• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Terdahulu tentang Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan

DAFTAR LAMPIRAN

2.11. Penelitian Terdahulu tentang Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan

Hirawan (1993) meneliti faktor yang mempengaruhi besarnya bantuan Inpres dan dampak bantuan Inpres terhadap PDRB, investasi, dan jumlah tenaga kerja dengan menggunakan persamaan tunggal dengan pooled data 27 Provinsi tahun 1994-1999, menemukan bahwa besarnya dana alokasi secara signifikan

ditentukan oleh jumlah penduduk, sementara bantuan Inpres terutama bersifat blok mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap PDRB dan tenaga kerja.

Antara (1999) menganalisis perbedaan dampak alokasi pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian Pemerintah Bali dengan model social accounting matrix (SAM), menemukan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah secara bersamaan dengan pengeluaran wisatawan mendorong peningkatan kinerja perekonomian yang ditunjukkan oleh nilai PDRB. Akan tetapi, realokasi pengeluaran dari infrastruktur sosial ke infrastruktur ekonomi tanpa peningkatan total pengeluaran pemerintah meningkatan kinerja perekonomian yang relatif rendah.

Brodjonegoro et al (2001) meneliti dampak alokasi SDA dan DAU terhadap pemerataan dan pertumbuhan ekonomi antardaerah dengan menggunakan model ekonometrik bagi hasil sumberdaya alam (BHSDA) dan DAU. Hasil simulasi kebijakan ekonomi menggunakan variabel eksogen (variabel kebijakan) yaitu: bagi hasil SDA dan bantuan pusat ke daerah (DAU) yang akan memberikan hasil yang optimal. Hasil simulasi model yang memasukkan alokasi bagi hasil SDA saja sebagai variable shock menghasilkan koefisien variasi dan PDRB meningkat dibandingkan dengan simulasi historis. Pada sisi lain ternyata hasil simulasi menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah.

Sidik (2003) menganalisis keterkaitan antara desentralisasi dan rent seeking di Indonesia, dengan membandingkan kondisi pada saat rejim orde baru dan setelah desentralisasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa pelaksanaan

desentralisasi sampai tahun 2002 tidak selalu menunjukkan akuntabilitas yang lebih baik dan mampu membawa keuntungan sosial berdasarkan rent based in transfer arrangement dibandingkan dengan rejim orde baru. Pada zaman orde baru rent based on transfer didasarkan pada aliansi militer, birokrasi, dan kapitalis, yang dengan aturan dan institusinya mampu mengkoordinasikan dan juga meminimalkan biaya politik. Implementasi desentralisasi telah secara signifikan memindahkan rent based on transfer kepada pemerintah daerah (kabupatan/kota) tapi belum menunjukkan pola pembangunan yang lebih produktif, bahkan meningkatkan biaya koordinasi dan organisasi.

Penelitian Brodjonegoro dan Arlen (2001) dalam Saefudin (2005), yang mencoba menyusun model ekonometrika desentralisasi khususnya mengenai alokasi bagi hasil SDA dan DAU kaitannya dengan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi antardaerah. Pengembangan model ekonometrika ini bertujuan untuk mengetahui dampak pelaksanaan bagi hasil SDA dan alokasi DAU terhadap kesenjangan antardaerah dan merumuskan format alokasi SDA dan DAU yang mampu mendukung proses pengurangan kesenjangan pendapatan antardaerah. Model analisis yang dibangun dengan menggunakan model persamaan simultan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pembagian penerimaan negara melalui konsep bagi hasil menimbulkan kesenjangan antardaerah, sedangkan kebijakan alokasi DAU mampu memperkecil kesenjangan antardaerah. Simulasi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan jika hanya bagi hasil sumberdaya yang diterapkan maka pertumbuhan ekonomi daerah meningkat rata- rata sebesar 0,026 %, sementara jika hanya DAU yang diberikan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah lebih besar yaitu rata-rata 0,26 %.

Kombinasi keduanya menghasilkan pertumbuhan lebih besar lagi yaitu 0,37 %. Pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui bagi hasil SDA dan alokasi DAU secara bersama berdampak pada peningkatan konsumsi dan investasi daerah.

Brodjonegoro dkk (2001), melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001. Evaluasi ini lebih menekankan pada alokasi DAU, dikaitkan dengan tujuan pelaksanaan UU No 25 tahun 1999, di mana peranan DAU lebih ditekankan pada peningkatan pemerataan keuangan pusat dan daerah serta antardaerah. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa peran formula murni, yaitu pembagian DAU yang didasarkan pada selisih antara penerimaan dan kebutuhan (fiscal gap) dalam DAU 2001 hanya sekitar 20 %, sementara 80 % lainnya dialokasikan berdasarkan dana perimbangan. Evaluasi yang dilakukan lebih merupakan evaluasi alokasi, ketimbang evaluasi formula. Pada masa yang akan datang peran formula akan makin membesar atau bahkan mencapai hampir 100 persen seperti lazimnya suatu formula “intergovernmental fiscal transfer ”.

Hasil evaluasi ini menunjukkan :

1. Formula dan alokasi DAU belum sepenuhnya dilaksanakan secara objektif, adil, dan transparan karena masih dipengaruhi faktor eksternal yakni political adjustment sehingga muncul balancing factor yang mengharuskan alokasi DAU Tahun Anggaran 2001 minimal sama atau lebih besar daripada DRD dan DPD. Hal ini berimplikasi langsung terhadap distribusi DAU menjadi tidak proporsional yang cenderung menguntungkan daerah yang memiliki potensi fiskal besar, sedangkan faktor equalisasi (pemerataan) yang dicerminkan dari formula DAU justru proporsinya jauh lebih kecil (kurang dari 20 %) dibandingkan dengan faktor penyeimbangnya ( lebih dari 80 %).

2. Pembagian pagu DAU untuk Provinsi 10 % dan kabupaten/kota 90 %, karena asumsi sebagian besar kewenangan provinsi telah dilimpahkan ke kabupaten/kota ternyata tidak sesuai dengan beban riil pembiayaan daerah. Kenyataanya sebagian kewenangan yang seharusnya sudah diserahkan ke kabupaten/kota masih berada di provinsi sehingga menambah beban biaya. 3. Potensi fiskal yang digunakan dalam formula DAU Tahun Anggaran 2001

belum sepenuhnya mencerminkan semua potensi keuangan daerah yang ada karena variabel PDRB sektor industri dan variabel lainnya tidak secara signifikan dapat menentukan daerah yang memiliki kapasitas fiskal besar ataupun kecil yang dihimpun dari semua potensi penerimaan daerah.

4. Jumlah alokasi DAU tahun 2001 memang meningkatkan kemampuan daerah secara relatif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan secara relatif pemerataan kemampuan keuangan antardaerah menjadi lebih baik.

5. Perhitungan terhadap kebutuhan daerah (fiscal needs ) belum dapat dilakukan dengan baik. Selain karena keterbatasan data dan belum adanya Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk masing-masing daerah, sistem penganggaran masih belum didasarkan pada Standar Analisa Belanja (SAB) atau Standard Spending Assesment (SSA ).

6. DAU sama dengan SDO dan Inpres dalam formula DAU Tahun Anggaran 2001 yang dipertimbangkan sebagai instrumen untuk mengurangi penurunan kemampuan keuangan daerah kurang tepat sasaran dan tepat guna, karena lebih banyak ditentukan oleh keputusan politik yang pada gilirannya menguntungkan daerah tertentu dan merugikan daerah lainnya sehingga semakin jauh dari tujuan DAU sebagai equalizing grant .

7. Secara kuantitatif, sama dengan hasil penelitian sebelumnya, dengan perhitungan menggunakan Indeks Williamson untuk melihat ketimpangan antardaerah, ternyata alokasi DAU untuk kabupaten/kota mampu meningkatkan pemerataan kemampuan fiskal antardaerah. Hal ini sejalan dengan tujuan DAU yang berfungsi memperbaiki pemerataan fiskal antardaerah akibat adanya bagi hasil sumberdaya alam yang cenderung sangat tidak merata.

Lin and Liu (2000) menganalisis hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di China, dengan menggunakan fungsi produksi sebagai dasar analisis. Fungsi produksi yang digunakan adalah Cobb-Douglas. Penelitian ini menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan efisiensi alokasi sumberdaya. Di samping itu reformasi perdesaan, akumulasi modal, dan sektor swasta merupakan kunci yang mendorong pertumbuhan ekonomi di China.

Riyanto (2003) melakukan penelitian dengan tujuan menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah dan pemerataan pembangunan wilayah di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan membangun model hubungan antara blok perekonomian daerah dengan blok keuangan daerah dengan menggunakan model ekonometrika. Setiap persamaan dalam model kemudian diestimasi dengan teknik pooled time series-cross section regression. Di samping itu juga dilakukan studi kasus untuk menelaah proses perencanaan di daerah setelah desentralisasi fiskal dilakukan. Penelitian ini menemukan bahwa dana perimbangan yang merupakan transfer pemerintah pusat ke daerah secara signifikan meningkatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),

tetapi dana perimbangan tersebut tidak berdampak secara signifikan dalam peningkatan perekonomian daerah. Hal ini disebabkan oleh masih besarnya belanja rutin dalam komponen APBD, kualitas sumberdaya manusia yang rendah dan tidak efisiennya birokrasi pemerintah, kelembagaan pemerintah yang lemah, serta tidak efisiennya proses perencanaan pembangunan daerah karena derajat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan masih rendah. Selanjutnya hasil simulasi model ekonometrika analisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pemerataan pembangunan wilayah diperoleh informasi bahwa dana perimbangan dapat memperbaiki pemerataan pembangunan antarwilayah, walaupun secara aktual pemerataan pembangunan wilayah pada tahun 2001 belum membaik. Pemerataan pembangunan wilayah tersebut akan lebih baik jika formula untuk mengalokasikan Dana Alokasi Umum diterapkan secara konsisten dengan mengurangi peranan faktor penyeimbang (faktor politik).

Pardede (2005), melakukan studi dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil simulasi yang dilakukan, ditemukan bahwa peningkatan bagi hasil pajak dan bukan pajak serta upah berdampak negatif pada perekonomian (PDRB), kesempatan kerja, dan distribusi pendapatan, namun berdampak positif terhadap inflasi. Sementara itu peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi berdampak positif terhadap perekonomian (PDRB), kesempatan kerja, dan distribusi pendapatan, namun berpengaruh negatif terhadap inflasi. Sedangkan peningkatan DAU dan Pembangunan Infrastruktur secara umum berdampak positif terhadap perekonomian dan kesempatan kerja, sebaliknya berdampak negatif terhadap inflasi dan distribusi pendapatan.

Yudhoyono (2004), melakukan penelitian yang secara umum bertujuan menganalisis dampak penerapan kebijakan fiskal, terutama pengeluaran pemerintah, terhadap pengangguran dan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan pendekatan ekonometrika. Hasil pendugaan parameter kemudian digunakan untuk melakukan simulasi skenario-skenario kebijakan yang relevan. Hasil dugaan model menunjukkan bahwa rezim pemerintahan berpengaruh nyata terhadap kinerja perekonomian, khususnya PDB dan kemiskinan. Kondisi ekonomi politik yang ditimbulkan oleh rezim pemerintahan Orde Baru cenderung menurunkan PDB pertanian dan non pertanian. Akibatnya kemiskinan di perdesaan dan perkotaan cenderung meningkat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran. Selain itu, studi Yudhoyono menemukan bahwa untuk mengurangi kemiskinan, khususnya di perdesaan, diperlukan policy mix antara pengeluaran pemerintah untuk pembangunan pertanian dan kebijakan upah.

Saefudin (2005), melakukan studi dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan kelembagaan di Provinsi Riau. Saefudin menemukan bahwa dari evaluasi pelaksanaan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal dan kinerja fiskal daerah menunjukkan bahwa pada sisi penerimaan terjadi peningkatan, di mana dana transfer dari pemerintah pusat memberi kontribusi terbesar, tetapi pada sisi pengeluaran menunjukkan alokasi (proporsi) pengeluaran rutin meningkat lebih tinggi dari alokasi pengeluaran pembangunan. Penurunan alokasi pengeluaran pembangunan ditunjukkan oleh penurunan alokasi

pengeluaran untuk sektor-sektor pembangunan khususnya sektor pertanian dan pelayanan sosial umum. Kenaikan kebijakan DAU dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, dan realokasi pengeluaran rutin dan pembangunan mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, penurunan kesenjangan antara daerah. Menurut Saefudin (2005) implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Riau berdampak positif terhadap penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kapasitas fiskal daerah dan berdampak pada kinerja perekonomian daerah. Desentralisasi memiliki dampak terhadap mobilisasi sumber-sumber penerimaan asli daerah dan transfer pemerintah yang makin meningkat tetapi belum diikuti dengan alokasi yang proporsional ke semua sektor pembangunan.

Sumedi (2005) melakukan penelitian mengenai dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja sektor pertanian. Pada cakupan wilayah, disoroti dampak kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Barat. Analisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antara kabupaten/kota di Jawa Barat dibedakan atas daerah (kabupaten/kota) dengan basis industri dan pertanian. Indikator yang digunakan adalah kontribusi PDRB sektoral. Daerah pertanian adalah kabupaten/kota yang memiliki pangsa PDRB sektor pertanian relatif besar yaitu lebih dari 10 persen. Jika pangsa PDRB sektor pertanian kurang dari 10 persen, masuk dalam kategori daerah industri. Di antara temuan yang diperolehnya diketahui bahwa peningkatan DAU berdampak pada peningkatan kesenjangan antarkabupaten/kota baik di daerah berbasis pertanian maupun industri sehingga pada tingkat Provinsi Jawa Barat juga mengalami peningkatan kesenjangan antardaerah. Hasil ini bertolak belakang dengan tujuan pemberian DAU yang salah satunya adalah untuk mengurangi kesenjangan

antardaerah, tetapi malah yang terjadi sebaliknya. Hal ini terjadi karena alokasi DAU yang belum proporsional berdasarkan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki daerah namun masih sangat dominan menggunakan faktor penyeimbang.

Pakasi (2005) meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara. Diperoleh hasil bahwa pertama, setelah desentralisasi, kinerja fiskal didominasi oleh penerimaan DAU terhadap fiscal availability dan pengeluaran rutin terhadap Fiscal need. Kedua, kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun kecil pengaruhnya terhadap perekonomian daerah. Ketiga, dampak transfer DAU lebih besar terhadap kinerja fiskal daerah, sedangkan dampak investasi baik domestik maupun asing lebih besar terhadap perekonomian daerah. Dan keempat, realokasi anggaran rutin ke anggaran sektoral yang terkait dengan masyarakat seperti infrastruktur, kesejateraan sosial, dan pendidikan dapat meningkatkan kinerja perekonomian daerah yang selanjutnya berdampak meningkatnya kinerja fiskal daerah.

Hasil penelitian Nugroho (2005) memperlihatkan bahwa kemiskinan di perkotaan dapat dikurangi dengan pendekatan peningkatan kebijakan tingkat upah riil, peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan penambahan belanja pemerintah di sektor jasa. Hasil parameter dugaan menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di perkotaan, sedangkan kemiskinan di pedesaan dapat ditekan dengan pendekatan kebijakan peningkatan tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, harga komoditas pertanian dan produksi pertanian. Hasil parameter dugaan menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di perdesaan. Sedangkan untuk belanja pemerintah di sektor

pertanian, inflasi dan krisis ekonomi memberikan pengaruh positif terhadap kemiskinan di perdesaan.

Hasil simulasi desentralisasi fiskal di Indonesia yang dilakukan oleh Usman (2006) menunjukkan pada model sisi pengeluaran, peningkatan tiga jenis pengeluaran pemerintah yaitu sektor pertanian, sektor pendidikan dan kesehatan serta sektor perumahan dan kesejahteraan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, pemerataan pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan. Dari ketiga pengeluaran pemerintah untuk sektor tersebut, peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian yang memberikan pengaruh paling besar. Hal ini dimungkinkan karena sektor pertanian memiliki keterkaitan yang besar terhadap sektor lain baik di bagian hulu maupun bagian hilir. Pada bagian hulu, sektor pertanian dapat menyerap tenaga kerja yang banyak. Pada bagian hilir, hasil pertanian banyak dipergunakan sebagai input antara di berbagai industri. Pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan dan kesehatan adalah yang paling kecil pengaruhnya. Hal ini dikarenakan pendidikan dan kesehatan hanya bisa dirasakan pengaruhnya pada jangka panjang. Pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan sumberdaya manusia di masa yang akan datang yang pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat dan melepaskannya dari jeratan kemiskinan.

Pada simulasi di sisi penerimaan daerah, Usman (2006) memperoleh informasi bahwa peningkatan penerimaan daerah untuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPJK) berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan kinerja ekonomi. Pada kinerja fiskal kenaikan BHPJK secara rata-rata nasional maupun berdasarkan pulau-pulau besar meningkatkan

pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin, di mana secara proporsi pengeluaran pembangunan relatif lebih tinggi dibandingka n pengeluaran rutin.

Nanga (2006) melakukan studi mengenai dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan. Nanga menyatakan bahwa kemiskinan masih merupakan masalah yang serius dan memiliki keterkaitan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan melalui transfer fiskal merupakan salah satu kebijakan pemerintah, yang langsung ataupun tidak langsung dapat memberikan dampak terhadap kemiskinan di Indonesia. Secara umum, tujuan studi yang dilakukannya adalah untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan menganalisis dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa transfer fiskal di Indonesia memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, kemudian diketahui kemiskinan ternyata sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan.

Panjaitan (2006) melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian di kota/kabupaten di Provinsi Sumatera Utara dengan pendekatan ekonometrika menemukan dampak mekanisme DAU sebagai equalization transfer dari pusat ke daerah Sumatera Utara berhasil memperbaiki tingkat pendapatan masyarakat (PDRB) dan kesempatan kerja masyarakat di kabupaten/kota. Sedangkan peningkatan pengeluaran infrastruktur dan investasi akan meningkatkan kinerja perekonomian daerah. Selain itu, simulasi peningkatan PAD yang sepenuhnya digunakan untuk membiayai belanja pembangunan akan menghasilkan kinerja perekonomian daerah yang lebih baik di

tingkat kota maupun kabupaten. Sedangkan kebijakan peningkatan retribusi daerah akan menyebabkan meningkatnya kemiskinan di Sumatera Utara.

Astuti (2007) melakukan studi tentang dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan dan perekonomian daerah di Provinsi Bengkulu menemukan bahwa di Provinsi Bengkulu pengeluaran daerah dari APBD masih terfokus pada pengeluaran rutin sedangkan penerimaan daerah yang digunakan untuk pengeluaran pembangunan akan meningkatkan produksi sektoral sehingga penyerapan tenaga kerja akan meningkat, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun kebijakan yang paling besar meningkatkan kinerja perekonomian dan fiskal adalah peningkatan penerimaan DAU dan peningkatan pengeluaran infrastruktur. Selain itu, peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian terutama untuk pelaksanaan peningkatan produksi tanaman pangan serta pembangunan infrastruktur sektor pertanian akan meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah.

Sebagai ikhtisar dari penelitian-penelitian tentang desentralisasi fiskal di Indonesia maupun di kota-kabupaten memperlihatkan :

1. Kebijakan desentralisasi fiskal seperti alokasi DAU dan bagi hasil sumberdaya alam mampu meningkatkan kinerja ekonomi dan memperkecil kesenjangan antar daerah. Hal ini sesuai dengan studi Brodjonegoro (2001), Riyanto (2003), Pardede (2005), Saefudin (2005), Pakasi (2005), Usman (2006), Panjaitan (2006), Hermami (2007) dan Astuti (2007).

2. Temuan sebaliknya diperoleh pada studi Nanga (2006) dan Sumedi (2005) yang menyatakan bahwa transfer fiskal di Indonesia cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kesenjangan antar daerah. 3. Otonomi daerah dengan kebijakan peningkatan pengeluaran infrastruktur

sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan memberikan dampak penurunan tingkat kemiskinan seperti studi Yudhoyono (2004), Usman (2006) dan Hermami (2007).