• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Diri Anak Laki-laki Pertama Jawa

Dalam dokumen KONSEP DIRI ANAK LAKI-LAKI PERTAMA JAWA (Halaman 31-39)

BAB II. LANDASAN TEORI

C. Konsep Diri Anak Laki-laki Pertama Jawa

Sesuai dengan pendapat Harre (dalam Tarakanita, 2001) bahwa peningkatan konsep diri remaja sesuai dengan siklus kehidupan individu, dimana budaya memiliki kaitan yang erat dengan hal tersebut, maka seorang anak yang hidup dalam keluarga berbudaya Jawa, secara otomatis akan mendapat pengaruh budaya Jawa dalam pembentukan konsep dirinya. Budaya Jawa seperti juga budaya berbagai suku di Indonesia, menganut sistem patriarkhis (Darwin dan Tukiran, dalam Uyun, 2002). Sistem patriarkhis ini menganggap bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi

dibandingkan dengan kedudukan perempuan. Sistem patriarkhis masyarakat Jawa pada abad 18, telah melahirkan ungkapan-ungkapan (yang seringkali masih terdengar hingga sekarang) yang menyiratkan inferioritas wanita Jawa (Fananie dalam Uyun, 2002). Ungkapan-ungkapan seperti kanca wingking, swarga nunut neraka katut, wanita hanya mengurus dapur, wanita hanya bergantung pada suami, menegaskan bahwa wanita Jawa tampak menduduki struktur bawah.

Sistem patriarkhis yang menganggap laki-laki lebih tinggi daripada perempuan ini menempatkan hanya laki-lakilah yang pantas sebagai pemimpin. Hal ini tidak terkecuali dalam keluarga dimana ayah yang menjadi kepala keluarga. Fungsi ayah dalam keluarga adalah sebagai kepala keluarga yang bijaksana, mampu mencukupi, dan melindung anggota keluarga yang lain. Melihat dari gambaran peran ayah yang demikian, maka seorang anak laki-laki Jawa yang dikemudian hari juga akan menjadi kepala keluarga diharapkan mampu menjadi seorang figur yang mampu memimpin seperti ayahnya.

Figur pemimpin Jawa seperti yang diungkapkan oleh Keeler (dalam Handayani & Novianto, 2004) harus memenuhi citra ideal sebagai sosok teladan, yaitu pemimpin yang berjiwa kuat, memikat, bertanggung jawab, dan penuh sifat baik. Kekuasaan pemimpin di Jawa tergantung bukan hanya pada kekuasaan yang dipaksakan dan birokratis, melainkan yang penting justru pada bagaimana pemimpin memenuhi citra idealnya tersebut.

Seorang anak laki-laki kelak menjadi seorang pemimpin, maka ia diharapkan tumbuh menyerupai sosok ideal orang Jawa (Darwin dan

Tukiran, dalam Uyun, 2002) yaitu sebagai lelananging jagad yang sakti, tampan, dan banyak isteri, seperti Arjuna tokoh Pandawa dalam pewayangan yang selalu menang di setiap medan perang, dan selalu memenangkan hati setiap dewi. Di sisi lain, anak perempuan harus dapat nrimo, pasrah, halus, sabar, setia, dan berbakti, karena posisi perempuan adalah milik laki-laki, sejajar denganbondo(harta),griyo(istana),turonggo (kendaraan), kukilo (burung atau binatang piaraan), dan pusoko (senjata, kesaktian). Penguasaan terhadap perempuan (wanito) merupakan simbol kejantanan bagi seorang laki-laki. Sebaliknya, ketundukan, ketergantungan dan kepasrahan perempuan kepada laki-laki adalah gambaran kemuliaan hati seorang perempuan Jawa.

Taruna (1987) mengungkapkan pandangan manusia Jawa mengenai usia, bahwa usia adalah tolok ukur dan panutan moralitas. Seorang Jawa akan berpedoman bahwa orang yang berusia lebih tua memiliki moral lebih unggul daripada orang yang lebih muda. Hal ini dimunculkan oleh kemampuan mereka untuk mempertimbangkan benar dan salah yang jauh lebih matang daripada kemampuan orang-orang yang lebih muda. Sesuai dengan pandangan Jawa, sudah seharusnya seorang berusia lebih muda menaruh hormat kepada orang-orang yang memiliki usia lebih tua. Ayah-ibu sebagai wakil kehidupan dan tatanannya berhak atas kehormatan tertinggi dan anak-anak harus ngabekti (berbakti), yaitu suatu bentuk penghormatan dan kebaktian pada orangtua sebagai suatu cara setengah keagamaan (Mulder, 1996).

Lebih jauh Mulder (1996) mengungkapkan bahwa menghormati keunggulan moral mereka berarti menghormati hidup, yang sering kali diuraikan dalam gagasan bahwa menghormati saudara kandung yang lebih tua, ayah-ibu, guru, dan raja adalah sama seperti menghormati “Tuhan”. Toer (2003) dalam bukunya menggambarkan tentang penghormatan terhadap keunggulan moral ini dengan mengutip puisi tradisional yang berbunyi demikian :

Metrum Sinom :

Wedi asih ing wong tuwa Satria tuhu ing Sang Aji Ratu ingkah angreh praja Nuhormi sakersa neki Smujud lahir lan batin Iku sajatining elmu Dedasaring kasatrian

Artinya :

Takut sayang terhadap orangtua Setia tulus kepada Sri Baginda Raja yang memerintah negeri Laksanakan segala kehendaknya Bersujud lahir dan batin

Itulah ilmu yang sejati Dasar dari kesatriaan

Penggambaran ini juga digambarkan dengan baik oleh R.A. Kartini melalui surat yang ia tulis pada 18 Agustus 1899, kepada Estelle Zeehandelaar (Toer, 2003) :

Mengejutkan adat kami orang Jawa.

Seorang adikku, lelaki maupun wanita, tak boleh jalan melewati aku, atau kalau toh harus melewati aku, dia mesti merangkak di atas tanah. Kalau seorang adik duduk di atas kursi dan aku hendak lalu, mestilah dia segera meluncurkan diri ke tanah dan di sana duduk menekuri tanah itu sampai aku tak nampak lagi olehnya. Terhadap aku, adik-adikku tidak boleh ber-aku-ber-kau; dan pada setiap akhir kalimat yang keluar dari mulutnya harus mereka tutup dengan sembah.

Kalau adik-adikku, tak peduli lelaki atau wanita, bicara dengan orang-orang lain tentang diriku, mereka harus pergunakan bahasa tinggi segala apa yang berhubungan dengan diriku, misalnya pakaian, tempat duduk, tangan, kaki, mata, pendeknya apa saja milikku.

Kepalaku yang terhormat ini tiada boleh mereka menyentuhnya tanpa izin istimewa dari aku dan itu pun sesudah diupacarai dengan beberapa kali sembah.

Kalau ada penganan di meja, bocah-bocah kecil itu tak boleh menghampir, sebelum aku berkenan mengambil barang sedikit.

Duh, Stella, kau harus lihat, bagaimana di kabupaten-kabupaten lain saudari dan saudara itu bergaul! Mereka itu saudara, hanya karena mereka anak dari orangtua yang sama; tak ada ikatan lain yang menghubungkan mereka terkecuali darah. Saudara-saudara itu hidup berdampingan seperti orang-orang asing satu terhadap yang lain, cuma persamaan raut muka, yang kadang-kadang pun tak nampak, yang jadi tanda kesaudaraan mereka.

Hal ini menunjukkan konsep hirarki dari tatanan Jawa, bahwa yang lebih bawah harus menghormati semua yang lebih dekat kepada sumber kehidupan, kebijaksanaan moral dan kekuasaan. Menurut falsafah Jawa, seseorang yang hidup serasi dengan hal yang lebih besar dari dirinya merupakan tingkah laku moral yang sangat terpuji.

Sistem patriarkhis yang menganggap laki-laki lebih tinggi daripada perempuan menempatkan hanya laki-lakilah yang pantas sebagai pemimpin, sehingga tak mengherankan apabila dalam sebuah keluarga Jawa anak laki-laki lebih mendapat perhatian dan prioritas yang lebih daripada anak perempuan. Terlebih lagi anak laki-laki yang tertua, ia cenderung mendapatkan perlakuan yang “istimewa” dibandingkan dengan saudaranya yang lain dikarenakan pandangan Jawa mengenai usia sebagai tolok ukur dan panutan moralitas menempatkan anak laki-laki tertua ini pada kedudukan moral yang lebih tinggi (lebih unggul) daripada orang yang lebih muda, sehingga sudah seharusnya adik-adiknya sebagai orang yang berusia lebih muda menaruh hormat kepadanya. Hal ini sesuai dengan konsep hirarki dari tatanan Jawa, bahwa yang lebih bawah (orang yang lebih muda) harus menghormati semua yang lebih dekat kepada sumber kehidupan, kebijaksanaan moral dan kekuasaan (orang yang lebih tua). Dengan menghormati saudara yang lebih tua, maka seorang anak dapat dikatakan hidup serasi dengan hal yang lebih besar dari dirinya, sebagai cerminan dari tingkah laku moral orang Jawa yang sangat terpuji.

Perlakuan yang didapatkan anak laki-laki tertua ini berpeluang menjadikannya terbuai, sehingga ia mungkin dapat tumbuh menjadi pribadi yang berbeda dari saudara-saudaranya. Jika mula-mula anak lain belajar untuk merasa wedi, isin, dan sungkan pada orang-orang yang dihormati, maka anak laki-laki pertama kurang dapat mempelajari hal itu karena ia adalah pribadi istimewa dalam keluarga, dimana ia mendapat kedudukan lebih tinggi dari saudaranya yang lain.

Disebabkan oleh posisinya yang istimewa, maka ia akan sulit untuk bersedia menganggap dirinya lebih rendah daripada orang lain (andhapasor). Keadaan ini juga berdampak pada kurangnya kesadaran akan batas-batas, sehingga ia berbuat sekehendak hatinya sendiri. Situasi “tidak ikut merasakan” yang tidak terbiasa terasah sejak kecil, tidak mendukungnya untuk menjadi orang yangtepa selira.

Sebagai seorang laki-laki dengan kedudukan istimewa dalam keluarga, ia dituntut untuk menjadi sesosok anak utama yang harus seperti Arjuna. Di antara saudara-saudaranya, ia memacu diri dengan sangat keras untuk dapat memberikan gambaran sebagai anak yang paling “sakti” karena pusoko (senjata, kesaktian) miliknyalah yang paling ampuh, ia adalah anak paling “tampan” sehingga paling disukai wanita, memiliki bondo (harta) yang paling banyak, memiliki griyo (istana) yang paling mewah, memiliki turonggo (kendaraan), dan kukilo (burung atau binatang piaraan) yang paling banyak dan mahal.

Dari uraian tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa anak laki-laki pertama dari keluarga Jawa memiliki konsep diri yang terlalu positif.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode wawancara etnografi. Penelitian deskriptif yaitu mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat suatu kesimpulan yang berlaku umum (Sugiyono, 1999). Dalam wawancara etnografi, pewawancara mengontrol pembicaraan dengan cara mengarahkan pembicaraan itu ke arah jalur-jalur yang mengarah pada penemuan pengetahuan budaya informan (Spradley, 2006). Hal ini dilakukan agar tujuan tercapai yaitu mendapat gambaran menyeluruh mengenai subyek studi dengan penekanan pada penggambaran dari pengalaman individual sehari-hari (Fraenkel & Wallen, dalam Creswell, 2003). Hasil akhir yang didapatkan adalah suatu deskripsi verbal mengenai situasi budaya yang dipelajari (Spradley, 2006).

Dari uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai konsep diri dari anak laki-laki pertama keluarga Jawa.

Dalam dokumen KONSEP DIRI ANAK LAKI-LAKI PERTAMA JAWA (Halaman 31-39)

Dokumen terkait