• Tidak ada hasil yang ditemukan

Letak Geografis dan Administratif

Secara geografis Kabupaten Bogor terletak pada 6°18’0” –6°47’10” LS dan

106°23’45” – 107°13’30” BT dengan luas 299.458,304 ha. Kabupaten Bogor memiliki nilai strategis karena lokasinya yang dekat DKI Jakarta serta daerah perlintasan antara Ibu Kota Negara dan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Batas wilayah Kabupaten Bogor yaitu :

a. Sebelah Utara : : Kabupaten Tangerang, Kabupaten Tangerang Selatan (Provinsi Banten), Kabupaten Bekasi dan Kota Depok, b. Sebelah Timur : Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan

Kabupaten Purwakarta

c. Sebelah Selatan : Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi d. Sebelah Barat : Kabupaten Lebak Provinsi Banten

e. Bagian Tengah : Kota Bogor

Kabupaten Bogor terdiri dari 413 desa dan 17 kelurahan yang tercakup dalam 40 kecamatan. Jumlah kecamatan tersebut merupakan jumlah kumulatif setelah pemekaran 5 (lima) kecamatan pada tahun 2005, yaitu Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran Kecamatan Bojonggede) dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran Kecamatan Ciampea).

Jumlah penduduk Kabupaten Bogor berdasarkan sensus tahun 2010 berjumlah 4.763.209 jiwa atau 11,07% dari total penduduk Jawa Barat yang berjumlah 43.021.826 jiwa, dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk selama 10 tahun terakhir (2000-2010) adalah 3,15%. Dilihat dari komposisinya, penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2011 terdiri dari 2.236.227 orang laki-laki dan 2.113.209 orang perempuan (BPS Kabupaten Bogor 2012).

Kondisi Fisik Wilayah

Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi yang bervariasi, dari dataran rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan, dengan klasifikasi keadaan morfologi sebagai berikut:

a. Dataran rendah (15-100 m dpl) sekitar 29,28%

b. Dataran bergelombang (100-500 m dpl) sekitar 42,62% c. Pegunungan (500-1.000 m dpl) sekitar 19,53%

d. Pegunungan tinggi (1.000-2.000 m dpl) sekitar 8,43% e. Puncak-puncak gunung (2.000-2.500 m dpl) sekitar 0,22%

Kabupaten Bogor dibentuk oleh batuan vulkanik yang bersifat piroklastik, yang berasal dari endapan (batuan sedimen) Gunung Pangrango (batuan breksi tufaan/) dan Gunung Salak (aluvium dan kipas aluvium). Endapan permukaan umumnya berupa aluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari

pelapukan endapan sehingga menghasilkan tanah yang relatif subur. Kabupaten Bogor didominasi oleh dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusun dari hasil letusan gunung, yaitu andesit, tufa, dan basalt. Gabungan batu tersebut bersifat lulus air dimana kemampuan meresapkan air tergolong besar sehingga rawan erosi dan longsor.

Kabupaten Bogor termasuk bagian hulu dari DAS Ciliwung dengan luas 14.860 ha dan terdiri dari 6 sub DAS, yaitu : (1) sub DAS Ciesek seluas 2.504,76 ha (16,86%) terletak di Kecamatan Megamendung dan Cisarua; (2) sub DAS Ciliwung Hulu seluas 5.885,78 ha (39,61%) terletak di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua; (3) sub DAS Cibogo seluas 1.375,40 ha (9,26%) terletak di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua; (4) sub DAS Cisarua seluas 2.218,92 ha (14,92%) terletak di Kecamatan Cisarua; (5) sub DAS Cisukabirus seluas 1.696,91 ha (11,42%) terletak di Kecamatan Ciawi dan Megamendung; (6) sub DAS Ciseuseupan seluas 1.178,23 ha (7,93%) terletak di Kecamatan Ciawi dan Megamendung

Iklim di Kabupaten Bogor menurut Schmidt dan Ferguson termasuk iklim tipe A (sangat basah) di bagian Selatan dan tipe B (basah) di bagian Utara. Curah hujan rata-rata 3,841 mm/th, dengan curah hujan minimum 2,325 mm/thn dan maksimum 5,279 mm/thn. Bulan basah terjadi pada bulan Oktober sampai Mei. Jumlah hari hujan rata-rata tahunan 245 hari. Suhu udara maksimum 31,24°C dan minimum 22,7°C, suhu udara rata-rata tahunan 25,7°C. Kelembaban nisbi rata- rata tahunan 84,1%, persentase penyinaran matahari rata-rata tahunan 60,11%, kecepatan angin sepanjang tahun rata-rata 2,1 km/jam.

Penggunaan lahan aktual pada tahun 2010 di Kabupaten Bogor (Tabel 8) terdiri atas permukiman, hutan, tubuh air, tambak/empang, ladang/tegalan, belukar/semak, kebun, rawa dan sawah (Gambar 5). Penggunaan lahan didominasi oleh sawah dengan luas 69.959 ha (22,89%), kebun seluas 64.399 ha (21,07%), dan semak belukar seluas 52.575 ha (17,20%), sementara hutan menempati posisi keempat dengan luas 41.501 ha (13,58%), selanjutnya pemukiman seluas 40.790 ha (13,35%), tubuh air seluas 2.489 ha (0,81%), rawa seluas 91 ha (0,03%) dan tambak seluas 21 ha (0,01%).

Tabel 8 Penggunaan lahan aktual Kabupaten Bogor Tahun 2010

No Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

1. Hutan 41.500,55 13,58 2. Kebun 64.398,76 21,07 3. Ladang/Tegalan 33.815,87 11,06 4. Permukiman 40.790,10 13,35 5. Rawa 91,49 0,03 6. Sawah 69.959,37 22,89 7. Semak/Belukar 52.575,49 17,20 8. Tambak/Empang 21,37 0,01 9. Tubuh Air 2.489,28 0,81 Jumlah 305.642,27 100,00

Gambar 5 Peta penggunaan lahan Kabupaten Bogor Tahun 2010

Kawasan Hutan di Kabupaten Bogor

Luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor adalah 74.521,16 ha (24,9%), kawasan hutan cenderung mengalami penurunan luas tutupan hutan. Berdasarkan citra landsat tahun 1999, diketahui kawasan yang bervegetasi hutan seluas 110.720,03 ha (37,05%), sedangkan seluas 188.118,27 ha (62,95%) merupakan kawasan hutan yang sudah tidak berhutan (beralih fungsi menjadi sawah, pemukiman, tegalan, tanah terbuka), semak dan belukar. Berdasarkan citra landsat tahun 2002, kawasan lindung yang berhutan hanya 60%, sedangkan daerah berhutan di hutan produksi tinggal 20% (Marisan 2006). Sebaran luas hutan berdasarkan fungsinya dapat dilihat pada Tabel 9.

Berdasarkan statusnya maka hutan di Kabupaten Bogor terdiri atas hutan konservasi, yaitu Taman Nasional (TN), Cagar Alam (CA) dan Taman Wisata Alam (TWA) serta hutan produksi. Pengelolaan hutan di Kabupaten Bogor dilakukan oleh 4 instansi, yaitu:

1. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)

Berdasarkan wilayah administrasi, TNGGP terletak di tiga kabupaten yaitu Bogor, Cianjur dan Sukabumi, taman nasional ini awalnya memiliki luas 15.196 ha, kemudian berdasarkan SK Menhut No 174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 diperluas menjadi 21.975 ha. Pengelolaan TNGGP dibagi dalam 3 (tiga) Bidang Wilayah Pengelolaan, yaitu : a. Bidang Wilayah I Cianjur (5.018,076 ha), b. Bidang Wilayah II Sukabumi (10.462,002 ha) dan c. Bidang Wilayah III Bogor (7.370,952 ha).

2. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

TNGHS memiliki luas 113.357 ha yang secara administratif berada dalam tiga kabupaten, yaitu Bogor (28.654 ha), Sukabumi dan Lebak. Wilayah kerja TNGHS terletak dalam 28 kecamatan, yaitu: 9 kecamatan di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 11 kecamatan di Kabupaten Lebak dengan jumlah desa di dalam kawasan sebanyak 108 desa.

3. Balai Konservasi Sumber Daya Hutan (BKSDA)

Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Bidang KSDA wilayah I Bogor merupakan Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan di bawah Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. BKSDA bertanggung jawab mengelola Kawasan Suaka Alam (KSA) di Kabupaten Bogor, yaitu meliputi :

a. Cagar Alam Yan Lappa

Kawasan Hutan Yan Lapa ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 137/Kpts/Um/3/1956 seluas 32 ha. Hutan ini termasuk Tabel 9 Luasan kawasan hutan di Kabupaten Bogor berdasarkan fungsinya

No Hutan Luas (ha) (%) Fungsi Pengelola

1. TNGGP 7.370,95 9,89 Hutan Konservasi Taman Nasional

2. TNGHS 28,65 38,45 Hutan Konservasi Taman Nasional

3. TWA. Gunung Pancar 447,50 0,60 Hutan Konservasi BKSDA

4. TWA. Telaga Warna 4,60 0,01 Hutan Konservasi BKSDA

5. CA.Telaga Warna 487,86 0,65 Hutan Konservasi BKSDA

6. CA. Dungus Iwul 9,10 0,01 Hutan Konservasi BKSDA

7. CA.Yan Lapa 35,26 0,05 Hutan Konservasi BKSDA

8. CA. Arca Domas 2,00 0,00 Hutan Konservasi BKSDA

9. Hutan Produksi 20.057,38 26,92 Hutan Produksi Perhutani

10 Hutan Produksi Terbatas 17.452,16 23,42 Hutan Produksi Perhutani

Luas Hutan 74.521,16 100

dalam wilayah Desa Hanjeur, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Berada pada ketinggian 1.350 m dpl dengan topografi yang relatif datar.

b. Cagar Alam Dungus Iwul

Kawasan hutan Dungul Iwul ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan GB tanggal 21-3-1931 No. 23 srbl 99, seluas 9 ha. CA Dungus Iwul terletak di Desa Cigeulung Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor,.

c. Taman Wisata Alam Gunung Pancar

TWA Gunung Pancar sebagai salah satu kawasan pelestarian alam ditetapkan berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 156/Kpts-II/1988 tanggal 21 Maret 1988 seluas 447,5 ha. TWA Gunung Pancar berfungsi sebagai sarana pendidikan dan penelitian serta sebagai sarana rekreasi alam. Secara administrasi TWA Gunung Pancar terletak di Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, secara astronomis berada pada koordinat 106o52’-106o54’ BT dan 06o34’- 06o39’ LS dengan ketinggian berkisar antara 300-800 m dpl.

d. Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Telaga Warna

Kawasan hutan Telaga Warna awalnya ditetapkan sebagai Cagar Alam seluas 268,25 ha, berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 481/Kpts/Um/6/1981 sebagian areal yang meliputi sebuah telaga berubah fungsi menjadi TWA seluas 5 ha, sedangkan 134,74 ha tetap berupa CA. Telaga warna secara administratif berada di Desa Tugu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Keadaan topografi CA/TWA Telaga warna bergelombang dengan ketinggian ±1.400 mdpl. Tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, hutan sub-montana dan hutan montana. 4. Perhutani

Pengelolaan hutan produksi di Kabupaten Bogor berada di bawah Perhutani dan dilaksanakan oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor yang meliputi 3 (tiga) wilayah administratif, yaitu Kabupaten Bogor, Tanggerang dan Bekasi dengan luas total berdasarkan berita acara tata batas adalah 90.856,45 ha, akan tetapi dengan adanya perluasan TNGHS dan TNGGP, maka luasan total KPH Bogor hanya 49.342,59 ha dengan 37.509,89 ha berada di Kabupaten Bogor.

Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor memiliki posisi yang strategis dalam pengembangan wilayah Kabupaten Bogor maupun Provinsi Jawa Barat, yaitu:

1. Kabupaten Bogor termasuk Kawasan Jabodetabekpunjur yang ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang berfungsi sebagai pusat pengembangan kegiatan perekonomian wilayah dan nasional sekaligus kawasan konservasi air dan tanah serta keanekaragaman hayati yang dapat menjamin kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.

2. Kabupaten Bogor dilintasi jalan tol Jagorawi yang menghubungkan Kabupaten Bogor dengan DKI Jakarta, jalur Ciawi-Puncak merupakan salah satu yang padat karena merupakan tempat tujuan wisata.

3. Kabupaten Bogor merupakan salah satu hinterland kota DKI Jakarta sehingga dipandang strategis bagi investasi.

Pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor mengacu pada Perda Kabupaten Bogor Nomor 19 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku sampai tahun 2025. RTRW Kabupaten Bogor memiliki fungsi strategis bagi Metropolitan Jabotabek,

yaitu sebagai : (1) pengembangan permukiman perkotaan, (2) konservasi air, dan (3) pengembangan pertanian khususnya hortikultura.

Pola pemanfaatan ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 mencakup pemanfaatan kawasan lindung sebesar 44,69% (133.548,41 ha), terdiri dari kawasan yang berfungsi lindung baik di dalam dan di luar kawasan hutan, serta kawasan budidaya sebesar 55,31% (165.289,90 ha). Kawasan lindung penyebar di sebelah Selatan sepanjang perbatasan Kabupaten Bogor karena memiliki hutan yang cukup lebat, topografi yang bergelombang, serta elevasi dan curah hujan yang tinggi, sedangkan arahan pemanfaatan ruang sebagai kawasan hutan lindung (Gunung Halimun-Salak dan Gunung Gede-Pangrango) pada bagian Timur dan Barat.

Berdasarkan peta RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 yang disajikan pada Gambar 6, peruntukan penggunaan lahan dibagi menjadi kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kawasan lindung mencakup hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (dipengaruhi oleh kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan), kebun, pertanian lahan kering, ladang/tegalan, danau dan waduk, sedangkan kawasan budidaya terdiri dari pertanian lahan basah, tanaman tahunan, industri, perumahan hunian padat, hunian sedang, dan hunian rendah. Luas peruntukan lahan di Kabupaten Bogor menurut RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 disajikan pada Tabel 10.

Hasil analisis peta RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 menunjukan bahwa kawasan lindung dan kawasan budidaya memiliki proporsi luas wilayah yang jauh berbeda, kawasan budidaya memiliki luas yang lebih besar, yaitu sebesar 247.276,50 ha (82,66%), sedangkan kawasan lindung seluas 51.868,06 ha (17,34%). Peruntukan lahan terbesar untuk kawasan budidaya adalah untuk kawasan pemukiman baik di perkotaan dan perdesaan, yaitu 107.229,44 ha (35,85%), terdiri dari kawasan pemukiman pedesaan hunian jarang dan rendah, serta kawasan pemukiman perkotaan hunian padat, rendah dan sedang. Untuk kawasan lindung, peruntukan lahan terbesar adalah untuk kawasan hutan konservasi yaitu 42.387,5 ha (14,17%). Luas kawasan hutan menurut Tabel 10 Luas peruntukan lahan dalam RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025

No Pola Ruang Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

1.

Kawasan Lindung

Danau 212,08 0,07

2. Waduk 703,48 0,24

3. Kawasan Hutan Konservasi 42.387,5 14,17

4. Kawasan Hutan Lindung 8.565 2,86

Luas Kawasan Lindung 51.868,06 17,34

5. Kawasan Hutan Produksi 20.033,05 6,70

6. Kawasan Hutan Produksi Terbatas 15.154,20 5,07

7. 8. 9.

Kawasan Budidaya

Kawasan Pertanian Lahan Kering Kawasan Perkebunan Kawasan Industri 23.439,89 9.811,64 1.858,44 7,84 3,28 0,62

10. Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) 9.118,65 3,05

11. Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) 20.971,94 7,01

12. Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat) 37.607,44 12,57

13. Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) 11.895,47 3,98

14. Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) 27.635,94 9,24

15. Kawasan Pertanian Lahan Basah 39.782,17 13,30

16. Kawasan Tanaman Tahunan 26.749,72 8,94

17. Zona Industri 3.218,06 1,08

Luas Kawasan Budidaya 247.276,50 82,66

RTRW Kabupaten sebesar 86.139,75 ha (28,80%) yang terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi dan hutan produksi terbatas.

Menurut RTRW Kabupaten Bogor, kawasan yang berfungsi lindung dalam kawasan hutan, terdiri dari Hutan Konservasi sebesar 14,17% (42.387,5 ha) dan Hutan Lindung sebesar 2,86% (8.565 ha) yang meliputi :

1. Kawasan hutan yang berfungsi lindung, terletak di sebagian : Kecamatan Sukamakmur, Pamijahan, Nanggung, Sukajaya, Jasinga dan Cigudeg.

2. Kawasan suaka alam, yaitu Cagar Alam Arca Domas di Kecamatan Megamendung, Cagar Alam Dungus Iwul di Kecamatan Jasinga, dan Cagar Alam Yanlapa di Kecamatan Jasinga.

3. Kawasan pelestarian alam, meliputi :

a. Taman Nasional Gunung Halimun Salak, terletak di sebagian wilayah Kecamatan Leuwiliang, Nanggung, Sukajaya, Cigombong, Cijeruk, Tamansari, Tenjolaya, dan Pamijahan.

b. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, terletak di sebagian wilayah Kecamatan Cisarua, Megamendung, Ciawi, Caringin, dan Cigombong.

4. Kawasan Taman Wisata Alam (TWA), meliputi : TWA Gunung Pancar di Kecamatan Babakan Madang dan TWA Telaga Warna di Kecamatan Cisarua.

Kawasan budidaya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu kawasan budidaya di dalam kawasan hutan dan kawasan budidaya di luar kawasan hutan, meliputi :

1. Hutan Produksi Terbatas yang terletak di Kecamatan Jasinga, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung, Citeureup, Babakanmadang, Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur dan Tanjungsari.

2. Hutan Produksi Tetap yang terletak di Kecamatan Tenjo, Parungpanjang, Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Jasinga, Nanggung, Leuwisadeng, Leuwiliang, Cibungbulang, Ciampea, Klapanunggal, Babakanmadang, Megamendung, Cisarua, Cariu, Tanjungsari dan Sukamakmur.

Permasalahan Tata Ruang Sektor Kehutanan di Kabupaten Bogor Inkonsistensi Penggunaan Lahan Aktual terhadap RTRW Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang mengalami alih fungsi lahan cukup tinggi. Bappeda Kabupaten Bogor (2007) menyatakan selama kurun waktu 1998 sampai 2003 telah terjadi peningkatan luas permukiman sebesar 4.197 ha, tanah kosong seluas 16.703 ha dan kebun campuran seluas 28.973 ha, hal ini diiringi oleh penurunan luas sawah irigasi sebesar 12.367 ha, sawah tadah hujan sebesar 3.401 ha, perkebunan sebesar 2.071 ha, hutan sebesar 2.312 ha dan badan air sebesar 707 ha. Kawasan Puncak sebagai bagian dari DAS Ciliwung Hulu telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis

Nasional (KSN) dan diperuntukan sebagai kawasan lindung, namun kenyataannya

selama periode 2001-2010 telah terjadi penurunan luas hutan sebesar 1.531,38 ha, sawah sebesar 934,26 ha dan tegalan sebesar 110,55 ha. Penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas adalah semak belukar sebesar 624,98 ha, kebun campuran sebesar 682,32 ha, pemukiman sebesar 283,25 ha dan lahan terbuka sebesar 23,75 ha (Oktaviana 2012). Adanya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang mengindikasikan rendahnya rasa memiliki masyarakat terhadap RTRW, dimana salah satu penyebabnya adalah kurangnya partisipasi dalam penyusunan kebijakan tata ruang.

Inkonsistensi tata ruang merupakan bentuk ketidaksesuaian antara pemanfaatan ruang dengan peruntukan tata ruang (Afifah 2010). Salah satu penyebab inkonsistensi RTRW di Kabupaten Bogor yaitu karena RTRW Kabupaten Bogor belum menjadi pedoman dalam pembangunan dan pengembangan wilayah, maupun dalam pemberian perizinan pemanfaatan ruang. Inkonsistensi RTRW di Kabupaten Bogor dianalisis melalui proses overlay antara peta tutupan lahan Kabupaten Bogor Tahun 2010 dengan peta RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 dan mengacu pada matrik logik inkonsistensi yang disusun oleh Lembaga Penelitian IPB maka diperoleh peta inkonsistensi tata ruang di Kabupaten Bogor yang tersaji pada Gambar 7.

#

Hasil analisis menunjukkan penggunaan lahan yang konsisten terhadap RTRW Kabupaten Bogor yaitu seluas 245.261,50 ha (80,24%), sedangkan penyimpangan penggunaan lahan seluas 60.380,77 ha (19,76%). Ditemukan 31 kombinasi inkonsistensi penggunaan lahan dengan luas inkonsistensi terbesar pada peruntukan hutan konservasi, yaitu seluas 19.852,99 ha (32,88% dari luas total inkonsistensi) atau 6,50% dari luas total Kabupaten Bogor. Inkonsistensi terbesar kedua terjadi pada peruntukan hutan produksi seluas 16.289,14 ha (26,98% dari total luas inkonsistensi) atau 5,33% dari luas total Kabupaten Bogor, selanjutnya yaitu pada peruntukan hutan produksi terbatas seluas 13.297,82 ha (22,02% dari total luas inkonsistensi) atau 4,35% dari luas total Kabupaten Bogor. Secara umum inkonsistensi tata ruang di Kabupaten Bogor didominasi oleh semak belukar yaitu seluas 30.838,58 ha atau 51,07% dari total luas inkonsistensi penggunaan lahan. Perubahan tutupan lahan menjadi semak belukar umumnya terjadi pada bekas pembukaan hutan lahan kering yang dikonversi menjadi ladang/kebun dan lahan pertanian yang sudah tidak digarap dan mengalami suksesi primer. Inkonsistensi penggunaan lahan dalam bentuk semak belukar tidak secara mutlak dikategorikan sebagai inkonsisten, karena masih memungkinkan dilakukan reforestasi. Luas inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor Tahun 2010 disajikan pada Tabel 11.

Alih fungsi lahan di Kabupaten Bogor dominan terjadi pada kawasan hutan baik konservasi, lindung maupun produksi. Luas inkosistensi RTRW di kawasan hutan yaitu seluas 52.411,68 ha setara dengan 86,80% dari luas total inkonsistensi tata ruang di Kabupaten Bogor atau 17,15% dari luas Kabupaten Bogor. Dalam RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, luas hutan konservasi ditetapkan seluas 42.387,5 ha. Salah satu faktor penyebab tingginya alih fungsi lahan di Kabupaten Bogor adalah tingginya laju pertumbuhan rata-rata berdasarkan kelahiran maupun migrasi yaitu sebesar 3,15%/tahun, sehingga menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan kawasan lindung menjadi non lindung.

Inkonsistensi juga disebabkan karena RTRW Kabupaten Bogor tidak dijadikan acuan dalam perencanaan dan pengembangan wilayah, contohnya yaitu kasus tata ruang di Desa Megamendung yang pada peta RTRW Kabupaten Bogor diperuntukan bagi kawasan lindung, tetapi karena tingginya kepadatan penduduk yaitu sebesar 22,82 jiwa/Km2 (BPS Kabupaten Bogor 2012) sehingga dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat maka pembangunan wilayah di desa ini cukup tinggi, khususnya pembangunan pemukiman dan perkebunan.

Hasil analisis terhadap inkonsistensi RTRW di kawasan Taman Nasional menunjukkan adanya inkonsistensi antara RTRW dengan penggunaan lahan Tabel 11 Luas inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor Tahun 2010

No Penggunaan Lahan menurut RTRW

Penggunaan Lahan Aktual Tahun 2010 (ha) Luas Bogor (%) Kebun Ladang/ Tegalan Permuki man

Sawah Semak Total

1. Danau 35,8 29,14 20,62 14,26 12,47 112,29 0,04

2. Hutan Konservasi 3.890,02 1.030,39 209 2.432,35 12.291,23 19.852,99 6,49 3. Hutan Lindung 1.280,40 520,64 107 153,56 910.14 2.971,74 0,97 4. Hutan Produksi 3.237,02 1.993,89 678,43 3.393,02 6.986,78 16.289,14 5,32 5. Hutan Produksi Terbatas 1.727,41 1.800,77 394,78 2.127,94 7.246,92 13.297,82 4,35 6. Pertanian Lahan Basah - - 3.887,26 - 3.268,86 7.56,12 2,34

7. Waduk 132,32 - 19,14 427,06 122,18 700,7 0,23

Jumlah 10.302,97 5.374,83 5.316,23 8.548,19 30.838,58 60.380,77 19,76 Keterangan : :tidak ada bentuk inkonsistensi

aktual di TNGGP seluas 2.105,52 ha (28,57% dari luas TNGGP di Kabupaten Bogor), setara dengan 4,96% dari luas hutan konservasi yang ditetapkan dalam RTRW dan 0,69% dari luas Kabupaten Bogor. Pada kawasan TNGHS terjadi inkonsistensi antara RTRW dengan penggunaan lahan aktual seluas 15.574,77 ha (44% dari luas TNGHS di Kabupaten Bogor), setara dengan 36,74% dari luas hutan konservasi yang ditetapkan dalam RTRW dan 5,78% dari luas total Kabupaten Bogor. Inkonsistensi RTRW Kabupaten Bogor dengan penggunaan lahan aktual di TNGGP dan TNGHS dapat dilihat pada Tabel 12.

Alih fungsi lahan merupakan sebuah konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan tersebut tercermin dari: (1) adanya pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam karena meningkatnya permintaan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan perkapita, dan (2) adanya pergeseran kontribusi sektor pembangunan dari sektor primer (pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke sektor sekunder (industri manufaktur dan jasa) (Rustiadi 2001).

Konflik Tata Ruang di Kawasan Taman Nasional a. Latar Belakang

1. Taman Nasional Gunung Gede pangrango (TNGGP)

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003, kawasan TNGGP yang semula memiliki luas 15.196 ha kemudian diperluas menjadi 21.975 ha. TNGGP terletak di tiga wilayah yaitu Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Perluasan kawasan dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa secara geografis kawasan TNGGP terletak di tiga kabupaten yang sedang berkembang Tabel 12 Perbandingan inkonsistensi RTRW Kabupaten Bogor dengan

penggunaan lahan aktual di TNGGP dan TNGHS

Kawasan Hutan Konservasi (sesuai RTRW)

Penggunaan Lahan Aktual Kabupaten Bogor Tahun 2010 (ha) Persentase

terhadap RTRW Kebun Ladang/ Tegalan Permu kiman Sawah Semak/ Belukar Total Inkonsistensi TNGGP 1. Caringin 70,10 229,92 3,40 13,36 291,72 608,49 1,44 2. Ciawi 96,22 29,30 1,44 0.20 215.51 342,66 0,81 3. Cigombong 88,18 57,78 1,53 18.77 366.51 532,78 1,26 4. Cisarua 129,20 34,44 11,07 - 75.13 249,84 0,59 5. Megamendung 258,31 39,87 10,63 9.84 50.11 368,76 0,87 Jumlah 642,01 391,31 28,07 42,16 998,97 2.102,52 4,96 Inkonsistensi TNGHS 1.Leuwiliang 1.168,41 118,73 38,47 419,53 1.150,46 2.895,59 6,83 2.Nanggung 856,75 42,37 58,91 851,30 2.063,77 3.873,12 9,14 3.Pamijahan 709,48 218,93 32,18 151,28 2.025,39 3.137,27 7,40 4.Sukajaya 292,04 50,12 32,95 780,53 3.774,38 4.930,02 11,63 5.Tamansari 33,43 3,25 0,13 - 41,11 77,92 0,18 6.Tenjolaya 73,00 20,82 0,12 7,57 391,28 492,79 1,16 7.Cijeruk 18,31 32,54 - - 117,21 168,06 0,40 Jumlah 3.151,42 486,78 162,75 2.210,21 9.563,61 15.574,77 36,74 Jumlah Inkonsistensi TN 3.793,43 878,09 190,82 2.252,37 10.562,59 17.677,30 41,70

dan juga berdekatan dengan ibu kota Negara dan ibu kota Propinsi Jawa Barat yang secara otomatis akan sangat mudah diakses oleh masyarakat. Dengan meningkatnya jumlah penduduk maka berdampak pada peningkatan kerusakan hutan di sekitar kawasan TNGGP, karena itu salah satu tujuan perluasan kawasan TNGGP adalah untuk melindungi dan melestarikan kawasan hutan TNGHS.

Area perluasan taman nasional merupakan kawasan eks Perhutani, dimana masyarakat diijinkan melakukan penggarapan lahan dengan cara tumpang sari melalui kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Perluasan kawasan TNGGP menyebabkan perubahan fungsi dari hutan produksi menjadi hutan konservasi yang berdampak terhadap perubahan aturan, masyarakat tidak diijinkan memasukin hutan konservasi dan tidak boleh ada penambahan atau pengurangan ekosistem. Rendahnya tingkat kepemilikan lahan menyebabkan tingginya kebutuhan akan lahan pertanian di kawasan penyangga TNGGP, dengan tidak diperkenankannya masyarakat menggarap lahan secara tumpang sari maka menyebabkan terjadinya konflik antara TNGGP dengan masyarakat.

2. Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, Taman Nasional Gunung Halimun yang semula luasnya 40.000 ha diperluas menjadi 113.357 Ha dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang terletak dalam tiga kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi dan Lebak. Keputusan perluasan kawasan didasari pertimbangan bahwa kawasan hutan di Gunung Halimun dan Salak merupakan kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi serta sumber mata air sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan. Perluasan kawasan juga bertujuan merehabilitasi kawasan hutan di sekitar TNGHS pasca pengelolaan oleh Perhutani.

Perluasan kawasan TNGHS menimbulkan penolakan dari masyarakat adat yang mengklaim telah mengelola lahan di dalam kawasan hutan sejak tahun 1910. Sekitar 524,57 ha kawasan hutan yang ditunjuk dalam perluasan taman nasional telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai lahan garapan, dengan alasan minimnya penguasaan lahan milik/garapan serta adanya budaya peladangan berpindah, sehingga mendorong masyarakat untuk memanfaatkan hutan taman nasional sebagai lahan garapan dan pemukiman.

b. Kelompok yang Terlibat dalam Konflik Tata Ruang di Taman Nasional

Konflik tata ruang di TNGGP dan TNGHS bersifat vertikal, yaitu antara pemerintah dengan masyarakat baik adat maupun lokal. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik yaitu Kementerian Kehutanan yang diwakili oleh Balai TNGHS dan TNGGP dengan masyarakat adat atau masyarakat setempat yang lebih dulu tinggal dalam kawasan hutan sebelum ditetapkan menjadi kawasan konservasi.

c. Faktor-Faktor dalam Konflik Tata Ruang di Taman Nasional

Konflik dengan masyarakat di sekitar hutan terjadi karena pembangunan