• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

BAB IV PEMBAHASAN

B. Proses Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

1. Situasi Surakarta Menjelang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir Situasi Surakarta memiliki kekhususan dalam revolusi Indonesia.. Sejak lama Surakarta menjadi kota yang cenderung memiliki sikap memberontak. Sebagai contoh Sarekat Islam yang pernah menjadi organisasi besar Indonesia tahun 1920-an, lahir di kota ini. Pada saat yang hampir bersamaan, paham komunisme berkembang di sini dengan pengaruh dari Haji Misbach (Wawancara dengan Soemaryono, 27 Juli 2009).

Pada masa revolusi, situasi Surakarta tidak menentu. Tidak ada pedoman mengenai jalannya revolusi di Surakarta sehingga masyarakat seperti berjalan sendiri dalam revolusi. Hal itu berakibat beberapa pihak menyalahgunakan kondisi yang ada (Karkono Kamajaya, 1993: 11). Pihak yang merasa kuat seakan-akan bisa berbuat semaunya terhadap lawan politiknya. Misalnya dalam kasus penculikan yang menjadi hal biasa di Surakarta termasuk penculikan terhadap pemimpin suatu kelompok tertentu oleh kelompok yang lain. Apabila hal itu terjadi, akan muncul aksi balas dendam dari kelompok yang pemimpinnya diculik akan dilakukan dengan menculik pemimpin kelompok lain. Biasanya dalam

lxx xvi

proses tersebut akan mempergunakan pasukan dan aksi pengepungan markas lawan (Soebagjio, 1981: 172).

Surakarta seperti Yogyakata memiliki dua kerajaan yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Kedua raja Surakarta memerintah lewat patihnya masing-masing. Kedua kerajaan di Surkarta tidak mau saling bekerja sama. Pihak Mangkunegaran hanya mau bekerja sama dengan Kasunanan apabila kerjasama tersebut tidak dalam satu kedudukan yang sederajat dengan Kasunanan. Hal itu berbeda dua kerajaan di Yogyakarta dimana pihak Paku Alaman sejak awal telah bersedia berada dibawah Kasultanan Yogyakarta meskipun Paku Alam VIII lebih tua dari Sultan HB IX (Wawancara dengan Handoyo Leksono, 27 Juli 2009).

Kedua penguasa kerajaan yaitu Sunan Pakubuwono XII dan Sri Mangkunegoro VIII memang sama-sama masih muda dan belum lama memerintah. Keduanya juga kurang berpengalaman sehingga tidak bisa mengambil kebijaksanaan tepat pada awal revolusi. Selain itu keduanya kurang memiliki wibawa pribadi dan banyak dipengaruhi unsur disekelilingnya yang cenderung pro Belanda. Pada awal revolusi kedua raja kurang terlibat langsung dalam proses pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Hal itu berdampak pada wibawa keduanya yang jatuh di kalangan para pejuang (Wawancara dengan Handoyo Leksono dan Soemaryono, 27 Juli 2009).

Sekitar bulan September hingga Desember 1945 merupakan masa terbentuknya berbagai laskar di Surakarta oleh para pemuda. Berbagai laskar tersebut awalnya tergabung dalam BKR. Pada bulan Oktober 1945, BKR berhasil merebut markas Kenpetai Jepang di Surakarta. Sejak itu berbagai macam laskar berkembang di Surakarta dengan beragam bentuk dan gaya (Soejatno, 1974: 102).

Pada September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta terbentuk dan diketuai oleh Sumodiningrat dengan 9 anggota lain. Pemerintahan Surakarta secara resmi dibentuk pada 1 Oktober 1945 dibawah Soeprapto, Soetopo Adisapoetro dan Soemantri. Pembentukan pemerintahan tersebut merupakan awal demokratisasi dari pemerintahan tradisional Surakarta. Badan Pekerja KNID Surakarta lalu mengumumkan pembentukan Collegial Bestuur. Namun Pemerintahan di Surakarta mengalami kekacauan. Kasunanan

lxx xvi i

dan Mangkunegaran tidak mau duduk dalam pemerintahan Collegial Bestuur. Hal itu mengakibatkan muncul Gerakan Anti Swapraja pada awal tahun 1946 (Wawancara dengan Handoyo Leksono, 27 Juli 2009; Soejatno, 1974: 108).

Ketegangan mulai muncul. Terjadi penculikan terhadap Sunan Pakubuwono XII, Kanjeng Ratu dan Soerjomihardjo yang dilakukan Barisan Banteng. Selama penculikan mereka diperlakukan baik oleh penculiknya. Mekipun demikian mereka diputuskan hubungan dengan dunia luar untuk memperlihatkan bahwa rakyat tidak menyenangi kraton. Ketiga dibebaskan setelah dirasa telah memahami keinginan rakyat (Julianto Ibrahim, 2004: 157).

Situasi Surakarta makin panas setelah Yogyakarta menjadi ibukota baru Indonesia. Kepindahan ibukota menyebabkan turut berpindah pula kekuatan-kekuatan penentang pemerintah dari Jakarta. Daerah yang yang banyak ditempati kekuatan kelompok penentang pemerinta yaitu Surakarta (Wawancara dengan Soemaryono, 27 Juli 2009). Tan Malaka dengan PP dan Barisan Banteng yang menjadi salah satu unsur terkuat PP memiliki markas besar di Surakarta. Bahkan Barisan Banteng memiliki massa yang besar di sini. PNI juga sangat kuat di Surakarta. Sebagian besar pemimpin Masjumi yang menentang Pemerintahan Sjahrir juga berkumpul di Surakarta (Kahin, 1995: 233).

Pemerintah Pusat lewat Kementerian Dalam Negeri akhirnya turut campur mengenai masalah di Surakarta. Kementerian Dalam Negeri mengangkat R.P. Suroso menjadi Komisaris Tinggi Daerah Surakarta, Kasunanan dan Mangkunegaran. Pengangkatan R.P. Suroso sebagai Komisaris Tinggi ternyata tidak juga mengatasi situasi panas di Surakarta. Kepemimpinan R.P. Suroso dianggap tidak revolusioner dan dekat dengan Swapraja. Akibatnya muncul pemerintahan bayangan di Surakarta yang disebut “Direktorium”. PB XII dan MN VIII menolak pemerintahan Direktorium. Sikap keduanya berakibat Kabupaten Karanganyar, Klaten, Boyolali dan Sragen memilih lepas dari Swapraja dan bergabung langsung dengan Pemerintah Pusat (Karkono Kamajaya, 1993: 12).

Pada 5 Mei pihak Kasunanan mengeluarkan maklumat yang intinya menyerahkan kepada pemerintah pusat mengenai keberadaan Daerah Istimewa Surakarta. Barisan Banteng menyambut hangat pengumuman dari Kasunanan

lxx xvi ii

(Kedaulatan Rakjat, 4 Mei 1946). Kementerian Dalam Negeri kemudian menanggapi situasi di Surakarta dengan mengangkat Gubernur Jawa Timur Surjo sebagai wakil Pemerintah Pusat di Surakarta, dengan tugas untuk mengembalikan ketentraman di Surakarta. Ditegaskan pula akan diambil tindakan bila ada yang melanggar peraturan pemerintah (Kedaulatan Rakjat, 23 Mei 1946).

Mangkunegaran menanggapi maklumat tersebut dengan menyatakan keberadaan Wakil Pemerintah Pusat di Surakarta tidak akan mengubah Pemerintahan Mangkunegaran. Keberadaan Wakil Pemerintah Pusat hanya untuk mengatasi kekacauan di Surakarta. Pihak Mangkunegaran akan membantu semestinya Wakil Pemerintah Pusat. Rakyat diminta tetap tenang karena Pemerintahan Mangkunegaran adalah pemerintahan Indonesia juga (Kedaulatan Rakjat, 29 Mei 1946).

Kementerian Dalam Negeri lalu memutuskan agar dilakukan pemilihan umum yang kemudian bisa menyelesaikan penyelesaian swapraja di Surakarta. Akan tetapi geolombang revolusioner tidak berhenti. Barisan Banteng terus mengadakan rapat-rapat raksasa anti swapraja. Menteri Dalam Negeri Soedarsono lalu memerintahkan untuk menangkap pemimpin Barisan Banteng dr. Moewardi dan tokoh Gerakan Anti Swapraja lainnya (Reid, 1996: 158).

Tindakan tersebut justru menimbulkan kekacauan baru. Pihak Tentara menyatakan tidak turut campur mengenai penangkapan tersebut (Kedaulatan Rakjat, 23 Mei 1946). dr. Moewardi yang ditahan di Yogyakarta berhasil dibebaskan para pengikutnya dari Barisan Banteng. Barisan Banteng kemudian mengarak keliling Surakarta dr. moewardi yang telah dibebaskan disertai dengan unjuk kekuatan yang dimiliki Barisan Banteng (Soebagijo, 1981: 166). Kemudian Pada 1 Juni 1946, dibentuklah Dewan Pemerintahan Rakyat dan Tentara (DPRT) yang menghapus kekuasaan kerajaan di Surakarta. DPRT dibentuk oleh Kolonel Sutarto yang juga merupakan Kepala TRI Surakarta (Kedaulatan Rakjat, 3 Juni 1946). Dengan demikian upaya pemerintah di Surakarta tidak berhasil.

Pemerintah pada 6 Juni 1946 menyatakan keadaan darurat di Surakarta. Tujuannya agar masalah yang berkaitan dengan DPRT yang telah terbentuk di Surakarta bisa selesai. Presiden Sukarno menyatakan apa yang telah dijalankan di

lxx xix

Surakarta akan disesuaikan dengan Undang-Undang (Kedaulatan Rakjat, 7 Juni 1946). Keadaan darurat diperluas ke wilayah Jawa dan Madura keesokan harinya. Pembantaian di Tangerang dan insiden penyerangan dari Belanda menjadi dasar pemberlakukan tersebut (Barisan Rakjat, No. 26 Juni 1946). Pada 13 Juni 1946 Pemerintah Pusat mengeluarkan Maklumat yang mengesahkan Dewan Pertahanan Surakarta. Dewan ini akan menjalankan kekuasaan di Surakarta sesuai petunjuk Dewan Pertahanan Pusat. Dengan demikian kekuasaan kedua kerajaan Surakarta hilang sementara kedudukan Sutarto menguat karena ia menjadi ketua Dewan Pertahanan Daerah Surakarta (Kedaulatan Rakjat, 17 Juni 1946).

2. Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

a. Situasi Menjelang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

Perdana Menteri Sjahrir pada 27 Juni 1946 berada di Jawa Timur dalam rangka meninjau persiapan pengiriman beras dari Indonesia ke India. Sjahrir lalu bergegas ke Solo untuk beristirahat sejenak sebelum berangkat ke Yogyakarta menghadiri sidang kabinet. Setibanya di Solo, Sjahrir beserta rombongan yang antara lain terdiri dari Menteri Dalam Negeri Sudarsono, Menteri Kemakmuran Darmawan Mangunkusumo, Kepala POPDA Jenderal Mayor Sudibyo, Sekretaris Kabinet Sumitro menginap di bekas gedung de Javascshe Bank dengan pengamanan dari Polisi Negara (Anderson, 1988: 419).

Sementara itu di Yogyakarta terjadi pembicaraan serius di rumah Boedhiyarto Martoatmodjo terkait dengan pidato Hatta pada peringatan Isra’ Mi’raj di Yogyakarta. Dalam pembicaraan tersebut hadir Buntaran Martoatmodjo, Ahmad Subardjo, Iwa Kusumasumantri, Sajuti Melik, Jenderal Mayor Sudarsono (Panglima Divisi III Yogyakarta) dan Mayor A.K Mayor Yusuf. Tidak ada hasil konkret yang dihasilkan dari pertemuan tersebut namun semua merasa harus ada tindakan yang dilakukan. Setelah pertemuan itu berakhir, Jenderal Mayor Soedarsono bersama Mayor Yusuf yang merupakan bawahannya pulang ke rumah (Anderson, 1988: 417).

Sesampainya di rumah Jenderal Sudarsono, Mayor Yusuf berbicara dengan sengit kepada Sudarsono bahwa Pemerintahan Sjahrir yang telah berkhianat terhadap Indonesia merdeka. Mayor Yusuf kemudian mendesak Sudarsono agar mengizinkannya “menyingkirkan” Sjahrir, dengan perkiraan Presiden Sukarno akan mengambil alih kekuasaan dan mengubah kebijakan pemerintah setelah Sjahrir tidak ada. Jenderal Sudarsono menyetujui desakan Mayor Yusuf dengan menandatangi surat penangkapan atas Sjahrir, Soedarsono

xc

dan Abdulmadjid (Anderson, 1988: 418). Diharapkan dengan penangkapan terhadap Sjahrir, Presiden Sukarno akan mengambil alih kekuasaan. Setelah itu, mungkin Sukarno akan dibujuk untuk mengangkat para tokoh PP termasuk Tan Malaka masuk kedalam Pemerintahan (Sundhaussen, 1988: 51).

Mayor Yusuf lalu menemui Iwa Kusuma Sumantri dan mereka bersama-sama bergegas ke Solo. Sesampainya di sana, mereka menginap di rumah dokter Kartono dan bertemu dengan Muhammad Yamin, yang diberi izin untuk meninggalkan Tawangmangu. Di Surakarta mereka mengetahui jika Sjahrir dan rombongannya pada malam harinya akan ke Solo dan menginap disana (Anderson, 1988: 419).

Mayor Yusuf sebenarnya pernah menjadi murid Sjahrir selama masa pendudukan Jepang. Akan tetapi selama Sjahrir menjadi Perdana Menteri, beberapa kebijakan Sjahrir tidak menyenangkan bagi Mayor Yusuf. Salah satunya adalah kebijakan Sjahrir melakukan penarikan tentara dari Jakarta. Sejak itu Yusuf mengambil posisi yang menentang pemerintahan Sjahrir (Wawancara dengan Handoyo Leksono, 27 Juli 2009).

Sebelum bergabung dengan tentara di Yogyakarta, Mayor Yusuf merupakan pemimpin kelompok pemuda “PB” yang bermarkas di Istana Bogor. Akibat kedatangan Sekutu, Bogor yang terletak di dekat Jakarta turut mengalami kekacauan seperti yang terjadi di Jakarta. Selama masa itu, Tan Malaka telah berada di Bogor dan kerap menerima pemimpin-pemimpin Jakarta seperti Menteri Sosial Iwa Kusuma Sumantri. Selama berada di Bogor pula Iwa kerap berhubungan dengan pemuda revolusioner di Bogor. Nampaknya dari situ Yusuf kerap berhubungan dengan Iwa sehingga Yusuf sering disebut sebagai “anak” Iwa (Nasution, 1977: 531). Setelah Inggris masuk ke Bogor dan berhasil menduduki Istana Bogor, Mayor Yusuf mengungsi ke Puncak sebelum kemudian pindah ke Yogyakarta (Nasution, 1977: 321).

b. Proses Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

Setelah mendapat surat dari Jenderal Sudarsono, Mayor Yusuf memulai usaha untuk melakukan aksi penculikan yang dianggapnya sebagai sebuah penangkapan. Untuk memudahkan upaya penangkapan Sjahrir, Mayor Yusuf menghubungi Lettu Mardijo dari Polisi Tentara untuk menjalankan aksinya. Akan tetapi Mardijo menolak melakukan hal tersebut kecuali ada perintah tertulis dari Kolonel Sutarto. Mayor Yusuf lalu meminta bantuan Kolonel Sutarto. Setelah

xci

terjadi perundingan, Kolonel Sutarto mengeluarkan perintah kepada Lettu Mardijo dan Lettu Suyatno untuk menghentikan semua komunikasi dan lalu lintas masuk dan keluar dari Surakarta. Disamping itu, agar menghubungi pos Polisi Tentara di Kartasura dan Boyolali agar membiarkan Mayor Yusuf menjalankan aksinya (Sukoco, 1990: 75). Penjagaan di Javasche Bank pun ditarik secara diam-diam.

Menjelang tengah malam pada 27 Juni 1946, dilaksanakan penculikan terhadap Sjahrir dan rombongannya. Mayor Yusuf yang memimpin sendiri penculikan tersebut bersama empat orang lain. Namun pada umumnya mereka tidak mengetahui siapa yang dibawa dan mengira bahwa yang dibawa merupakan kaki tangan Belanda. Sjahrir sempat mengajukan protes tehadap tindakan Mayor Yusuf namun ia tidak bisa melawan. Bersama dengan Sjahrir, dibawa pula Darmawan Mangunkusumo, Jenderal Mayor Sudibyo, Sumitro dan beberapa orang lain. Sudarsono yang sebenarnya menjadi sasaran penculikan berhasil meloloskan diri dari hotel dan segera pergi ke Yogyakarta. Sjahrir dan rombongan dengan menggunakan dua mobil dibawa ke Paras, Boyolali. Di sana terdapat tempat peristirahatan Sunan Surakarta yang saat itu sedang kosong. Pengamanan terhadap Sjahrir dilakukan oleh pimpinan tentara setempat, Mayor Soekarto (Kahin, 1995: 238; Anderson, 1988: 420).

Sjahrir terlihat tenang selama masa penculikan. Ia sempat bersenda gurau dan mengajak sesama rekan yang diculik bermain ayunan. Kelak setelah Sjahrir bebas, ia dengan bergurau berterima kasih kepada para penculik karena memberi “hari-hari libur selaku selingan kerja berat Perdana Menteri” (Mangunwijaya dalam Taufik Abdullah, Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae, 1983: 65).

Dokumen terkait