• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. PEWILAYAHAN CURAH HUJAN DI SENTRA PRODUKSI

2.4. Simpulan dan Saran

2.4.2. Saran-saran

Di dalam penelitian ini sudah dilakukan pewilayahan hujan menggunakan analisis gerombol fuzzy. Analisis menggunakan seluruh data rata-rata bulanan dan rata-rata tahunan dari 151 stasiun curah hujan. Salah satu keuntungan teknik pewilayahan atau penggerombolan dengan analisis

fuzzy dibandingkan pewilayah dengan metode analisis komponen utama adalah dengan teknik penggerombolan fuzzy seluruh data dilibatkan dalam analisis, sedangkan dalam analisis komponen utama sebagian kecil data yang dianggap resesif dibuang. Sehingga dengan teknik penggerombolan fuzzy

diharapkan dapat menjelaskan kondisi keragaman lokasi penelitian secara utuh yang diwakili oleh seluruh stasiun yang dilibatkan. Namun demikian masih perlu kajian lebih detil untuk mempelajari kelebihan dan kekurangan hasil pewilayahan antara kedua metode tersebut.

Masih dimungkinkan untuk melakukan kajian kuantitatif antara tingkat ekivalensi data hujan antara stasiun dengan perbedaan kondisi fisik lokasi stasiun yang bisa dikuantifikasi, misalnya ketinggian tempat atau parameter lainnya.

KABUPATEN GARUT

2.1. Pendahuluan

Pewilayahan hujan merupakan suatu proses pengelompokkan atau klasifikasi data curah hujan yang berasal dari banyak stasiun menjadi beberapa kelompok yang didasarkan pada kesamaan sifat atau karakter. Sistem klasifikasi curah hujan di Indonesia yang sudah tua adalah pewilayahan hujan dari Borema (1933), klasifikasi tipe hujan dari Schmidt dan Ferguson (1951), serta klasifikasi zona agroklimat dari Oldeman (1975). Klasifikasi-klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering. Sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) dan Oldeman (1975) digunakan oleh Pramudia, Kartiwa, Susanti dan Amien (1994) serta Estiningtyas, Pramudia dan Runtunuwu (1995) untuk menyusun informasi agroklimat dan karakterisasi curah hujan di berbagai wilayah di Indonesia.

Dengan perkembangan sains pada beberapa dekade terakhir, para ahli mulai menerapkan teknik-teknik analisis statistik atau kalkulus dan pemodelan dalam melakukan pewilayahan hujan. Tim Puslittanak (1994, 1995, 1996) melakukan analisis pewilayahan hujan di berbagai wilayah di Indonesia menggunakan kombinasi analisis komponen utama (principle component analysis, PCA) dan analisis gerombol (cluster analysis) konvensional (crisp) dengan metode k-rataan tanpa hirarki (k-mean non-hierachical methods). Dalam penggunaan teknik PCA tersebut analisis hanya dilakukan terhadap sebagian data yang menjelaskan 75-80% dari keseluruhan keragaman data, sementara sisa 20-25% data lainnya tidak digunakan karena dianggap resesif atau tidak dominan dalam sebaran data atau merupakan

data pencilan (outlier). Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa, untuk tujuan pewilayahan, apabila sisa data 20-25% yang tidak digunakan dalam analisis ternyata memiliki karakteristik yang khas dan dapat mewakili satu atau lebih wilayah tersendiri, maka analisis pewilayahan dengan metode analisis komponen utama menjadi bias dan bahkan dapat menghilangkan informasi yang sebetulnya sangat penting.

Syahbuddin, Apriyana, Pramudia dan Las (1999) serta Suciantini, Apriana, Surmaeni dan Darmijati (2001) melakukan karakterisasi curah hujan, deret hari kering, dan indeks Palmer untuk menetapkan wilayah rawan kekeringan. Penentuan wilayah menggunakan analisis gerombol dengan teknik crisp berdasarkan jarak kedekatan nilai (neighbourhood) curah hujan rata-rata antar stasiun. Las, Unadi, Subagyono, Syahbuddin dan Runtunuwu (2007) menggunakan pewilayahan yang menggambarkan kondisi rata-rata curah hujan tahunan untuk membantu analisis kalender tanam. Hasil pewilayahan hujan tahunan dari Las et al. (2007) pada kondisi normal untuk Provinsi Banten disajikan pada Gambar 2, untuk Wilayah Pantura Jawa Barat pada Gambar 3 dan untuk Kabupaten Garut pada Gambar 4.

Klir dan Bo Yuan (1995) mengemukakan bahwa, teknik penentuan batas kelas atau batas wilayah di dalam metode konvensional (crisp) sangat tegas dan memerlukan pertimbangan yang subyektif untuk menjelaskan hasil klasifikasinya. Selanjutnya Klir dan Bo Yuan (1995) memperkenalkan metode gerombol fuzzy (fuzzy clustering) sebagai alternatif dalam teknik pengelompokkan. Dalam metode gerombol fuzzy, penentuan batas kelas atau batas wilayah mempertimbangkan hubungan kedekatan antar data secara gradual, sehingga umumnya menghasilkan klasifikasi yang lebih mulus dan lebih mudah diinterpretasi. Ilustrasi perbedaan dalam penentuan batas kelas dengan teknik crisp dan teknik fuzzy disajikan pada Gambar 5.

Gambar 2. Pewilayahan hujan di Provinsi Banten menurut Las et al. (2007).

Gambar 3. Pewilayahan hujan di Subang-Karawang menurut Las et al.

Gambar 4. Pewilayahan hujan di Kabupaten Garut menurut Las et al.

(2007).

Gambar 5. Gambaran perbedaan konsep dalam penentuan garis batas antara (a) teknik fuzzy dengan (b) teknik konvensional (crisp) (Klir dan Bo Yuan, 1995).

Kronenfeld (2003) memanfaatkan teknik pengelompokkan fuzzy untuk mengembangkan kerangka pengurangan data melalui analisis klasifikasi terhadap data geografi kontinyu dengan menggunakan beberapa nilai keanggotaan fuzzy (q). Teknik klasifikasi yang dilakukan adalah teknik klasifikasi k-means fuzzy (fuzzy K-means clustering algorithm). Analisis Kronenfeld menghasilkan nilai keanggotaan fuzzy (q) yang memberikan hasil klasifikasi optimum.

Panagoulia, Bardossy dan Lourmas (2006) menggunakan teknik klasifikasi fuzzy untuk membedakan hasil prediksi keragaman curah hujan saat ini (1961-2000) dengan hasil prediksi 100 tahun ke depan (2061-2100). Prediksi dan pembangkitan data curah hujan dilakukan melalui model stokastik multivariat (multivariate downscaling stochastic models) yang dikombinasikan dengan model sirkulasi atmosfer. Hasil prediksi keduanya kemudian dianalisis melalui klasifikasi fuzzy untuk melihat apakah kondisi keduanya berbeda atau tidak. Panagoulia et al. (2006) memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan kondisi curah hujan antara saat ini dengan periode 100 tahun mendatang.

Klir dan Bo Yuan (1995) mengemukakan bahwa terdapat dua teknik klasifikasi dengan metode fuzzy, yaitu berdasarkan nilai C-rata-rata (fuzzy C-means clustering methods) dan berdasarkan relasi ekivalensi fuzzy (fuzzy clustering methods based upon fuzzy equivalence relations). Pada teknik pertama berdasarkan nilai C-rata-rata, jumlah kelas sudah ditetapkan pada awal sebelum analisis dilakukan. Sehingga untuk mendapatkan jumlah kelas yang tepat perlu dilakukan coba-coba (trial and error) melalui beberapa kali analisis. Sebaliknya, pada teknik kedua berdasarkan relasi ekivalensi fuzzy

jumlah kelas dapat ditentukan berdasarkan tingkat ekivalensi antar data dan tergantung pada struktur dan karakteristik data. Pada kedua teknik ini

diperlukan subyektivitas dalam menentukan jumlah kelas, namun penentuan jumlah kelas pada teknik kedua lebih mudah daripada teknik pertama.

Dalam penentuan klasifikasi berdasarkan relasi ekivalensi fuzzy, analisis diselesaikan melalui dua tahap, yaitu diawali dengan menentukan relasi kompatibilitas fuzzy dan kemudian menentukan relasi ekivalensi fuzzy. Relasi kompatibilitas fuzzy, bersifat simetrik dan refleksif, menggambarkan fungsi jarak yang diterapkan pada set data tertentu. Relasi ekivalensi fuzzy

ditetapkan sebagai hampiran transitif dari relasi kompatibilitas fuzzy.

Relasi kompatibilitas fuzzy R terhadap suatu set data X didefinisikan sebagai bentuk fungsi jarak kelas Minowski yang dihitung sebagai berikut:

= − δ − = p 1 j q kj ij k i q 1 ) x x ( 1 ) x , x ( R

(Klir dan Bo Yuan, 1995).

Untuk semua <xi, xk> ∈X, dimana qR+, dan δ adalah tetapan jarak yang memastikan bahwa R(xi, xk) ∈ [0,1]. Lebih jelasnya δ adalah nilai invers dari jarak terbesar dalam X.

Apabila R adalah suatu relasi kompatibilitas fuzzy pada satu set universal X dengan ⎜X ⎜= n. Kemudian hampiran max-min transitif R adalah relasi R(n-1). Penghitungan hampiran transitif RT = R(n-1) dengan menghitung relasi sekuens: ) 2 ( ) 2 ( 2 ) 2 ( ) 2 ( ) 4 ( ) 2 ( 1 n 1 n n R R R ... ... ... R R R R R R = = = o o o

(Klir dan Bo Yuan, 1995).

Suatu relasi fuzzy R(X,X) adalah transitif (atau lebih spesifik, max-min transitif), jika:

)] z , y ( R ), y , x ( R min[ max ) z , x ]( R R [ Y y∈ ≥ o

(Klir dan Bo Yuan, 1995).

Tahap ini bertujuan untuk melakukan pewilayahan hujan di Pantura Banten, Pantura Jawa Barat (Subang-Karawang) dan Kabupaten Garut menggunakan teknik gerombol fuzzy, serta menyajikan hasil pewilayahan tersebut dalam peta wilayah hujan . Peta wilayah hujan kemudian ditumpang-tepatkan dengan peta sebaran sawah untuk menentukan stasiun-stasiun pewakil di masing-masing wilayah hujan dominan yang merupakan sentra produksi padi.

2.2. Bahan dan Metode

2.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil studi kasus di sentra produksi padi di Pantura Banten (Kabupaten Serang dan sekitarnya) dan Pantura Jawa Barat (Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang), serta sebagai pembanding dilakukan juga di wilayah bukan sentra produksi padi, yaitu Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat (Gambar 6).

2.2.2. Bahan Penelitian

Bahan-bahan dan peralatan yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian pada tahapan kegiatan ini, antara lain:

(1) Data harian curah hujan bulanan dari 62 stasiun curah hujan di Pantura Banten, 75 stasiun curah hujan di Pantura Jawa Barat (Karawang dan Subang) dan 14 stasiun curah hujan di Kabupaten Garut hasil pengamatan selama periode 1979-2007 (umumnya lebih dari 10 tahun pengamatan).

(2) Peta-peta pendukung, meliputi peta sebaran stasiun hujan, peta administrasi, peta topografi/kontur dan peta sebaran sawah di wilayah penelitian

Gambar 6. Denah umum lokasi studi.

2.2.3. Penghitungan Curah Hujan Rata-rata

Pada tahap ini dilakukan penghitungan nilai rata-rata curah hujan bulanan dari setiap stasiun yang mewakili rata-rata kondisi tahun Normal, tahun El-Nino dan tahun La-Nina, berdasarkan historis kejadian El-Nino dan La-Nina selama periode 1979-2007 yang merujuk pada kondisi indikator nilai anomali suhu permukaan laut (anomali SST) pada zona Nino-3,4. Berdasarkan data curah hujan bulanan tersebut, kemudian dikaji bagaimana kondisi rata-rata curah hujan musiman pada kondisi normal, dan pada saat terjadi anomali iklim El-Nino dan La-Nina.

Batasan kondisi tahun Normal, tahun La-Nina dan tahun El-Nino mengikuti kriteria yang dikemukakan Tim Puslittanak (1996) dalam Pramudia (2002) dimana satu periode dikatakan Normal apabila indikator anomali suhu permukaan laut pada zone Nino-3,4 berada pada kisaran antara -0,5 dan 0,5 oC, dikatakan El-Nino apabila anomali suhu permukaan laut pada zone Nino-3,4 lebih kecil dari -0,5 oC, dikatakan La-Nina apabila anomali suhu permukaan laut pada zone Nino-3,4 lebih besar dari 0,5 oC.

2.2.4. Analisis Pewilayahan Hujan

Analisis pewilayahan hujan menggunakan metode pengelompokkan

fuzzy berdasarkan relasi ekivalensi fuzzy (fuzzy clustering methods based upon fuzzy equivalence relations), dimana jumlah kelas tergantung pada struktur dan karakteristik data yang dianalisis.

Tahapan analisis pewilayahan hujan adalah sebagai berikut:

(1) Analisis pewilayahan dilakukan terhadap data curah hujan bulanan baik yang mewakili kondisi rata-rata tahun Normal, tahun El-Nino, maupun tahun La-Nina.

(2) Dibuat matriks jarak Minowski, yang merupakan beda nilai curah hujan antara stasiun ke-i dengan stasiun ke-k pada bulan ke-j.

kj ij j ) ik (

x x

X = −

dimana X(ik)j = matriks jarak Minowski pada bulan ke-j antara stasiun ke-i dengan stasiun ke-k, xij = nilai curah hujan di stasiun ke-i pada bulan ke-j, dan xkj = nilai curah hujan di stasiun ke-k pada bulan ke-j. (3) Disusun matrik kompatibilitas fuzzy R yang merupakan fungsi jarak

kelas Minowski.

=

δ

=

12 1 j q kj ij k i q1

)

x

x

(

1

)

x

,

x

(

R

dimana R(xi,xk) = matriks kompatibilitas fuzzy, xij = nilai curah hujan di stasiun ke-i pada bulan ke-j, dan xkj = nilai curah hujan di stasiun ke-k pada bulan ke-j, j = indeks untuk bulan bernilai 1 untuk bulan Januari dan bernilai 12 untuk bulan Desember, δ = tetapan jarak yang menjadikan nilai-nilai komponen matriks R akan bernilai antara 0 dan 1 (R(xi,xk) ∈ [0,1]), tetapan jarak merupakan nilai invers dari jarak terbesar dalam X(ik)j, dan q = nilai keanggotaan fuzzy.

(4) Dilakukan proses hampiran max-min transitif (RoR) terhadap matrik kompatibilitas R:

)]

z

,

y

(

R

),

y

,

x

(

R

min[

max

)

z

,

x

](

R

R

[

Y y∈

o

(5) Dilakukan proses penggabungan matriks R dengan matrik RoR sehingga menghasilkan matriks R’ (R’ = R U RoR)

)]

y

,

x

)(

RoR

(

),

y

,

x

(

R

max[

)

y

,

x

)](

RoR

(

R

[ ∪ =

(6) Apabila matriks R’ yang dihasilkan belum merupakan matriks transitif maka matriks R’ ditetapkan sebagai matrik R dan dilakjukan iterasi dengan melangkah kembali pada proses langkah (4) dan (5) sedemikian rupa sehingga dihasilkan suatu matriks ekivalensi RT yang transitif.

(7) Matriks ekivalensi transitif RT yang dihasilkan kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk diagram hubungan antara tingkat ekivalensi antar stasiun hujan dengan wilayah hujan yang terbentuk. (8) Dilakukan interpretasi terhadap hasil analisis di atas untuk

menentukan wilayah-wilayah hujan yang terbentuk serta stasiun-stasiun yang masuk dalam wilayah tersebut. Agar dihasilkan informasi pewilayahan hujan yang lebih informatif maka penyajian dilakukan secara spasial dalam bentuk peta pewilayahan hujan. Penarikan batas

wilayah hujan mempertimbangkan kondisi topografi dan fisiografi lahan.

(9) Peta pewilayahan hujan kemudian ditumpang-tepatkan dengan peta sebaran sawah dan peta sebaran stasiun curah hujan. Pada wilayah-wilayah hujan yang memiliki sebaran sawah yang paling luas kemudian ditentukan stasiun-stasiun pewakilnya. Batasan yang digunakan untuk menentukan stasiun pewakil adalah bahwa stasiun tersebut memiliki data yang paling lengkap dan paling kontinyu.

2.3. Hasil dan Pembahasan

2.3.1. Kondisi Rata-rata Curah Hujan menurut Skenario Anomali Iklim El-Nino dan La-Nina, dan tahun Normal

Pada Tabel 2 disajikan kondisi rata-rata curah hujan musiman dan tahunan di Kabupaten Serang (Pantura Banten), Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang (Pantura Jawa Barat), dan Kabupaten Garut menurut skenario anomali iklim El-Nino, La-Nina dan Normal selama periode 1979-2007. Pada kondisi Normal, Kabupaten Serang memiliki rata-rata curah hujan tahunan 2.071 mm/tahun, Kabupaten Karawang memiliki rata-rata curah hujan tahunan 1.334 mm/tahun, Kabupaten Subang memiliki rata-rata curah hujan tahunan 1.518 mm/tahun, dan Kabupaten Garut memiliki rata-rata curah hujan tahunan 2.525 mm/tahun.

Pada kondisi El-Nino rata-rata curah hujan tahunan di Kabupaten Karawang menurun 16% menjadi 1.118 mm/tahun, sedangkan pada kondisi La-Nina meningkat 3% menjadi 1.369 mm/tahun. Di Kabupaten Subang, pada kondisi El-Nino rata-rata curah hujan tahunan menurun 14% menjadi 1.313 mm/tahun, sedangkan pada kondisi La-Nina rata-rata curah hujan tahunan meningkat sekitar 1% menjadi 1.532 mm/tahun. Di Kabupaten

Serang, pada kondisi El-Nino rata-rata curah hujan tahunan menurun 14% menjadi 1.775 mm/tahun, sedangkan pada kondisi La-Nina rata-rata curah hujan tahunan meningkat sekitar 12% menjadi 2.312 mm/tahun. Di Kabupaten Garut, pada kondisi El-Nino rata-rata curah hujan tahunan menurun 9% menjadi 2.303 mm/tahun, sedangkan pada kondisi La-Nina rata-rata curah hujan tahunan meningkat sekitar 14% menjadi 2.885 mm/tahun.

Tabel 2. Kondisi rata-rata curah hujan musiman dan tahunan di Kabupaten Serang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan Kabupaten Garut menurut skenario anomali iklim El-Nino, La-Nina dan Normal selama periode 1979-2007.

Kondisi Rata-rata Curah Hujan Tahunan menurut Skenario Anomali Iklim (mm) Kabupaten/Wilayah

(Jumlah stasiun CH)

Tahun El-Nino Tahun La-Nina Tahun Normal Serang/Pantura Banten MH (Jan-Apr) 991 (95%) 1.075 (103%) 1.041 (100%) MK1 (Mei-Agu) 334 (89%) 460 (121%) 378 (100%) MK2 (Sep-Des) 450 (69%) 776 (119%) 652 (100%) Tahunan 1.775 (86%) 2.312 (112%) 2.071 (100%) Karawang/Pantura Jabar MH (Jan-Apr) 745 (91%) 772 (95%) 815 (100%) MK1 (Mei-Agu) 96 (62%) 192 (126%) 153 (100%) MK2 (Sep-Des) 278 (76%) 405 (111%) 366 (100%) Tahunan 1.118 (84%) 1.369 (103%) 1.334 (100%) Subang/Pantura Jabar MH (Jan-Apr) 814 (93%) 796 (91%) 874 (100%) MK1 (Mei-Agu) 134 (74%) 205 (114%) 181 (100%) MK2 (Sep-Des) 365 (79%) 530 (114%) 464 (100%) Tahunan 1.313 (86%) 1.532 (101%) 1.518 (100%) Kabupaten Garut MH (Jan-Apr) 1.528 (121%) 1.152 (91%) 1.265 (100%) MK1 (Mei-Agu) 2.664 (73%) 625 (171%) 365 (100%) MK2 (Sep-Des) 508 (57%) 1.108 (124%) 895 (100%) Tahunan 2.303 (91%) 2.885 (114%) 2.525 (100%) Catatan: Angka di dalam kurung menunjukkan nisbah terhadap nilai

Gambaran di atas menunjukkan bahwa pada ketiga skenario anomali iklim, Kabupaten Karawang dan Subang di pantura Jawa Barat merupakan wilayah yang memiliki rata-rata curah hujan tahunan yang paling rendah dibandingkan Kabupaten Serang dan Kabupaten Garut. Kabupaten Garut yang berada di wilayah pegunungan merupakan wilayah yang memiliki curah hujan tahunan yang paling tinggi dibandingkan Pantura Jawa Barat dan Pantura Banten pada ketiga skenario anomali iklim. Hal ini terkait dengan kondisi topografi Kabupaten Karawang dan Subang yang didominasi oleh dataran rendah dengan fisiografi yang datar, sebaliknya Kabupaten Garut merupakan dataran tinggi dengan fisiografi yang bergunung-gunung.

Dilihat dari perubahan jumlah curah hujan tahunan menurut skenario anomali iklim, pada kondisi El-Nino penurunan curah hujan tahunan yang besar sekitar 14-16% di Pantura Jawa Barat dan Pantura Banten mengakibatkan kondisi curah hujan menjadi berada di bawah kisaran rata-rata normal, sedangkan di Kabupaten Garut penurunan curah hujan hanya sekitar 9% dan masih di sekitar rata-rata normal. Sebaliknya, pada kondisi La-Nina, peningkatan curah hujan tahunan yang besar terjadi Pantura Banten dan Kabupaten Garut, yaitu sekitar 12-14%, sedangkan di Pantura Jawa Barat peningkatan curah hujan tahunan hanya terjadi sekitar 1-3%. Namun demikian di semua lokasi perubahan curah hujan masih mengakibatkan curah hujan tahunan berada pada kisaran rata-rata normal. Hal ini menunjukkan bahwa skenario iklim El-Nino lebih berpengaruh pada wilayah Pantura Jawa Barat yang memiliki curah hujan yang rendah dan topografi dan fisiografi yang relatif seragam, sedangkan skenario iklim La-Nina lebih berpengaruh di wilayah Pantura Banten dan Kabupaten Garut yang memiliki curah hujan yang lebih tinggi dengan topografi dan fisiografi lebih beragam.

Dilihat dari perubahan curah hujan musiman pada kondisi El-Nino, di Pantura Banten penurunan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK2 (September-Desember) sebesar 31%, di Pantura Jawa Barat penurunan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK1 (Mei-Agustus) sebesar 26-38%, dan di Kabupaten Garut penurunan curah hujan terbesar terjadi pada MK2 sebesar 43%. Pada kondisi La-Nina, di Pantura Banten peningkatan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK1 sebesar 21%, di Pantura Jawa Barat peningkatan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK1 sebesar 14-26%, dan di Kabupaten Garut peningkatan curah hujan musiman terbesar terjadi pada MK1 sebesar 71%. Respon perubahan terkecil akibat anomali iklim El-Nino dan La-Nina terhadap curah hujan musiman di ketiga lokasi terjadi pada MH (Januari-April) dengan kisaran 3-9%.

Hal ini menggambarkan bahwa terdapat perbedaan saat penurunan curah hujan musiman terbesar akibat anomali iklim di Pantura Jawa Barat dengan Pantura Banten dan Kabupaten Garut. Respon di wilayah Pantura Jawa Barat yang memiliki curah hujan lebih rendah, topografi rendah dan fisiografi relatif datar terjadi lebih cepat dibandingkan dengan Pantura Banten dan Kabupaten Garut yang memiliki topografi dan fisiografi yang lebih beragam. Perubahan curah hujan terhadap kondisi anomali iklim La-Nina terjadi lebih serempak di ketiga lokasi dibandingkan respon terhadap kondisi anomali iklim El-Nino.

Penjelasan di atas juga menggambarkan bahwa dampak skenario anomali iklim El-Nino dan La-Nina lebih terlihat jelas pada saat periode curah hujan rendah (MK1 dan MK2) dibandingkan pada saat periode curah hujan tinggi (MH). Diduga bahwa faktor topografi, fisiografi, bentuk penutupan, serta sebaran ketinggian tempat di atas permukaan laut (meter dpl) mempengaruhi keragaman jumlah curah hujan tersebut. Kabupaten Karawang memiliki

topografi dan fisiografi yang dominan datar, bentuk penutupan lahan dominan adalah sawah beririgasi teknis dan rawa, serta memiliki ketinggian tempat (altitude) dominan berkisar antara 0-100 meter dpl. Sebagian kecil wilayah Kabupaten Karawang di bagian selatan memiliki topografi berbukit, fisiografi bergelombang hingga berbukit, bentuk penutupan lahan umumnya adalah semak belukar, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara 250-750 meter di atas permukaan laut. Toposekuen Kabupaten Karawang secara keseluruhan ke arah utara menghadap Laut Jawa. Kabupaten Subang di bagian utara memiliki topografi dan fisiografi yang dominan datar hingga bergelombang, bentuk penutupan lahan dominan adalah sawah beririgasi teknis dan perkebunan tebu, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara 0-250 meter dpl. Sementara itu, Kabupaten Subang di bagian selatan memiliki topografi dan fisiografi yang bergelombang, berbukit hingga bergunung, bentuk penutupan lahan dominan adalah kebun campuran dan perkebunan, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara 500 meter dpl di sekitar Kota Subang hingga 2.100 meter dpl di puncak Gunung Tangkubanperahu. Toposekuen Kabupaten Subang secara keseluruhan ke arah utara menghadap Laut Jawa.

Kabupaten Serang memiliki topografi dan fisiografi yang lebih dominan, yaitu datar, bergelombang dan bergunung, bentuk penutupan lahan dominan adalah sawah beririgasi teknis, sawah tadah hujan, kebun campuran dan hutan, serta memiliki ketinggian tempat berkisar 0-250 meter dpl di sekitar Kota Serang dan Cilegon, hingga ketinggian 2.200 meter dpl di puncak Gunung Karang. Toposekuen Kabupaten Serang sebagian ke arah utara menghadap Laut Jawa dengan kondisi kelerengan yang relatif landai, dan sebagian lainnya ke arah barat menghadap Selat Sunda dengan kondisi kelerengan yang lebih curam.

Kabupaten Garut di bagian utara memiliki topografi dan fisiografi yang dominan bergunung-gunung dan plato, bentuk penutupan lahan dominan adalah sawah tadah hujan, sawah setengah teknis, semak belukar dan hutan, serta memiliki ketinggian tempat dominan berkisar antara 750 meter dpl di sekitar Garut Kota hingga lebih dari 2.500 meter dpl di puncak Gunung Guntur, puncak Gunung Galunggung, puncak Gunung Cikurai, dan puncak Gunung Papandayan. Sementara itu, Kabupaten Garut di bagian selatan memiliki topografi dan fisiografi yang bergelombang dan berbukit hingga bergunung, bentuk penutupan lahan dominan adalah kebun campuran dan hutan, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara 0-1.000 meter dpl. Toposekuen Kabupaten Garut bagian utara adalah plato yang dikelilingi gunung-gunung, sedangkan toposekuen Kabupaten Garut bagian selatan adalah ke arah selatan menghadap Lautan Indonesia.

2.3.2. Ekivalensi Data Curah Hujan Antar Stasiun

Analisis gerombol dengan metode fuzzy menghasilkan nilai ekivalensi data curah hujan bulanan antar stasiun pada tahun El-Nino, tahun La-Nina dan tahun Normal. Kisaran nilai-nilai ekivalensi curah hujan bulanan antar stasiun di Pantura Banten, Pantura Jawa Barat dan Kabupaten Garut menurut skenario kondisi anomali iklim El-Nino, La-Nina dan Normal disajikan pada Tabel 3. Pada tahun Normal, lebar kisaran nilai ekivalensi terkecil terjadi di Pantura Banten, yaitu sebesar 0,24 berada pada kisaran nilai 0,71-0,95 dengan nilai tengah 0,82. Lebar kisaran nilai ekivalensi yang terbesar terjadi di Kabupaten Garut, yaitu sebesar 0,62 pada kisaran nilai 0,33-0,95 dengan nilai tengah 0,88. Di Pantura Jawa Barat, lebar kisaran nilai ekivalensi adalah sebesar 0,29 pada kisaran nilai 0,67-0,96 dengan nilai tengah 0,90.

Tabel 3. Kisaran nilai ekivalensi data curah hujan bulanan antar stasiun di lokasi penelitian pada tahun El-Nino, tahun La-Nina dan tahun Normal.

Kisaran Nilai Ekivalensi Data Curah Hujan Antar Stasiun Kabupaten/Wilayah

El-Nino La-Nina Normal

Wilayah Pantura Banten 0,58–0,96 (0,85) 0,54–0,95 (0,87) 0,71–0,95 (0,82) Wilayah Pantura Jawa Barat

(Karawang-Subang) 0,68–0,96 (0,90) 0,71–0,96 (0,87) 0,67–0,96 (0,90) Wilayah Kabupaten Garut 0,50–0,93 (0,80) 0,19–0,89 (0,85) 0,33–0,95 (0,88)

Catatan: Angka di dalam kurung menunjukkan median dari kisaran nilai ekivalensi data curah hujan antar stasiun.

Pada tahun Normal tingkat keseragaman curah hujan di Pantura Banten lebih besar dibandingkan wilayah Pantura Jawa Barat maupun Kabupaten Garut, sebaliknya keberagaman data curah hujan di Kabupaten

Dokumen terkait