• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. PEWILAYAHAN CURAH HUJAN DI SENTRA PRODUKSI

2.3. Hasil dan Pembahasan

2.3.1. Kondisi Rata-rata Curah Hujan Menurut Skenario

Pada Tabel 2 disajikan kondisi rata-rata curah hujan musiman dan tahunan di Kabupaten Serang (Pantura Banten), Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang (Pantura Jawa Barat), dan Kabupaten Garut menurut skenario anomali iklim El-Nino, La-Nina dan Normal selama periode 1979-2007. Pada kondisi Normal, Kabupaten Serang memiliki rata-rata curah hujan tahunan 2.071 mm/tahun, Kabupaten Karawang memiliki rata-rata curah hujan tahunan 1.334 mm/tahun, Kabupaten Subang memiliki rata-rata curah hujan tahunan 1.518 mm/tahun, dan Kabupaten Garut memiliki rata-rata curah hujan tahunan 2.525 mm/tahun.

Pada kondisi El-Nino rata-rata curah hujan tahunan di Kabupaten Karawang menurun 16% menjadi 1.118 mm/tahun, sedangkan pada kondisi La-Nina meningkat 3% menjadi 1.369 mm/tahun. Di Kabupaten Subang, pada kondisi El-Nino rata-rata curah hujan tahunan menurun 14% menjadi 1.313 mm/tahun, sedangkan pada kondisi La-Nina rata-rata curah hujan tahunan meningkat sekitar 1% menjadi 1.532 mm/tahun. Di Kabupaten

Serang, pada kondisi El-Nino rata-rata curah hujan tahunan menurun 14% menjadi 1.775 mm/tahun, sedangkan pada kondisi La-Nina rata-rata curah hujan tahunan meningkat sekitar 12% menjadi 2.312 mm/tahun. Di Kabupaten Garut, pada kondisi El-Nino rata-rata curah hujan tahunan menurun 9% menjadi 2.303 mm/tahun, sedangkan pada kondisi La-Nina rata-rata curah hujan tahunan meningkat sekitar 14% menjadi 2.885 mm/tahun.

Tabel 2. Kondisi rata-rata curah hujan musiman dan tahunan di Kabupaten Serang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan Kabupaten Garut menurut skenario anomali iklim El-Nino, La-Nina dan Normal selama periode 1979-2007.

Kondisi Rata-rata Curah Hujan Tahunan menurut Skenario Anomali Iklim (mm) Kabupaten/Wilayah

(Jumlah stasiun CH)

Tahun El-Nino Tahun La-Nina Tahun Normal Serang/Pantura Banten MH (Jan-Apr) 991 (95%) 1.075 (103%) 1.041 (100%) MK1 (Mei-Agu) 334 (89%) 460 (121%) 378 (100%) MK2 (Sep-Des) 450 (69%) 776 (119%) 652 (100%) Tahunan 1.775 (86%) 2.312 (112%) 2.071 (100%) Karawang/Pantura Jabar MH (Jan-Apr) 745 (91%) 772 (95%) 815 (100%) MK1 (Mei-Agu) 96 (62%) 192 (126%) 153 (100%) MK2 (Sep-Des) 278 (76%) 405 (111%) 366 (100%) Tahunan 1.118 (84%) 1.369 (103%) 1.334 (100%) Subang/Pantura Jabar MH (Jan-Apr) 814 (93%) 796 (91%) 874 (100%) MK1 (Mei-Agu) 134 (74%) 205 (114%) 181 (100%) MK2 (Sep-Des) 365 (79%) 530 (114%) 464 (100%) Tahunan 1.313 (86%) 1.532 (101%) 1.518 (100%) Kabupaten Garut MH (Jan-Apr) 1.528 (121%) 1.152 (91%) 1.265 (100%) MK1 (Mei-Agu) 2.664 (73%) 625 (171%) 365 (100%) MK2 (Sep-Des) 508 (57%) 1.108 (124%) 895 (100%) Tahunan 2.303 (91%) 2.885 (114%) 2.525 (100%) Catatan: Angka di dalam kurung menunjukkan nisbah terhadap nilai

Gambaran di atas menunjukkan bahwa pada ketiga skenario anomali iklim, Kabupaten Karawang dan Subang di pantura Jawa Barat merupakan wilayah yang memiliki rata-rata curah hujan tahunan yang paling rendah dibandingkan Kabupaten Serang dan Kabupaten Garut. Kabupaten Garut yang berada di wilayah pegunungan merupakan wilayah yang memiliki curah hujan tahunan yang paling tinggi dibandingkan Pantura Jawa Barat dan Pantura Banten pada ketiga skenario anomali iklim. Hal ini terkait dengan kondisi topografi Kabupaten Karawang dan Subang yang didominasi oleh dataran rendah dengan fisiografi yang datar, sebaliknya Kabupaten Garut merupakan dataran tinggi dengan fisiografi yang bergunung-gunung.

Dilihat dari perubahan jumlah curah hujan tahunan menurut skenario anomali iklim, pada kondisi El-Nino penurunan curah hujan tahunan yang besar sekitar 14-16% di Pantura Jawa Barat dan Pantura Banten mengakibatkan kondisi curah hujan menjadi berada di bawah kisaran rata-rata normal, sedangkan di Kabupaten Garut penurunan curah hujan hanya sekitar 9% dan masih di sekitar rata-rata normal. Sebaliknya, pada kondisi La-Nina, peningkatan curah hujan tahunan yang besar terjadi Pantura Banten dan Kabupaten Garut, yaitu sekitar 12-14%, sedangkan di Pantura Jawa Barat peningkatan curah hujan tahunan hanya terjadi sekitar 1-3%. Namun demikian di semua lokasi perubahan curah hujan masih mengakibatkan curah hujan tahunan berada pada kisaran rata-rata normal. Hal ini menunjukkan bahwa skenario iklim El-Nino lebih berpengaruh pada wilayah Pantura Jawa Barat yang memiliki curah hujan yang rendah dan topografi dan fisiografi yang relatif seragam, sedangkan skenario iklim La-Nina lebih berpengaruh di wilayah Pantura Banten dan Kabupaten Garut yang memiliki curah hujan yang lebih tinggi dengan topografi dan fisiografi lebih beragam.

Dilihat dari perubahan curah hujan musiman pada kondisi El-Nino, di Pantura Banten penurunan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK2 (September-Desember) sebesar 31%, di Pantura Jawa Barat penurunan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK1 (Mei-Agustus) sebesar 26-38%, dan di Kabupaten Garut penurunan curah hujan terbesar terjadi pada MK2 sebesar 43%. Pada kondisi La-Nina, di Pantura Banten peningkatan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK1 sebesar 21%, di Pantura Jawa Barat peningkatan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK1 sebesar 14-26%, dan di Kabupaten Garut peningkatan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK1 sebesar 71%. Respon perubahan terkecil akibat anomali iklim El-Nino dan La-Nina terhadap curah hujan musiman di ketiga lokasi terjadi pada MH (Januari-April) dengan kisaran 3-9%.

Hal ini menggambarkan bahwa terdapat perbedaan saat penurunan curah hujan musiman terbesar akibat anomali iklim di Pantura Jawa Barat dengan Pantura Banten dan Kabupaten Garut. Respon di wilayah Pantura Jawa Barat yang memiliki curah hujan lebih rendah, topografi rendah dan fisiografi relatif datar terjadi lebih cepat dibandingkan dengan Pantura Banten dan Kabupaten Garut yang memiliki topografi dan fisiografi yang lebih beragam. Perubahan curah hujan terhadap kondisi anomali iklim La-Nina terjadi lebih serempak di ketiga lokasi dibandingkan respon terhadap kondisi anomali iklim El-Nino.

Penjelasan di atas juga menggambarkan bahwa dampak skenario anomali iklim El-Nino dan La-Nina lebih terlihat jelas pada saat periode curah hujan rendah (MK1 dan MK2) dibandingkan pada saat periode curah hujan tinggi (MH). Diduga bahwa faktor topografi, fisiografi, bentuk penutupan, serta sebaran ketinggian tempat di atas permukaan laut (meter dpl) mempengaruhi keragaman jumlah curah hujan tersebut. Kabupaten Karawang memiliki

topografi dan fisiografi yang dominan datar, bentuk penutupan lahan dominan adalah sawah beririgasi teknis dan rawa, serta memiliki ketinggian tempat (altitude) dominan berkisar antara 0-100 meter dpl. Sebagian kecil wilayah Kabupaten Karawang di bagian selatan memiliki topografi berbukit, fisiografi bergelombang hingga berbukit, bentuk penutupan lahan umumnya adalah semak belukar, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara 250-750 meter di atas permukaan laut. Toposekuen Kabupaten Karawang secara keseluruhan ke arah utara menghadap Laut Jawa. Kabupaten Subang di bagian utara memiliki topografi dan fisiografi yang dominan datar hingga bergelombang, bentuk penutupan lahan dominan adalah sawah beririgasi teknis dan perkebunan tebu, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara 0-250 meter dpl. Sementara itu, Kabupaten Subang di bagian selatan memiliki topografi dan fisiografi yang bergelombang, berbukit hingga bergunung, bentuk penutupan lahan dominan adalah kebun campuran dan perkebunan, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara 500 meter dpl di sekitar Kota Subang hingga 2.100 meter dpl di puncak Gunung Tangkubanperahu. Toposekuen Kabupaten Subang secara keseluruhan ke arah utara menghadap Laut Jawa.

Kabupaten Serang memiliki topografi dan fisiografi yang lebih dominan, yaitu datar, bergelombang dan bergunung, bentuk penutupan lahan dominan adalah sawah beririgasi teknis, sawah tadah hujan, kebun campuran dan hutan, serta memiliki ketinggian tempat berkisar 0-250 meter dpl di sekitar Kota Serang dan Cilegon, hingga ketinggian 2.200 meter dpl di puncak Gunung Karang. Toposekuen Kabupaten Serang sebagian ke arah utara menghadap Laut Jawa dengan kondisi kelerengan yang relatif landai, dan sebagian lainnya ke arah barat menghadap Selat Sunda dengan kondisi kelerengan yang lebih curam.

Kabupaten Garut di bagian utara memiliki topografi dan fisiografi yang dominan bergunung-gunung dan plato, bentuk penutupan lahan dominan adalah sawah tadah hujan, sawah setengah teknis, semak belukar dan hutan, serta memiliki ketinggian tempat dominan berkisar antara 750 meter dpl di sekitar Garut Kota hingga lebih dari 2.500 meter dpl di puncak Gunung Guntur, puncak Gunung Galunggung, puncak Gunung Cikurai, dan puncak Gunung Papandayan. Sementara itu, Kabupaten Garut di bagian selatan memiliki topografi dan fisiografi yang bergelombang dan berbukit hingga bergunung, bentuk penutupan lahan dominan adalah kebun campuran dan hutan, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara 0-1.000 meter dpl. Toposekuen Kabupaten Garut bagian utara adalah plato yang dikelilingi gunung-gunung, sedangkan toposekuen Kabupaten Garut bagian selatan adalah ke arah selatan menghadap Lautan Indonesia.

Dokumen terkait