• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1.4 Konsep CSR

Konsep CSR pertama kali dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada

tahun 1953 dalam karyanya Social Responsibilities of the Businessman

(Heryati, 2012). Prinsip yang dijalankan pada masa itu adalah prinsip derma (charity principle), dalam prinsip tersebut dikatakan bahwa sebagian besar berasal dari kesadaran diri pribadi pemimpin perusahaan untuk berbuat sesuatu kepada masyarakat. Semangat berbuat baik itu kepada manusia antara lain dipicu oleh nilai spiritual yang dimiliki para pemimpin perusahaan kala itu (Al-Aufar, 2011).

Selanjutnya, prinsip perwalian (steward principle), prinsip ini menyatakan bahwa perusahaan merupakan wali yang dipercaya oleh masyarakat untuk mengelola sumber daya. Oleh karena itu, perusahaan harus mempertimbangkan dengan saksama berbagai kepentingan dari para pemangku kepentingan yang dikenai dampak keputusan dan praktik operasi perusahaan. Prinsip ini semakin bertambah penting sejalan dengan pengakuan terhadap konsep pemangku kepentingan dimana pemangku kepentingan berpotensi untuk menghambat pencapaian tujuan perusahaan bila kepentingan perusahaan tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat secara luas.

Kemudian berkembang prinsip kepentingan (stakeholder), Freeman

dalam Kartini (2009:8) mendefinisikan stakeholder sebagai setiap kelompok

atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian

tujuan perusahaan. Stakeholder tersebut merupakan pihak-pihak yang

berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, seperti karyawan, pemegang saham, konsumen, masyarakat, pers, maupun pemerintah (Manurung, 2012).

Pada tahun 1990 prinsip CSR berkembang menjadi prinsip

pembangunan berkelanjutan (sustainable development). The Broundthland

Comission mendefinisikan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka (Solihin, 2009 : 17-27). Konsep pembangunan

yang berhubungan dan saling mendukung satu sama lainnya. Ketiga pilar tersebut adalah sosial, ekonomi dan lingkungan. Konsep tanggung jawab

sosial perusahaan yang bersifat pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) sering kali diididentikan dengan metode pengembangan

masyarakat (community development), yaitu motivasi kewargaan (Suharto,

2007 : 109).

Menurut Widianarti (2005) dalam Situmeang (2012 : 166), pendekatan

CSR hendaknya dilakukan secara holistic, artinya pendekatan yang dilakukan

oleh perusahaan tidak dalam kegiatan bisnis semata, melainkan juga bergerak dari yang sifatnya derma (charity) menuju ke arah tanggung jawab sosial yang lebih menekankan pada keberlanjutan pengembangan masyarakat (community development). Intinya, bagaimana melalui program CSR, masyarakat menjadi berdaya, baik secara ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup secara berkelanjutan (sustainability) sehingga perusahaan juga dapat terus berkembang dengan dukungan masyarakat sekitar. Dalam konteks ini, tanggung jawab sosial lebih dimaknai sebagai investasi jangka panjang bagi perusahaan yang melakukannya.

Corporate Social Responsibility (CSR) telah ada sejak abad 17 dan mengalami perkembangan kajian yang mencerminkan dinamika implementatif yang terus mengalami perubahan. Adapun penetrasi aktivitas CSR di Indonesia masih tergolong rendah. Perkembangan CSR di Indonesia yaitu bahwa pengembangan masyarakat dalam usaha memeratakan pembangunan telah lama digulirkan oleh pemerintah. Dimulai dari zaman

kolonial sampai zaman reformasi, bahkan sampai sekarang telah dilakukan berbagai cara dan pendekatan pembangunan melalui pendekatan pengembangan masyarakat. Salah satu istilah yang sangat populer dalam

dunia pengembangan masyarakat dewasa ini adalah Corporate Social

Responsibility (CSR). Berikut adalah beberapa pendapat mengenai pengertian CSR :

1. Petkoski dan Twose (2003) mendefinisikan CSR sebagai komitmen

bisnis berperan untuk mendukung pembangunan ekonomi, bekerjasama dengan karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal dan masyarakat luas, untuk meningkatkan mutu hidup mereka dengan berbagai cara yang menguntungkan bagi bisnis dan pembangunan.

2. Menurut Wibisono (2007 : 7) Corporate Social Responsibility (CSR)

merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerja beserta keluarganya.

3. Nursahid dalam Situmeang (2012:167) menyatakakan bahwa CSR

dipahami sebagai konsep yang lebih “manusiawi” dimana suatu organisasi dipandang sebagai agen moral. Oleh karena itu dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah organisasi bisnis, harus menjunjung tinggi moralitas.

4. Menurut Stiawati (2012 : 202), Corporate Social Responsibility (CSR)

adalah sebuah paradigma baru yang usia perkembangannya tidak kurang dari satu abad ini telah menjadi fokus tersendiri dalam upaya pembangunan di Indonesia. Secara khusus pemerintah menaruh perhatian lebih terhadap kegiatan CSR di Indonesia.

5. Menurut Sjafari dan Sumaryo (2012 : 62) Corporate Social

Responsibility (CSR) adalah komitmen dari perusahaan atau pebisnis, berprilaku etis, berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja dengan pekerja, keluarga, komunitas lokal dan masyarakat luas serta dapat meningkatkan kualitas hidup orang banyak.

Dari sekian banyak definisi CSR, salah satu yang menggambarkan CSR di Indonesia adalah definisi Suharto (2006) yang menyatakan bahwa CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk

membangun sosial ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan. Dari definisi tersebut, dapat kita lihat bahwa salah satu aspek yang dalam pelaksanaan CSR adalah komitmen berkelanjutan dan mensejahterakan komunitas lokal masyarakat sekitar (Rahmatullah, 2011).

2.1.4.1 Tujuan dan Manfaat CSR

Tujuan CSR adalah untuk pemberdayaan masyarakat, bukan memperdayai masyarakat. Pemberdayaan bertujuan mengkreasikan masyarakat mandiri (Untung, 2008 : 9-10). Dalam bisnis apapun, yang diharapkan adalah keberlanjutan dan kestabilan usaha, karena keberlanjutan akan mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan. Menurut Wibisono (2007) dalam Rahmatullah dan Trianita (2011 : 6-7), setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha harus merespon CSR agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional, yaitu :

1. Perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar

bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan mesti menyadari bahwa mereka beroperasi dalam satu tatanan lingkungan masyarakat.

2. Kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang

bersifat simbiosis mutualisme untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.

3. Kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam bahkan

menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu berasal akibat dari dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan.

Menurut Tahajudin (2005) dalam Masyhuri dan Dadit ( 2010 : 118), program – program CSR sering dilakukan tanpa arah yang jelas. Pola perguliran program CSR misalnya hanya berorientasi jangka pendek dan

cenderung untuk digunakan untuk mengamankan operasional perusahaan.

Program CSR lebih banyak bersifat hibah (charity) daripada sebuah program

yang bertujuan untuk menciptakan kemandirian ekonomi masyarakat. CSR dalam hal ini lebih sering diartikan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan, bukannya bentuk pemberdayaan yang dilakukan perusahaan untuk kepentingan korporat.

Berkenaan dengan ini, pendapat Totok Mardikanto (2009) dalam Masyhuri dan Dadit ( 2010 : 118) menyatakan CSR sebagai salah satu bentuk strategi sosial merupakan sumbangan pemikiran yang penting. CSR bukanlah

social cost, seperti yang masih banyak dipahami oleh para pelaku usaha,

tetapi lebih merupakan salah satu bentuk social investment. Dari sudut

pandang seperti inilah barangkali, CSR dapat dikelompokkan sebagai salah satu bentuk aplikasi strategis dalam membangun budaya iptek.

Keberadaan perusahaan idealnya bermanfaat untuk masyarakat sekitar. Bahwa prinsip dasar CSR adalah pemberdayaan masyarakat setempat

yang notabene miskin agar terbebas dari kemiskinan. Adapun harapan dari

pelaksanaan CSR ini adalah pemberdayaan masyarakat dari sisi perusahaan, agar operasionalnya dapat berjalan lancar tanpa gangguan. Jika hubungan antara perusahaan dan masyarakat tidak mesra, bisa dipastikan ada masalah. Pelaksanaan program CSR belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Itu disebabkan minimnya perhatian perusahaan terhadap pelaksanaan CSR.

Dari uraian tersebut, tampak bahwa manfaat CSR bagi perusahaan antara lain :

a. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra merek

perusahaan.

b. Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial.

c. Mereduksi resiko bisnis perusahaan.

d. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha.

e. Membuka peluang pasar yang lebih luas.

f. Mereduksi biaya, misalnya terkait dampak pembuangan limbah.

g. Memperbaiki hubungan dengan stakeholder.

h. Memperbaiki hubungan dengan regulator.

i. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan.

j. Peluang mendapatkan penghargaan (Untung, 2008 : 6-7).

Dokumen terkait