• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pengurangan Kemiskinan Kasus Provinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pengurangan Kemiskinan Kasus Provinsi Riau"

Copied!
376
0
0

Teks penuh

(1)

PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU

M. FAKHRU ROZI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

M. FAKHRU ROZI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Nama : M. Fakhru Rozi NIM : A155030181

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. D. S Priyarsono, M.S. Ir. Said Rusli, M.A. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(4)
(5)

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia rahmat dan hidayah-NYA, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul, ”Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus

Provinsi Riau”. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister

Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. D.S Priyarsono, MS. dan Ir. Said Rusli, MA. selaku komisi pembimbing atas proses bimbingan dan saran dalam penyusunan tesis. Begitu juga kepada Dr. Ir. Arya Dharmawan MSc.Agr sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan terutama pada saat Ujian tesis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman PWD 2003 dengan kebersamaannya, teman-teman di PPM Al Inayah 2 dan di Pondok Assalam yang telah banyak membantu serta saudara di pondok adil sejahtera. Tak lupa kepada Ayah, Ibu, Kakak, Abang dan Adik tercinta yang tak bosan-bosannya memotivasi dan berdo’a untuk keberhasilan penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini. Harapan tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pihak lain yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2007

(6)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Otonomi Daerah

terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus Provinsi Riau adalah karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

(7)

Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini

tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian

(8)

PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU

M. FAKHRU ROZI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Kasus Provinsi Riau. (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketuadan SAID RUSLI sebagai Anggota Komisi Pembimbing) .

Otonomi daerah memberikan suatu pencerahan baru bagi masyarakat Riau karena menjadi wilayah yang mempunyai pendapatan daerah yang cukup besar. Pembangunan infrastruktur, pendidikan dan pengurangan kemiskinan mulai dirintis dan menjadi prioritas. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi umum dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat dan menganalisis dampak otonomi dan desentralisasi fiskal terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan di Provinsi Riau. Metode analisis yang digunakan adalah analisis ekonometrik.

Secara umum kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau mengalami perbaikan, bahkan IPM Provinsi Riau merupakan yang tertinggi di Sumatera. Otonomi daerah mampu meningkatkan perekonomian daerah serta menurunkan jumlah penduduk miskin. Kebijakan pembukaan lapangan kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi berpengaruh signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah.

(10)

Penulis dilahirkan di Pekanbaru Riau pada tanggal 27 Pebruari 1979 sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Drs H. Khaidiri Kadir (Ayah) dan Mastiari S.Pd (Ibu). Penulis menempuh pendidikan dasar sampai pendidikan lanjutan atas di Riau dan lulus Sekolah Menengah Umum pada tahun 1997.

(11)

PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU

M. FAKHRU ROZI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

M. FAKHRU ROZI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

Nama : M. Fakhru Rozi NIM : A155030181

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. D. S Priyarsono, M.S. Ir. Said Rusli, M.A. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(14)
(15)

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia rahmat dan hidayah-NYA, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul, ”Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus

Provinsi Riau”. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister

Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. D.S Priyarsono, MS. dan Ir. Said Rusli, MA. selaku komisi pembimbing atas proses bimbingan dan saran dalam penyusunan tesis. Begitu juga kepada Dr. Ir. Arya Dharmawan MSc.Agr sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan terutama pada saat Ujian tesis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman PWD 2003 dengan kebersamaannya, teman-teman di PPM Al Inayah 2 dan di Pondok Assalam yang telah banyak membantu serta saudara di pondok adil sejahtera. Tak lupa kepada Ayah, Ibu, Kakak, Abang dan Adik tercinta yang tak bosan-bosannya memotivasi dan berdo’a untuk keberhasilan penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini. Harapan tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pihak lain yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2007

(16)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Otonomi Daerah

terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus Provinsi Riau adalah karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

(17)

Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini

tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian

(18)

PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU

M. FAKHRU ROZI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(19)

Kasus Provinsi Riau. (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketuadan SAID RUSLI sebagai Anggota Komisi Pembimbing) .

Otonomi daerah memberikan suatu pencerahan baru bagi masyarakat Riau karena menjadi wilayah yang mempunyai pendapatan daerah yang cukup besar. Pembangunan infrastruktur, pendidikan dan pengurangan kemiskinan mulai dirintis dan menjadi prioritas. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi umum dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat dan menganalisis dampak otonomi dan desentralisasi fiskal terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan di Provinsi Riau. Metode analisis yang digunakan adalah analisis ekonometrik.

Secara umum kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau mengalami perbaikan, bahkan IPM Provinsi Riau merupakan yang tertinggi di Sumatera. Otonomi daerah mampu meningkatkan perekonomian daerah serta menurunkan jumlah penduduk miskin. Kebijakan pembukaan lapangan kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi berpengaruh signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah.

(20)

Penulis dilahirkan di Pekanbaru Riau pada tanggal 27 Pebruari 1979 sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Drs H. Khaidiri Kadir (Ayah) dan Mastiari S.Pd (Ibu). Penulis menempuh pendidikan dasar sampai pendidikan lanjutan atas di Riau dan lulus Sekolah Menengah Umum pada tahun 1997.

(21)

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia rahmat dan hidayah-NYA, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul, ”Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan

Kasus Provinsi Riau”. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh

gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. D.S Priyarsono, MS. dan Ir. Said Rusli, MA. selaku komisi pembimbing atas proses bimbingan dan saran dalam penyusunan tesis. Begitu juga kepada Dr. Ir. Arya Dharmawan MSc.Agr sebagai penguji luar komisi dan Prof. Isang Gonarsyah Ph.D yang telah memberikan masukan untuk kesempurnaan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman PWD 2003 dengan kebersamaannya, teman-teman di PPM Al Inayah 2 dan di Pondok Assalam yang telah banyak membantu serta saudara di pondok adil sejahtera. Tak lupa kepada Ayah, Ibu, Kakak, Abang dan Adik tercinta yang tak bosan-bosannya memotivasi dan berdo’a untuk keberhasilan penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini. Harapan tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pihak lain yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2007

(22)
(23)

3.2.4. Perumusan Model Ekonometrika ... 61 3.2.4.1. Blok Penerimaan Daerah ... 62 3.2.4.2. Blok Pengeluaran Daerah ... 64 3.2.4.3. Blok Makro Ekonomi Daerah ... 66 3.2.4.4. Blok Tingkat Kemiskinan ... 67 3.2.5. Prosedur Analisis ... 70 3.2.5.1 Identifikasi Model ... 70 3.2.5.2. Metode Pendugaan Model ... 72 3.2.5.3. Validasi Model ... 73 3.2.5.4. Simulasi Model ... 73 3.2.5.5. Simulasi Kebijakan ... 74

IV. GAMBARAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

DI PROVINSI RIAU ... 76 4.1. Kondisi Fisik Wilayah ... 76 4.1.1. Pemanfaatan Sumberdaya Alam ... 78 4.2. Kondisi Kesejahteraan Masyarakat ... 79 4.2.1. Kondisi Sumber Daya Manusia ... 81 4.2.2. Ketenagakerjaan ... 85 4.2.3. Kemiskinan ... 87

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

(24)

VI. DAMPAK DESENTRALISASI TERHADAP PENGURANGAN

KEMISKINAN ... 111

6.1. Hasil Validasi Model ... 111 6.2. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pengurangan

Jumlah Penduduk Miskin ... 113 6.2.1. Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU)

Naik 20 % ... 115 6.2.2. Peningkatan Bagi Hasil Penerimaan Sumberdaya

Alam Sebesar 10 % ... 117 6.2.3. Simulasi Peningkatan Penerimaan Pendapatan

Asli Daerah sebesar 20 % ... 119 6.2.4. Peningkatan Pengeluaran Sektor pendidikan dan

Kesehatan dan Pengeluaran Sektor Pelayanan Umum

Masing-masing Sebesar 20 % ... 120 6.2.5. Peningkatan Pengeluaran Pertanian 20 % dan

Infrastruktur sebesar 10 %... 121 6.2.6. Simulasi Peningkatan Pengeluaran Pendidikan

dan Kesehatan 10 %, Infrastruktur 5 % dan Sektor

Pelayanan Umum 10 % dan sektor Pertanian 10 %... 123 6.2.7. Rekapitulasi Simulasi Kebijakan Desentralisasi

Terhadap Pengurangan Kemiskinan ……… 123 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 127 7.1. Kesimpulan ... 127 7.2. Saran ... 128

(25)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kategori Kemiskinan Berdasarkan Tingkat Pengeluaran ... 18 2. Jarak antara Ibukota Provinsi dengan ibukota Kabupaten/Kota... 78 3. Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi Riau, 1980-2005... 81 4. PerkembanganTingkat pendidikan di Provinsi Riau, 1996-2005... 82 5. Perkembangan Tingkat Kesehatan di Provinsi Riau, 1996-2005... 84 6. Perkembangan Tingkat Tenaga Kerja Provinsi Riau,1996-2005 ... 86 7. Perkembangan Tingkat Kesejahteraan di Provinsi Riau,1996-2005... 87 8. Jumlah, Persentase, Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan di

Provinsi Riau, 1996-2005... 88 9. Tingkat Kemiskinan di Perkotaan dan Perdesaan di Provinsi Riau, 1996-2005 ... 70 10. Tingkat Daya Beli Masyarakat di Provinsi Riau,1996-2005 ... 71 11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum dan Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam... 94 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Rutin Gaji,

Pengeluaran Rutin non Gaji, Pengeluaran Sektor Pertanian, Pengeluaran Sektor non Pertanian, Pengeluaran Infrastruktur,

Pengeluaran Pelayanan Sosial dan Pengeluaran Pelayanan Umum ... 100 13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Daerah, Ekspor Daerah,

Impor Daerah, Peroduksi Sektor Pertanian dan Produksi Sektor non Pertanian ……… 107 14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin

Perkotaan dan Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan ... 110 15. Hasil validasi Model Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal

(26)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kaitan Konseptual Antara Desentralisasi dan Pengurangan

Kemiskinan ... 35

2. Kerangka pemikiran analisis dampak otonomi daerah terhadap

(27)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan

Sengingi Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 135 2. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten

Kuantan Sengingi Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 136 3. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah

Kabupaten Kuantan Sengingi Provinsi Riau 2001-2003 ... 137 4. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten

Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 138 5. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten

Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 139 6. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah

Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau 2001-2003 ... 140 7. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Sri

Indrapura Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 141 8. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Siak

Sri Indrapura Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 142 9. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah

Kabupaten Siak Sri Indrapura Provinsi Riau 2001-2003 ... 143 10. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan

Hilir Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 144 11. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten

Rokan Hilir Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 145 12. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah

Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau 2001-2003 ... 146 13. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Karimun

(28)

14. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten

Karimun Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 148 15. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah

Kabupaten Karimun Provinsi Riau 2001-2003 ... 149 16. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna

Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 150 17. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten

Natuna Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 151 18. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten

Natuna Provinsi Riau 2001-2003 ... 152 19. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kota Dumai Provinsi Riau

Tahun 2001-2003 ... 153 20. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kota Dumai

Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ... 154 21. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah

Kota Dumai Provinsi Riau 2001-2003 ... 155 22. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Riau ... 156 23. Program SAS ver.6.1. Model ekonometrika Dampak Otonomi

Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan ... 157 24. Program SAS ver.6.1. Validasi dan Simulasi Model Dampak

Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan ... 160 25. Model Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pengurangan

(29)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang Undang nomor 22 tahun 1999 dan telah direvisi menjadi Undang Undang nomor 32 tahun 2004 telah membawa Indonesia memasuki paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan memberikan kewenangan (otoritas) yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional kepada daerah. Hal itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah, yaitu: demokrasi (democratization), peran serta masyarakat (community participation), memperhatikan keanekaragaman daerah, pemerataan dan keadilan serta terkelolanya potensi sumberdaya di daerah secara efisien dan efektif.

(30)

dalam wilayah tersebut (intra-regional), dan bukan pada efisiensi alokasi sumberdaya antar-wilayah (inter-regional).

Desentralisasi pembangunan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk lebih dekat dan lebih cepat menangani urusan-urusan masyarakat secara langsung dengan kebijakannya. Selain itu, dalam jangka panjang desentralisasi menciptakan iklim kompetisi pertumbuhan pembangunan dengan memperhatikan transparansi, akuntabilitas dalam manajemen sumberdaya alam dan manusia. Tetapi perlu diperhatikan, desentralisasi dapat menimbulkan kerentanan pada praktik kebijakan yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok (vested

interest) dan besarnya tekanan terhadap sumberdaya alam untuk mengejar

pendapatan sehingga kurang memperhatikan keberlanjutan pembangunan.

Kemiskinan menjadi isu utama pembangunan karena tingkat kemiskinan menjadi indikator penting dalam mengukur keberhasilan proses pembangunan. Selain itu, kemiskinan menunjukkan ketimpangan pembangunan dan tidak meratanya distribusi pendapatan. Pada prioritas pembangunan yang termuat di dalam Undang Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas, pemerintah menegaskan akan mengurangi jumlah penduduk miskin absolut 4 persen dalam jangka waktu 5 tahun.

(31)

pada waktu dan tempat yang berbeda. Hal ini menyebabkan kerentanan kemiskinan atas perubahan politik, ekonomi dan sosial serta bencana alam sehingga perlu dikoreksi secara menyeluruh dan mendasar.

Isu penanggulangan kemiskinan dewasa ini dihadapkan pada kenyataan tantangan dan isu yang berkembang berupa desentralisasi dan otonomi daerah yang mengembangkan potensi daerah sesuai dengan kondisi daerahnya, tuntutan pengelolaan pemerintahan yang baik dan penolakan terhadap segala bentuk praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta tuntutan globalisasi yang memberikan kompetisi yang kadang memarjinalkan masyarakat lemah dan miskin.

(32)

daratan dan kepulauan menghadapi permasalahan-permasalahan diantaranya rendahnya tingkat pendidikan, infrastruktur yang terbatas, laju pertumbuhan pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu 3,65 persen dan banyaknya penduduk/rumah tangga miskin, menuntut kerja keras pemerintah dan masyarakat Riau dalam menanggulangi permasalahan tersebut. Peningkatan kesejahteraan sudah mulai terlihat diantaranya peningkatan IPM propinsi Riau dari 69,0 tahun 2002 menjadi 73,6 ditahun 2005. Begitu juga terjadi peningkatan pada indikator pendidikan dari tahun ke tahun seperti angka melek huruf dan lama sekolah, dimana tahun 2005 angka melek huruf di Provinsi Riau menjadi 98,8 dari sebelumnya 96,5 di tahun 2002 dan lama sekolah dari 8,30 tahun (2002) menjadi sebesar 8,98 tahun (2005).

(33)

dilakukan tidak sia-sia dan benar-benar dirasakan manfaatnya bagi masyarakat terutama masyarakat miskin.

1.2. Perumusan Masalah

Kemiskinan dengan segala dimensinya mempunyai karakteristik dan kecendrungan tersendiri sesuai dengan kondisi masyarakat dan lingkungannya. Sangat penting untuk mengetahui faktor penentu dari kemiskinan dari suatu wilayah yang sangat membantu dalam usaha pengentasan kemiskinan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui karakteristik kelompok sasaran (target groups) dan metode apa yang dipilih sebagai solusinya. Di sini diperlukan peran dan keberpihakan pemerintah yang sungguh-sungguh yang diwujudkan dengan program pembangunan yang berpihak pada masyarakat miskin.

(34)

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.

Desentralisasi pembangunan memberikan kesempatan kepada pemerintah lebih dekat dan lebih cepat menangani urusan-urusan masyarakat secara langsung dengan kebijakannya. Selain itu dalam jangka panjang desentralisasi menciptakan iklim kompetisi pertumbuhan pembangunan dengan memperhatikan transparansi, akuntabilitas dalam manajemen pengelolaan sumberdaya alam dan manusia. Tetapi perlu diperhatikan desentralisasi menimbulkan kerentanan pada praktik kebijakan yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok (vested

interest) dan besarnya tekanan terhadap sumberdaya alam untuk mengejar

pendapatan sehingga kurang memperhatikan keberlanjutan pembangunan.

(35)

Dengan adanya otonomi daerah, banyak kemudahan-kemudahan yang diharapkan akan memberikan banyak prakarsa penanganan kemiskinan terutama dari pemerintah daerah. Kebijakan penanganan yang dilakukan sebaiknya diarahkan pada:

1) Peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan sumberdaya, terutama yang dikuasai oleh kelompok miskin.

2) Pengembangan aksesibilitas kelompok miskin terhadap tanah, modal, infrastruktur dan input-input produktif lainnya

3) Pengembangan struktur sosial kelembagaan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat, khususnya kelompok miskin, dalam mengatasi masalah secara mandiri.

Dengan permasalahan di atas penelitian ini diarahkan pada pertanyaan mendasar yaitu: (1) Bagaimana kondisi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau setelah dilaksanakannya otonomi daerah dan (2) Apakah desentralisasi cukup berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin.

1.3. Tujuan

Adapun penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui kondisi umum dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau.

(36)

1.4. Ruang Lingkup

Lingkup penelitian adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah daerah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemerintahan daerah pada tingkat kota atau kabupaten di Provinsi Riau yang terdiri dari 2 Kota dan 9 Kabupaten.

2. Analisis terhadap Provinsi dan kabupaten/kota yang baru terbentuk masih digabungkan dengan penamaan daerah sebelumnya.

3. Analisis ini dilakukan di tingkat kota/kabupaten dengan melihat efektifitas penerimaan dan pengeluaran pemerintah dalam usaha pengentasan kemiskinan.

4. Analisis ini melihat dari sisi penerimaan daerah, pengeluaran daerah, makro ekonomi daerah dan sisi kemiskinan di perkotaan dan perdesaan.

1.5. Kegunaan Penelitian

(37)

2.1. Konsep Kemiskinan

Pengertian kemiskinan disampaikan oleh beberapa ahli atau lembaga, di antaranya adalah: Bappenas (1993) mendefinisikan kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendaki oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Faturochman dan Molo (1994) mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Sedangkan me nurut Ellis (1994) kemiskinan merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi, sosial dan politik.

Friedman (2002) mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi: aset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna.

(38)

masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Kajian Chambers (1983) lebih melihat masalah kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation trap, yang terdiri dari 5 unsur yaitu (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan dan (5) ketidakberdayaan.

Perbedaaan pandangan dari setiap ahli tentang kemiskinan merupakan hal yang wajar. Hal ini bukan karena data, dan metode penelitian yang berbeda, tetapi justru terletak pada latar belakang ideologisnya. Ideologi bukan saja menentukan macam masalah yang dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi cara mendefinisikan masalah secara sosial ekonomis dan bagaimana masalah ekonomi itu diatasi. Kemiskinan disepakati sebagai masaalah sosial ekonomi, tetapi penyebab dan cara mengatasinya tekait denga n idiologi yang melandasinya.

(39)

pengubahan kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit, memakan waktu lama, dan biaya yang tidak sedikit. Terhadap konsep strukturalis perlu dilakukan pengubahan struktur seperti lembaga ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang terkait.

Kultural dan Struktur merupakan konsep abstrak yang mengacu pada fenomena yang menggambarkan adanya interaksi yang berkesinambungan satu sama lain. Hubungan keduanya bersifat dualistik, kultur secara berkesinambungan merupakan satu produk interaksi sosial dan satu faktor dalam perubahan sosial dan kultural. Karena itu, memadukan berbagai sudut pandang tersebut dalam totalitas berfikir akan memberikan gambaran yang utuh tentang kemiskinan. Konsep-konsep ini akan saling melengkapi untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik di mana secara struktural terjadi perbaikan dan penguatan lembaga dengan peran aktif pemerintah dan program-program pemberdayaan masyarakat, di sisi lain terjadi penguatan terhadap kultur yang baik seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, kreatif sehingga mampu memanfaatkan peluang yang ada dan memanfaatkan sumberdaya di sekitarnya.

(40)

terberdayanya masyarakat dengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, tanggap dan terbuka terhadap informasi, akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.

2.2. Konsep Kesejahteraan

Secara umum kesejahteraan dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan primernya (basic needs) berupa sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Tapi definisi kesejahteraan dapat juga merupakan tingkat aksesibilitas seseorang dalam kepemilikan faktor-faktor produksi yang dapat dimanfaatkan dalam suatu proses produksi dan ia memperoleh imbalan bayaran (compensations) dari penggunaan faktor-faktor produksi tersebut. Semakin tinggi seseorang mampu meningkatkan pemakaian faktor-faktor produksi yang ia kuasai maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan yang diraihnya. Demikian pula sebaliknya, orang menjadi miskin karena tidak punya akses yang luas dalam memiliki faktor-faktor produksi walaupun faktor produksi itu adalah dirinya sendiri. Kemiskinan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang yang tidak terlepas di mana pun diletakkan.

(41)

pemenuhan hak dasar penduduk dimaksud juga dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah yaitu untuk percepatan pembangunan perdesaan, revitalisasi pembangunan perkotaan, pengembangan kawasan pesisir serta percepatan pembangunan daerah tertinggal (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2005).

Dalam penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan rakyat, masyarakat Indonesia mempunyai keanekaragaman geografi, budaya, sosial, agama dan ekonomi sehingga apabila tidak dikelola dan diatur keterwakilannya secara proporsional, sinergis dan emansipatoris dapat menjadi kendala di kemudian hari. Aspirasi masyarakat dari negara maju terhadap isu-isu anti diskriminasi di berbagai bidang, kesamaan persamaan hak, serta demokratisasi telah menjadi tuntutan masyarakat global yang harus diakomodasi secara bijaksana.

(42)

lebih produktif dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, termasuk untuk mengurangi kemiskinan agar tidak menjadi rawan untuk diprovokasi berbagai kepentingan kelompok yang dapat menimbulkan konflik.

Beberapa kejadian menunjukkan suatu kondisi yang nampak baik, tiba-tiba mengalami kejadian yang menyebabkan statusnya menjadi buruk, seperti munculnya kejadian polio, flu burung, malaria, busung lapar, demam berdarah, yang baru-baru ini terjadi di masyarakat yang disebabkan antara lain lemahnya jaringan pelayanan kesehatan masyarakat seperti tidak aktifnya kegiatan Posyandu, PKK, ketidaksiapan aparat pemerintah, keterbatasan sarana dan prasarana ( Bappenas, 2006).

Beberapa indikator menunjukkan masih rendahnya kesejahteraan rakyat serta faktor-faktor yang memperburuk kondisi kesejahteraan rakyat, antara lain dapat diungkap secara garis besarnya adalah :

1. Tingkat pendapatan yang masih rendah; 2. Pengangguran yang masih tinggi;

3. Biaya hidup yang tinggi dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin sulit dipenuhi oleh masyarakat lapisan bawah;

4. Kurangnya penghayatan, pengamalan, pengembangan nilai keagamaan; 5. Kurangnya pema haman etos berkarya;

6. Lambatnya pembangunan sumberdaya manusia;

7. Lemahnya kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia termasuk aparatur negara;

(43)

10.Menurunnya penyediaan infrastruktur;

11.Lemahnya kelembagaan sosial baik formal maupun non formal;

12.Menipisnya sumberdaya alam dan menurunnya daya dukung lingkungan; 13.Gangguan keamanan, konflik sosial, dan bencana alam, serta kondisi

perekonomian yang masih belum stabil. (Menkokesra, 2005).

Salah satu indikator kesejahteraan adalah mengukur indeks pembangunan manusia (IPM) yang diperkenalkan oleh UNDP sejak tahun 1990 melalui Human

Development Report. IPM mempunyai 3 komponen inti yaitu lamanya hidup,

pengetahuan dan standar hidup layak. Komponen lama hidup diukur dengan angka harapan hidup sedangkan pengetahuan diukur berdasarkan kombinasi indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah dari penduduk dewasa. Komponen ketiga standar hidup layak diukur dengan menggunakan konsumsi riil perkapita.

(44)

Pengukuran pembangunan manusia lainnya dapat diukur dengan indeks kemiskinan manusia (IKM). Indeks ini menggunakan indikator deprivasi yang paling mendasar yaitu berumur pendek, ketersediaan pendidikan, akses sumberdaya publik, dan sumberdaya privat. IKM menggunakan variabel persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun, persentase penduduk dewasa yang buta huruf, dan deprivasi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi secara keseluruhan baik yang bersifat publik atau bukan, yang diwakili oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih, dan persentase anak berumur 5 tahun ke bawah dengan berat badan rendah atau kurang gizi. (BPS, 2002)

2.3. Penyebab Kemiskinan

Penelitian yang dilakukan Ajakaiye (2002) di Negara-negara berkembang menyatakan bahwa secara makro penyebab kemiskinan adalah: (1) Kinerja pertumbuhan ekonomi yang rendah, (2) Kegagalan kebijakan dan goncangan makro ekonomi, (3) Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah, (4) Migrasi, (5) Pengangguran dan setengah pengangguran, (6) Pengembangan sumberdaya manusia.

(45)

Kemiskinan bisa menjadi suatu budaya komunitas, di mana tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin yang disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya (Sumardjan, 1993). Menurut Seymour (1993), beberapa ciri budaya kemiskinan adalah: 1) fatalisme, 2) rendahnya tingkat aspirasi, 3) rendahnya kemauan mengejar sasaran, 4) kurang melihat kemajuan pribadi, 5) perasaan ketidakberdayaan/ketidakmampuan, 6) perasaan untuk selalu gagal, 7) perasaan menilai diri sendiri negatif, 8) pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan 9) tingkat kompromis yang menyedihkan.

(46)

2.4. Ukuran Kemiskinan

Untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang tergolong miskin umumnya dilakukan dengan penetapan suatu garis kemiskinan (poverty line). Garis ini ditetapkan berdasarkan suatu tingkat pendapatan per kapita per tahun atau per kapita per bulan. Misalnya Bank Dunia pada mulanya menetapkan tingkat pendapatan per kapita per tahun serendah US$ 75 untuk daerah perkotaan dan US$ 50 untuk daerah perdesaan sebagai garis kemiskinan dan kemudian sebagian negara meningkatkan standar terendahnya menjadi US$ 2 per kapita per harinya. Sajogyo (1994) menggunakan kriteria tingkat pengeluaran sebagai pendekatan terhadap pendapatan setara beras sebagai dasar penetapan garis kemiskinan sebagaimana tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategori Kemiskinan Berdasarkan Tingkat Pengeluaran

No Kategori Kemiskinan

Batas tingkat pengeluaran (Setara beras per kapita per tahun) Perkotaan Perdesaan

1 Miskin 480 kg 320 kg

2 Miskin Sekali 360 kg 240 kg

3 Paling Miskin 270 kg 180 kg

Sumber: BPS (2004)

(47)

memenuhi kebutuhan untuk hidup layak. Indikator kemiskinan menurut BPS adalah di antaranya tidak memenuhi :

a. Luas lantai perkapita < 8 m2 b. Lantai tanah

c. Tidak memiliki jamban d. Tidak ada akses air bersih e. Konsumsi lauk tidak bervariasi f. Tidak memiliki akses produktif

g. Tidak mampu membeli pakaian baru dalam setahun h. Tidak berpartisipasi dalam kegiatan komunitas

(48)

Sejak tahun 1976 Badan Pusat Statistik (BPS) membuat perkiraan jumlah penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan provinsi di Indonesia) dengan berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional). Klasifikasi kota dan desa pada pendataan didasarkan pada skor yang dihitung dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian, dan akses terhadap fasilitas perkotaan seperti sekolah, rumah sakit, jalan aspal, telpon, dan sebagainya. Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap ‘dasar’ dan diperlukan selama jangka waktu tertentu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan:

1. Biaya untuk memperoleh makanan dengan kandungan 2.100 kalori per kapita per hari; dan

2. Biaya untuk memperoleh bahan bukan makanan yang dianggap dasar, seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan.

(49)

plester (berlantaikan tanah) sehingga mengadakan program plesterisasi. Perbedaan terminologi di atas secara general sebenarnya memilki tujuan yang sama yaitu adanya ketidakmampuan untuk mencapai kesejahteraan. (Kelompok Kerja Propenas, 2002)

Jika diberikan informasi tentang konsumsi per kapita, dan sebuah garis kemiskinan, maka masalah yang tertinggal hanyalah memutuskan ukuran yang cukup untuk meringkas agregat kemiskinan. Ada sejumlah ukuran agregat kemiskinan yang dapat dihitung. Tokoh-tokoh pemerhati kemiskinan di dunia telah mengembangkan ukuran kemiskinan (poverty measures), di antaranya yang terkenal dan formulanya telah banyak digunakan hingga saat ini adalah Foster, Greer dan Thorbecke (1984). Tokoh-tokoh ini telah mempelopori usaha-usaha untuk memperbaiki indeks kemiskinan yang konsisten menurut teori ekonomi dan dapat dioperasionalkan yang dikenal dengan FGT Indeks. Secara matematis formula FGT poverty index dapat ditulis sebagai berikut:

 − 

dengan, n = jumlah penduduk; yi= pendapatan/pengeluaran perkapita penduduk miskin ke-i ; z = garis kemiskinan.

FGT indeks akan menjadi Head-Count Index (HCI) jika α=0; akan menjadi

Poverty Gap Index (PGI) jika α=1; Poverty Severity Index atau Square Poverty

Gap(SPgap) jika α=2. (BPS, 2004)

(50)

yang berada di bawah garis kemiskinan, PGI menggambarkan kedalaman tingkat kemiskinan, sedangkan SPGap menggambarkan distribusi pendapatan orang miskin yang menjelaskan tingkat keparahan.

Ukuran kemiskinan menekankan pada keadaan individu atau rumah tangga yang berada pada posisi bawah dari distribusi pendapatan/pengeluaran. Umumnya hal ini memerlukan informasi baik tentang rata-rata pendapatan (pengeluarannya) maupun distribusinya (pada posisi terendah). Ketimpangan, di lain pihak merupakan sebuah konsep yang lebih luas dalam arti bahwa ketimpangan didefinisikan terhadap seluruh populasi, dan tidak hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar ukuran ketimpangan tidak bergantung pada rata-rata distribusi, dan sifat ini dianggap sebagai sifat yang disenangi dari suatu ukuran ketimpangan. Perlu dicatat bahwa ukuran ketimpangan dapat dihitung untuk setiap distribusi, tidak hanya konsumsi, pendapatan atau variabel moneter lain, tetapi juga bisa untuk tanah dan variabel kontinyu lainnya.

Pengukuran kemiskinan tidak lagi dihitung berdasarkan level rumah tangga tetapi pada level kabupaten. Hal ini tetap dapat dilakukan sebab dalam formula

FGT di atas,

 − 

α

z y

z i)

(

merupakan nilai agregasi untuk level kabupaten.

2.5. Tinjauan Kritis atas Pendekatan Pembangunan

(51)

wilayah tertentu. Hal ini memerlukan adanya model pembangunan yang cocok dengan kondisi aktual.

Model pembangunan ekonomi banyak diterapkan di negara-negara berkembang adalah model pengembangan sektor rangkap (dual sector), yang pertama sekali diusulkan Lewis (1954). Model ini didasarkan pada asumsi bahwa banyak negara berkembang yang memiliki perekonomian rangkap, yakni sektor pertanian yang bersifat tradisional dan sektor industri/manufaktur yang bersifat modern. Sektor pertanian tradisional diasumsikan sebagai bersifat subsistence dan dikarakteristikkan dengan produktivitas rendah, pendapatan rendah, tabungan rendah dan underemployment atau surplus tenaga kerja yang cukup besar dan berada dikawasan perdesaan. Sektor manufaktur diasumsikan memiliki teknologi maju, investasi tinggi, dan berada dikawasan perkotaan.

Dalam model ini, sektor manufaktur akan menarik surplus tenagakerja dari pertanian di perdesaan. Perusahaan manufaktur, apakah milik probadi atau BHMN, bisa menawarkan gaji yang akan menjamin mutu hidup yang lebih tinggi dibanding upah yang didapatkannya di perdesaan. Tingkat produktivitas buruh sangat rendah di area pertanian tradisional, sehingga pekerja yang meninggalkan area perdesaan hampir tidak memberikan dampak pada output pertanian sebelumnya. Tanpa disadari, jumlah pangan yang tersedia untuk orang desa akan meningkat akibat penduduk yang lebih sedikit (karena sudah bekerja, diserap oleh sektor manufaktur di perkotaan). Surplus produksi pangan yang diperoleh bisa sebagian mereka jual untuk menambah pendapatan.

(52)

membangun menurut model Lewis ialah meningkatkan tabungan yang pada gilirannya diikuti dengan peningkatan investasi, yakni pada sektor manufaktur modern. Migrasi dari perdesaan yang miskin ke wilayah perkotaan/manufaktur yang lebih kaya akan memberi para pekerja peluang untuk mendapat pendapatan yang lebih tinggi dan mengalokasikannya untuk tabungan dan investasi. Pertumbuhan di sektor industri akan dengan sendirinya menghasilkan permintaan tenagakerja dan juga akan menyediakan dana untuk investasi. Pendapatan yang dihasilkan oleh sektor industri memberikan trickle down ke setiap aktivitas ekonomi.

Schelkle (1996) mengkritik asumsi ekonomi tertutup yang digunakan dalam model pembangunan dualistic Lewis. Menurutnya, suatu ekonomi yang bersifat tertutup akan menghalangi berbagai transaksi terutama karena adanya proteksi dan perfect capital controls. Dalam ekonomi tertutup, Capital flight akan menyebabkan tidak produktif atau pemakaian lahan berkurang. Hal ini akan mengurangi pendapatan petani ke depan. Bila kemudian terjadi inflasi, pemerintah akan memakai tabungan rumah tangga sebagai alternatif aset keuangan domestik. Pengurangan tabungan selanjutnya mengurangi investasi, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan. Disamping model dual, terdapat model-model pembangunan ekonomi lain di mana intinya ialah memberikan peran pada pemerintah untuk mengarahkan jalannya pertumbuhan ekonomi. Diantaranya

planned economy dengan pola Growth First than Distribution. Rostow (1980)

(53)

dan High Mass Consumtion. Tahap model pembangunan ini terlihat dalam tahapan pembangunan Indonesia sejak tahun 1970.

Kenyataan yang terjadi adalah tahapan-tahapan pembangunan yang dipaparkan diatas ternyata tidak berjalan secara kontinu. Tahapan-tahapan itu terputus oleh krisis ekonomi 1997-1998. Industrialisasi yang sedianya diharapkan menjadi motor tranformasi struktural yang menyerap surplus tenaga kerja di perdesaan ternyata terpuruk, sehingga justru menimbulkan pengangguran. Sebagian dari para penganggur ini diserap kembali oleh sektor pertanian atau aktifitas ekonomi perdesaan maupun perkotaan berskala makro dan mikro.

Dalam kondisi di mana perekonomian sektor industri belum sepenuhnya pulih dari krisis, pembangunan kembali sektor pertanian maupun aktivitas-aktivitas ekonomi perdesaan lainnya menjadi semakin penting. Seperti yang dikemukakan oleh Ghatak dan Ingersent (1987) dalam Yudhoyono (2004), upaya-upaya mewujudkan peran sektor pertanian, yakni antara lain sebagai penyedia lapangan kerja, pemasok bahan baku industri, sumber devisa ne gara,dan pasar bagi produk-produk industri, secara menyeluruh akan mendorong perkembangan perekonomian. Pembangunan kembali (revitalisasi) pertanian dan perdesaan, dengan demikian, perlu dilakukan.

2.6. Pengembangan Wilayah

(54)

lingkungan, bahkan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas. (Rustiadi, 2005)

Menurut Akil (2003) dalam Pranoto (2005) pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, bahkan menghambat pembangunan itu sendiri. Dalam konteks ini mulai dirasakan perlunya pendekatan yang meninjau kota-desa kawasan produktif serta prasarana pendukungnya sebagai satu kesatuan wilayah. Dalam hubungan ini, kegiatan ekonomi kota dan desa (sub urban) adalah saling tergantung dalam konteks perubahan penduduk jangka panjang dan tenaga kerja. Keterkaitan pembangunan perkotaan dan perdesaan begitu penting di mana keterkaitan ini diekspresikan dalam bentuk fisik, sosial, ekonomi, politik dan idiologi yang sekaligus untuk mengatasi adanya ketidakseimbangan pembangunan di perkotaan dan perdesaan.

(55)

kerusakan lingkungan dalam yang tidak dapat diperbaiki. Lingkungan alam juga merupakan unsur penting dari pertumbuhan ekonomi dan apabila lingkungan alam turun melebihi daya dukungnya, maka ekonomi akan kehilangan daya untuk tumbuh.

Menurut Shukla (2002) dalam Rustiadi (2005), melalui perencanaan wilayah (regional planning) dapat mencapai kedua-duanya yaitu pembangunan dan berkelanjutan dengan :

1. Perencanaan wilayah akan membantu pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada, sumberdaya fisik serta teknologi.

2. Perencanaan wilayah akan membantu pembuatan perencanaan di mana akan mengisi kebutuhan lokal.

3. Perencanaan wilayah membantu mengurangi pembangunan yang kurang berimbang antar dan dalam wilayah.

Untuk menghindari masalah-masalah pembangunan, perlu kiranya dilakukan perencanaan pembangunan yang berimbang secara spasial karena secara makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Menurut Rustiadi (2005), pengembangan wilayah harus mengandung prinsip-prinsip: 1) mengedepankan peran serta masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan dari pada sebagai pelaksana. 2) Menekankan aspek proses dibandingkan pendekatan-pendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa master plan

(56)

pendekatan pengembangan wilayah yang terkoordinir dan terintegrasi, bukan lagi pendekatan sektoral sebagai mana dilakukan pada masa lalu.

Pendekatan pengembangan wilayah harus dilakukan dengan penetapan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan karakteristik, potensi, kebutuhan daerah, kepentingan stakeholders, daya dukung daerah serta mempertimbangkan perkembangan dinamika pasar dan dampak arus globalisasi. Menurut Rondinelli (1985) ada tiga konsep dalam pengembangan wilayah yaitu: 1) kutub-kutub pertumbuhan (growth pole), 2) integrasi fungsi

(functional integration), dan 3) pendekatan pedesentralisasian wilayah

(decentralized territorial approaches)

Selanjutnya Chen dan Salih (1978), mengemukakan bahwa mengadopsi pendekatan kutub-kutub pertumbuhan (growth pole approach) oleh negara-negara ketiga merefleksikan dua bentuk pemikiran yang bijaksana yaitu: 1) industrialisasi dengan teknologi modern dapat di desentralisasikan manfaatnya pada daerah perdesaan, 2) keterpaduan pada tingkat nasional melalui strategi kutub-kutub pertumbuhan dapat memecahkan masalah pembangunan regional.

(57)

dalam setiap program pembangunan sektoral dalam kerangka pembangunan wilayah.

Namun demikian, berbagai permasalahan yang menyangkut otonomi daerah juga telah bermunculan ke permukaan. Orientasi untuk mendapatkan penerimaan daerah (PAD) sebesar-besarnya cenderung mengakibatkan eksploitasi besar-besaran atas sumberdaya alam. Sikap ego antarpemegang otoritas daerah dapat mengakibatkan konflik yang semakin memperparah kondisi sumberdaya alam dan lingkungan.

Tinjauan spasial menyangkut dimensi sosial ekonomi dalam konteks tata ruang adalah upaya menciptakan keseimbangan spasial. Penataan ruang harus menjadi bagian dari proses menciptakan keseimbangan antarwilayah sebagai wujud dari pembangunan yang berkeadilan. Oleh karenanya perlu dibangun struktur keterkaitan antarwilayah yang seimbang dan berkeadilan, mencegah terjadinya kesenjangan pembangunan yang rawan menimbulkan berbagai konflik.

Menurut Rustiadi (2005) pendekatan penataan ruang di era otonomi daerah harus berbasis pada:

1. Sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan.

2. Menciptakan keseimbangan pembangunan antarwilayah.

3. Menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan)

(58)

2.7. Kerangka Empirik Analisis Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan faktor penting untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Kerangka empirik untuk menganalisis pertumbuhan dapat diperoleh dari model pertumbuhan neoklasik yang diperluas, yang secara ringkas dapat ditunjukkan oleh suatu persamaan sederhana di bawah ini.

Dy = F(y, y*) ……….. (2) Dimana : Dy adalah laju pertumbuhan output per kapita

y adalah tingkat output per kapita sekarang

y* adalah tingkat target output per kapita atau tingkat output per kapita jangka panjang

Dalam model meoklasik, kenaikan hasil yang semakin berkurang

(diminishing returns) pada akumulasi modal mengimplikasikan adanya suatu laju

pertumbuhan ekonomi (Dy) yang berhubungan secara berbalikan (inverse) dengan tingkat pertumbuhan (y). Hubungan tersebut berlaku untuk nilai y* tertentu. Indikator suatu pertumbuhan ekonomi mencakup modal sumberdaya manusia

(human capital) dan perubahan teknologi. Variabel y digeneralisasikan dari

tingkat produk per kapita yang dipengaruhi oleh kapital fisik, human capital dan input-input lainnya termasuk teknologi yang digunakan dalam proses produksi.

(59)

Suatu kebijakan pemerintah berpotensi menaikkan laju pertumbuhan (Dy), yang kemudian akan secara berangsur-angsur menaikkan tingkat output per kapita (y). Ketika output naik, laju pertumbuhan (Dy) meningkat, dan peningkatan tersebut mengalami diminishing returns. Pada jangka panjang, dampak dari kebijakan ini hanya berpengaruh pada peningkatan output per kapita, sedangkan dampak terhadap laju pertumbuhan semakin mengecil sehingga sama dengan nol.

Penelitian tentang pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh Barro (1997) melihat pengaruh langsung dari sejumlah kebijakan pemerintah dan variabel lainnya. Penelitian ini mengambil sampel 100 negara mulai tahun 1960 sampai 1995. Dengan metode regresi panel terlihat bahwa laju pertumbuhan PDB per kapita dipengaruhi oleh tingkat PDB per kapita, tingkat pendidikan, rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB, indeks kepastian hukum, tingkat keterbukaan terhadap dunia internasional, laju inflasi, laju fertilitas total, rasio investasi terhdap PDB, laju pertumbuhan nilai tukar perdagangan. Pengaruh rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB yang menggambarkan kebijakan fiskal, tidak nyata di kelompok negara maju, namun berpengaruh nyata dengan arah negatif di kelompok negara miskin.

(60)

2.8. Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan Ekonomi

Kebijakan fiskal (fiscal policy) merupakan salah satu kebijakan makroekonomi, yang secara khusus berkaitan dengan kebijakan penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dilakukan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kebijakan fiskal atau atau anggaran memiliki fungsi-fungsi yaitu: 1) fungsi-fungsi alokasi, yaitu fungsi-fungsi yang berkaitan dengan penyediaan barang-barang sosial (social goods), atau proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi diantara barang privat dan barang sosial dan kombinasi barang sosial yang dipilih, 2) fungsi distribusi adalah fungsi kebijakan fiskal atau anggaran yang berkaitan dengan upaya untuk menciptakan pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata di dalam masyarakat, dan 3) fungsi stabilisasi adalah fungsi kebijakan fiskal yang berkaitan dengan mempertahankan tingkat pengerjaan yang tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sesuai, yang dapat berpengaruh atau berakibat pada neraca perdagangan dan pembayaran (Musgrave, 1984).

(61)

kebijakan ingin meningkatkan tingkat pengerjaan (employment) dalam rangka untuk mengurangi tingkat pengangguran, maka kebijakan fiskal yang dilakukan akan cenderung bersifat ekspansif, di mana pengeluaran pemerintah akan dinaikkan atau pajak diturunkan. Hal ini akan meningkatkan permintaan agregat di dalam perekonomian dan akan terjadi ekspansi dalam perekonomian.

Menurut Jhingan (1993) kebijakan fiskal memainkan peranan penting dinamis di negara-negara berkembang. Kebijakan ini diperlukan secara luas bagi pembangunan ekonomi, khususnya dalam peranannya dalam menghadapi problem pembentukan modal. Pendapatan dan tabungan per kapita rendah, sementara orang yang kaya justru suka mengkonsumsi barang mewah. Sebagian besar dari tabungan disalurkan pada jalur-jalur tidak produktif seperti perumahan, penimbunan, spekulasi dan sebagainya. Kebijakan fiskal mengalihkan semua itu ke saluran yang produktif.

Beberapa tujuan kebijakan fiskal, sebagai sarana menggalakkan pembangunan, antara lain :

1. Meningkatkan laju investasi di sektor swasta dan sektor pemerintah. Hal ini dapat dicapai dengan mengendalikan konsumsi baik aktual maupun potensial melalui peningkatan rasio tabungan marjinal (marginal

propensity to saving). Kebijakan fiskal juga harus digunakan untuk

(62)

2. Mendorong investasi optimal secara sosial. Kebijakan fiskal harus mendorong arus investasi ke jalur-jalur yang diinginkan oleh masyarakat. Ini berkaitan dengan pola optimum investasi dan menjadi tanggung jawab negara untuk mendorong investasi pada overhead sosial dan ekonomi seperti transportasi, konservasi lahan, pendidikan, kesehatan masyarakat dan fasilitas latihan teknik. Investasi semacam yang memerlukan modal besar, hanya dimungkinkan dari sektor pemerintah, karena sektor swasta yang miskin modal, serta tingkat pengembalian investasi yang cukup panjang.

2.9. Kaitan antara Transfers Fiskal dan Pengurangan Kemiskian

Hubungan fiskal antara tingkat pemerintah merupakan salah satu unsur atau elemen yang sangat penting dari program desentralisasi fiskal khususnya dan desentralisasi pada umumnya. Sementara transfer fiskal itu sendiri merupakan inti (core) dari suatu hubungan fiskal antara tingkat pemerintah, artinya sesuatu yang memiliki peranan penting dan menentukan.

(63)

prakondisi bagi keefektifan pelaksanaan dari desentralisasi tersebut. Sedangkan desentralisasi fiskal lebih berhubungan dengan perumusan kewenangan atas sumber-sumber yang ada atau akses terhadap transfer dan pembuatan berbagai keputusan, baik menyangkut pengeluaran rutin maupun pengeluaran investasi (Braun and Grote, 2002)

Transfer fiskal antara berbagai tingkat pemerintahan merupakan inti (core) dari suatu hubungan fiskal antara tingkat pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa transfer fiskal memiliki peranan penting dan menentukan di dalam mendukung program desentralisasi pada umumnya dan desentralisasi fiskal khususnya.

Hubungan antara desentralisasi dengan kemiskinan dijelaskan dengan kerangka konseptual yang dikemukakan oleh Braun dan Grote (2002) seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1 sebagai berikut:

Sumber : Braun and Grote (2002)

Gambar 1. Kaitan Konseptual antara Desentralisasi dan Pengurangan Kemiskinan Participation/Empowerment

Government

Pengurangan Kemiskinan (Poverty

Reduction) Desentralisasi

Politik, Adminisratif, Fiskal

(64)

Menurut von Braun dan Grote (2002), ketiga bentuk utama dari desentralisasi yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif dan desentralisasi fiskal saling terkait erat satu dengan lainnya dan karena itu, dampaknya terhadap upaya pengurangan kemiskinan tidak dapat dinilai atau dilihat secara terpisah.

Pada Gambar 1 ditunjukkan kaitan antara desentralisasi dengan berbagai bentuknya dengan pengurangan kemiskinan, yang terjadi melalui dua jalur, yaitu: 1) desentralisasi - partisipasi/pemberdayaan/tata kelola - pengurangan kemiskinan, dan 2) desentralisasi - pelayanan publik/investasi yang lebih memihak kaum miskin – pengurangan kemiskinan. Jalur 1 menunjukkan bahwa desentralisasi memungkinkan civil society untuk berpartisipasi di dalam proses kebijakan dan dengan demikian meningkatkan transparansi dan predictability dari pengambilan keputusan.

Pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih baik dan lebih responsif terhadap kebutuhan dan preferensi penduduk lokal daripada pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah daerah (lokal) juga lebih mudah bagi mereka untuk mengindentifikasi dan menjangkau kaum miskin sejauh politik lokal memungkinkan hal ini dilakukan. Desentralisasi juga memiliki keuntungan yang penting (principal advantage) yaitu bahwa petugas setempat dapat dengan lebih mudah dipantau dan dikontrol oleh masyarakat daripada petugas pada pemerintah pusat, jika aturan hukum dapat hidup dan dipatuhi di tingkat lokal.

(65)

partisipasi benar-benar menjadi operasional maka pertama -tama dibutuhkan adanya suatu pendidikan minimum, basic capabilities and equality atas dasar gender, agama, dan kasta. Kedua, pemberdayaan (empowerment) penduduk pada tingkat lokal. Jalur (2) adalah dari perspektif informasi dan biaya transaksi

(transaction costs), dimana eksternalitas menyediakan suatu argumen untuk

sentralisasi jika kewenangan pusat memiliki kemampuan yang tidak terbatas

(unlimited ability) untuk mengumpulkan, memproses, atau menyebarluaskan

informasi. Namun, karena pemerintah pusat (central authority) umumnya tidak memiliki kemampuan untuk melakukan itu semua, maka advantages dari desentralisasi tetap ada. Dalam hal ini, desentralisasi dapat menjadi instrumen yang sangat powerfull di dalam mencapai tujuan pembangunan ’by assigning

control right to people who have information and insentives’ untuk membuat

keputusan terbaik menyangkut kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

Lebih jauh, Von Braun dan Grote (2002) juga membuktikan bagaimana desentralisasi dengan berbagai bentuknya dapat menyebabkan penurunan pada kemiskinan. Studi yang dilakukan dengan me nggunakan analisis regresi multi variant, menemukan bahwa desentralisasi politik yang diukur atau diproksi dengan election tiers, desentralisasi administratif yang diukur dengan size of

population, dan desentralisasi fiskal yang diukur dengan share of subnational

expenditure, semuanya berdampak menurunkan kemiskinan. Namun, mereka

(66)

mendahului desentralisasi fiskal (should precede fiscal decentralization). Dengan kata lain, untuk mewujudkan desentralisasi fiskal yang lebih efektif dan memihak kaum miskin, maka desentralisasi politik dan administratif merupakan prakondisi yang harus dipenuhi, dan desentralisasi fiskal tidak dapat secara otomatis membawa pada pengeluaran yang lebih memihak pada pengeluaran yang lebih memihak kaum miskin.

Dalam upaya untuk lebih mengefektifkan peranan transfer fiskal antar tingkat pemerintahan dalam pengurangan kemiskinan, Rao et al (1998) menekankan perlunya dilakukan peninjauan kembali (reorienting) dalam pengaturan fiskal antar tingkat pemerintahan untuk menjamin penyediaan layanan publik (public services) yang lebih responsif untuk mempercepat peningkatan standar konsumsi dari kaum miskin dan sekaligus untuk merespon preferensi yang beragam dari berbagai daerah atau wilayah. Keefektifan pemerintahan desentralisasi (desentralized goverment) di dalam penyediaan layanan publik yang efisien dapat ditingkatkan dengan melakukan reorientasi dalam pengaturan fiskal antar tingkat pemerintahan untuk menyediakan insentif dan meningkatkan akuntabilitas. Salah satu cara untuk menjamin insentif dan akuntabilitas di dalam penyediaan layanan publik adalah melalui pengaitan (linking) peningkatan penerimaan dengan keputusan pengeluaran dari pemerintah daerah pada batas-batas tertentu (at the margin).

2.10. Pelaksanaan Otonomi Daerah

(67)

pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya disertai pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antardaerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antardaerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antardaerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

(68)

jawab demikian sebenarnya merupakan konsekuensi dari salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah yakni menciptakan sistem layanan publik yang lebih baik, efektif, dan efisien, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Oleh karena itu upaya penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawab dan atau dilakukan oleh pemerintah pusat semata.

Dipandang dari sudut tersebut, pelaksanaan otonomi daerah memiliki potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan. Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perumusan kebijakan publik juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersifat transparan dan

accountable dalam menjalankan “good governance”. Sekarang pemerintah daerah

(69)

Ini artinya agenda penganggulangan kemiskinan seharusnya secara otomatis menjadi agenda kebijakan semua pemerintah daerah.

2. Izin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan biaya lebih murah. Bila iklim usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa kota/kabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan langkah awal untuk menuju proses perizinan yang cepat, transparan, dan murah.

3. Daerah yang kaya dengan sumberdaya alam memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Kabupaten Kutai misalnya, memberikan dana milyaran rupiah untuk pembangunan desa. Jika dana-dana ini digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat pro orang miskin, ada harapan besar proporsi jumlah orang miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun. (Saefudin, 2005)

2.11. Penelitian Terdahulu tentang Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan

(70)

ditentukan oleh jumlah penduduk, sementara bantuan Inpres terutama bersifat blok mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap PDRB dan tenaga kerja.

Antara (1999) menganalisis perbedaan dampak alokasi pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian Pemerintah Bali dengan model social

accounting matrix (SAM), menemukan bahwa peningkatan pengeluaran

pemerintah secara bersamaan dengan pengeluaran wisatawan mendorong peningkatan kinerja perekonomian yang ditunjukkan oleh nilai PDRB. Akan tetapi, realokasi pengeluaran dari infrastruktur sosial ke infrastruktur ekonomi tanpa peningkatan total pengeluaran pemerintah meningkatan kinerja perekonomian yang relatif rendah.

Brodjonegoro et al (2001) meneliti dampak alokasi SDA dan DAU terhadap pemerataan dan pertumbuhan ekonomi antardaerah dengan menggunakan model ekonometrik bagi hasil sumberdaya alam (BHSDA) dan DAU. Hasil simulasi kebijakan ekonomi menggunakan variabel eksogen (variabel kebijakan) yaitu: bagi hasil SDA dan bantuan pusat ke daerah (DAU) yang akan memberikan hasil yang optimal. Hasil simulasi model yang memasukkan alokasi bagi hasil SDA saja sebagai variable shock menghasilkan koefisien variasi dan PDRB meningkat dibandingkan dengan simulasi historis. Pada sisi lain ternyata hasil simulasi menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah.

Sidik (2003) menganalisis keterkaitan antara desentralisasi dan rent seeking

(71)

desentralisasi sampai tahun 2002 tidak selalu menunjukkan akuntabilitas yang lebih baik dan mampu membawa keuntungan sosial berdasarkan rent based in

transfer arrangement dibandingkan dengan rejim orde baru. Pada zaman orde

baru rent based on transfer didasarkan pada aliansi militer, birokrasi, dan kapitalis, yang dengan aturan dan institusinya mampu mengkoordinasikan dan juga meminimalkan biaya politik. Implementasi desentralisasi telah secara signifikan memindahkan rent based on transfer kepada pemerintah daerah (kabupatan/kota) tapi belum menunjukkan pola pembangunan yang lebih produktif, bahkan meningkatkan biaya koordinasi dan organisasi.

Penelitian Brodjonegoro dan Arlen (2001) dalam Saefudin (2005), yang mencoba menyusun model ekonometrika desentralisasi khususnya mengenai alokasi bagi hasil SDA dan DAU kaitannya dengan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi antardaerah. Pengembangan model ekonometrika ini bertujuan untuk mengetahui dampak pelaksanaan bagi hasil SDA dan alokasi DAU terhadap kesenjangan antardaerah dan merumuskan format alokasi SDA dan DAU yang mampu mendukung proses pengurangan kesenjangan pendapatan antardaerah. Model analisis yang dibangun dengan menggunakan model persamaan simultan.

(72)

Kombinasi keduanya menghasilkan pertumbuhan lebih besar lagi yaitu 0,37 %. Pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui bagi hasil SDA dan alokasi DAU secara bersama berdampak pada peningkatan konsumsi dan investasi daerah.

Brodjonegoro dkk (2001), melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001. Evaluasi ini lebih menekankan pada alokasi DAU, dikaitkan dengan tujuan pelaksanaan UU No 25 tahun 1999, di mana peranan DAU lebih ditekankan pada peningkatan pemerataan keuangan pusat dan daerah serta antardaerah. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa peran formula murni, yaitu pembagian DAU yang didasarkan pada selisih antara penerimaan dan kebutuhan (fiscal gap) dalam DAU 2001 hanya sekitar 20 %, sementara 80 % lainnya dialokasikan berdasarkan dana perimbangan. Evaluasi yang dilakukan lebih merupakan evaluasi alokasi, ketimbang evaluasi formula. Pada masa yang akan datang peran formula akan makin membesar atau bahkan mencapai hampir 100 persen seperti lazimnya suatu formula “intergovernmental fiscal transfer ”.

Hasil evaluasi ini menunjukkan :

1. Formula dan alokasi DAU belum sepenuhnya dilaksanakan secara objektif, adil, dan transparan karena masih dipengaruhi faktor eksternal yakni political

adjustment sehingga muncul balancing factor yang mengharuskan alokasi

(73)

2. Pembagian pagu DAU untuk Provinsi 10 % dan kabupaten/kota 90 %, karena asumsi sebagian besar kewenangan provinsi telah dilimpahkan ke kabupaten/kota ternyata tidak sesuai dengan beban riil pembiayaan daerah. Kenyataanya sebagian kewenangan yang seharusnya sudah diserahkan ke kabupaten/kota masih berada di provinsi sehingga menambah beban biaya. 3. Potensi fiskal yang digunakan dalam formula DAU Tahun Anggaran 2001

belum sepenuhnya mencerminkan semua potensi keuangan daerah yang ada karena variabel PDRB sektor industri dan variabel lainnya tidak secara signifikan dapat menentukan daerah yang memiliki kapasitas fiskal besar ataupun kecil yang dihimpun dari semua potensi penerimaan daerah.

4. Jumlah alokasi DAU tahun 2001 memang meningkatkan kemampuan daerah secara relatif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan secara relatif pemerataan kemampuan keuangan antardaerah menjadi lebih baik.

5. Perhitungan terhadap kebutuhan daerah (fiscal needs ) belum dapat dilakukan dengan baik. Selain karena keterbatasan data dan belum adanya Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk masing-masing daerah, sistem penganggaran masih belum didasarkan pada Standar Analisa Belanja (SAB) atau Standard Spending Assesment (SSA ).

Gambar

Tabel 1.  Kategori Kemiskinan Berdasarkan Tingkat Pengeluaran
Gambar 1. Kaitan Konseptual antara Desentralisasi dan Pengurangan Kemiskinan
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Analisis Dampak Otonomi Daerah                    terhadap Pengurangan Kemiskinan
Gambar 3. Hubungan antar Peubah dalam Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oman Sukmana, M.Si selaku Kepala Jurusan Program Studi Kesejahteraan sosial sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan, dukungan serta motivasinya

yang terjadi akibat gesekan antara drillstring dan formasi. Sumur X-01 merupakan sumur vertikal pada lapangan X yang akan dilakukan pemboran horizontal re-entries dengan membuat

Aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting didalam interaksi belajar-mengajar. Dalam aktivitas belajar ada beberapa prinsip yang berorientasi pada pandangan

Decision Support Systems (DSS) merupakan suatu sistem informasi yang diharapkan dapat membantu manajemen dalam proses pengambilan keputusan, keberadaannya untuk menjadi sarana

Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Pengalaman Kerja Praktek

Laporan Akhir ini merupakan penyempurnaan dari Laporan Antara yang merupaka satu rangkaian kegiatan dalam Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan

Kegiatan yang akan dilakukan meliputi: pengecilan ukuran jerami padi, optimisasi parameter- parameter proses hidrolisa sellulosa menjadi glukosa, Hasil penelitian menunjukkan

Pemberitaan yang disajikan Kompas juga lebih bersifat langsung (Straight news) dan memperlihatkan pengelolaan pemerintah terkait pariwisata, dibandingkan dengan media