• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAWASAN INDUSTRI DAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM

F. Verifikasi dan Validasi Model

4.4 Kondisi Pesisir Laut

Pemukiman di sekitar pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon menghasilkan pola-pola penggunaan lahan dan air yang khas, yang berkembang sejalan dengan tekanan dan tingkat pemanfaatan sesuai dengan keadaan lingkungan wilayah pesisir. Usaha-usaha budidaya ikan, penangkapan ikan, pembuatan garam, ekploitasi hutan laut, perdagangan dan industri merupakan dasar bagi tata ekonomi masyarakat wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Tekanan jumlah penduduk yang selalu bertambah sering mengakibatkan rusaknya/degradasi lingkungan, pencemaran perairan oleh sisa-sisa limbah rumah tangga, kesehatan masyarakat yang memburuk dan terganggunya ketertiban dan keamanan umum. Oleh karena itu perlu pemahaman tentang proses perubahan yang terjadi di wilayah pesisir tersebut. Perlu diketahui pula bahwa perairan wilayah pesisir umumnya merupakan perangkap zat-zat hara maupun bahan-bahan buangan, karena pemanfaatan ganda yang tidak direncanakan dengan cermat akan menimbulkan masalah lingkungan yang berhubungan dengan bahan buangan seperti dari sampah organik dari kota, sisa-sisa pestisida dan pupuk pertanian, bahan buangan industri dan sebagainya akann terbawa aliran sungai dan pada akhirnya akan mencapai perairan wilayah pesisir tersebut.

Menurut laporan Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi Kota Cilegon hingga tahun 2007, bahwa kadar logam berat dalam air laut disepanjang wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon sangat bervariasi namun kisaran kadar logam beratnya konsentrasi masih tergolong rendah dan masih memenuhi baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Kantor Menteri Negera Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1988 dan tahun 2004. Keputusan Menteri Negera Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep 51/MNKLH/I/2004 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Air Laut.

ABSTRAK

Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan lautan, juga merupakan kawasan di permukaan bumi yang padat dihuni oleh umat manusia serta tempat berlangsungnya berbagai macam jenis kegiatan dalam pembangunan. Kebijakan pengelolaan limbah di wilayah pesisir dirasakan sangat penting bagi masyarakat maupun pemerintah daerah. Tujuan analisis pengelolaan limbah ini yaitu: untuk mengetahui hasil uji toksisitas limbah industri baja, mengetahui kualitas air laut di wilayah pesisir, mengetahui proses instalasi pengelohan air limbah baja. Metode analisis pengelolaan limbah baja ini mengacu pada: toxicity characteristic leaching prosedure (TCLP) untuk mengetahui hasil uji toksisitas; Peraturan Pemerintah RI. No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3); Proses IPAL untuk regenerasi atau recovery limbah. Hasil analisisnya yaitu: hasil uji toksisitas limbah industri baja tersebut masuk pada limbah B3, karena melebihi baku mutu untuk limbah DR (untuk Pb), limbah HSM (untuk Cr, Cu, dan Pb), limbah FC (untuk Cr dan Cu) dan limbah EAF kecuali Cu sedangkan limbah baja WRM dan CRM tidak terkena kriteria limbah B3. Kualitas air laut di wilayah pesisir masih memenuhi batas aman, tidak melewati baku mutu air laut. Proses instalasi pengelohan air limbah baja dilakukan dengan proses regenerasi atau

recovery sebagai upaya optimalisasi konsumsi dan minimalisasi kontaminasi dalam buangan limbah cair.

Kata kunci: Limbah baja, toksisitas, kualitas air laut, IPAL, wilayah pesisir.

5.1 Pendahuluan

5.1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan lautan, juga merupakan kawasan di permukaan bumi yang padat dihuni oleh umat manusia serta tempat berlangsungnya berbagai macam jenis kegiatan dalam pembangunan. Laporan dari UNESCO (1993), sekitar 60% dari total penduduk dunia bermukim di daerah sekitar 60 km dari garis pantai. Dua per tiga dari kota-kota dunia dengan penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa terdapat di wilayah pesisir.

Menurut Dahuri (1998), keadaan serupa juga terjadi di Indonesia, dalam hal ini hampir sebagian kota-kota besar serta lebih dari 60% jumlah penduduknya terdapat di wilayah pesisir. Konsentrasi kehidupan umat manusia dan berbagai kegiatan pembangunan di wilayah pesisir bukanlah suatu kebetulan, melainkan disebabkan oleh tiga alasan ekonomis (economic rationality) yang kuat, yaitu: (1) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis paling produktif di planet bumi ini. Berbagai ekosistem dengan produktivitas hayati tertinggi, seperti hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuaria, berada di wilayah

pesisir. Menurut Clark yang dikeluarkan oleh FAO (1992), lebih dari 90% total produksi perikanan dunia (sekitar 82 juta ton), baik melalui kegiatan penangkapan maupun budidaya, berasal dari wilayah pesisir; (2) wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan (accessibilities) yang paling praktis dan relatif lebih murah bagi kegiatan industri, pemukiman, dan kegiatan pembangunan lainnya, dari pada yang dapat disediakan oleh daerah lahan atas (up-landareas). Kemudahan tersebut berupa media transportasi, tempat pembuangan limbah, bahan baku air pendingin (cooling water) dari air laut untuk berbagai jenis pabrik dan pembangkit tenaga listrik, serta bahan baku industri lainnya; (3) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan objek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan (lucrative), seperti pasir putih atau pasir bersih untuk berjemur, perairan pesisir untuk renang, selancar, dan berperahu; dan terumbu karang serta keindahan bawah laut lainnya untuk pariwisata selam, dan sebagainya.

Kemajuan di bidang industri dan pertanian di masa sekarang ini mengakibatkan banyaknya aktivitas manusia di darat yang menyebabkan tekanan terhadap pertanian sekitarnya meningkat. Pertambahan jumlah industri dan penduduk membawa akibatnya bertambahnya beban pencemaran yang disebabkan oleh pembuangan limbah industri dan domestik. Pencemaran tersebut menyebabkan kerugian besar karena umumnya limbah mengandung zat beracun antara lain klor, raksa, kadmium, khrom, timbal, dan lain sebagainya yang sering digunakan dalam proses produksi suatu industri, baik sebagai bahan baku, katalisator atau bahan utama. Hal tersebut karena paradigma dan pola pembangunan yang selama ini terlampau berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa adanya perhatian yang memadai terhadap karakteristik, fungsi, dan dinamika ekosistem wilayah pesisir yang menyusun daya dukung dan kapasitas ekosistem ini bagi kelangsungan pembangunan, maka dikawatirkan akan terjadi pencemaran lingkungan di wilayah pesisir.

Menurut Dahuri (1998), banyak wilayah pesisir di dunia termasuk Indonesia telah mengalami tekanan ekologis yang semakin parah dan kompleks, baik berupa pencemaran, eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan dan pengikisan keanekaragaman hayati, degradasi fisik habitat pesisir, maupun konflik penggunaan ruang dan sumberdaya. Bahkan di beberapa daerah pesisir tingkat kerusakan ekologis tersebut telah mencapai atau melampaui daya dukung lingkungan dan kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem wilayah pesisir untuk menopang kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia di masa mendatang. Salah satu pencemaran lingkungan pesisir adalah masuknya logam berat di perairan.

Peningkatan kadar logam berat di dalam perairan akan diikuti oleh peningkatan kadar zat tersebut dalam organisme air seperti kerang, rumput laut dan biota laut lainnya. Akibatnya lingkungan menjadi salah satu sasaran pencemaran, terutama sekali lingkungan perairan yang sudah pasti terganggu oleh adanya limbah industri, baik industri pertanian maupun industri pertambangan. Sebagian besar dari limbah itu biasanya dibuang begitu saja tanpa pengolahan terlebih dahulu.

Menurut Gaskin (2003), adanya kontaminan logam berat di tanah yang berasal dari lumpur (sludge) mendorong peningkatan akumulasi kandungan logam berkorelasi positif dengan dosis lumpur, sedangkan menurut Sukreeyapongse (2002), Peningkatan akumulasi logam Pb dan Cd di dalam lumpur (sludge) mengalami mobilisasi dan ditranslokasikan ke kawasan sekitarnya. Hal ini juga dapat menghambat perbaikan lingkungan yang rusak akibat pencemaran air limbah yang mengalir di lingkungan sekitarnya termasuk di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Karena hal yang paling ditakutkan adalah menurunnya kualitas badan air penerima, karena sebagian besar bahan baku industri logam bersifat karsinogenik. Meskipun beberapa industri telah memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) namun pengolahannya diduga belum maksimal. Memperhatikan permasalahan tersebut, maka perlu dikembangkan teknik pemanfaatan kembali (recovery) limbah tersebut untuk memperoleh kembali salah satu unsur logam yang ada didalamnya.

Analisis pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon ditujukan untuk mengetahui hasil pengelolaan limbah, baik yang telah dilakukan melalui pengujian limbah terhadap lingkungan sekitar maupun di wilayah pesisir kawasan industri yang berkecenderungan terkena dampak pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas-aktivitas pabrik yang beroperasi di wilayah tersebut.

5.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan

Tujuan dari analisis pengelolaan limbah di wilayah pesisir ini, yaitu untuk: (1) Mengetahui hasil uji toksisitas limbah industri baja; (2) Mengetahui kualitas air laut di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon; dan (3) Mengetahui proses instalasi pengolahan air limbah baja.

Sedangkan lingkup bahasan dari analisis pengelolaan limbah di wilayah pesisir ini yaitu: mengetahui toksisitas limbah industri baja berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan; mengetahui kondisi kualitas air laut di wilayah pesisir di empat

kecamatan Kota Cilegon yang termasuk wilayah pesisir; dan mengetahui proses IPAL yang dilakukan oleh pabrik baja tersebut.