• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

3. Konflik Politik

xxx v

Tidak ada masyarakat yang terbebas dari konflik. Kita tidak dapat menghilangkan konflik, yang bisa dilakukan hanya mengurangi jumlah konflik dan mencegah semakin mendalam dan meluasnya suatu konflik. Keberadaan konflik yang selalu terjadi dalam masyarakat bersumber dari hubungan sosial (social relation) yang merupakan hakekat suatu masyarakat (Maswadi Rauf, 1992: 77).

Ralf Dahrendorf (1986: 197) menerangkan tiap masyarakat selalu berubah, dan memperlihatkan pertentangan dan konflik dibanyak bidang. Unsur-unsur dalam masyarakat sendiri yang menyumbang disintegrasi dan perubahan. Kemudian berdirinya suatu masyarakat disebabkan paksaan segelintir anggota masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya.

Salah satu bentuk konflik sosial dalam masyarakat adalah konflik politik. Konflik politik dapat dikelompokkan ke dalam konflik sosial karena terjadi dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya hubungan sosial yang cukup intensif. Konflik politik dapat menimbulkan disintegrasi nasional seperti halnya konflik sosial, malah berdampak langsung bagi disintegrasi nasional jika konflik politik menjadi berlarut-larut tanpa penyelesaian yang pasti (Maswadi Rauf, 1992: 80).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 587), konflik berarti percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Soerjono Soekanto (1982: 89) mendefinisikan konflik sebagai suatu proses dimana orang-perorangan atau kelompok manusia untuk memenuhi tujuannya.

Maswadi Rauf (2002: 2) mengartikan konflik sebagai setiap pertentangan atau perbedaan antara paling tidak dua orang atau kelompok. Lewis A. Coser dalam Veeger (1990: 211) menerangkan konflik sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang jumlahnya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya ingin memperoleh barang yang ia inginkan namun juga berusaha memojokkan lawan-lawannya.

Konflik politik sendiri ialah setiap konflik yang berkaitan dengan kebijakan yang dibuat penguasa politik dan jabatan yang diduduki oleh penguasa politik, termasuk kepentingan penguasa politik (Maswadi Rauf, 2001: 22).

xxx vi

Ramlan Surbakti dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995: 244) mendefinisikan konflik politik sebagai perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan dalam usaha mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber keputusan yang akan dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Konflik antara dua orang karena perbedaan pendapat tidak selalu menyangkut politik. Konflik bisa menyangkut politik jika perbedaan yang ada melibatkan lembaga politik.

Kesimpulannya, konflik politik merupakan persaingan, pertentangan dan perbedaan pendapat yang melibatkan penguasa politik. Umumnya, masalah yang dipertentangkan berkaitan dengan kebijakan yang akan dan sedang dilaksanakan pemerintah.

b. Macam-Macam Konflik

Ramlan Sur bakti (1992: 149) membagi konflik dalam dua bentuk yaitu: 1). Konflik berwujud kekerasan, umumnya terjadi dalam masyarakat atau negara yang belum memiliki konsensus mengenai dasar dan tujuan negara dan mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang melembaga. Misalnya: huru-hara, pemogokan, pengajuan petisi, pembangkangan sipil dan dialog;

2). Konflik yang tidak berwujud kekerasan, kerap terjadi di negara atau masyarakat yang memiliki konsensus mengenai dasar dan tujuan negara, dan memiliki mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang melembaga. Misalnya: demonstrasi, pemogokan, pengajuan petisi, pembangkangan sipil dan dialog.

Kedua konflik di atas termasuk konflik yang bisa diselesaikan lewat kompromi atau kerjasama antara kedua belah pihak yang saling menguntungkan meskipun hasilnya tidak optimal.

Menurut Paul Conn dalam Ramlan Surbakti (1992: 144), jenis konflik yaitu:

1). Zero-sum Conflict: konflik yang bersifat antagonis dan tidak mungkin diadakan kerjasama atau kompromi diantara pihak yang berkonflik; 2). Non Zero-sum Conflict: konflik yang dapat diselesaikan baik itu

dengan kompromi maupun kerjasama yang menguntungkan kedua pihak, meskipun hasilnya tidak optimal.

xxx vii

Ted Robert Gurr yang dikutip Maswadi Rauf (2001: 7) menjelaskan ciri-ciri konflik ialah:

1). Terdapat dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik; 2). Sikap permusuhan masing-masing pihak yang berkonflik;

3). Adanya penggunaan kekerasan untuk menghancurkan, melukai atau menghambat lawan;

4). Interaksi pihak-pihak yang bertikai bersifat terbuka sehingga dengan pengamat independen mudah mendeteksi adanya konflik.

Sementara Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan Tangdililing (1992: 83), mengungkapkan beberapa ciri konflik politik yaitu:

1). Perbedaan besar diantara masyarakat mengenai obyek politik; 2). Polarisasi yang lebih jelas dalam masyarakat;

3). Keterlibatan penguasa politik dalam konflik. d. Pemicu Konflik Politik

Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan Tangdililing (1992: 81) menyatakan konflik politik dapat terjadi karena perbedaan pandangan tentang penguasa politik, sumber-sumber kekuasaan politik yang dimiliki penguasa politik dan mengenai keputusan politik.

Menurut O’Brien, Scharg dan Martin yang dikutip Astrid S. Soesanto (1983: 104), konflik sering terjadi karena:

1). Ketidaksepahaman dalam anggota kelompok mengenai tujuan masyarakat yang semula menjadi pegangan kelompok;

2). Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat dalam mencapai tujuan yang disepakati;

3). Norma-norma kelompok yang dihayati oleh para anggotanya bertentangan satu sama lain;

4). Sanksi dalam norma melemah dan tidak konsekuen dijalankan; 5). Tindakan anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma

kelompok.

Menurut Soerjono Soekanto (1982: 94), yang menjadi penyebab konflik adalah perbedaan antara individu-individu atau kelompok-kelompok, kebudayaan, kepentingan dan sosial.

Maurice Duverger (2003: 159) mengungkapkan bahwa konflik berasal dari antagonisme politik yaitu:

xxx viii 1). Sebab-sebab individual:

a). bakat-bakat individual: dimana ada manusia yang memiliki bakat alami lebih dari manusia yang lain dan cenderung berada di atas angin, untuk menjamin kekuasaan;

b). sebab-sebab psikologis: perbedaan dalam kecenderungan psikologis dimana individu-individu tertentu cenderung mematuhi individu lain. Sebaliknya, ada individu yang cenderung menguasai yang lain.

Kedua hal di atas bukan merupakan dua alasan berbeda dari antagonisme politik namun merupakan dua aspek dari antagonisme politik menuju ke konflik.

2). Sebab-sebab kolektif (Maurice Duverger, 2003: 188), yaitu perjuangan kelas, konflik rasial dan konflik antar kelompok horizontal.

Ralf Dahrendorf dalam Veeger (1990: 214) menyatakan masyarakat terdiri dari penguasa dan orang yang dikuasai. Dualisme ini mengakibatkan kepentingan-kepentingan yang berbeda dan bisa saja saling berlawanan. Lalu, perbedaan tersebut dapat memunculkan kelompok-kelompok yang berbenturan.

Dahrendorf melanjutkan bahwa situasi konflik dalam masyarakat, secara mudah bisa dipahami jika dilihat sebagai konflik mengenai keabsahan wewenang penguasa. Penguasa berusaha mempertahankan kepentingannya, agar keabsahan kedudukannya makin kokoh. Mereka akan mencurigai dan menghambat oposisi, dimana oposisi sering disamakan dengan aksi subversi. Sebaliknya, pihak yang dikuasai yang memiliki perbedaan dengan penguasa, akan mempermasalahkan setiap penyimpangan wewenang yang ada (Veeger, 1990: 216).

Akar konflik di Indonesia pasca kemerdekaan adalah perbedaan pandangan dan kepentingan mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perbedaan tersebut terjadi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok diluar pemerintah. Pertentangan yang muncul sering kali berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang umumnya mendapat perhatian dari masyarakat.

e. Dampak Konflik

Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan A.B. Tangdiling (1992 : 79) menyatakan dampak munculnya konflik adalah hancurnya kehidupan bermasyarakat yang terkena konflik. Bahkan hubungan sosial yang buruk itu dapat memunculkan disintegrasi politik.

Soerjono Soekanto (1982: 98) menyebutkan bahwa dampak konflik yang berkembang dalam masyarakat, yaitu:

1). Bertambahnya solidaritas in-group karena terdapat persinggungan dengan kelompok lain;

xxx ix

2). Apabila pertentangan terjadi dalam satu kelompok maka yang terjadi adalah retaknya persatuan kelompok;

3). Perubahan kepribadian orang-perorangan;

4). Hancurmya harta benda dan jatuhnya korban jiwa; 5). Akomodasi, dominasi dan takluknya salah satu pihak.

Lewis A. Coser menyebutkan bahwa dampak konflik tidak selalu bersifat negatif. Justru konfliklah yang memberikan banyak kepada keberlangsungan kelompok dan mempererat hubungan antar anggota kelompok. Adanya musuh bersama akan membuat integrasi kedalam kelompok, menghasilkan solidaritas dan keterlibatan, dan membuat anggota-anggota kelompok melupakan perselisihan intern diantara mereka sendiri (Veeger, 1990: 212).

f. Penyelesaian Konflik

Konflik memang gejala alami dan tidak bisa dihindari dalam kehidupan sosial namun bisa dikurangi. Keinginan mengakhiri konflik bisa karena rasa lelah atau bosan para pelaku dan keinginan untuk mencurahkan tenaga ke hal-hal lain.

Simmel dalam Doyle Paul Johnson (1986: 273) mengemukakan cara mengakhiri konflik yaitu menghilangkan dasar dari tindakan-tindakan pihak yang berkonflik, kemenangan salah satu pihak dan kekalahan pihak lain, kompromi, perdamaian dan ketidakmungkinan untuk berdamai.

Beberapa cara yang sering dipakai untuk mengakhiri konflik (Hendropuspito, 1989: 250) yaitu:

1). Conciliato: mempertemukan pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan bersama untuk berdamai;

2). Mediasi: menyelesaikan konflik lewat jasa perantara atau mediator. Mediator umumnya memiliki wewenang untuk memberikan keputusan yang mengikat;

3). Arbitrasi: menyelesaikan konflik lewat pengadilan dengan hakim sebagai pembuat keputusan. Keputusan dari arbiter atau hakim mengikat dan harus ditaati kedua belah pihak;

4). Coercion: menyelesaikan konflik dengan mengunakan paksaan fisik atau psikologis.

5). Detente: mengurangi ketegangan diantara pihak yang bertikai. Cara ini merupakan persiapan untuk melakukan pendekatan dalam rangka pembicaraan mengenai langkah-langkah perdamaian.

Sedangkan Maswadi Rauf (2001: 10) memberikan dua cara penyelesaian konflik politik, yaitu cara persuasif untuk mencari titik temu diantara pihak-pihak yang berkonflik dan cara koersif dengan menggunakan kekerasan fisik untuk

xl

menghilangkan perbedaan dari pihak-pihak yang berkonflik. Maswadi Rauf (2001: 35) menambahkan bahwa konsensus politik bisa diperoleh lewat pemilihan umum, musyawarah dan pemungutan suara.

Astrid S. Susanto (1983: 103) menyatakan proses integrasi juga merupakan proses konflik (fase disorganisasi dan disintegrasi). Fase-fase dalam integrasi yaitu akomodasi, koperasi, koordinasi dan asimilasi.

4. Subversi

Dokumen terkait