• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1.7 Pemberdayaan Masyarakat

Istilah pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata “power” yang

berarti kemampuan, tenaga, atau kekuasaan. Dengan demikian, secara harfiah pemberdayaan dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan, tenaga, kekuatan, atau kekuasaan (Situmeang, 2012 : 167). Menurut Sjafari dan Sumaryo (2012 : 72), pemberdayaan mempunyai makna dalam menyediakan sumberdaya, peluang, pengetahuan dan keahlian masyarakat untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuannya dalam menentukan masa

depannya dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakatnya. Kartasasmita dalam Makmur (2008 : 61) mengemukakan bahwa pemberdayaan merupakan

unsur yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan (survive), dan dalam

pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Clutterbuck (2003) dalam Makmur (2008 : 54), mendefinisikan pemberdayaan sebagai upaya mendorong dan memungkinkan individu-individu untuk mengemban tanggung jawab pribadi atas upaya mereka memperbaiki cara mereka melaksanakan pekerjaan-pekerjaan mereka dan menyumbang pada pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Definisi pemberdayaan sebagaimana dikemukakan Clutterbuck itu paling tidak memiliki lima dimensi, yaitu : mendorong, tanggung jawab, memperbaiki cara kerja, menyumbang (kontribusi), dan pencapaian tujuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa makna pemberdayaan itu tidak hanya diartikan secara ekonomi, dimana individu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi menyangkut kepercayaan diri setiap individu, harga dirinya, dan nilai-nilai budaya organisasi harus ditempatkan secara seimbang sehingga setiap manusia benar-benar menemukan jati dirinya yang sebenarnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya pemerintah untuk mendorong akselerasi penurunan angka kemiskinan yang berbasis partisipasi yang diharapkan dapat menciptakan proses penguatan sosial yang dapat mengantar masyarakat miskin menuju masyarakat yang madani, sejahtera, berkeadilan

serta berlandaskan iman dan takwa (Sumodiningrat, 2009 : 60). Sedangkan menurut Shardlow dalam Adi (2003 : 54) mengatakan bahwa :

“Such a definition of empowerment is centrally about people taking control of their own lives and having the power to shape their own future”.

(Pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka).

Untuk memahami proses pemberdayaan secara lebih proporsional,

Korten dalam Soetomo (2012 : 419) merumuskan pengertian power sebagai

kemampuan untuk mengubah kondisi masa depan melalui tindakan dan pengambilan keputusan. Pembangunan itu sendiri dapat ditafsirkan sebagai

upaya membangun power oleh suatu masyarakat, antara lain dalam bentuk

peningkatan kemampuan untuk mengubah kondisi masa depan.

Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok yang lemah, yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal misalnya persepsi mereka sendiri, maupun karena kondisi eksternal misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil. Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Yaitu sebagai proses pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok masyarakat, khususnya kelompok yang lemah. Sedangkan sebagai tujuan menunjuk kepada hasil yang ingin dicapai dalam pemberdayaan yaitu masyarakat yang berdaya, dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi,

mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannnya (Suharto, 2006 : 60).

Uluran tangan yang menggunakan label pemberdayaan justru menimbulkan eksploitasi terselubung dan ketergantungan tidak dapat dimasukkan dalam kategori pemberdayaan. Walaupun tidak ada unsur eksploitasi, pemberian bantuan suatu perusahaan kepada masyarakat dalam

rangka program Corporate Social Responsibility (CSR) dengan pendekatan

yang bersifat karikatif, juga tidak dapat disebut pemberdayaan. Hal itu disebabkan karena dapat menimbulkan kesan memanjakan masyarakat, sehingga kurang mendidik dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Ironisnya pula, pendekatan seperti itu sering dianggap sebagai cara yang lebih baik dan tidak merepotkan bagi perusahaan yang melakukan program CSR dan bagi masyarakat penerima. Bagi perusahaan cara seperti itu dianggap lebih mudah dan tidak membutuhkan petugas yang profesional di bidang pembangunan masyarakat, sementara bagi masyarakat justru lebih memberikan kesan bahwa perusahaan tidak mempersulit pemberian bantuan. Kesemuanya itu disebabkan oleh karena baik masyarakat maupun perusahaan kurang berorientasi kepada upaya yang bersifat pengembangan kapasitas yang menjadi salah satu unsur penting dari pemberdayaan. Memang pendekatan yang berorientasi pada pengembangan kapasitas membutuhkan proses yang lebih panjang, serta tenaga pendamping profesional, sehingga

bagi pengusaha terkesan menambah beban dan bagi masyarakat terkesan mempersulit pemberian bantuan (Soetomo, 2012 : 420-421).

Masyarakat perlu diperkuat atau diberdayakan untuk tidak menimbulkan ketergantungan. Sebab apabila hal ini terjadi justru merupakan beban yang bertambah besar bagi negara. Di samping itu, apabila masyarakat kuat dalam hal kewenangannya untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan juga akan membawa dampak positif baik dari sisi masyarakat maupun negara.

1. Dari sudut masyarakat, kewenangan dan kapasitas dalam pengambilan

keputusan dan pengelolaan pembangunan akan lebih mendorong

teraktualisasikannya potensi masyarakat, lebih menjamin

kesinambungan proses pembangunan oleh masyarakat sendiri.

2. Dilihat dari sisi negara, akan menyebabkan program-program

pembangunan oleh negara menjadi efektif serta lebih relevan dan menyentuh kebutuhan nyata masyarakat, oleh karena telah mengakomodasi aspirasi dari bawah (Soetomo, 2012 : 424-425).

Suriadi (2005 : 56) menyatakan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan tiga hal, yaitu :

1. Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi manusia berkembang.

Titik tolaknya adalah penekanan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi-potensi, kemudian diberikan motivasi dan penyadaran bahwa potensi itu dapat dikembangkan.

2. Memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat dimana perlu

langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan serta pembukaan berbagai akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat mampu dan memanfaatkan peluang. Pemberdayaan pada jalur ini dapat berupa pemberian berbagai bantuan produktif, pelatihan, pembangunan sarana dan prasarana baik fisik maupun sosial, dan pengembangan kelembagaan di tingkat masyarakat.

3. Pemberdayaan mengandung arti pemihakan pada pihak yang lemah

untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan.

Menurut Hikmat (2003) dalam Makmur (2008 : 35), strategi pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya bertumpuh pada pendekatan partisipatif pada semua pihak, penguatan kemampuan, dan pendelegasian wewenang kepada masyarakat, serta aktualisasi institusi tradisi dalam pendayagunaan potensi diri dan sosial yang dimilikinya. Pada hakikatnya, strategi pemberdayaan lebih ditujukan pada masyarakat pedesaan atau aparat pemerintahan desa karena sesungguhnya marginalisasi masyarakat mayoritas berada di daerah perdesaan yang mayoritas untuk diberdayakan. Hal ini didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat desa sangat lemah dalam kemampuan, menyampaikan keinginan, tuntutan dan aspirasinya, serta sangat lemah dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan kebijakan yang dibuat pemerintah, dan kelemahan lainnya (Makmur, 2008 : 47-48).

Berdasarkan argumentasi itu, diperlukan pemberdayaan masyarakat. Hanna dan Robinson dalam Makmur (2008:48) menyatakan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga hal, yaitu : apa yang dikerjakan dalam strategi pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat dapat berfungsi; strategi pemberdayaan yang bagaimana yang membuat masyarakat berfungsi; dan mengapa suatu strategi pemberdayaan masyarakat dapat membuat masyarakat berfungsi.

Menurut Suriadi (2005 : 61) aspek penting dalam suatu program pemberdayaan masyarakat adalah program yang disusun sendiri oleh masyarakat, menjawab kebutuhan dasar masyarakat, mendukung keterlibatan

kaum miskin, perempuan, buta huruf, dan kelompok terabaikan lainnya, dibangun dari sumber daya lokal, sensitif terhadap nilai-nilai budaya setempat, memperhatikan dampak lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan, berbagai pihak terkait terlibat serta berkelanjutan.

Konsep atau teori tentang pemberdayaan sumber daya manusia menurut Stewart dalam Makmur (2008 : 62) dibagi dalam dimensi-dimensi berikut ini :

1. Dimensi kemampuan (enabling)

Membuat mampu (enabling) berarti memastikan bahwa staf

mempunyai segala sumber daya yang mereka perlukan untuk dapat diberdayakan secara penuh. Kemampuan memajukan dan mengembangkan organisasi harus didukung tiga kemampuan, yaitu kemampuan teknis, kemampuan sosial, dan kemampuan konseptual.

2. Dimensi kelancaran (facilitating)

Memperlancar (facilitating) mungkin merupakan kecakapan paling

mendasar yang diperlukan oleh manajer yang memberdayakan. Memperlancar juga berarti memperhatikan apa yang perlu dilakukan oleh staf kita, lalu menyediakan jalannya selapang mungkin. Dimensi ini meliputi indikator ketersediaan informasi, fasilitas kerja, ketersediaan waktu, ketersediaan dana, pendidikan dan pelatihan.

3. Dimensi konsultasi (consultating)

Di dalam pekerjaan organisasi, setiap pimpinan atau manajer perlu berkonsultasi dengan para staf. Konsultasi ini tidak hanya menyangkut masalah sehari-hari, tetapi juga masalah-masalah strategis. Konsultasi semacam ini tidak terbatas hanya pada menanyakan pendapat – pendapat dan gagasan-gagasan mereka saja. Dimensi ini menempatkan empat indikator, yaitu tatap muka, komunikasi kotak saran, dan telaahan staf.

4. Dimensi kerjasama (collaborating)

Dimensi collaborating ini mempunyai lima indikator, yaitu rapat,

saling mendukung, membantu, memotivasi dan menyampaikan saran.

5. Dimensi membimbing (mentoring)

Membimbing adalah bertindak sebagai teladan dan pelatih bagi staf dan rekan-rekan sekerja. Membimbing lebih luas daripada pendelegasian. Membimbing sangat fundamental bagi pemberdayaan. Dimensi ini meliputi empat indikator, yaitu melatih, memberikan kecakapan, memberikan petunjuk dan mengarahkan.

6. Dimensi mendukung (supporting)

Dimensi ini menempatkan empat indikator, yakni dukungan moral, dukungan pikiran, dukungan spiritual, dan dukungan finansial.

Dokumen terkait