dan mengirimkan hasil karyanya ke Java Bode dan Wereld Nieuws en

Sport in Beeld, sebuah surat kabar mingguan berbahasa Belanda yang juga dicetak

di percetakan De Unie, kemudian jadi “Daya Upaya” dan kini dibongkar. Selain untuk kedua perusahaan surat kabar Belanda tadi, Frans juga pernah mengirimkan karya fotonya kepada Harian Nasional, misalnya kepada harian Pemandangan, yang kala itu merupakan salah satu surat kabar yang lumayan juga besarnya di

47

antara suarat kabar nasional lainnya. Pada masa menjadi pembantu wartawan foto, gajinya baru tujuh belas setengah gulden, tetapi beras pun masih lima sen per kilonya.

Setelah Jepang menggantikan kedudukan Belanda untuk menjadi pihak yang dipertuan di bumi Indonesia ini, Frans menjadi wartawan foto untuk Djawa

Shimbun Sha, semacam Serikat Penerbit Surat Kabar sekarang ini. Di samping itu,

dia juga bekerja untuk Surat Kabar Asia Raya, dan sebagai seorang wartawan tentu saja dia dapat bergerak bebas kemana-mana, kendatipun pada masa pendudukan Jepang itu sensor keras sekali cara kerjanya. Justru karena ia bergerak kemana-mana itulah, maka pengalamannya menjadi banyak, dapat melihat dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa yang tidak atau belum tentu bisa dibenarkan untuk dilihat orang awam.48

Pada tahun 1945, Frans Mendur ikut bekerja di Kantor Berita Domei dengan Alex sebagai kepala juru foto di Instansi milik Jepang tersebut.49 Setelah Frans mampu menguasai teknik pemotretan, kemudian ia menyempatkan untuk mengajar kepada tenaga-tenaga muda yang dalam hal pers fotografi sedang diminati.50 Wartawan-wartawan foto muda yang ada di sekelilingnya diberi bimbingan dan tuntutan agar kelak mereka dapat mewarisi kepandaian yang baik dan tentunya berguna bagi negara.

Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, ketika ibu kota Republik Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta pada tahun 1946, Frans turut pula mengurusi kantor cabang IPPHOS di Yogyakarta. Kota Yogyakarta menjadi

48 Ibid., hlm. 121.

49

Taufik Rahze, Seratus Jejak Pers Indonesia. Jakarta. I: Boekoe, 2007, hlm. 194.

50

tempat terselenggaranya pemerintahan Republik Indonesia di samping tekanan yang masih datang dari pihak Sekutu maupun Belanda. Sementara itu, Frans Mendur terus beraksi dengan hasil jepretannya yang dikenal gesit, pemberani, dan merakyat, tentang aksi perang dan kehidupan rakyat di tengah tekanan bangsa Belanda menjadi kartu sakti perjuangan Republik Indonesia di forum Internasional.51 Frans Mendur mengurusi kantor cabang di Yogyakarta dengan dibantu bersama beberapa anggota IPPHOS yang lainnya.

Setelah Indonesia merdeka dan berdaulat, Frans Mendur masih berkecimpung dalam dunia jurnalistik dan pers. Tahun 1954 hingga tahun 1958, ia menjabat sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Jakarta. Dikarenakan sakit yang dideritanya, perintis fotografi nasional, Frans Mendur akhirnya menghembuskan nafas penghabisan di Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta pada tanggal 24 April 1971.52 Harian Merdeka dalam menanggapi berita wafatnya Frans Mendur, menulis bahwa sebenarnya terlepas dari segalanya, Frans berhak untuk dimakamkan di taman Makam Pahlawan. Sayangnya begitu besar jasanya dalam mengabadikan sejarah perjuangan bangsanya, namun dia kebetulan dianggap tidak mempunyai syarat untuk masuk ke Taman Makam Pahlawan.53

c. Frans FerdinandUmbas dan Justus Kopit Umbas

Frans Umbas dan Justus Umbas merupakan saudara kandung yang ikut terjun dalam dunia fotografi di Indonesia.Frans Ferdinand Umbas yang lebih dikenal dengan nama Frans “Nyong” Umbas oleh wartawan ini lahir di tahun 1915, sedangkan kakaknya yang bernama lengkap Justus Kopit Umbas lahir pada

51 Taufik Rahze, op.cit., hlm. 197.

52

Idem.

53

tahun 1906. Kedua tokoh pendiri IPPHOS ini lahir sebagai etnis Minahasa sama seperti Mendur bersaudara, yakni di Sulawesi Tenggara.

Frans Umbas sering berkumpul dengan Alex Mendur adalah salah satu dari sekian banyak tokoh dari Sulawesi yang aktif mendiskusikan bagaimana mereka bisa berkontribusi terhadap kemerdekaan sekaligus menghapus stigma yang terlanjur menempel pada kelompok etnis Minahasa sebagai “antek Belanda”. Mendur bersaudara dan Umbas bersaudara merupakan anak didik Anton Nanjoan dalam dunia fotografi. Mereka dapat menjadi pejuang bangsa melalui kamera karena tangan dingin Anton melatih keterampilan dalam memotret suatu peristiwa. Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Umbas Bersaudara menjadi tokoh penting dalam berdirinya kantor berita foto IPPHOS, dimana masing-masing dari mereka memegang peranan penting di kantor IPPHOS Jakarta dan Yogyakarta.

Frans “Nyong” Umbas adalah salah satu aktivis Jong Maesa, ia adalah salah satu penggerak dalam kelompok tersebut. Dari sisi bisnis, Frans “Nyong” Umbas berhasil membangun berbagai konsesi dagang yang menguntungkan. Frans Umbas diangkat menjadi menteri Muda Perekonomian dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo) di Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang dikenal dengan kabinet 1.000 menteri.54 Frans “Nyong” Umbas meninggal di tahun 1997, sedangkan kakaknya Justus Kopit Umbas meninggal tahun 1969.

54

Yudhi Soerjoatmodjo, IPPHOS Remastered Edition, Jakarta, Galeri Foto Jurnalistik Antara, 2013, hlm. 9.

Dokumen terkait