• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penculikan perdana menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penculikan perdana menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR DI SURAKARTA TAHUN 1946

SKRIPSI Oleh: Masdar Hilmi NIM: K4405026

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

ii

PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR DI SURAKARTA TAHUN 1946

Oleh : MASDAR HILMI

NIM: K4405026

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan

mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)

iii

Halaman Persetujuan

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hj. Sri Wahyuning S., M. Pd NIP.195310241981032001

(4)

iv

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada Hari : Rabu

Tanggal : 11 November 2009

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Djono, M. Pd ...

Sekretaris : Dra. Sri Wahyuni, M. Pd ... Anggota I : Dra. Hj. Sri Wahyuning S, M. Pd ...

Anggota II : Drs. H. Tri Yuniyanto, M. Hum ...

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Dekan,

(5)

v ABSTRAK

Masdar Hilmi. K4405026. Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Oktober 2009.

Tujuan Penelitian ini untuk: (1) Memahami situasi yang menyebabkan terjadinya Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946, (2) Mengetahui proses terjadinya Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946, (3) Memahami dampak Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber primer berupa surat kabar sementara sumber sekunder digunakan yaitu buku-buku, foto dan dan informan. Teknik pengumpulan data penelitian ini yaitu studi pustaka dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dalam mengolah suatu data sejarah. Prosedur penelitian dilakukan dengan empat tahap yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

(6)

vi ABSTRACT

Masdar Hilmi. K4405026. The Prime Minister Sjahrir Kiddnap in Surakarta on 1946. Paper. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, October 2009.

The objectives of this research are (1) To learn the condition that causes the Prime Minister Sjahrir kiddnap in Surakarta on 1946, (2) To know the process of the Prime Minister Sjahrir kiddnap in Surakarta on 1946, (3) To learn damages of the Prime Minister Sjahrir kiddnap in Surakarta on 1946.

This research use history methods. The research data sources is primary sources that consist by the newspapaer, and secondary sources that consist by the books, picture and informant. The data gathering in this research are library learning and interview. The technique of data analysis that used in this research is historical analysis, it give a priority to sharp the process of history data. The procedures of this reasearch was done with four steps, that is heuristic, criticism, interpretation, dan historiography.

(7)

vii MOTTO

Een leidersweg is een lijdensweg Leiden is lijden

(Jalan Kepemimpinan Bukan Jalan Yang Mudah Memimpin Adalah Jalan Yang Menderita)

(8)

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu

2. Kakak-Kakak dan Keponakanku 3. Kawan-kawan P. Sejarah UNS 2005 4. Mereka yang telah membantuku 5. Almamater

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan

Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah

menyetujui atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini.

4. Dra. Hj. Sri Wahyuning. S, M. Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Drs. H. Tri Yuniyanto, M. Hum selaku dosen Pembimbing II yang telah

memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan skripsi. Penulis memohon pula maaf apablila terdapat tindakan dan perkataan penulis yang kurang berkenaan.

Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada khususnya dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, November 2009

(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN ABSTRAK ... iv

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penelitiaan ... 6

BAB II LANDASAN TEORI ... 8

A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Kebijakan Pemerintah ... 8

2. Polarisasi Politik ... 15

3. Konflik Politik ... 22

4. Subversi ... 28

5. Penculikan ... 35

B. Kerangka Berpikir ... 38

BAB III METODOLOGI ... 40

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

B. Metode Penelitian ... 40

C. Sumber Data ... 42

D. Teknik Pengumpulan Data ... 44

(11)

xi

F. Prosedur Penelitian ... 48

BAB IV PEMBAHASAN ... 50

A. Latar Belakang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ... 50

1. Latar Belakang Terbentuknya Pemerintahan Sjahrir ... 50

2. Pemerintahan Parlementer Sjahrir ... 57

3. Kabinet Sjahrir II ... 67

B. Proses Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ... 81

1. Situasi Surakarta Menjelang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ... 81

2. Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ... 85

C. Dampak Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ... 88

1. Situasi Selama Perdana Menteri Sjahrir Diculik ... 88

2. Proses Pembebasan Perdana Menteri Sjahrir ... 89

3 Perkembangan Setelah Perdana Menteri Sjahrir Bebas ... 91

BAB V PENUTUP ... 94

A. Kesimpulan ... 94

B. Implikasi ... 95

C. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98

(12)

xii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jepang menyerah terhadap Sekutu dalam Perang Dunia II pada 15 Agustus tahun 1945. Jepang lalu diperintahkan Sekutu untuk mempertahankan status quo di Indonesia sebelum Sekutu mengambil alih kekuasaan. Menyerahnya Jepang membuat Indonesia dalam keadaan vacuum of power. Kelompok pemuda di Jakarta yang mengetahui kekalahan Jepang merasa yakin bahwa telah tiba saat untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi kelompok pemuda menyadari bahwa peran Sukarno dan Hatta sebagai tokoh yang lebih tua dan lebih dikenal rakyat, penting untuk memproklamirkan kemerdekaan. Beberapa perwakilan kelompok pemuda menemui Sukarno dan Hatta untuk meminta keduanya memproklamirkan Indonesia. Kedua tokoh tersebut tidak langsung menerima permintaan kelompok pemuda. Sukarno dan Hatta ingin memastikan terlebih dahulu situasi yang sebenarnya dari Jepang dan menginginkan proses kemerdekaan melibatkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hal itu sangat mengecewakan kelompok pemuda yang ingin segera meraih kemerdekaan namun tanpa campur tangan PPKI.

Kelompok pemuda yang putus asa terhadap sikap Sukarno dan Hatta lalu memutuskan untuk mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Sukarno dan Hatta tetap didesak kelompok pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta awalnya tetap tidak mau menuruti kemauan pemuda. Akan tetapi setelah mendapat jaminan dari Jepang (Laksamana Maeda) dan pengertian dari kelompok pemuda maka Sukarno, Hatta dan pemuda segera kembali ke Jakarta. Setibanya di Jakarta Sukarno, Hatta dan kelompok pemuda bersama para anggota PPKI langsung berkumpul membahas persiapan proklamasi. Pertikaian tetap berlanjut antara kelompok pemuda dengan para tokoh tua termasuk Sukarno dan Hatta.

(13)

xiii

Dalam perkembangannya PPKI berubah menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan tugas sebagai penasehat presiden dan kabinet. Akhir bulan Agustus 1945 kabinet Indonesia berhasil dibentuk. Semua posisi dalam pemerintahan diisi oleh orang-orang yang bekerja dalam instansi Jepang untuk menjamin pengalihan kekuasaan sipil dari Jepang ke Indonesia. (Ricklefs, 1989: 319). Pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) dan pemerintahan daerah dilakukan bersamaan dengan pembagian provinsi Indonesia (Kahin, 1995: 177). Militer Jepang di Indonesia umummnya membiarkan euforia proklamasi Indonesia berlangsung sambil menantikan kedatangan Sekutu.

Kabinet Sukarno yang terbentuk mendapat tantangan dari luar kabinet. Kabinet dikritik kelompok pemuda yang anti Jepang setelah melihat para menteri terlalu berbau Jepang. Kekecewaan terhadap kabinet bertambah setelah kabinet mengambil sikap lunak yang cenderung terhadap Jepang. Kegelisahan Kabinet Sukarno bertambah dengan menjelang waktu kedatangan Sekutu ke Indonesia. Pihak Sekutu belum memiliki sikap jelas terhadap Indonesia. Belanda sebagai penguasa wilayah Indonesia sebelum Jepang dan anggota Sekutu justru mengambil sikap bermusuhan dengan Kabinet Sukarno dan ingin mengembalikan kekuasaannya di Indonesia.

(14)

xiv

Sekutu turut pula memanaskan suasana yang ada. Kabinet Sukarno mulai tidak sepenuhnya mampu menguasai situasi yang berkembang.

Kabinet Sukarno pun menghadapi tekanan dalam bidang politik. Sejumlah anggota KNIP merasa peran KNIP tidak jelas dalam pemerintahan. Pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai negara tunggal pun dianggap akan tumpang tindih dengan fungsi KNIP. PNI sebagai partai negara negara yang tunggal dianggap pula dapat menimbulkan bahaya politik. Kekhawatiran lain menyangkut sistem presidensial yang dianut Indonesia. Sistem presidensial dengan kekuasaan besar di tangan presiden tanpa adanya lembaga legislatif dapat menimbulkan bahaya kediktatoran dari presiden. Apalagi situasi Indonesia yang belum kondusif.

Untuk mengatasi kondisi tersebut, dilakukan sejumlah perubahan politik. KNIP diberikan fungsi legislatif. Untuk mengefektikan fungsi KNIP, dibentuklah Badan Pekerja (BP) KNIP. Disamping itu sistem multi partai diputuskan untuk diterapkan di Indonesia. Pembentukan PNI sebagai partai negara dibatalkan dan sebagai gantinya berdirilah berbagai organisasi partai politik, organisasi pemuda, badan perjuangan dan organisasi lainnya. Sistem presidensial juga diubah menjadi sistem parlementer. Sutan Sjahrir kemudian ditunjuk memimpin pemerintahan parlementer (Kahin, 1995: 190). Citra dan kemampuan Sjahrir dianggap paling tepat memimpin pemerintahan Indonesia. Sjahrir telah dikenal sebagai tokoh Pergerakan Nasional dan cukup dikenal kalangan kelompok pemuda.

Setelah terbentuk, Kabinet Sjahrir justru mendapat kecaman keras.

Susunan menteri dan juga BP-KNIP dianggap sangat tidak repersentatif

(Kahin, 1995: 214). Perwakilan Islam dan nasionalis sangat kurang sementara

perwakilan Kristen dianggap berlebihan dalam kabinet. Unsur kelompok

pemuda malah hampir tidak ada dalam kabinet. Posisi-posisi kunci kabinet

dipegang Sjahrir sendiri dan rekannya, Amir Sjarifuddin. Kolega-kolega dekat

Sjahrir dan Amir mengisi hampir semua jabatan menteri. Kabinet pun

(15)

xv

Belanda. Kekecewaan makin besar setelah program Kabinet Sjahrir

diumumkan (Anderson, 1988: 226).

Ketegangan masih berlangsung meskipun pemerintahan telah berganti. Pertempuran dan insiden dengan Sekutu tetap terjadi. Ibukota Jakarta bahkan harus dipindahkan ke Yogyakarta karena gawatnya situasi. Bersamaan dengan itu mundurnya ketertiban sosial mulai berlangsung. Aksi penculikan dan penyerobotan sering terjadi pada masa Revolusi. Unsur-unsur penguasa lama di beberapa daerah yang dianggap menyengsarakan rakyat atau tidak jelas dukungannya terhadap proklamasi mulai disingkirkan. Peristiwa Rengasdengklok telah menjadi model para pemuda di daerah untuk menekan kaum tua agar tidak hanya mengandalkan kompromi belaka dan lebih tegas bertindak. Akan tetapi banyak tindakan “revolusioner” yang ada sulit dibedakan dengan aksi kriminal biasa. Pemerintah tetap kesulitan mengatasi situasi. Di daerah, laskar atau kelompok yang memiliki senjata terkadang malah lebih berkuasa dari pemerintah. Selanjutnya alat-alat negara di daerah makin tidak menghiraukan pemerintah pusat. Saling tangkap atau serobot antara pemerintah dengan laskar malah kerap terjadi (Ricklefs, 1989: 328; Nasution, 1992: 4).

Keberadaan berbagai partai politik, badan perjuangan, laskar dan

pihak tentara makin menyulitkan posisi Sjahrir. Banyak dari partai politik,

badan perjuangan, laskar dan pihak tentara yang menentang berbagai

kebijakan Pemerintahan Sjahrir. Serangan Sjahrir terhadap hal-hal berbau

Jepang juga meningkatkan kebencian terhadap Kabinetnya. Banyak kalangan

politisi, pemuda dan militer yang marah karena merasa menjadi sasaran

propaganda Sjahrir. Kabinet Sjahrir mendapat tekanan-tekanan kuat dari para

penentangnya dalam KNIP maupun agitasi-agitasi langsung di lapangan. Para

penentang Kabinet Sjahrir segera mengambil sikap oposisi terhadap

(16)

xvi

mengundurkan diri pada akhir Februari tahun 1946 (Kahin, 1995: 217; Reid,

1996: 162).

Sjahrir kembali ditunjuk memimpin pemerintahan. Kabinet Sjahrir II

kali ini mendapat dukungan penting dari Presiden Sukarno dan Wakil Presiden

Hatta. Meskipun demikian, ketidakpuasan terhadap Kabinet Sjahrir II tetap

besar meski telah melakukan sejumlah perubahan. Berbagai kelompok di luar

pemerintah tetap keras menentang Pemerintahan Sjahrir. Pemerintah dan

oposisi sama-sama mempertahankan sikap yang dipegang. Situasi tidak

mereda karena pemerintah dan penentangnya saling melakukan berbagai

manuver untuk melemahkan satu sama lain.

Tingginya tensi politik nasional turut memengaruhi wilayah Surakarta. Situasi politik Surakarta telah panas sejak awal Proklamasi. Pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta telah menyatakan mendukung proklamasi dan pemerintahan. Kedua kerajaan mendapat hak istimewa untuk tetap memerintah dibawah Republik. Gerakan Anti Swapraja kemudian muncul menentang Pemerintahan dari Kasunanan dan Mangkunegaran yang dianggap sebagai lambang feodal. Perpindahan Ibukota Indonesia dari makin meningkatkan suhu politik Surakarta. Banyak orang dari Jakarta yang berada di Surakarta setelah perpindahan tersebut. Surakarta segera berkembang menjadi daerah oposisi yang kuat Kabinet Sjahrir. Gerakan Anti Swapraja sedikit banyak termasuk bagian dari kelompok penentang Kabinet Sjahrir.

(17)

xvi i

Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dalam skripsi berjudul “PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR DI SURAKARTA TAHUN 1946”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Mengapa terjadi penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946?

2. Bagaimana proses penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946?

3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari terjadinya penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitan ini yaitu:

1. Untuk memahami situasi yang menyebabkan terjadinya penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946.

2. Untuk mengetahui proses penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946.

3. Untuk memahami dampak yang ditimbulkan atas penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946.

D. Manfaat Penelitian

(18)

xvi ii

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis bermanfaat:

a. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna

dalam rangka pengembangan ilmu sejarah.

b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembaca tentang penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis bermanfaat:

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Dapat memberikan acuan bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kebijakan Pemerintah a. Konsep Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah sering pula disebut dengan istilah kebijakan

publik atau kebijakan umum. Kebijakan sendiri memiliki beragam

pemahaman yang berbeda. Bambang Sunggono (1994: 11) mengutip beberapa

(19)

xix

1). Kleijn menguraikan kebijakan sebagai tindakan sadar dan sistematis, dengan memakai sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran, yang dilakukan secara bertahap;

2). Carl J. Fredrick menerangkan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu;

3). James E. Anderson mendefinisikan kebijakan sebagai rentetan tindakan yang memiliki tujuan tertentu dan diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku untuk memecahkan persoalan tertentu.

Menurut Miriam Budiarjo (2008: 20), kebijakan merupakan

kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik,

dalam usaha memilih tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut. Pada

prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan yang memiliki kekuasaan untuk

melaksananakan kebijakan.

Thomas Dye yang dikutip Bambang Sunggono (1994: 25) mengatakan bahwa kebijakan tidak dapat menjadi kebijakan publik apabila tidak dirumuskan, disahkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Menurut Hoogerwerf dalam Bambang Sunggono (1994: 24), suatu kebijakan akan dianggap sebagai kebijakan publik jika:

1). Kebijakan publik berkaitan langsung atau tidak langsung dengan semua anggota masyarakat di daerah kekuasaan tertentu;

2). Kebijakan publik mengikat semua anggota masyarakat.

Kesimpulannya, kebijakan pemerintah merupakan keputusan yang

(20)

xx

prosedur yang harus dijalani. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah akan

memiliki dampak terhadap semua atau sebagian anggota masyarakat, baik

secara langsung maupun tidak langsung.

b. Tujuan Kebijakan Pemerintah

Menurut Hoogerwerf yang dikutip oleh Bambang Sunggono (1994: 12) mengungkapkan tujuan-tujuan penting kebijakan yaitu:

1). Memelihara ketertiban umum (negara sebagai stabilisator);

2). Memajukan perkembangan dari masyarakat dalam berbagai hal (negara sebagai stimulator);

3). Memadukan berbagai aktivitas (negara sebagai koordinator);

4). Menunjuk dan membagi benda material dan non material (negara sebagai distributor).

Sementara Robert H. Simmons dalam Ibnu Syamsi (1986: 54)

menyatakan bahwa tujuan kebijakan pemerintahan yaitu:

1). Meningkatkan pemuasan kepentingan umum; 2). Menetapkan proses administrasi yang tepat; 3). Menghindari konflik sosial yang destruktif. c. Faktor Yang Memengaruhi Kebijakan Pemerintah

Kebijakan publik dibuat sebagai solusi dari masalah publik yang

muncul dan berkembang dalam masyarakat (Joko Widodo, 2007: 50). Namun

tak semua masalah bisa menjadi kebijakan (M. Irfan Islamy, 2004: 77).

Charles F. Andrain (1992: 16) mengemukakan bahwa dalam suatu

sistem politik, keyakinan, struktur masyarakat, motif, persepsi dan sikap

individual semuanya berinteraksi untuk memengaruhi pilihan atau kebijakan

(21)

xxi

Menurut Nigro dan Nigro dalam M. Irfan Islamy (2004: 25), pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh:

1). Tekanan dari luar dimana pembuatan keputusan tidak bisa lepas dari pengaruh dunia nyata;

2). Kebiasaan lama yang dipandang masih memuaskan untuk diteruskan

atau karena kengganan admininstrator untuk mengkritik kebiasaan lama yang ada;

3). Sifat pribadi dari pihak pembuat keputusan;

4). Kelompok dari luar dalam hal ini lingkungan sosial dimana peran dari pihak lain diperlukan dalam pembuatan keputusan;

5). Pengaruh keadaaan masa lalu.

Ramlan Surbakti (1992: 191) menjelaskan bahwa jumlah yang terlibat, aturan pembuatan dan informasi yang cukup harus dipertimbangkan saat membuat keputusan. Randall B. Ripley dalam Ramlan Surbakti (1992: 194) menyatakan proses kebijakan dipengaruhi oleh lingkungan (lingkungan dalam dan luar pemerintah serta lingkungan khusus kebijakan tertentu), persepsi pembuat kebijakan tentang lingkungan, aktivitas pemerintah dalam menghasilkan rumusan keputusan dan aktivitas masyarakat tentang kebijakan.

Nilai-nilai seperti nilai politik, nilai organisasi, nilai pribadi, nilai kebijakan dan nilai ideologi turut melandasi tindakan dari pihak pembuat keputusan dalam mengambil keputusan (Anderson dalam Irfan Islamy, 2004: 27). M. Irfan Islamy (2004: 121) mengemukakan bahwa nilai itu berasal dari pola keyakinan dan aspirasi masyarakat untuk mempertahankan dan menyejahterakan kehidupan fisik dan mentalnya. Nilai-nilai tersebut turut pula menentukan penggunaan sumber-sumber (manusia, energi, uang, alam dan lain-lain) dalam suatu sistem sosial (M. Irfan Islamy, 2004: 121).

Peter Brigman dan Glyn Davis dalam Kristian Widya Wicaksono (2006: 65) menyatakan bahwa kebijakan publik memiliki beberapa karakteristik yaitu:

1). Memiliki tujuan untuk dicapai atau tujuan yang dipahami; 2). Melibatkan keputusan beserta konsekuensinya;

(22)

xxi i 4). Bersifat dinamis.

Brigman dan Davis meneruskan bahwa kebijakan publik bisa dilihat dari 3 dimensi (Kristian Widya Wicaksono, 2006: 65), yaitu:

1). As Authoritative Choice, yaitu kebijakan bisa dilihat sebagai tanggapan pembuat keputusan terhadap isu atau problem publik; 2). As Hypothesis, yaitu kebijakan dibangun dalam sebuah kerangka

model teori sebab dan akibat;

3). As Objective, yaitu kebijakan publik merupakan pencapaian tujuan. Menurut Amara Rakasasataya dalam M. Irfan Islamy (2004: 20), kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat tiga macam elemen yaitu:

1). Identifikasi tujuan yang ingin dicapai;

2). Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;

3). Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

M. Irfan Islamy (2004: 77) mengungkapkan bahwa membuat suatu

kebijakan negara bukanlah proses yang sederhana karena banyak faktor yang

memengaruhinya. Suatu kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan politik

namun untuk menyejahterakan anggota masyarakat secara keseluruhan.

Sjahrir berkeinginan mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang merupakan jembatan untuk mencapai tujuan sebuah negara yang menjunjung kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, menghindari tekanan dan penghisapan, menegakkan keadilan, membebaskan bangsa dari genggaman feodalisme dan menuju pendewasaan bangsa (Roesdy Husein dalam sudarjanto.multiply.com).

Pemerintahan Sjahrir telah mengeluarkan sejumlah kebijakan seperti

penarikan semua kekuatan bersenjata Indonesia dari Jakarta, pengangkutan

(23)

xxi ii

makanan bagi anggota APWI di Bandung, kebijakan Pepolit dalam tentara dan

perundingan dengan Sekutu (Roesdy Husein dalam sudarjanto.multiply.com).

d. Perumusan Kebijakan Pemerintah

M. Irfan Islamy (2004: 77) mengungkapkan bahwa membuat suatu

kebijakan negara bukanlah proses yang sederhana karena banyak faktor yang

memengaruhinya. Suatu kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan politik

namun untuk menyejahterakan anggota masyarakat secara keseluruhan.

Pembuat kebijakan harus mencari dan menentukan identitas dari

permasalahan kebijakan dengan benar dalam merumuskan suatu kebijakan.

Kekeliruan menentukan permasalahan kebijakan akan membuat salahnya

perumusan permasalahan kebijakan sendiri. Kekeliruan tersebut akan

berdampak panjang dalam proses selanjutnya (Bambang Sunggono 1994: 50).

Langkah berikutnya ialah memasukkan permasalahan dalam agenda

pemerintah. Agenda pemerintah harus menggambarkan permasalahan atau isu

dimana para pembuat keputusan harus memiliki perhatian khusus

terhadapnya.

Menurut Cobb dan Elder dalam Charles O. Jones (Joko Widodo,

2007: 56), prasyarat permasalahan masuk ke agenda pemerintah yaitu:

1). Permasalahan kebijakan mendapat perhatian luas dari masyarakat; 2). Adanya persepsi dan pendapat publik yang luas bahwa diperlukan

beberapa tindakan untuk mengatasi permasalahan kebijakan;

3). Persepsi yang sama dari masyarakat bahwa permasalahan kebijakan

(24)

xxi v

Sementara Anderson dalam Irfan Islamy (2004: 86) menyebutkan

bahwa adanya ancaman keseimbangan antar kelompok, kepemimpinan politik,

krisis besar, gerakan protes dan isu umum yang masuk ke pers turut

memengaruhi problema umum masuk menjadi agenda pemerintah

Setelah agenda pemerintah dibuat, dipilihlah salah satu alternatif pemecahan yang akan diajukan menjadi usulan kebijakan. Usulan kebijakan biasanya diajukan oleh lembaga eksekutif kepada badan legislatif atau pihak yang berwenang. Usulan tersebut oleh badan legistaltif bisa diterima, ditolak atau diterima dengan catatan. Apabila usulan kebijakan disahkan maka kebijakan publik perlu diberi bentuk hukum dengan berbagai bentuk perundang-undangan yang ada. Pemberian bentuk hukum akan memberikan legitimasi bagi kebijakan. Berikutnya kebijakan dapat dipaksakan berlaku dan pelaksanaannya bersifat mengikat bagi yang menjadi sasaran kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 53).

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo dalam Bambang Sunggono (1994: 53), tahap-tahap pembentukan kebijakan publik yaitu:

1). Policy germination, yaitu penyusunan konsep pertama dari suatu kebijakan;

2). Policy recomendation, yaitu rekomendasi mengenai suatu kebijakan; 3). Policy analysis, yaitu analisa kebijakan dimana berbagai informasi

dan penelaahan dilakukan terhadap adanya suatu rekomendasi suatu kebijakan, yang biasanya juga mempertimbangkan berbagai alternatif implikasi pelaksanaanya;

4). Policy formulation, yaitu perumusan kebijakan;

5). Policy decision atau policy approval, yaitu pengambilan keputusan formal terhadap suatu kebijakan, yang umumnya hal ini kemudian disahkan dalam bentuk perundang-undangan;

(25)

xxv

Kerap kali dalam pelaksanaan kebijakan cenderung akan bermasalah.

Beberapa tipe kebijakan menurut Budi Winarno (2002: 158) yang berpotensi

menimbulkan masalah ialah kebijakan yang sama sekali baru, kebijakan yang

didesentralisasikan, kebijakan yang kontroversial, kebijakan yang kompleks,

kebijakan yang terkait dengan krisis dan kebijakan yang ditetapkan

pengadilan.

Pelaksanaan kebijakan umumnya dilakukan oleh lembaga pemerintah di berbagai tingkat. Dalam rangka mencapai tujuan kebijakan, perlu diperhatikan peran dari kelompok-kelompok kepentingan yang bertindak sebagai wakil dari obyek kebijakan. Kegiatan dari kelompok-kelompok kepentingan yang ditujukan untuk menghambat atau mempercepat pelaksanaan kebijakan menjadi bagian dari proses pelaksanaan itu sendiri. Disamping itu, perlu diperhatikan pula suara dari pers dan keputusan keputusan dari pengadilan yang bisa saja terkait dengan pelaksanaan kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 139).

Menurut James E. Anderson dalam Budi Winarno (2002: 179)

melesetnya dampak kebijakan pemerintahan dari yang diinginkan semula

dikarenakan beberapa hal, yaitu:

1). Sumber-sumber yang tidak memadai;

2). Cara melaksanakan kebijakan yang tidak pas;

3). Banyaknya faktor yang memengaruhi suatu kebijakan;

4). Cara orang menanggapi suatu kebijakan, yang berbeda dengan apa yang diperkirakan sebelumnya;

5). Tujuan-tujuan kebijakan yang tidak sebanding atau malahan bertentangan satu sama lain;

6). Biaya yang diperuntukkan menyelesaikan masalah justru lebih besar dari masalah itu sendiri;

(26)

xxv i

8). Sifat masalah yang akan dipecahkan oleh tindakan kebijakan.

Anderson yang dikutip Bambang Sunggono (1994: 139) menjelaskan anggota masyarakat dapat menerima suatu kebijakan karena:

1). Respek terhadap otoritas dan keputusan badan-badan pemerintah; 2). Kesadaran menerima kebijakan;

3). Keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah dan dibuat para pembuat kebijakan lewat mekanisme yang telah ditetapkan;

4). Anggapan bahwa kebijakan sesuai dengan kepentingannya;

5). Sanksi yang akan diterapkan apabila tidak melaksanakan kebijakan; 6). Penyesuaian waktu terutama untuk kebijakan yang kontroversial

yang lebih banyak mendapat penolakan warga masyarakat dalam pelaksanaannya.

Anderson menambahkan bahwa anggota masyarakat bisa saja menolak suatu kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 139) karena:

1). Konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum karena sifat kebijakan yang kurang mengikat;

2). Bertentangan dengan pemikiran atau gagasan kelompok tempat anggota masyarakat bergabung;

3). Keinginan mencari keuntungan dengan cepat yang membuat orang cenderung bertindak melawan hukum;

4). Ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan yang

bisa saja saling bertentangan satu sama lain;

5). Pertentangan tajam antara kebijakan dengan sistem nilai yang dianut masyarakat secara luas atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Perbedaan pandangan antara Pemerintah Sjahrir dengan kelompok diluar pemerintah cukup lebar. Pemerintah berkepentingan mengambil berbagai kebijakan yang moderat terhadap Belanda. Pandangan sebaliknya yang banyak dipegang kelompok luar Pemerintah adalah justru tidak perlu melakukan kompromi dengan Belanda (Reid, 1996: 149).

(27)

xxv ii

terbatasnya alat atau badan perjuangan yang ada. Golongan radikalis justru menginginkan kemerdekaan 100% dan menolak berkompromi dengan Belanda (Sartono Kartodirdjo dalam Lapian dan Drooglever, 1992: 85).

Kelompok pemuda terutama yang menentang kebijakan perundingan. Pertempuran di Surabaya dan Jawa Tengah membuat mereka yakin akan perjuangan kemerdekaan 100%. Para pemimpin yang juga berkaca dari pertempuran tersebut justru menganggap diplomasi menjadi jalan terbaik mempertahankan kemerdekaan (de Jong dalam Lapian dan Drooglever, 1992: 64).

2. Polarisasi Politik a. Konsep Polarisasi Politik

Polarisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 339) yaitu pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Jadi polarisasi politik merupakan pembagian kelompok yang memiliki pandangan politik menjadi dua bagian yang berbeda satu sama lain.

James E. Anderson dalam Bambang Sunggono (1994: 139) menyatakan anggota masyarakat bisa saja menolak kebijakan mengingat beberapa hal seperti konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum karena sifat kebijakan yang kurang mengikat, kebijakan yang bertentangan dengan pemikiran atau gagasan kelompok tempat anggota masyarakat bergabung, keinginan mencari keuntungan dengan cepat yang membuat orang cenderung bertindak melawan hukum, ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan yang bisa saja saling bertentangan satu sama lain dan pertentangan tajam antara kebijakan dengan sistem nilai yang dianut masyarakat secara luas atau kelompok tertentu dalam masyarakat.

(28)

xxv iii

Dalam bidang politik, persaingan kelompok diwujudkan dalam sikap kelompok yang tidak menyampaikan kepada yang lainnya tujuan masing-masing kelompok. Bahkan mereka mengharapkan agar lawan menjadi lengah. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari belum tentu merasakan adanya persaingan yang ada. Masyarakat baru menyadari jika persaingan berubah menjadi pertentangan (Astrid S. Soesanto, 1983: 108).

Peluang kontraversi yang berakibat terjadinya polarisasi selalu ada dimana-mana. Hendropuspito (1989: 246) menyatakan hal itu wajar karena pendapat orang tidak selalu sama dengan orang yang lain. Keuntungan yang diperoleh satu pihak belum tentu menyenangkan pihak lainnya. Kontravensi sebagi fakta sosial selalu berkaitan dengan sikap-sikap sosial yang bersifat negatif, seperti rasa antipati, iri hati, praduga, rasa kahawatir akan terdesak oleh piohak lain, frustasi dan sebagainya. Sikap-sikap tersebut muncul hampir selalu berkaitan dengan maslah pernbedaan ras, suku, agama atau keperceyaan, ideologi dan politik, perbedaan status, perbedaan nasib dan perbedaan dalam sosial dan ekonomi.

Hendropuspito (1989: 246) melanjutkan bahwa pelaku kontravensi mudah ditemukan. Baik secara terang-terangan atau tersembunyi, terjadi kontravensi antara golongan agama yang satu melawan golongan agama dengan yang lain, golongan kaya dengan golongan miskin, golongan terdidik dengan golongan yang tidak terdidik dan kelas yang berkuasa dengan kelas yang tidak berkuasa. Kontravensi dapat pula terjadi antara partai politik yang satu dengan partai politik yang lain dan negara yang satu dengan negara lainnya.

b. Kelompok Polarisasi Politik

Sering kali dalam masyarakat terdapat kelompok yang tidak

menyesuaikan diri dengan kaidah yang berlaku. Kelompok-kelompok tersebut

memiliki motivasi yang berbeda namun motivasi mereka dikarenakan dua hal

(29)

xxi x

1) Kelompok yang tidak puas dengan situasi dan kondisi masyarakat. Kelompok ini dibedakan dua yaitu golongan ekstrim (non konformis) dan golongan moderat.

a). Golongan ekstrim dibedakan dua, yaitu ektrim kanan (melakukan penyimpangan karena dasar halauan masyarakat yang ada dianggap tidak menjamin tercapainya nilai sprirtual keagamaan yang mereka inginkan) dan ekstrim kiri (melakukan penyimpangan karena dasar halauan masyarakat yang ada dianggap tidak menjamin tercapainya nilai materiil yang memuaskan);

b). Sementara golongan moderat tidak setuju dengan pelaksanaan pola dasar di masyarakat namun tidak menentang pola dasarnya sendiri.

2) Kelompok yang tidak bisa mengikuti aturan permainan yang ada, seperti:

a). Kelompok penderita cacat mental; b). Kelompok pemderita cacat fisik;

c). Kelompok pengemis pelacur dan gelandangan; dan d). Kelompok kriminil.

Ralf Dahrendorf yang dikutip Veeger (1990: 217) mengungkapkan

jika ada sekelompok orang yang memilki kepentingan bersama namun mereka

belum berorganisasi, mereka disebut “kelompok konflik potensial”. Ginsberg

(Veeger, 1990: 217) menyebut mereka sebagai field for groups (ladang-ladang

darimana kelompok-kelompok dapat dikerahkan). Selama mereka tidak

berinteraksi mengenai tujuan bersama maka belum akan lahir solidaritas dan

perasaan bersatu.

Dahrendorf menambahkan jika sekelompok orang yang memiliki

(30)

xxx

akan menjadi suatu program yang nyata. Mereka akan berubah menjadi

“kelompok kepentingan yang aktual”. Mereka makin sadar dimana letak

kepentingan mereka dan struktur kekuasaan apa yang menghalangi mereka

(Veeger, 1990: 218).

Dahrendorf lalu menyatakan kondisi yang diperlukan untuk

mengubah kelompok kepentingan potensial menjadi aktual (Veeger, 1990:

218), yaitu:

1). Kondisi struktural, yaitu adanya nilai atau program bersama, organisasi yang terarah dan pemikir dalam organisasi;

2). Kondisi politik dalam suatu negara, entah menguntungkan atau merugikan kelompok kepentingan itu sendiri;

3). Kondisi sosial yaitu adanya pertemuan dan interaksi anggota kelompok.

Penghayatan dari tujuan utama kelompok yang murni ditemukan jika terdapat kesediaan pengorbanan, yang seimbang dengan perwujudan tujuan kelompok tersebut dan apabila partisipasi masyarakat ditingkatkan. Suatu kelompok baru mencapai fase idealnya jika perbedaan yang ada mengalami pengintegrasian. Pembentukan kelompok dipengaruhi keyakinan bersama perlunya pengelompokan dan tujuan, harapan yang dihayati kelompok dan ideologi yang mengikat semua anggota kelompok (Astrid S. Soesanto, 1983: 112 dan 39).

(31)

xxx i

lembaga negara atau sistem pemerintahan. Sebaliknya, lembaga pemerintah dapat pula memengaruhi kehidupan masyarakat.

Secara umum infra struktur politik (Sudijono Sastroatmodjo, 1995: 111), terdiri dari:

1) Partai Politik; 2) Kelompok Penekan; 3) Kelompok Kepentingan; 4) Media Komunikasi Politik; dan 5) Tokoh Politik.

Komponen-komponen infra struktur politik tersebut dalam jalannya sistem memiliki fungsi masukan. Fungsi masukan tersebut memberikan bahan masukan atau informasi yang harus diproses oleh sistem tersebut serta tenaga yang yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup sistem tersebut. Fungsi masukan meliputi dua unsur, yaitu tuntutan dan dukungan.

Yang dimaksud dengan tuntutan yaitu keinginan atau aspirasi dari masyarakat yang terorganisasi dalam berbagai bentuk partai-partai politik maupun kelompok-kelompok kepentingan. Unsur dukungan merupakan pandangan-pandangan maupun tindakan-tindakan yang memberikan “support” untuk berjalannya sistem. Tanpa dukungan, tuntutan-tuntutan yang datang dari masyarakat tidak dapat terpenuhi dan konflik-konflik yang ada dalam sistem politik tidak dapat terselesaikan. Agar tuntutan yang diajukan dalam sistem politik mendapat tanggapan yang baik maka anggota-anggota yang memperjuangkan tuntutan menjadi keputusan yang mengikat. Bagi mereka yang ingin memengaruhi proses politik maka mereka harus mampu memperoleh dukungan dari pihak lain dalam sistem tersebut (Sudijono Sastroatmodjo, 1995: 134).

c. Jalannya Polarisasi Politik

Persaingan bisa memiliki fungsi yang positif seperti mendorong terciptanya kemajuan yang lebih tinggi, adanya fokus untuk mencapai hasil yang lebih baik dari hasil yang telah diperoleh sekarang dan memacu orang untuk menciptakan hal-hal baru yang menungguli orang lain. Namun persaingan dapat pula memicu pihak yang lemah menjadi tertutup kesempatan hidup dan apabila tidak dapat dikontrol dapat menimbulkan bentrokan dalam masyarakat (Hendropuspito, 1989: 241).

(32)

xxx ii

kebijakan politk. Pihak-pihak yang bertikai akan mengadakan politisasi agar keinginannya menjadi isu politik. Untuk itu maka setiap pihak akan membuat perhitungan tersendiri agar kepentingannya tercapai dengan efektif. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan koalisi dengan pihak lain atau cukup diperjuangkan sendiri. Kedua cara tersebut tentu dilakukan dengan berbagai pertimbangan matang. Usaha berikutnya dengan mempengaruhi agar pemerintah keinginannya terkabul.

Pemerintah memiliki tentu saja memiliki pertimbangan tersendiri dalam menghadapi tuntutan-tuntutan tersebut. Tuntutan tersebut bisa diterima atau justru ditolak. Namun tentu saja keputusan yang diambil dan dilaksanakan pemerintah tidak selalu mampu menghentikan pertikaian yang ada. Pihak-pihak yang berkepentingan belum tentu bisa menerima keputusan pemerintah dan justru terus menyuarakan tuntutannya sehingga permasalahan bisa terus berkelanjutan atau malah dimulai dari awal lagi. Apabila tuntutan pihak yang berkepentingan diterima pun bisa pula membuat perubahan baru di bidang lain yang justru dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat (Ramlan Surbakti, 1992: 164).

Persaingan yang timbul diantara pihak yang bertikai dapat berkembang menjadi permusuhan atau kontravensi. Kontravensi atau oposisi dapat dilakukan dengan beberapa cara (Hendropuspito, 1989: 244), yaitu

1) Oposisi kasar dan oposisi halus. Oposisi kasar ditandai dengan ketidaksopanan seperti gangguan, fitnah, provokasi dan lain-lain yang bermaksud menjelekkan lawan; Sementara oposisi halus dilakukan dengan bahasa yang sopan namun memiliki makna tajam dan diketahui oleh umum.

2) Oposisi terbuka dan oposisi tertutup. Oposisi terbuka terjadi bila

(33)

xxx iii

3) Oposisi resmi dan oposisi tidak resmi. Oposisi resmi adalah penentangan yang diterima dan ditegaskan dengan ketentuan hukum. Penegasannya dilakukan lewat lembaga negara atau agama. Ada pula partai oposisi dalam demokrasi yang berfungsi mengkritik yang berguna untuk jalannya pemerintahan; Oposisi tidak resmi merupakan cara penentangan yang tidak dikukuhkan dengan peraturan hukum dan tidak dilembagakan. Oposisi tidak resmi kerap ditemui dalamdiskusi atau proses promosi kesarjanaan. Maksud dari “kritik” ialah supaya suatu kebenaran yang hendak diterima sungguh merupakan kebenaran yang tangguh dan tahan uji.

Kontravensi atau oposisi memiliki dampak (Hendropuspito, 1989: 247), yaitu:

1) Bagi yang menjadi sasaran kontravensi, dapat membuat tertunda atau bahkan gagalnya tujuan yang hendak dicapai;

2) Terlibatnya pihak ketiga dalam ketegangan.

Konflik kepentingan akibat polarisasi politik dapat menyebabkan

terjadinya perubahan politik. Konflik kepentingan diantara berbagai kelompok

yang menyebabkan perubahan merupakan hasil interaksi kepentingan yang

secara ketat dikontrol bahkan ditentukan oleh posisi sosial atau kondisi

materiil elit yang terlibat. Gagasan dan nilai merupakan pencerminan dari

kepentingan saja.

Kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda biasanya

mengartikulasi dan memperjuangkan “budaya” yang berbeda pula. Kelompok

yang memiliki posisi funsional lebih penting dari kelompok lain akan lebih

memiliki kemungkinan untuk mencapai kepuasan daripada kelompok yang

(34)

xxx iv

akan datang dipandang sebagai sangat berhubungan dengan struktur sosial

yang ada pada masa sekarang (Ramlan Surbakti, 1992: 246).

Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Rahman Zainuddin (1992: 180)

menyatakan bahwa solidaritas diperlukan untuk memperjuangkan kepentingan

bersama atau kepentingan orang banyak. Tanpa adanya solidaritas, sulit bagi

orang untuk memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Orang-orang yang

tidak memerhatikan faktor solidaritas dalam perjuangannya seringkali gagal

dalam mencapai tujuannya.

Khaldun menambahkan bahwa hal itu berlaku juga dalam melakukan

perjuangan atau oposisi terhadap negara. Jika ingin melakukan oposisi

terhadap negara maka diperlukan kelompok solidaritas yang lebih kuat dari

kelompok solidaritas yang dimiliki negara. Jika tidak memilikinya, lebih baik

tidak melakukan oposisi karena tindakan oposisi apalagi dalam kondisi negara

yang masih kuat, hanya akan berakhir dengan kehancuran oposisi sendiri

(Rahman Zainuddin, 1992: 181).

Kehidupan politik Indonesia cukup baik pasca munculnya kebebasan

mendirikan organisasi. Banyak organisasi kemudian bersemangat

menyuarakan pendapatnya mengenai permasalahan-permasalahan yang ada.

Berbagai kebijakan Pemerintah segera mendapat respon dari

organisasi-organisasi dalam berbagai bentuk mulai dari cara terbuka hingga tertutup.

(35)

xxx v

Tidak ada masyarakat yang terbebas dari konflik. Kita tidak dapat menghilangkan konflik, yang bisa dilakukan hanya mengurangi jumlah konflik dan mencegah semakin mendalam dan meluasnya suatu konflik. Keberadaan konflik yang selalu terjadi dalam masyarakat bersumber dari hubungan sosial (social relation) yang merupakan hakekat suatu masyarakat (Maswadi Rauf, 1992: 77).

Ralf Dahrendorf (1986: 197) menerangkan tiap masyarakat selalu berubah, dan memperlihatkan pertentangan dan konflik dibanyak bidang. Unsur-unsur dalam masyarakat sendiri yang menyumbang disintegrasi dan perubahan. Kemudian berdirinya suatu masyarakat disebabkan paksaan segelintir anggota masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya.

Salah satu bentuk konflik sosial dalam masyarakat adalah konflik politik. Konflik politik dapat dikelompokkan ke dalam konflik sosial karena terjadi dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya hubungan sosial yang cukup intensif. Konflik politik dapat menimbulkan disintegrasi nasional seperti halnya konflik sosial, malah berdampak langsung bagi disintegrasi nasional jika konflik politik menjadi berlarut-larut tanpa penyelesaian yang pasti (Maswadi Rauf, 1992: 80).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 587), konflik berarti percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Soerjono Soekanto (1982: 89) mendefinisikan konflik sebagai suatu proses dimana orang-perorangan atau kelompok manusia untuk memenuhi tujuannya.

Maswadi Rauf (2002: 2) mengartikan konflik sebagai setiap pertentangan atau perbedaan antara paling tidak dua orang atau kelompok. Lewis A. Coser dalam Veeger (1990: 211) menerangkan konflik sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang jumlahnya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya ingin memperoleh barang yang ia inginkan namun juga berusaha memojokkan lawan-lawannya.

(36)

xxx vi

Ramlan Surbakti dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995: 244) mendefinisikan konflik politik sebagai perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan dalam usaha mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber keputusan yang akan dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Konflik antara dua orang karena perbedaan pendapat tidak selalu menyangkut politik. Konflik bisa menyangkut politik jika perbedaan yang ada melibatkan lembaga politik.

Kesimpulannya, konflik politik merupakan persaingan, pertentangan dan perbedaan pendapat yang melibatkan penguasa politik. Umumnya, masalah yang dipertentangkan berkaitan dengan kebijakan yang akan dan sedang dilaksanakan pemerintah.

b. Macam-Macam Konflik

Ramlan Sur bakti (1992: 149) membagi konflik dalam dua bentuk yaitu: 1). Konflik berwujud kekerasan, umumnya terjadi dalam masyarakat atau negara yang belum memiliki konsensus mengenai dasar dan tujuan negara dan mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang melembaga. Misalnya: huru-hara, pemogokan, pengajuan petisi, pembangkangan sipil dan dialog;

2). Konflik yang tidak berwujud kekerasan, kerap terjadi di negara atau masyarakat yang memiliki konsensus mengenai dasar dan tujuan negara, dan memiliki mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang melembaga. Misalnya: demonstrasi, pemogokan, pengajuan petisi, pembangkangan sipil dan dialog.

Kedua konflik di atas termasuk konflik yang bisa diselesaikan lewat kompromi atau kerjasama antara kedua belah pihak yang saling menguntungkan meskipun hasilnya tidak optimal.

Menurut Paul Conn dalam Ramlan Surbakti (1992: 144), jenis konflik yaitu:

1). Zero-sum Conflict: konflik yang bersifat antagonis dan tidak mungkin diadakan kerjasama atau kompromi diantara pihak yang berkonflik; 2). Non Zero-sum Conflict: konflik yang dapat diselesaikan baik itu

dengan kompromi maupun kerjasama yang menguntungkan kedua pihak, meskipun hasilnya tidak optimal.

(37)

xxx vii

Ted Robert Gurr yang dikutip Maswadi Rauf (2001: 7) menjelaskan ciri-ciri konflik ialah:

1). Terdapat dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik; 2). Sikap permusuhan masing-masing pihak yang berkonflik;

3). Adanya penggunaan kekerasan untuk menghancurkan, melukai atau

menghambat lawan;

4). Interaksi pihak-pihak yang bertikai bersifat terbuka sehingga dengan pengamat independen mudah mendeteksi adanya konflik.

Sementara Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan Tangdililing (1992: 83), mengungkapkan beberapa ciri konflik politik yaitu:

1). Perbedaan besar diantara masyarakat mengenai obyek politik; 2). Polarisasi yang lebih jelas dalam masyarakat;

3). Keterlibatan penguasa politik dalam konflik. d. Pemicu Konflik Politik

Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan Tangdililing (1992: 81) menyatakan konflik politik dapat terjadi karena perbedaan pandangan tentang penguasa politik, sumber-sumber kekuasaan politik yang dimiliki penguasa politik dan mengenai keputusan politik.

Menurut O’Brien, Scharg dan Martin yang dikutip Astrid S. Soesanto (1983: 104), konflik sering terjadi karena:

1). Ketidaksepahaman dalam anggota kelompok mengenai tujuan masyarakat yang semula menjadi pegangan kelompok;

2). Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat dalam mencapai tujuan yang disepakati;

3). Norma-norma kelompok yang dihayati oleh para anggotanya bertentangan satu sama lain;

4). Sanksi dalam norma melemah dan tidak konsekuen dijalankan; 5). Tindakan anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma

kelompok.

Menurut Soerjono Soekanto (1982: 94), yang menjadi penyebab konflik adalah perbedaan antara individu-individu atau kelompok-kelompok, kebudayaan, kepentingan dan sosial.

(38)

xxx viii 1). Sebab-sebab individual:

a). bakat-bakat individual: dimana ada manusia yang memiliki bakat alami lebih dari manusia yang lain dan cenderung berada di atas angin, untuk menjamin kekuasaan;

b). sebab-sebab psikologis: perbedaan dalam kecenderungan

psikologis dimana individu-individu tertentu cenderung mematuhi individu lain. Sebaliknya, ada individu yang cenderung menguasai yang lain.

Kedua hal di atas bukan merupakan dua alasan berbeda dari antagonisme politik namun merupakan dua aspek dari antagonisme politik menuju ke konflik.

2). Sebab-sebab kolektif (Maurice Duverger, 2003: 188), yaitu perjuangan kelas, konflik rasial dan konflik antar kelompok horizontal.

Ralf Dahrendorf dalam Veeger (1990: 214) menyatakan masyarakat terdiri dari penguasa dan orang yang dikuasai. Dualisme ini mengakibatkan kepentingan-kepentingan yang berbeda dan bisa saja saling berlawanan. Lalu, perbedaan tersebut dapat memunculkan kelompok-kelompok yang berbenturan.

Dahrendorf melanjutkan bahwa situasi konflik dalam masyarakat, secara mudah bisa dipahami jika dilihat sebagai konflik mengenai keabsahan wewenang penguasa. Penguasa berusaha mempertahankan kepentingannya, agar keabsahan kedudukannya makin kokoh. Mereka akan mencurigai dan menghambat oposisi, dimana oposisi sering disamakan dengan aksi subversi. Sebaliknya, pihak yang dikuasai yang memiliki perbedaan dengan penguasa, akan mempermasalahkan setiap penyimpangan wewenang yang ada (Veeger, 1990: 216).

Akar konflik di Indonesia pasca kemerdekaan adalah perbedaan pandangan dan kepentingan mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perbedaan tersebut terjadi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok diluar pemerintah. Pertentangan yang muncul sering kali berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang umumnya mendapat perhatian dari masyarakat.

e. Dampak Konflik

Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan A.B. Tangdiling (1992 : 79) menyatakan dampak munculnya konflik adalah hancurnya kehidupan bermasyarakat yang terkena konflik. Bahkan hubungan sosial yang buruk itu dapat memunculkan disintegrasi politik.

Soerjono Soekanto (1982: 98) menyebutkan bahwa dampak konflik yang berkembang dalam masyarakat, yaitu:

(39)

xxx ix

2). Apabila pertentangan terjadi dalam satu kelompok maka yang terjadi adalah retaknya persatuan kelompok;

3). Perubahan kepribadian orang-perorangan;

4). Hancurmya harta benda dan jatuhnya korban jiwa; 5). Akomodasi, dominasi dan takluknya salah satu pihak.

Lewis A. Coser menyebutkan bahwa dampak konflik tidak selalu bersifat negatif. Justru konfliklah yang memberikan banyak kepada keberlangsungan kelompok dan mempererat hubungan antar anggota kelompok. Adanya musuh bersama akan membuat integrasi kedalam kelompok, menghasilkan solidaritas dan keterlibatan, dan membuat anggota-anggota kelompok melupakan perselisihan intern diantara mereka sendiri (Veeger, 1990: 212).

f. Penyelesaian Konflik

Konflik memang gejala alami dan tidak bisa dihindari dalam kehidupan sosial namun bisa dikurangi. Keinginan mengakhiri konflik bisa karena rasa lelah atau bosan para pelaku dan keinginan untuk mencurahkan tenaga ke hal-hal lain.

Simmel dalam Doyle Paul Johnson (1986: 273) mengemukakan cara mengakhiri konflik yaitu menghilangkan dasar dari tindakan-tindakan pihak yang berkonflik, kemenangan salah satu pihak dan kekalahan pihak lain, kompromi, perdamaian dan ketidakmungkinan untuk berdamai.

Beberapa cara yang sering dipakai untuk mengakhiri konflik (Hendropuspito, 1989: 250) yaitu:

1). Conciliato: mempertemukan pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan bersama untuk berdamai;

2). Mediasi: menyelesaikan konflik lewat jasa perantara atau mediator. Mediator umumnya memiliki wewenang untuk memberikan keputusan yang mengikat;

3). Arbitrasi: menyelesaikan konflik lewat pengadilan dengan hakim sebagai pembuat keputusan. Keputusan dari arbiter atau hakim mengikat dan harus ditaati kedua belah pihak;

4). Coercion: menyelesaikan konflik dengan mengunakan paksaan fisik

atau psikologis.

5). Detente: mengurangi ketegangan diantara pihak yang bertikai. Cara ini merupakan persiapan untuk melakukan pendekatan dalam rangka pembicaraan mengenai langkah-langkah perdamaian.

(40)

xl

menghilangkan perbedaan dari pihak-pihak yang berkonflik. Maswadi Rauf (2001: 35) menambahkan bahwa konsensus politik bisa diperoleh lewat pemilihan umum, musyawarah dan pemungutan suara.

Astrid S. Susanto (1983: 103) menyatakan proses integrasi juga merupakan proses konflik (fase disorganisasi dan disintegrasi). Fase-fase dalam integrasi yaitu akomodasi, koperasi, koordinasi dan asimilasi.

4. Subversi a. Pengertian Subversi

Subversi berasal dari bahasa latin yaitu subversus, yang berarti menggulingkan. Dalam bahasa Inggris, subversi (subversion) berarti gerakan bawah tanah untuk menggulingkan pemerintahan yang sah (Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Amir Muhsin, 1987: 280). Subversi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1096) ialah penggulingan kekuasaan atau pemerintahan dengan jalan melemahkan kepercayaan (kesetiaan) rakyat kepada pemerintah.

Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Pnps No 11 Tahun 1963 mengenai pemberantasan kegiatan subversi, subversi merupakan manifestasi pertentangan-pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan (bijgleged), suatu lanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara-cara tertutup (covert), sering pula dibarengi atau disusul tindakan kekerasan yang terbuka (Niniek Suparni, 1990: 95). Departemen Pertahanan dan Keamanan Indonesia menyatakan subversi yaitu kegiatan yang dilancarkan pihak secara terselubung dan secara tidak sah terhadap kepentingan negara sasaran (Djoko Prakoso et al, 1987: 280).

Kesimpulannya subversi merupakan usaha untuk menjatuhkan pemerintahan yang ada dengan cara yang tidak sah yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang sulit dipertemukan.

b. Penyebab Subversi

Setiap bangsa dan negara menginginkan agar kehidupan bernegaranya terwujud dalam keselarasan yang dinamis antara kepentingan yang terdapat pada rakyat dan pemerintahan yang mengelola sumber daya dalam wilayah negara. Kenyataannya tidak demikian karena pada suatu masa akan terjadi pertentangan kepentingan yang sulit dipertemukan penyelesaiannya. Akibatnya kemungkinan terjadi ketegangan politik sebelum berlangsungnya suatu peperangan (Bambang Poernomo, 1984: 117). Pertentangan politik dalam negara kerap terjadi karena ketidakselarasan antara kehendak negara yang akan dilaksanakan pemerintah dengan keinginan sekelompok orang yang memiliki kekuatan sosial-politik dalam suatu negara (Bambang Poernomo, 1984: 118).

(41)

xli

Menurut Djoko Prakoso et al (1987: 289) subversi memiliki beberapa sumber yaitu dari luar negeri atau dalam negeri dari orang-orang negara yang bersangkutan, simpatisan atau orang yang diperalat atau memiliki persamaan kepentingan. Biasanya subversi berlandaskan kepentingan nasional dengan motivasi politik terselubung yang dalam prakek sering tercampur. Djoko Prakoso et al melanjutkan bahwa meski sumber subversi berlainan namun keduanya dapat bekerja sama, sehingga tercipta pola yaitu pola subversi asing dengan bantuan unsur dalam negeri, subversi dalam negeri yang dibantu pihak asing dan subversi dalam negeri yang berdiri sendiri.

c. Ruang Lingkup Subversi

Menurut penjelasan UU No.11 Pnps Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi, subversi selalu terkait dengan politik dan merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang dikehendaki golongan yang berkepentingan. Namun bidang non politik bisa dihubungkan dengan tindakan subversi (Niniek Suparni, 1990: 95).

Keputusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 22 Februari 1969 No. 89/Kr/1968 antara lain menetapkan unsur penting dalam tindak pidana subversi adalah latar belakang politik, yang harus selalu dibuktikan di muka sidang setiap unsur delik yang dituduhkan. Menurut putusan lain MA tanggal 17 Juli 1971 No. 28K/Kr/1969 memberikan pertimbangan lain dimana latar belakang tindak pidana subversi dalam kaitanya dengan kekuatan politik dan asing dan lainnya tidak memerlukan karena yang perlu disimpulkan yaitu unsur delik-delik subversi yang dari perbuatan nyata terdakwa (Bambang Poernomo, 1984: 122).

Sementara dalam putusan MA No. 364 K/Kr/1980 tanggal 26 Januari 1984 menyatakan istilah politik harus dipandang luas dan bukan semata sebagai practical politics atau partai politik melainkan sebagai kebijakan negara dalam ekonomi, sosial dan budaya (Djoko Prakoso et al, 1987: 287)

Oemar Seno Adji (1984: 159) menyatakan pengertian luas dalam UU No.11 Pnps Tahun 1963 bisa memancing hakim untuk memasukkan delik-delik yang semula tidak dimaksudkan untuk tindak pidana subversi ke dalam tindak pidana subversi. Oemar Seno Adji melanjutkan bahwa perumusan yang luas dalam tindak pidana subversi dan delik politik, yang memiliki fungsi perlindungan keamanan atau keselamatan negara, membuka hakim untuk mengadakan interpretasi extensif.

Ruang lingkup subversi (Djoko Prakoso et al, 1987: 289) yaitu:

1). Bidang Ideologi: sasaran ditujukan pada kelemahan-kelemahan dalam bidang ideologi;

(42)

xlii

3). Bidang Ekonomi: mengacau pelbagai macam ekonomi khususnya bidang-bidang vital yang jika berhasil akan memberikan dampak psikologis dan ekonomi kegoncangan masyarakat sasaran subversi, secara sistematis mengenai bidang-bidang tertentu dalam bidang ekonomi dengan maksud untuk dapat dimanipulasi guna kepentingan masyarakat dan menghambat atau menghancurkan usaha-usaha pembangunan ekonomi yang telah dicapai;

4). Bidang Sosial-Budaya: mempertentangkan perbedaan-perbedaan di bidang sosial-budaya secara eksplosif dalam masyarakat, memasukkan nilai-nilai baru di bidang sosial budaya untuk menimbulkan frustasi atau keragu-raguan dan melemahkan integritas persatuan dan kepribadian bangsa;

5). Bidang Pertahanan-Keamanan: melemahkan potensi militer yang ada, memisahkan hubungan rakyat, pertahanan dan keamanan daerah, dan menimbulkan kekacauan serta ketidakpastian dalam masyarakat. Djoko Prakoso et al (1987: 296) menambahkan bahwa subversi memiliki sifat yang spontan dan spektakuler, pragmatis dalam menghadapi masalah dan memakai isu dari masalah-masalah yang timbul pada suatu waktu.

d. Kegiatan Subversi

Kegiatan subversi adalah menguasai keadaan, menciptakan keadaan yang menguntungkan bagi yang melakukan dengan tujuan intermedier antara lain meruntuhkan negara dari dalam, menjatuhkan pemerintahan yang sah, menarik negara sasaran kedalam pengaruh atau blok negara penggerak/pengendali/pelaku subversi dan menimbulkan kerugian baik materi atau imateri kepada negara/pemerintahan yang sah.

Subversi dilakukan dengan menimbulkan perpecahan dan pengrusakan diberbagai bidang, penyelewengan usaha yang mencapai dan memelihara tujuan dan kepentingan nasional, gangguan keamanan negara, berbagai ancaman dibanyak bidang dari negara sasaran subversi, dengan sasaran pemerintahannya agar melemah dengan menggunakan berbagai saluran di negara tersebut (Niniek Suparni, 1991: 15).

(43)

xlii i

Menurut Pasal 1 UU No.11 Pnps Tahun 1963, yang temasuk kegiatan subversi yaitu:

1). Kegiatan yang bermaksud atau diketahui memiliki potensi negatif atau destruktif terhadap ideologi negara Pancasila atau GBHN, kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur negara dan perekonomian yang diselenggarakan atau berdasar keputusan Pemerintah atau berpengaruh luas terhadap hajat hidup rakyat banyak;

2). Bersimpati terhadap musuh negara atau negara yang tidak bersahabat dengan Indonesia;

3). Merusak bangunan umum atau perseorangan atau badan yang dilakukan secara luas;

4). Melakukan kegiatan mata-mata; 5). Melakukan kegiatan sabotase;

6). Memikat tindak-tindak pidana tersebut di atas.

Djoko Prakoso et al (1987: 296) menyatakan pola-pola yang digunakan dalam subversi yaitu:

1). Mengadakan gerakan yang mudah ditiru di tempat-tempat lain; 2). Kampanye diawali dalam surat kabar atau selebaran untuk memicu

demostrasi atau gerakan;

3). Umumnya gerakan dimulai dari golongan kecil yang diharapkan akan

mendapat dukungan luas dalam masyarakat;

4). Sasaran utama biasanya pemerintah dan tiap gerakan didukung pers; 5). Kerap bertujuan untuk menggiring opini umum yang sesuai pendapat

kelompok.

Djoko Prakoso et al (1987: 296) menyatakan pula bahwa beberapa pola sumber yang digunakan dalam subversi yaitu:

1). Pola luar negeri, yaitu pola merah (komunis), pola putih (anti komunis) dan pola New Left;

2). Pola dalam negeri, yaitu:

(44)

xli v

b). Pola subversi ekstrim, yaitu golongan ekstrim kiri dan golongan ekstrim kanan serta golongan ekstrim lain (intelektualisme, separatisme, anarkisme).

e. Metode Subversi

Bentuk subversi yaitu intimidasi, insinuasi, provokasi, intervensi, penetrasi, sabotase, spionase, penghasutan, adu domba dan lain-lain. Strategi subversi yang dilakukan bisa jangka pendek, menengah, panjang dan dalam lingkup lokal, regional, global (Niniek Suparni, 1991: 15).

Djoko Prakoso et al (1987: 313) menyatakan subversi dijalankan lewat: 1). Spionase: usaha memperoleh secara tidak sah keterangan-keterangan

untuk tujuan yang merugikan atau membahayakan negara;

2). Sabotase: usaha kejahatan dan tindakan yang sengaja dilakukan dengan ilegal untuk merusak, membuat agar tidak dapat dipakai, menghilangkan sesuatu benda atau tanaman, membinasakan binatang, menggagalkan atau menghambat program pemerintah sehingga menimbulkan akibat yang luas yang membahayakan negara dalam ekonomi, psikologis, politik atau pertahanan-keamanan;

3). Penggalangan: usaha membuat atau menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi subversi;

4). Infiltrasi: usaha ilegal memasuki wilayah negara tempat-tempat yang tertentu yang sembunyi atau menyembunyikan identitas atau melalui jalan lain daripada yang telah ditentukan dengan maksud spionase, pengalangan, gangguan keamanan, pembentukan kekuatan bersenjata dan atau mengambil bagian memimpin pemberontakan bersenjata; 5). Gangguan keamanan dalam upaya subversi: usaha sengaja dan

melawan hukum bersifat menyeluruh dan berdampak nasional dengan tujuan subversi, seperti demonstrasi liar, kriminalitas, propaganda liar, teror dan tindak pidana terhadap keamanan negara; 6). Pembentukan kekuatan bersenjata: usaha mempersiapkan kekuatan

fisik bersenjata secara melawan hukum untuk mencapai subversi. f. Gangguan Keamanan

(45)

xlv

Prodjodikoro (1986: 193) yaitu: pasal 104 tentang makar terhadap kepala negara seperti membunuh, menghilangkan kemerdekaan atau membuat kepala negara tidak bisa menjalankan pemerintahan, pasal 106 tentang makar memasukkan Indonesia dibawah penguasaan asing dan pasal 107 tentang makar menggulingkan pemerintahan.

Gangguan keamanan lain dalam KUHP (pasal 108-129) yaitu pemberontakan, permufakatan untuk melakukan kejahatan, penyertaan istimewa, berhubungan dengan negara asing yang mungkin akan bermusuhan dengan negara, berhubungan dengan negara asing dengan tujuan agar asing membantu penggulingan pemerintahan, menyiarkan surat-surat rahasia, kejahatan mengenai bangunan-bangunan pertahanan negara, merugikan negara dalam perundingan diplomatik, kejahatan spionase, menyembunyikan mata-mata musuh, menipu dalam hal menjual barang keperluan negara (Wiryono Prodjodikoro, 1986: 199).

Tindakan subversi terjadi karena ada upaya menjatuhkan pemerintahan dengan cara tidak sah. Biasanya subversi terjadi karena adanya pertentangan-pertentangan politik dalam suatu negara. Cara menjatuhkan pemerintahan bisa dengan dari demonstrasi atau aksi fisik seperti penganiayaan, penculikan dan pembunuhan terhadap diri kepala negara atau kepala pemerintahan.

5. Penculikan a. Pengertian Penculikan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 223) menculik yaitu melarikan orang lain dengan maksud tertentu seperti dibunuh atau dijadikan sandera. Menurut KUHP Pasal 328 menyatakan barang siapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum dibawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Jadi penculikan merupakan kegiatan melarikan orang lain dengan maksud-maksud tertentu, dan menjadikan orang tersebut dibawah kekuasaannya dengan berlawanan secara hukum.

b. Penyebab Penculikan

Penculikan menurut KUHP merupakan salah satu bentuk kejahatan yaitu kejahatan melanggar kemerdekaan orang lain (Wiryono Prodjodikoro, 1986: 388). Kartini Kartono (2005: 185) menyebutkan faktor eksternal atau sosial yang menstimulasi banyaknya kejahatan, antara lain:

Referensi

Dokumen terkait

Pembelajaran Fisika melalui metode gasing dapat meningkatkan hasil belajar siswa tentang Listrik Dinamis secara signifikan terbukti dari persentase siswa yang

Contoh: orang yang tidak bisa bekerja cekatan, saat di tuntut untuk bekerja cekatan justru melakukan kecerobohan.oleh karena itu,saran terbaik adalah seleksilah calon karyawan

‘PELABUHAN TANJUNG NJUNG EMAS’ EMAS’. Dosen :

Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang belum berlaku efektif di Desa Manggihan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang menyebabkan warga yang ingin melangsungkan

 Bulletinboard hampir sama dengan whiteboard baik dari sisi bentuk maupun ukurannya tapi bahan pada bagian muka dapat berupa papan yang dicat dengan warna yang

Kesalahan konsep yang di- alami mahasiswa yaitu menganggap reaksi larutan asam dengan basa selalu menghasilkan larutan penyangga, menganggap H2SO4 dan SO4 2-

Karna keterbatasan peralatan pada lab maka kondisi ini tidak dapat tercapai Dengan demikian data pengujian generator dapat dikonversikan pada putaran 1500 rpm

Rencana Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bondowoso merupakan dokumen rencana pembangunan tahunan yang disusun sebagai masukan dalam penyusunan