• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kejadian kekeringan akibat El-Nino telah menyebabkan meningkatnya luas pertanaman yang terkena kekeringan 8-10 kali lipat dari luas kekeringan pada kondisi normal. Sebaliknya La-Nina telah menyebabkan meningkatnya luas pertanaman yang terkena banjir sampai 4-5 kali lipat dari kondisi normal. Tabel 1 menyajikan bahwa pada tahun El-Nino 1991, 1994, 1997 dan 2003 luas pertanaman tanaman padi telah mengalami kekeringan berturut-turut seluas 868 ribu ha, 544 ribu ha, 504 ribu ha dan 568 ribu ha dengan luasan gagal panen (puso) masing-masing seluas 192 ribu ha (22%), 161 ribu ha (30%), 88 ribu ha (18%) dan 117 ribu ha (21%). Sedangkan pada tahun La-Nina 1988, 1995 dan 2000 luas daerah yang mengalami banjir dan genangan berturut-turut mencapai 130 ribu ha, 218 ribu ha dan 244 ribu ha dengan luasan gagal panen (puso) masing-masing seluas 29 ribu ha (22%), 47 ribu ha (22%) dan 59 ribu ha (24%). Menurut Jasis dan Karama (1998) penurunan luas panen karena kekeringan tersebut mengakibatkan penurunan produksi atau kehilangan hasil pada tahun 1991 diprakirakan mencapai 1,455 juta ton GKG atau setara dengan 0,873 juta ton beras, sedangkan pada tahun 1994 dan 1997 menyebabkan kehilangan hasil 640 ton GKG, sedangkan banjir menyebabkan kehilangan hasil sebesar 214 ton GKG per tahun. Data statistik luas panen dan produksi padi tahun 1989-2000 (BPS, 1993, 1998, 2001;

dalam Pramudia, 2002) memberikan gambaran bahwa telah terjadi penurunan luas panen padi 15-65% per musim dan penurunan produksi padi 7-66% per musim di Kabupaten Karawang, Subang dan Indramayu seiring adanya kekeringan akibat anomali iklim.

Data pada Tabel 1 menggambarkan bahwa kekeringan, baik terkait dengan adanya anomali iklim ekstrim atau tidak, dapat memicu terjadinya penurunan luas tanam, produksi dan produktivitas tanaman pangan nasional yang akhirnya akan mengakibatkan kerawanan pangan nasional.

Sejauh ini, berbagai usaha untuk mengantisipasi hal tersebut di atas sudah banyak dikaji dan dilakukan oleh beberapa kalangan, salah satunya membuat model prediksi curah hujan atau melakukan analisis kerawanan pangan. Beberapa peneliti membuat model prediksi curah hujan dengan pendekatan analisis keterkaitan antar waktu, seperti fourier regression, fractal analysis, (Dupe, 1999, Haryanto, 1999, serta Boer, Notodiputro dan Las, 1999), serta pendekatan analisis keterkaitan ruang atau keterkaitan antara parameter, seperti hubungan antara curah hujan dengan anomali suhu muka laut di Nino-3,4 (Puslittanak, 2002), dan lain sebagainya. Model-model yang disusun umumnya menggambarkan adanya ketidakseimbangan antara aspek analisis ruang (spatial analysis) dengan analisis deret waktu (time series analysis). Model-model peramalan deret waktu umumnya dilakukan hanya pada satu stasiun ataupun beberapa stasiun yang analisisnya dilakukan masing-masing di satu stasiun, sehingga keterkaitan ruang antara stasiun cenderung tidak dibahas. Sebaliknya pada model-model prediksi yang menggunakan analisis keterkaitan ruang antar stasiun atau analisis hubungan antar parameter umumnya diterapkan pada satu periode tertentu atau terhadap nilai rata-rata dari satu periode yang dibatasi, sehingga keterkaitan deret waktu menjadi terabaikan. Dengan demikian selalu terbuka kesempatan untuk mengembangkan model peramalan curah hujan terutama model peramalan curah hujan yang mampu menerapkan keterkaitan deret waktu sekaligus dengan keterkaitan ruang antar stasiun atau dengan keterkaitan parameter iklim dan parameter fisik lainnya.

Tabel 1. Areal pertanaman padi (ha) yang mengalami kekeringan dan kebanjiran di Indonesia pada tahun El-Nino dan La-Nina.

Luas kekeringan (ha) Luas banjir (ha)

Tahun

Terkena Puso Terkena Puso Keterangan

1988 *) 87.373 15.115 130.375 28.934 La-Nina 1989 36.143 2.116 96.540 13.174 Normal 1990 54.125 9.521 66.901 9.642 Normal 1991 867.997 192.347 38.006 5.707 El-Nino 1992 42.409 7.267 50.360 9.615 Normal 1993 66.992 20.415 78.480 26.844 Normal 1994 544.422 161.144 132.973 32.881 El-Nino 1995 28.580 4.614 218.144 46.957 La-Nina 1996 59.560 12.482 107.385 38.167 Normal 1997 504.021 88.467 58.974 13.787 El-Nino 1998 **) 180.701 32.557 143.344 33.152 La-Nina 1999 104.539 12.631 190.466 42.275 La-Nina 2000 243.594 58.816 243.594 58.816 La-Nina 2001 151.390 12.434 193.414 32.765 Normal 2002 348.512 41.690 219.580 63.459 El-Nino 2003 568.259 117.006 263.086 66.834 El-Nino 2004 166.144 9.310 311.246 84.588 El-Nino 2005 --***) --***) 181.101 68.939 Normal

Sumber : *) Data tahun 1988-1997 dari Jasis dan Karama (1998).

**) Data tahun 1998-2005 dari http://www.deptan.go.id/ditlin-tp/BASISDATA/ DATA_BA/KERING_PADI.html dan http://www.deptan.go.id/ditlin-tp/BASIS-DATA/DATA_BA/INDEX_BANJIR_KERING_PADI.html

***) tidak ada data.

Salah satu tahap yang dilakukan dalam mengawali peramalan curah hujan adalah pewilayahan hujan yang pada umumnya dilakukan melalui analisis gerombol (cluster analysis). Pewilayahan dimaksudkan untuk menggabungkan stasiun-stasiun yang memiliki data curah hujan yang relatif seragam menjadi satu kelompok atau satu wilayah curah hujan. Selanjutnya menentukan salah satu stasiun sebagai pewakil dari kelompok atau wilayah tersebut, sehingga peramalan tidak dilakukan terhadap semua stasiun, tapi hanya pada stasiun pewakil dari suatu wilayah atau kelompok.

Beberapa peneliti dan ilmuwan melakukan pewilayahan menggunakan metode analisis komponen utama (principle component analysis) kemudian

dilanjutkan dengan analisis gerombol. Dalam metode ini analisis gerombol pada umumnya hanya dilakukan terhadap sebagian data yang menjelaskan 75-80% dari keseluruhan keragaman data. Padahal, apabila data 20-25% yang tidak digunakan dalam analisis ternyata memiliki karakteristik yang khas dan dapat mewakili satu atau lebih wilayah tersendiri, maka analisis pewilayahan dengan metode analisis komponen utama menjadi bias dan menghilangkan informasi yang sebetulnya sangat penting. Di samping itu, dengan metode tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan subyektivitas yang tinggi dalam menentukan jumlah kelas atau jumlah wilayah yang terbentuk. Dengan demikian diperlukan alternatif metode lain yang dapat menggambarkan kondisi data yang lebih utuh.

Metode gerombol fuzzy (fuzzy clustering method) merupakan salah satu teknik yang diharapkan dapat mengatasi ‘kelemahan’ yang dilakukan dalam metode analisis komponen utama. Dua hal yang diterapkan dalam metode gerombol fuzzy yang diharapkan dapat menyempurnakan metode analisis komponen utama, yaitu (1) metode gerombol fuzzy menggunakan semua data yang dianalisis, dan (2) Jumlah kelas atau wilayah hujan dapat ditentukan berdasarkan struktur atau karakteristik data yang dianalisis. Metode gerombol fuzzy sudah pernah digunakan oleh banyak peneliti dalam berbagai bidang aplikasi (Kronenfeld, 2003; Panagoulia, Bardossy dan Lourmas, 2006).

Kronenfeld (2003) menerapkan metode klasifikasi fuzzy terhadap data geografi kontinyu untuk mencari nilai keanggotaan fuzzy (q) yang optimum. Melalui teknik klasifikasi k-means fuzzy (fuzzy K-means clustering algorithm) Kronenfeld (2003) menghasilkan nilai keanggotaan fuzzy yang optimum dan memberi hasil klasifikasi yang terbaik. Panagoulia, Bardossy dan Lourmas (2006) menggunakan teknik klasifikasi fuzzy untuk membedakan hasil prediksi

keragaman curah hujan saat ini (1961-2000) dengan hasil prediksi 100 tahun ke depan (2061-2100) terhadap pembangkitan data curah hujan melalui kombinasi model stokastik multivariate (multivariate downscaling stochastic models) dan model sirkulasi atmosfer. Analisis klasifikasi fuzzy dari Panagoulia et al. (2006) memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan kondisi curah hujan antara saat ini dengan periode 100 tahun mendatang.

Dalam penelitian ini dilakukan analisis pewilayahan hujan dengan metode gerombol fuzzy dan penyusunan model prediksi curah hujan dengan teknik analisis jaringan syaraf. Hasil prediksi model curah hujan tersebut kemudian diterapkan dalam analisis ketersediaan dan kerentanan produksi padi.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam analisis kerawanan pangan dan perencanaan ketahanan pangan di tingkat kabupaten ataupun tingkat nasional. Sebagai studi kasus, penelitian dilakukan di empat kabupaten yang merupakan sentra produksi padi di Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Serang, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Subang, serta Kabupaten Garut sebagai pembanding.

Dokumen terkait