• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

BAB IV PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

1. Latar Belakang Terbentuknya Pemerintahan Sjahrir a. Situasi Indonesia Sebelum Terbentuknya Pemerintahan Sjahrir

lx

Pemerintah Indonesia dibawah Presiden Sukarno mengambil langkah menghindari konfrontasi senjata dengan Inggris yang mewakili Sekutu saat tiba di Indonesia dan dengan Jepang yang masih di Indonesia. Kedatangan Sekutu justru meningkat ketegangan di Indonesia. Kriminalitas meningkat dan menjadi hal yang biasa terjadi diantara interniran, Sekutu dan orang Indonesia. Aksi penculikan, pembunuhan dan penyerobotan menimpa mereka yang dianggap mementingkan diri sendiri atau dicurigai berpihak pada lawan. Ledakan kekerasan tak jarang meletus di berbagai tempat (Nasution, 1977: 7). Ketidakpuasan lain menyangkut hubungan baik Pemerintah presidensiil dengan Jepang dan sikap lunak saat Presiden Sukarno saat berpidato di Ikada (Anderson, 1988: 198).

Para pemuda tidak menyukai kebijakan diatas. Berbagai perlawanan terhadap Sekutu dan juga Jepang terjadi di berbagai wilayah namun kebanyakan tidak menemui hasil. Di Jakarta, para pemuda masih bisa dikontrol Pemerintah. Kota Bandung, Semarang dan Surabaya dikuasai Sekutu lewat pertempuran besar. Wilayah lainnya seperti Kupang, Banjarmasin, Makasar, Manado jatuh ke tangan Sekutu sepanjang bulan September hingga pertengahan Oktober 1945. Pemerintahan Indonesia di wilayah tersebut tidak mampu berbuat banyak (Reid, 1996: 76 dan 83).

Pada awal Oktober 1945 muncul semacam kesepakatan diantara pemuda yang sadar politik agar kelemahan yang mereka pandang dari Pemerintah harus dihentikan (Anderson, 1988: 198). Perkembangan berikutnya terjadi dengan cepat. PPKI berubah menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945 (Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 86). Presiden Sukarno menguraikan tugas KNIP yaitu menyatakan keinginan untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka, mempersatukan rakyat dari segala lapisan dan jabatan, supaya terpadu di segala tempat di seluruh Indonesia, persatuan kebagsaan yang bulat dan erat, membantu menentramkan rakyat dan turut menjaga keselamatan umum serta membantu memimpin dan menyelenggarakan cita-cita bangsa dan di daerah membantu Pemerintahan Daerah meningkatkan kesejahteraan umum (Anderson, 1988: 138).

Memasuki bulan Oktober 1945 sejumlah anggota KNIP tidak puas terhadap sistem presidensial. Mereka menginginkan sistem presidensiil menjadi parlementer. Dengan demikian, KNIP akan diserahi fungsi legislatif dan Pemerintahan akan bertanggung jawab pada KNIP. Dasar yang dipakai ialah Pasal 4 dalam Aturan Peralihan UUD 1945 yang dapat memberikan jalan bagi KNIP untuk berperan sebagai badan konstitusional. UUD 1945 secara nyata tidak berbau Jepang. Namun kekuasaan besar yang dimiliki Presiden akan dapat menimbulkan tuduhan bahwa Presiden dipengaruhi Jepang. Dengan adanya badan yang demokratis akan berguna untuk menghilangkan tuduhan tersebut dan mempercepat pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia.

Untuk itu, 50 anggota KNIP menandatangani petisi kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta agar KNIP diberi fungsi badan legislatif. Petisi tersebut diserahkan kepada Presiden Sukarno pada 7 Oktober 1945. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta menyetujui perubahan yang diusulkan KNIP. Keluarlah Maklumat Pemerintah No. X pada 16 Oktober 1945 (Kahin, 1995: 190; Anderson, 1988: 200). Menurut Maklumat Pemerintah No. X, KNIP diberi fungsi

lxi

legislatif sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat terbentuk serta akan bekerja sama dengan Presiden dalam menetapkan garis besar halauan negara. Isi Maklumat Pemerintah No. X lainnya yaitu pembentukan suatu Badan Pekerja (BP) untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNIP. BP KNIP akan bertanggung jawab kepada KNIP sendiri (Osman Raliby, 1953: 511; badilag.net).

Pada 17 Oktober 1945 KNIP kembali bersidang. KNIP memutuskan menyetujui dua resolusi dengan tujuan kedalam dan keluar. Selain itu dibentuk pula BP KNIP dimana Sutan Sjahrir terpilih menjadi ketua (Osman Raliby, 1953: 58; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 38).

Presiden Sukarno kemudian mengeluarkan Surat Keputusan mengenai peran BP KNIP untuk secara luas turut menentukan garis besar halauan negara namun tidak dalam usaha perinciannya karena merupakan hak tunggal presiden. Selain itu, BP KNIP bersama presiden menyusun hukum-hukum yang berkaitan dengan semua bidang pemerintahan. Hukum tersebut dijalankan pemerintah yaitu presiden dibantu para menteri dan para pembantu menteri (Kahin, 1995: 192).

Memasuki bulan November 1945, Pemerintah mengeluarkan Maklumat Politik tanggal 1 November 1945. Maklumat itu dipengaruhi sikap Sekutu yang menyatakan menghargai cita-cita Indonesia dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia (Engelen et al, 1997: 232). Maklumat tersebut antara lain berisi uraian pertikaian Indonesia dan Belanda. Untuk menyelesaikannya, Pemerintah mengusahakan agar Indonesia mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan dan pemerintahannya. Berkenaan dengan itu, hak milik asing tidak akan disita. Maklumat tersebut menjadi halauan politik pemerintahan selanjutnya (Osman Raliby, 1953: 525; Nasution, 1977: 119).

Selanjutnya, KNIP berusaha membuka kebebasan mendirikan partai-partai. Hal itu dilakukan agar demokrasi berkembang di Indonesia. Pada awalnya hanya terdapat satu partai di Indonesia yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI). Pembentukan PNI sebagai partai negara tersebut menimbulkan berbagai kritik (Nasution, 1977: 114). PNI dikecam karena kurang mewakili seluruh golongan. Para pemimpin Islam dan tokoh besar gerakan bawah tanah kurang terwakili dalam PNI. Sejumlah besar tokoh PNI dekat dengan Jepang sehingga PNI dianggap kesinambungan Jawa Hokokai dari masa Jepang. Keberadaan PNI dapat menimbulkan tumpang tindih dengan peran KNIP. Namun sejak dari awal berdirinya terdapat perbedaan diantara para tokoh PNI sendiri (Anderson, 1988: 114). Pada 31 Agustus 1945 Pemerintah mengeluarkan Maklumat yang membekukan pembentukan PNI karena pembentukan Komite Nasional lebih penting untuk didahulukan (Osman Raliby, 1953: 29; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 49).

Pada 30 Oktober 1945 BP KNIP mengusulkan sistem satu partai agar diganti dengan sistem multi partai untuk mencerminkan semua aliran politik penting di Indonesia (Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 104). Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta menyetujui usulan tersebut. Kemudian dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang antara lain berisi Pemerintah menyukai terbentuknya berbagai macam partai politik (Osman Raliby, 1953: 529; Nasution, 1977: 114). Keberadaan partai

lxii

meskipun belum berpengaruh penting karena pengakuan atas partai dan janji pemilihan umum menjadi dasar pembentukan pemerintahan yang bersifat parlementer (Anderson, 1988: 204). Partai-partai politik segera berdiri setelah pengumuman tersebut seperti Partai Sosialis (PS), Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Buruh Indonesia (PBI).

Di luar Jakarta, partai-partai telah dirintis pembentukannya sebelum Maklumat tanggal 3 November 1945. Malahan terbentuknya partai-partai tidak mematuhi keinginan tokoh pusatnya. Reaksi di daerah mengenai maklumat tersebut bukanlah pemberian hak mendirikan partai melainkan pengakuan atas kenyataan yang telah ada. Beberapa partai seperti Masyumi dan Partai Sosialis memang telah dirintis pembentukannya sebelum terjadi perubahan dalam KNIP. Kelahiran partai-partai lain hanya menunggu waktu saja.

b. Perkembangan Kekuatan Bersenjata di Indonesia

Kebijakan Pemerintah Sukarno yang penting adalah keputusan tidak membentuk organisasi tentara setelah pembubaran PETA (Pembela Tanah Air). Pembubaran PETA diputuskan pimpinan militer Jepang pada 17 Agustus 1945 karena Jepang tidak mungkin meneruskan PETA yang diciptakan untuk memerangi Sekutu. Perintah pembubaran PETA berlangsung lancar dimana para anggota PETA di daerah dilucuti dengan berbagi alasan. Kebanyakan PETA tidak melakukan perlawanan. Pembubaran PETA dipermudah dengan adanya Konferensi PETA se-Jawa sejak 14 Agustus. Pembubaran PETA juga disepakati dalam rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945. Keberadaan PETA dianggap tidak menguntungkan dimata Sekutu. Sebagai ganti PETA, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi bagian Badan Penolong Keluarga Korban Perang.

Namun tindakan pemerintah yang tidak membentuk tentara menyebabkan kebanyakan kalangan pemuda dan pejuang bersenjata beranggapan bahwa hal itu merupakan suatu kelambatan dan kesalahan besar pemerintah. Maksud didirikan BKR hanya untuk memelihara ketentraman setempat belaka yang sesuai dengan strategi diplomasi Sukarno-Hatta. Namun jelas kehadiran BKR tidak memuaskan kalangan pemuda dan pejuang bersenjata yang memiliki semangat bertarung dan kekuatan senjata. Disamping itu BKR baik di Pusat maupun di daerah tidak berada dibawah Presiden melainkan berada dibawah KNIP dan KNI Daerah (Jahja Muhaimin, 1971: 26; Anderson, 1988: 120).

Menjelang akhir September 1945 ternyata BKR menjadi kurang efektif. Oleh karena itu pada 5 Oktober 1945, Pemerintah mengeluarkan suatu maklumat pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Keesokan hari Suprijadi diangkat menjadi Menteri Keamanan Keamanan Rakyat. Pada 14 Oktober 1945 Pemerintah mengangkat bekas Mayor Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL), Oerip Soemohardjo menjadi Kepala Staf Umum (KSU) Angkatan Perang dengan tugas menyusun dan merencanakan pengembangan TKR.

Pada tanggal 9 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengeluarkan keputusan bahwa TKR sebagai organisasi yang membawahi BKR. Hal ini dimaksudkan agar tentara-tentara bekas PETA, Heiho, KNIL dan laskar-laskar serta barisan rakyat lainnya dapat lebih bersatu (Anderson, 1988: 261). Selain pengangkatan KSU, ditunjuk pula Suprijadi menjadi Menteri Pertahanan

lxii i

kemudian menjadi pemimpin tertinggi, kemudian disebut Menteri Keamanan Rakyat (Nasution, 1977: 213).

Meskipun telah ada pengumuman pembentukan TKR, terbentuknya tentara lebih merupakan inisiatif setempat. Disamping itu telah menjadi kebiasaan jika komandan tentara dipilih sendiri oleh para bawahannya. Apabila ada pengangkatan dari pemerintah pusat, belum tentu para bawahan mau menerima calon dari pusat. Demikian pula yang terjadi dengan pengangkatan Oerip Soemohardjo menjadi KSU TKR dimana para panglima di daerah tidak menyukai pengangkatan tersebut (Nasution, 1977: 277).

Pembubaran PETA ternyata berdampak dalam upaya membentuk tentara Indonesia yang padu dibawah wewenang pemerintahan sipil pusat. Ketika PETA dibubarkan, para mantan PETA kembali ke daerah masing-masing. Banyak dari mereka lalu mengumpulkan pemuda setempat entah sesama mantan PETA, Seinendan, organisasi pemuda yang bersifat kemiliteran atau berdasar kemampuan dan wibawa pribadi. Tentara Indonesia mulai terbentuk sejak itu namun sering tanpa tuntunan dari atas sehingga tentara cenderung mandiri dari Pemerintah (Anderson, 1988: 128).

KSU TKR Oerip Sumohardjo membentuk Markas Besar TKR di Yogyakarta. Setelah itu wilayah Jawa dibagi menjadi 10 Divisi dan Sumatera menjadi 6 Divisi. Pembagian tersebut dianggap terburu-buru sehingga kurang efisien. Struktur Markas TKR pun demikian besar hingga Oerip Sumohardjo tidak lagi bisa mengatur dengan baik perkembangan TKR. Hal tersebut diakibatkan pula persaingan antara para mantan PETA dan KNIL dalam TKR.

Kehadiran TKR belum memuaskan banyak pihak terutama para mantan PETA dan KNIL. Banyak yang menilai bahwa TKR mencerminkan keraguan pemerintah yang lebih mengutamakan pendekatan diplomasi dalam perjuangangannya. Pemerintah berusaha menghindari citra fasis, militeristis dan sebagainya sekaligus membangun penampilan bangsa Indonesia yang cinta damai. Selain itu TKR bersifat kerakyatan dan masih mengutamakan keamanan dalam negeri. Menurut para mantan PETA dan KNIL, keamanan dalam negeri seharusnya bisa dikontrol oleh pemerintah sendiri (Jahja Muhaimin, 1971: 30; Nasution, 1977: 72).

Hubungan antara pemerintah dengan kalangan tentara tetap belum lancar kareana KSU TKR belum secara nyata memimpin. Oerip Sumohardjo yang menduduki jabatan KSU ditolak kedudukannya sebagai pemimpin militer tertinggi. Oerip hanya dianggap mengepalai kantor umum TKR. Kementerian Pertahanan juga belum ada karena Suprijadi ditunjuk Pemerintah menjadi Menteri Pertahanan tidak pernah muncul dan tidak pula diketahui keberadaannya. Oleh karena itu para panglima tentara di daerah membuat suatu Konferensi untuk mengatur ketentaraan Indonesia. Konferensi dilangsungkan di Yogyakarta pada 12 November 1945 dan dipimpin Oerip Sumohardjo. Konggrges dihadiri hampir semua panglima divisi dan komandan resimen, Wakil Pemerintah Pusat Suljohadikusumo dan para Jenderal tituler yaitu Paku Buwono (PB) XII, Hamengkubuwono (HB) IX, Mangkunegoro (MN) VII dan Paku Alam (PA)VIII.

Pembicaraan dalam kongres tidak bisa dikontrol KSU yang sebenarnya memimpin kongres tersebut. Wakil Pemerintah Pusat juga tidak dapat

lxi v

memberikan tuntunan yang semestinya. Pembicaraan konferensi meningkat ke pemilihan Panglima Besar Tentara, Menteri Pertahanan dan pembentukan panitia. Dalam kesempatan itu, KSU Oerip Sumohardjo kalah suara dalam pemilihan panglima besar oleh Jenderal Sudirman dari Divisi V. Terpilih pula Sultan HB IX menjadi Menteri Pertahanan pilihan kongres tentara (Nasution, 1977: 277). Kemampuan Jenderal Sudirman segera memperkuat kedudukannya dalam TKR, baik di mata para mantan PETA maupun KNIL (Anderson, 1988: 275).

Disamping TKR yang telah terbentuk, berbagai badan perjuangan atau laskar tetap diperbolehkan berdiri (Nasution dalam Jahja Muhaimin, 1971: 30). Kehadiran badan perjuangan selama revolusi tidak hanya menjadi sarana melakukan perlawanan. Badan perjuangan juga menjadi identitas kelompok dan tempat bertahan hidup pemuda. Perkembangan selanjutnya, badan-badan perjuangan berafiliasi dengan partai-partai-politik. tindakan tersebut bermakna untuk mempertahankan kemerdekaan sekaligus membela membela dan menjaga kepentingan kekuatan politik yang diikutinya (Julianto Ibrahim, 2004: 99). Beberapa badan perjuangan yang ada antara lain Laskar Rakyat, Barisan Banteng, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Hizbullah dan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI).

Badan perjuangan sering terlihat seperti tentara dengan pemakaian atribut tentara, sikap yang mereka tunjukkan serta organisasinya yang menyerupai tentara. Terkadang diantara badan-badan perjuangan terjadi perselisihan satu sama lain atau dengan tentara resmi. Kondisi tersebut bisa menjadi rawan karena pertikaian badan perjuangan sering menggunakan senjata. Memang selain tentara pemerintah, badan-badan perjuangan memiliki persenjataan sendiri. Persenjataan badan perjuangan terkadang lebih bagus dari tentara resmi. Kebanyakan persenjataan badan perjuangan merupakan rampasan dari tentara Jepang. Oleh karena mereka enggan menyerahkan persenjataannya kepada Pemerintah meski ada instruksi sebelumnya. Bahkan persenjataan yang mereka miliki akan dipertahankan hingga mati karena untuk mendapatkannya juga dengan taruhan nyawa (Wawancara dengan Soemaryono, 27 Juli 2009).

Kehadiran badan perjuangan membuat terjadinya persaingan dengan tentara biasa. Persaingan menyangkut hal-hal seperti penguasaan senjata, upaya mempertahankan eksistensi dan mendapat dukungan dari rakyat. Hal tersebut membuat sering terjadi bentrokan antara tentara dan badan perjuangan. Terjadi pula persaingan antara Pemerintah dengan Markas Besar Tentara yang ingin menguasai badan perjuangan atau laskar. Tentara ingin agar badan perjuangan atau laskar agar melebur dalam tentara sementara pemerintah lewat Kementerian Pertahanan berusaha memasukkan badan perjuangan atau laskar dibawah pengaruhnya (Sundhaussen, 1988: 40).

2. Pemerintahan Parlementer Sjahrir a. Pembentukan Pemerintahan Sjahrir

Perubahan penting berikutnya dalam politik Indonesia adalah pembentukan kabinet parlementer. Upaya itu dirintis pada 1 November 1946 saat BP KNIP mendesak presiden agar mempertimbangkan pengalihan tanggung jawab menteri kepada legislatif. Presiden Sukarno menyetujui hal tersebut dengan

lxv

dasar pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945. BP KNIP lalu menunjuk Sjahrir dan Amir Sjarifuddin sebagai pembentuk kabinet parlementer. Presiden Sukarno tidak menolak penunjukkan tersebut.

Perubahan sistem kabinet sebenarnya bertentangan dengan UUD 1945. Namun kebanyakan lembaga-lembaga Republik juga bersifat sementara. Oleh karena itu perubahan kabinet dapat dilakukan dengan dibuat dalam bentuk konvensi dengan corak dari Inggris. Perubahan tersebut tak lepas dari kinerja Pemerintah Soekarno yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan umum. Kekecewaan bertambah setelah kedatangan Sekutu di Indonesia. Pihak Sekutu dan terutama Belanda nampak enggan menerima keberadaan Sukarno sebagai pemimpin meskipun beberapa usaha telah dilakukan kabinet. Sikap Kabinet Sukarno yang berusaha menghindari sikap revolusioner justru menimbulkan kekecewaan dari kekuatan-kekuatan revolusioner di daerah terutama para pemuda (Anderson 1988: 206).

Pada 14 November 1945 Sjahrir mengumumkan anggota kabinetnya. Kabinet baru ini terdiri dari para pejabat non-politikus yang kompeten dan tercatat tidak turut bekerja sama dengan Jepang (Kahin, 1995: 213). Susunan menteri dalam kabinet Sjahrir, yaitu:

1). Perdana Menteri : Sutan Sjahrir 2). Menteri Dalam Negeri : Sutan Sjahrir 3). Menteri Luar Negeri : Sutan Sjahrir 4). Menteri Penerangan : Amir Syarifuddin 5). Menteri Keamanan Rakyat : Amir Syarifuddin 6). Menteri Keuangan : Sunario Kolopaking 7). Menteri Pendidikan : T.G.S Moelia 8). Menteri Kehakiman : Suwandi 9). Menteri Sosial : Adjidarmo 10). Menteri Kesehatan : Darmasetiawan

11). Menteri Perekonomian : Darmawan Mangunkusumo 12). Menteri Tenaga Kerja : Putuhena

13). Menteri Pekerjaan Umum : Putuhena 14). Menteri Perhubungan : Rasad

Berkenaan dengan pembentukan pemerintahan baru, Pemerintah mengeluarkan Maklumat tanggal 14 November 1945 yang diantaranya menyatakan Pemerintah pertama bersifat sementara sehingga pembaharuan perlu dilakukan untuk menyempurnakan usaha pemerintah menuju demokrasi (Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, 1999: 149).

lxv i

Pada 17 November 1945 Kabinet Sjahrir mengeluarkan pernyataan yang diantaranya menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tidak berubah dan sesuai dengan yang tertuang dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Kabinet akan tetap menuntut kemerdekaan Indonesia yang sepenuhnya dengan memperhatikan kaidah negara merdeka dalam hubungan internasional dan juga kewajiban membangun tatanan dunia baru berdasarkan cita-cita perjanjian perdamaian dunia (Charter for Peace) (Engelen et al, 1997: 219). Berkenaan dengan politik dalam negeri, kabinet akan memperhatikan hal-hal (Engelen et al, 1997: 220; Osman Raliby, 1953: 103) sebagai berikut:

1). Menyempurnakan susunan pemerintahan daerah berdasarkan kedaulatan rakyat;

2). Mencapai koordinasi segala tenaga rakyat didalam usaha menegakkan Republik Indonesia serta pembangunan masyarakat yang berdasarkan keadilan dan peri kemanusiaan;

3). Berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat diantaranya dengan jalan pembagian makanan;

4). Berusaha mempercepat keberesan tentang Oeang Republik Indonesia (ORI).

Beragam tanggapan muncul setelah susunan kabinet diumumkan. Suara dari koran-koran tidak dalam satu pendapat terhadap susunan kabinet. Sukiman (Ketua Masjumi) memprotes keberadaan kabinet Sjahrir yang dianggap menyalahi UUD 1945. Beberapa golongan pemuda revolusioner dan para mantan menteri Kabinet Sukarno kecewa dengan susunan kabinet (Engelen et al, 1997:218).

Protes-protes terhadap kabinet Sjahrir disebabkan oleh susunan dalam kabinet sendiri. Sjahrir dan Amir mendominasi posisi menteri-menteri yang penting. Perwakilan Kristen dalam kabinet dianggap terlalu besar sementara tidak ada tokoh Islam yang berwibawa dalam kabinet. Beberapa menteri ternyata pernah mendapat jabatan tinggi selama masa Jepang. Tak banyak tokoh gerakan bawah tanah bahkan tidak ada tokoh pemuda yang masuk kabinet ini. sebagian besar menteri bisa dikatakan merupakan kawan-kawan dari Sjahrir atau Amir sendiri. Kabinet ini juga dianggap berbau Belanda karena sebagian menteri pernah menjadi pejabat saat Belanda berkuasa (Anderson, 1988: 226). Kabinet terlalu dianggap bersifat teknokrat dan tidak revolusioner (Engelen et al, 1997:218). Kekecewaan bertambah setelah program kabinet yang diumumkan pada 17 November 1945 dinilai tidak revolusioner (Anderson, 1988: 229).

Meskipun mendapat kritik, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memiliki pertimbangan tersendiri dalam menyusun kabinet. Keduanya menyusun kabinet untuk mematangkan sikap Indonesia menghadapi diplomasi dengan Sekutu-Belanda. Beberapa menteri seperti Moelia dan Soewandi merupakan ahli dibidangnya yang diakui sejak masa Hindia Belanda (Engelen et al, 1997:218).

lxv ii

Pada 5 Desember dilakukan perubahan kabinet. Sunario Kolopaking digantikan oleh Soedarsono, Soerachman kembali masuk kabinet menggantikan posisi Adjidarmo dan Amir Sjarifuddin melepas jabatan Menteri Penerangan kepada Muhammad Natsir pada bulan Januari 1946 (Anderson, 1988: 330; Soebadio Sastrosatomo, 1987: 200).

b. Sutan Sjahrir

Sutan Sjahrir muncul dalam politik nasional ketika perubahan politik Indonesia tengah dimulai akibat ketidakpuasan terhadap kinerja Pemerintahan Presidensiil. Sjahrir telah lama menjadi tokoh pergerakan nasional dan sempat diasingkan Belanda akibat aktivitasnya. Oleh karena itu Sjahrir juga dikenal tokoh nasionalis tua lainnya. Namun umur Sjahrir yang relatif muda membuatnya dapat dekat dengan pemuda terutama di Jakarta saat pendudukan Jepang.

Pada masa pendudukan Jepang, Sjahrir tidak turut bekerja sama dengan Jepang. Sjahrir yakin bahwa Jepang akan kalah dari Sekutu. Ia lalu membangun jaringan bawah tanah yang sebagian besar merupakan pemuda terutama dari Asrama Mahasiswa Kedokteran. Oleh karena itu, Sjahrir mendapat dukungan luas pemuda Jakarta ketika naik ke politik nasional (Anderson, 1988: 198 dan 61).

Sjahrir sendiri sangat mendambakan kebebasan untuk setiap orang, dimana individu-individu yang dapat menggunakan akal-pikirannya untuk bertanggung jawab terhadap cita-cita dan tindak-perbuatannya masing-masing. Impian itu mempunyai beberapa konsekuensi yang amat nyata. Cita-cita kebebasan dan kemandirian manusia yang telah mendorong Sjahrir memilih sosialisme sebagai paham politiknya. Menurutnya sosialisme dibutuhkan untuk melaksanakan revolusi sosial di Indonesia. Oleh karena itu sosial-demokrasi pada Sjahrir pada tempat pertama berarti sosialisme kerakyatan yang tujuannya adalah membebaskan dan memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia, yaitu bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia (Ignas Kelden dalam www.komunitasdemokrasi.or.id).

Pada awal November 1945, Sjahrir membuat pamflet terkenal yang berjudul “Perdjoeangan Kita”. Isi pokok pamflet tersebut antara lain catatan pahit dari ciri masa pendudukan Jepang. Pamflet tersebut juga membahas akibat dari Perang Dunia II seperti naiknya nasionalisme, yang dianggap Sjahrir menjual diri terhadap Jepang. Sjahrir juga membahas doktrinasi negatif Jepang dalam organisasi-organisasi yang didirikannya yang terlihat dalam sikap militeristis dan fasis. Dampak dari doktrinasi tersebut terasa setelah Perang Dunia II berakhir dalam bentuk penyerahan, kekejaman dan teror terhadap orang Belanda, Indo dan minoritas Indonesia yang dianggap pro Belanda. Oleh karena itu Sjahrir menyerukan pembersihan unsur-unsur “kolaborator” Jepang dan usaha pengembangan prinsip sosialisme kemanusiaan yang sesuai pemikiran pemuda Indonesia (Anderson, 1988: 219).

lxv iii

Berkenaan dengan situasi internasional, Sjahrir mengatakan adanya pertentangan besar antara kekuatan kapitalisme Inggris dan Amerika Serikat dan kelemahan Republik akibat pendudukan Jepang. Sjahrir beralasan bahwa karena letak Indonesia yang berada dalam lingkungan kapitalisme Inggris dan Amerika Serikat membuat Indonesia akan banyak tergantung kedua negara tersebut. Untuk mengatasinya adalah perlu dilakukan diplomasi cerdas untuk memengaruhi Inggris dan Amerika Serikat agar tidak membantu Belanda.

Pamflet tersebut nampaknya tidak menyebar luas namun memiliki pengaruh yang nyata. Banyak nasionalis yang tersinggung atas serangan Sjahrir terhadap nasionalisme yang muncul selama Perang Dunia II. Para pemuda juga terkena serangan Sjahir dan cukup mengena karena pamflet itu muncul saat puncak pertempuran Surabaya. Namun pamflet tersebut menjadi salah satu analisa mengenai kondisi yang muncul setelah Perang Dunia II dan memberikan sudut pandang yang menyeluruh tentang masa depan gerakan kemerdekaan Indonesia (Anderson, 1988: 223).

Dengan demikian, Sjahrir berusaha agar Republik Indonesia tak runtuh namun perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis. Ia mengarsiteki perubahan kabinet dari sistem Presidensil menjadi Parlementer dimana kabinet bertanggung jawab kepada KNIP, yang telah diberikan fungsi legislatif. RI lalu menganut sistem multi partai. Tatanan ini sesuai dengan arus politik pasca Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme.

Dokumen terkait