• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAXD RETRD

4.1. Kondisi Fisik Wilayah

4.2.1. Kondisi Sumber daya Manusia

Pendidikan merupakan sarana untuk membentuk manusia-manusia terampil dan produktif sehingga pada gilirannya dapat mempercepat peningkatan kesejahteraaan masyarakat. Untuk menggambarkan keadaan pendidikan penduduk secara umum dapat diketahui dari beberapa indikator seperti partisipasi sekolah, tingkat pendidikan yang ditamatkan dan angka buta huruf. Secara umum tingkat pendidikan masyarakat Provinsi Riau terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dilihat dari perkembangan indikator pendidikan yang disajikan Tabel 4. Angka Partisipasi Sekolah (APS), angka melek huruf dan lama sekolah terus mengalami perbaikan, yang memperlihatkan mulai meratanya dan tingginya kesadaran masyarakat akan peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui jalur pendidikan.

Tabel 4. Perkembangan Tingkat Pendidikan di Provinsi Riau, 1996-2005

Indikator Pendidikan 1996 1999 2002 2005

APS 7-12 tahun 95.0 96.3 96.8 97.2

APS 13-15 tahun 79.3 85.2 84.5 90.0

APS 16-18 tahun 46.7 53.4 53.9 55.5

Angka Melek Huruf 93.4 95.5 96.5 98.8

Lama Sekolah (tahun) - 7.3 8.3 8.9

Sumber : BPS berbagai tahun

Berdasarkan hasil susenas 2005, jumlah penduduk usia SD (7-12 tahun) yang masih bersekolah sekitar 97,27 %, dengan persentase yang tidak jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan yaitu masing-masing sebesar 97,16 pesen dan 97,39 %. Namun dilihat dari perbedaan tipe daerah, terlihat bahwa persentase penduduk yang masih bersekolah di daerah perkotaan lebih besar dibandingkan di perdesaan, yaitu masing-masing sebesar 98,50 % dan 96,67 %.

Jumlah penduduk berumur 13-15 tahun (tingkat SLTP) yang masih bersekolah pada tahun 2005 adalah 90,04 %, dengan komposisi 89,35 % perempuan. Bila pada kelompok umur 7-12 tahun partisipasi bersekolah anak- anak perdesaan hanya sekitar 2 % lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak perkotaan, maka untuk yang berumur 13-15 tahun perbedaannya sekitar 5 %. Ini memberikan petunjuk bahwa program wajib belajar 9 tahun perlu lebih digalakkan terutama perdesaan, agar kesenjangan antara persentase anak yang bersekolah di perkotaan dan perdesaan dapat diminimalkan.

Pada kelompok usia 16-18 tahun (usia SLTA) perbedaan persentase penduduk yang masih bersekolah antara daerah perkotaan dan perdesaan semakin mencolok, yaitu 68,78 % di daerah perkotaan dan 55,56 % di perdesaan.

Bila pada tingkat SD, persentase yang masih bersekolah relatif sama antara daerah perkotaan dan perdesaaan, sedangkan pada jenjang yang lebih tinggi (SLTP dan SLTA), perbedaannya semakin besar. Tingkat pendidikan penduduk merupakan indikator utama kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Tingkat pendidikan yang ditamatkan menggambarkan jenjang pendidikan tertinggi yang dapat diselesaikan.

Pendidikan sebagian besar penduduk Provinsi Riau masih rendah, di mana pada tahun 2005 sekitar 2,63 % penduduk berumur 10 tahun ke atas tidak/belum pernah sekolah dan sekitar 20,26 % tidak/belum tamat SD, sedangkan yang tamat SD sekitar 33,77 %. Penduduk yang berpendidikan tamat SLTP sebesar 30,03 % dan SLTA ke atas baru sekitar 23,29 %.

Pada tingkatan pendidikan SD ke bawah, penduduk perempuan relatif lebih banyak dari pada penduduk laki-laki. Penduduk perempuan yang tamat SD sebesar 34,86 pesen, dan pendud uk laki-laki 32,72 %. Disisi lain penduduk yang tamat SLTA ke atas sebesar 24,76 % (laki-laki) sebanding dengan 21,80 % (perempuan).

Selanjutnya bila diamati menurut tempat tinggal, tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk perkotaan lebih baik dari pada penduduk perdesaan. Penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tamat SLTA ke atas adalah sebesar 40,94 % di daerah perkotaan tetapi hanya sekitar 13,90 % di perdesaan.

Gambaran umum tingkat kecerdasan penduduk dapat ditunjukkan dari kemampuan membaca dan menulis atau tingkat buta huruf. Tingkat buta huruf dapat dijadikan sebagai indikator tingkat pendidikan penduduk suatu daerah

karena dengan kemampuan membaca, seseorang dapat mempelajari dan menyerap ilmu pengetahuan dengan lebih baik.

Angka buta huruf tahun 2005 untuk penduduk usia muda (10-49 tahun) adalah 0,36 % di daerah perkotaan dan 1,19 % di perdesaan. Dibandingkan dengan keadaan tahun 2000, tingkat buta huruf penduduk menurun, baik penduduk yang tinggal di daerah perdesaan maupun perkotaan. Angka buta huruf pada tahun 2000 adalah 1,91 % dengan komposisi 1,17 % di perkotaan dan 2,37 % di perdesaan.

Penduduk yang buta huruf pada usia tua (50 tahun ke atas) masih cukup besar. Hal ini tentunya berkaitan dengan sulitnya memperoleh pendidikan pada beberapa dekade yang lalu, terutama bagi penduduk yang tinggal di daerah perdesaan. Pada tahun 2005, angka buta huruf penduduk usia lanjut masih 8,98 % dengan komposisi 5.41 % di perdesaan.

Derajat kesehatan masyarakat Provinsi Riau pada umumnya telah mengalami perbaikan. Hal ini terlihat dari beberapa indikator kesehatan yang tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Perkembangan Tingkat Kesehatan di Provinsi Riau, 1996-2005

Indikator 1999 2002 2005

Harapan Hidup (th) 67.8 67.9 68.0

% Penduduk dengan Keluhan Kesehatan 17.3 17.4 14.13

% Berobat 53.1 65.5 66.0

% Persalinan dg tenaga medis 68.3 78.7 74.67 Angka kematian bayi (dlm 1000 kelahiran) 28 25 22 Sumber : BPSberbagai tahun

Status kesehatan masyarakat Provinsi Riau terus meningkat dengan tingkat harapan hidup tahun 2005 sebesar 68.0 tahun. Seiring dengan itu persentase penduduk dengan berobat ke dokter atau tenaga medis juga mengalami

peningkatan di mana tahun 2005 tercatat 66.0 %. Begitu juga persentase persalinan dengan tenaga medis mencapai 74.67 %. Hal ini memperlihatkan masyarakat sudah mulai meningkat kesadarannya akan arti kesehatan dan semakin tinggi minatnya untuk berobat ke dokter atau tenaga medis yang ada.

4.2.2. Ketenagakerjaan

Penduduk yang termasuk kategori angkatan kerja adalah penduduk yang secara ekonomis berpotensi menghasilkan output atau pendapatan, baik yang sudah bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Perbandingan antara angkatan kerja dan penduduk usia kerja disebut Tingkat Partisiapasi Angkatan Kerja (TPAK). Semakin tinggi TPAK berarti semakin besar keterlibatan penduduk usia 10 tahun ke atas dalam pasar kerja.

Pada tahun 2005 angka TPAK di Provinsi Riau adalah 52,20 % dengan rincian 45,50 % bekerja dan 6,69 % mencari pekerjaan. Bila dibandingkan menurut jenis kelamin terlihat bahwa TPAK laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan yaitu 73,90 % berbanding 29,37 %. Hal ini terjadi karena pada umumnya laki-laki merupakan pencari nafkah utama di dalam keluarga, sedangkan perempuan biasanya mengurus rumah tangga.

Ditinjau menurut tipe daerah, terlihat bahwa TPAK di daerah perkotaan lebih rendah daripada daerah perdesaan. Dan bila ditelusuri lebih lanjut, sebagian besar penduduk perdesaan masih bekerja di sektor primer, sedangkan penduduk perkotaan sebagian besar bekerja di sektor tersier. Pada Tabel 6 disajikan beberapa indikator ketenagakerjaan Provinsi Riau.

Tabel 6. Perkembangan Tingkat Tenaga Kerja di Provinsi Riau,1996-2005

Indikator 1996 1999 2002 2005

TPAK 50.1 52.1 52.5 52.5

% Pengangguran terbuka 6.5 6.8 11.3 8.7

% Setengah menganggur 38.0 39.9 39.9 39.0 % Pekerja Sektor Informal 45.6 70.9 53.9 52.2 Sumber : BPS berbagai tahun

Berdasarkan hasil Susenas 2005, sekitar 52,24 % penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja mempunyai lapangan usaha di sektor pertanian, dan sisanya bekerja di sektor industri, perdagangan, jasa dan lainnya. Bila tahun 2004, persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian (primer) sebesar 52,18 %, namun pada tahun 2005 meningkat menjadi 52,24 %.

Status pekerjaan penduduk dibagi menjadi 7 kategori, yaitu berusaha mandiri tanpa bantuan, berusaha dengan bantuan buruh atau anggota rumah tangga, berusaha dengan bantuan pekerja tetap, buruh/karyawan, pekerja bebas pertanian, pekerja bebas non pertanian dan pekerja keluarga. “Pekerja keluarga” seringkali diasosiasikan sebagai pekerja pada usaha tradisional (informal) dengan ciri jumlah jam kerja dan produktivitas yang rendah. Sementara itu pekerja dengan status “buruh” diasosiasikan sebagai pekerja pada usaha formal dengan ciri jumlah jam kerja dan produktivitas yang tinggi.

Berbeda dengan status pekerja keluarga (pekerja tidak dibayar) yang pada umumnya didominasi oleh penduduk perempuan yaitu sekitar 30,39 %, untuk status pekerjaan sebagai buruh/karyawan dan berusaha sendiri maupun dibantu, masih didominasi oleh penduduk laki-laki.

Pada umumnya banyak jam kerja yang dihabiskan seseorang dalam lama bekerja selama seminggu akan mempengaruhi besar kecilnya pendapatan yang

diperoleh. Jumlah jam kerja 35 jam seminggu seringkali dipakai sebagai patokan untuk mengelompokkan seorang pekerja apakah ia termasuk pekerja penuh atau pekerja tidak penuh/sambilan. Penduduk yang jam kerjanya 0 jam, adalah penduduk yang termasuk kategori bekerja tetapi untuk sementara tidak bekerja, misalnya cuti untuk karyawan, dan sedang menunggu panen untuk petani.

Penduduk yang bekerja penuh (35 jam lebih seminggu) adalah sebesar 67,32 %, dengan komposisi 85,31 % di daerah perkotaan dan 60,19 % di perdesaan. Ditinjau menurut jenis kelamin, terlihat bahwa persentase penduduk laki-laki yang bekerja penuh lebih besar dibandingkan penduduk perempuan, sebaliknya untuk pekerja tidak penuh/sambilan, persentase perempuan terlihat lebih besar.

Berdasarkan jumlah jam kerja ini dapat dikatakan bahwa hampir setengah dari penduduk yang bekerja di daerah perdesaan adalah pekerja tidak penuh (sebagian besar diantaranya adalah penduduk perempuan yang berstatus pekerja keluarga. (BPS, 2005)

Tabel 7. Perkembangan Tingkat Kesejahteraaan di Provinsi Riau

Indikator 1999 2002 2005

IPM 67.3 69.0 73.6

TPAK 52.1 52.5 52.2

Angka kematian bayi (%) 28 25 22

Harapan hidup (th) 67.8 67.9 68.1

Sumber: BPS berbagai tahun

4.2.3. Kemiskinan

Jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau setiap tahunnya terus bertambah seiring pertambaha n penduduknya. Petambahan penduduk miskin meningkat pesat pada tahun setelah tahun 2002 di mana penduduk miskin di Provinsi Riau

berjumlah 722.400 jiwa. Jumlah penduduk miskin yang bertambah setelah tahun 2002 ini terjadi karena bertambahnya kriteria pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh BPS sehingga banyak keluarga yang sebelumnya tidak termasuk keluarga miskin setelah tahun 2002 dikategorikan menjadi keluarga miskin.

Walaupun jumlah penduduk miskin terus bertambah, persentase penduduk miskin punya kecenderungan terus menurun walaupun meningkat di tahun 2003. Hal ini menggambarkan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk miskin lebih kecil dari pertumbuhan jumlah penduduk di Provinsi Riau. Begitu juga tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan yang terus menurun yang terlihat pada Tabel 8. Jumlah, Persentase, Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan di Provinsi

Riau, 1996-2005 Tahun Jml Penduduk Miskin (000) Persentase Pddk Miskin Kedalaman Kemiskinan (P1) Keparahan Kemiskinan (P2) 1996 496.7 12.62 1999 589.7 14.00 2.28 0.65 2000 485.6 10.38 1.88 0.56 2001 491.6 10.06 2.14 0.54 2002 722.4 13.67 2.01 0.48 2003 751.3 13.52 2.46 0.66 2004 744.4 13.12 2.28 0.70 2005 714.1 12.52 2.15 0.64

Sumber: BPS berbagai tahun.

Pengukuran kemiskinan dapat dilakukan dengan mengukur Indeks Kemiskinan Manusia. IKM (Indeks Kemiskinan Manusia) digunakan untuk mengukur kemiskinan dengan variabel-variabel yang digunakan berupa persentase penduduk yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun, persentase penduduk dewasa yang buta huruf, dan deprivasi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi secara keseluruhan, baik yang bersifat publik atau bukan, yang diwakili oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan

air bersih, dan persentase anak berumur lima tahun ke bawah dengan berat badan rendah (kurang gizi)

Tabel 9. Tingkat Kemiskinan di Perkotaan dan Perdesaan di Provinsi Riau, 1996- 2005

Tahun

Daerah Perkotaan Daerah Perdesaan Perkotaan dan

Perdesaan Penduduk Miskin (000) (%) Penduduk Miskin (000) (%) Penduduk Miskin (000) (%) 1996 589,70 9,06 411,80 15,96 496,70 12,62 1999 142,70 11,05 447,00 16,95 589,70 14,00 2000 115,60 5,84 370,00 13,71 485,60 10,38 2001 85,71 4,19 405,89 14,30 491,60 10,06 2002 178,87 7,40 543,63 18,79 722,41 13,61 2003 178,70 7,47 572,60 18,08 751,30 13,52 2004 160,50 6,44 583,90 18,36 744,40 13,12 2005 150,90 5,74 564,20 17,76 714,10 12.52

Sumber : BPS berbagai tahun

IKM Provinsi Riau pada tahun 2002 sebesar 25,1 dengan memperlihatkan penurunan jika dibandingkan IKM tahun 1999. Penurunan ini telah menempatkan Provinsi Riau pada ranking 20. Sementara sebelumnya pada ranking 24. Penurunan IKM tidak hanya terjadi pada level Provinsi, IKM untuk kabupaten dan kota mengalami penur unan. IKM paling rendah dimiliki oleh Kota Pekanbaru dan IKM paling tinggi berada di Kabupaten Indragiri Hilir.

Indeks kemiskinan manusia menggunakan indikator-indikator deprivasi yang paling mendasar yaitu berumur pendek, ketersediaan pendidikan, akses terhadap sumberdaya publik dan sumberdaya privat. Indeks ini berlandaskan pada konsep deprivasi dimana kemiskinan dipandang sebagai akibat dari tidak tersedianya kesempatan dan pilihan. Untuk para pembuat kebijakan, kemiskinan dari sudut pandang tersedianya pilihan-pilihan dan kesempatan sering lebih relevan dibandingkan dengan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan karena

perhatian lebih terfokus pada penyebab dari kemiskinan dan secara langsung terkait dengan strategi pemberdayaan dan upaya-upaya lainnya untuk meningkatkan kesempatan bagi semua orang.

Salah satu komponen yang berperan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah kebijakan pemerintah yang melibatkan langsung penduduk miskin. Selama ini program-program pemerintah yang bersentuhan langsung dengan penduduk miskin banyak berasal dari kebijakan pusat seperti IDT (Inpres Desa Tertinggal), Raskin, Gakin dan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Di Provinsi Riau, program yang untuk masyarakat miskin mulai banyak dilakukan di antaranya program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan, program pemberantasan K2I (Kebodohan, Kemiskinan dan Infrastruktur) dan Bantuan Desa. Selain itu sudah dibentuk badan khusus yang menangani kemiskinan tingkat provinsi atau pun kota/kabupaten yaitu Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat dan Komite Pemberantasan Kemiskinan Daerah. Hal ini merupakan bentuk peran nyata pemerintah dalam mengangkat masyarakat Riau dari jurang kemiskinan.

Tabel 10. Tingkat daya beli masyarakat di Provinsi Riau, 1996-2005

Tahun Makanan Non Makanan

1996 61.9 38.1

1999 69.9 30.1

2002 62.1 37.9

2005 60.2 39.8

Sumber : BPS berbagai tahun

Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat adalah meningkatnya daya beli. Hal ini terlihat dari pengeluaran per kapita yang dibelanjakan untuk konsumsi dibandingkan dengan yang dibelanjakan untuk non konsumsi.

Perkembangan daya beli masyarakat Riau mengalami peningkatan di mana porsi pengeluaran untuk makanan semakin menurun dan pengeluaran untuk porsi non makanan mengalami peningkatan. Hal ini disajikan pada Tabel 10.

Di samping peningkatan yang menggembirakan dalam beberapa aspek kesejahteraan rakyat yang telah disebutkan, beberapa indikator lain yang perlu diperhatikan secara serius adalah di bidang kesehatan antara lain angka kematian bayi, balita dengan gizi buruk, persentase penduduk yang berobat jalan ke Puskesmas masih pada kondisi yang memprihatinkan. Selain itu dalam bidang infrastruktur telihat masih kecilnya proporsi rumah tangga dengan sumber air minum ledeng, dan rumah tangga pema kai listrik.