A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Dasar Perpajakan
a. Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007
tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan No. 6 tahun 1983 adalah sebagai berikut:
”Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Sedangkan pengertian pajak menurut Soemitro:
”Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak
memiliki unsur-unsur sebagai berikut (Ilyas dan Burton, 2004: 5):
1) Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang,
2) Sifatnya dapat dipaksakan,
3) Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
4) Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah (tidak boleh dipungut oleh pihak swasta),
dan
5) Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah
(rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
b. Fungsi Pajak
Pada awalnya hanya dikenal dua fungsi pajak yaitu: fungsi budgeter sebagai fungsi utama dan fungsi regulerend sebagai fungsi tambahan. Namun dalam perkembangannya bertambah dua fungsi lagi, yaitu : fungsi
demokrasi dan fungsi distribusi ( Ilyas dan Burton, 2004 : 8).
Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yakni untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai
undang-undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara, baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembangunan. Apabila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah (Ilyas dan Burton, 2004: 8). Fungsi
ini juga tercermin dalam asas efficiency atau asas financial, yaitu menekankan pada pemasukkan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran
yang sekecil-kecilnya dari suatu penyelenggaraan perpajakan.
Fungsi kedua, fungsi regulerend, yakni suatu fungsi yang menyatakan pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan
(Ilyas dan Burton, 2004: 9). Hal ini dapat dilihat dalam sektor swasta, sesuai
dengan apa yang dikemukakan oleh Djojohadikusumo dengan Fiscal Policy sebagai suatu alat pembangunan yang harus mempunyai satu tujuan
bersamaan secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan
untuk public investment dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private saving kearah sektor-sektor yang produktif maupun digunakan untuk mencegah pengeluaran yang menghambat pembangunan.
“Tujuannya untuk menciptakan iklim yang sehat dari perkembangan dunia
usaha, demi tercapainya kesejahteraan bangsa dan negara serta tercapainya
keseimbangan perekonomian dan politik.
Fungsi demokrasi, fungsi pajak ketiga, adalah suatu fungsi yang
merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong-royong,
termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan demi kemaslahatan
manusia (Ilyas dan Burton, 2004: 9). Fungsi ini sering dikaitkan dengan hak
seseorang jika akan mendapat pelayanan dari pemerintah. Dasar
pemikirannya sederhana, bila seseorang melakukan kewajibannya dengan
membayar pajak kepada negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia
mempunyai hak pula untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari
pemerintah, bila tidak maka pembayar pajak akan melakukan protes
terhadap pemerintah.
Fungsi pajak yang terakhir adalah fungsi distribusi, yakni fungsi
yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan masyarakat.
Misalnya dengan pengenaan tarif progresif yang mengenakan pajak yang
lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan
sebaliknya tarif yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai
penghasilan yang lebih sedikit (Ilyas dan Burton, 2004: 9).
c. Sistem Pemungutan Pajak
Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Adapun ciri-ciri dari
official assesment system yaitu :
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
b) Wajib Pajak bersifat pasif
c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak
oleh fiskus.
2) Self Assessment System
Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri
besarnya pajak yang terutang. Adapun ciri-ciri dari self assesment system yaitu :
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
Wajib Pajak sendiri
b) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang.
c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3) With Holding System
With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan
Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang
yaitu, wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada
pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
d. Utang Pajak
Dalam hukum pajak dikenal ada dua ajaran yang mengatur
timbulnya utang pajak, yaitu (Resmi, 2005:11) :
1) Ajaran Material
Dalam ajaran ini menyatakan bahwa utang pajak timbul karena
diberlakukannya undang-undang perpajakan. Dalam ajaran ini seseorang
akan secara aktif menentukan apakah dirinya dikenai pajak atau tidak
sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
2) Ajaran Formal
Dalam ajaran ini menyatakan bahwa utang pajak timbul karena
dikeluarkanya Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus. Untuk menetukan
apakah seseorang dikenai pajak atau tidak, berapa jumlah pajak yang
harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya dapat diketahui
dalam Surat Ketetapan Pajak tersebut.
Sesuai dengan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, bahwa yang dimaksud
dengan utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam
Surat Ketetapan Pajak atau surat sejenisnya beradasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan pajak.
Setiap perikatan termasuk pula utang pajak, pada suatu waktu akan
kompensasi, daluarsa, dan pembebasan/penghapusan. Berdasarkan
pengertian utang pajak, idealnya hapusnya utang pajak adalah dengan
pembayaran atau kompensasi utang pajak yang terdapat dalam Surat
Ketetapan Pajak atau surat sejenis sebelum tangal jatuh tempo. Akan tetapi
dalam realisasi di lapangan, walaupun Surat Ketetapan Pajak atau sejenisnya
telah jatuh tempo masih banyak Wajib Pajak yang tidak atau belum
melunasi utang pajaknya. Terhadap utang pajak tersebut maka harus
dilakukan tindakan penagihan yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
e. Penghapusan Piutang Pajak
Meskipun upaya penagihan pajak terus dilakukan oleh Jurusita
Pajak, namun pada kenyataannya terdapat beberapa hal atau keadaan
dimana utang pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak/Penanggung Pajak
tidak dapat ditagih lagi. Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi agar
piutang pajak dapat dihapuskan, adalah sebagai berikut (Sabrani, 2006):
1) Piutang tersebut tercantum dalam STP,SKPKB,dan SKPKBT.
2) Sudah dilakukan upaya tindakan penagihan sampai dengan Surat Paksa
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3) WP telah meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan
dan tidak mempunyai ahli waris dengan didukung keterangan dari
instansi atau pihak yang terkait.
4) WP tidak dapat ditemukan lagi karena pindah alamat dan tidak memberi
alamat baru atau meninggalkan Indonesia dengan surat keterangan dari
5) WP tidak mempunyai kekayaan lagi dengan didukung surat keterangan
dari pejabat bahwa perusahaan tersebut telah dilikuidasi dan tidak
mungkin lagi membayar tunggakan pajaknya.
6) Hak untuk melakukan penagihan sudah daluarsa, yakni 5 tahun
f. Perlawanan Terhadap Pajak
Terlepas dari masalah kewarganegaraan dan rasa nasionalisme, pada
kenyataannya kewajiban membayar pajak cenderung dihindari baik secara
sengaja maupun secara tidak sengaja.
Rimsky K. Judisseno membagi perlawanan terhadap pajak menjadi
dua, yakni:
1) Perlawanan Pasif
Perlawanan pasif terjadi atas ketidaktahuan masyarakat tentang
permasalahan dibidang perpajakan. Dalam perlawanan pasif ini
masyarakat secara tidak sadar telah melakukan perlawanan karena
mereka cenderung tidak mengetahui untuk apa, bagaimana, kapan, dan
kepada siapa pajak harus dibayar.
2) Perlawanan aktif
Perlawanan aktif dilakukan oleh orang-orang yang telah mengetahui
peraturan dan kewajibannya di bidang perpajakan, akan tetapi mereka
secara terang-terangan menghindari kewajiban perpajakannya, bahkan
melalaikan dan bermain-main didalamnya.