A. Tinjauan Pustaka
2. Penagihan Pajak
Penagihan pajak dilaksanakan karena masih adanya kewajiban pajak
yang belum dipenuhi oleh Wajib Pajak setelah lewat batas waktu (jatuh tempo)
Penagihan atas tunggakan pajak merupakan hal penting, tetapi proses penagihan
atas tunggakan pajak tersebut harus dilaksanakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan pajak yang berlaku sehingga dalam pelaksanaannya
mempunyai kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak itu sendiri maupun pihak
Fiskus. Proses penagihan pajak tersebut efektif apabila ada peningkatan realisasi
penerimaan pajak melalui pencairan tunggakan pajak.
a. Pengertian Penagihan Pajak
Pengertian penagihan pajak sesuai dengan Pasal 1 ayat 9
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang
berbunyi: “Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung
Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita
(Ilyas dan Burton, 2004: 188).
Menurut Hadi (2001: 2), yang dimaksud dengan penagihan adalah
serangkaian tindakan dari aparatur Direktorat Jenderal Pajak berhubung
Wajib Pajak tidak melunasi baik sebagian atau seluruh kewajiban
perpajakan yang terutang menurut undang-undang perpajakan yang berlaku.
Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya proses
penagihan pajak melibatkan unsur-unsur yang mempunyai arti penting,
1) Utang pajak, yaitu besarnya utang pajak yang belum dilunasi oleh Wajib
Pajak ditambah dengan biaya penagihan sebagai dasar untuk melakukan
penagihan pajak.
2) Serangkaian tindakan sesuai jadwal waktu yang benar, yaitu penerbitan
Surat Teguran, pemberitahuan Surat Paksa, pelaksanaan penyitaan
berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, sampai dengan
pelaksanaan lelang.
3) Aparat Direktorat Jenderal Pajak, yaitu Jurusita Pajak yang telah
memenuhi syarat untuk melakukan penagihan pajak.
4) Penanggung Pajak yang mempunyai kewajiban melunasi utang pajak.
5) Undang-Undang Perpajakan yang berlaku, yaitu UU KUP 1984 dan UU
PPSP serta peraturan pelaksana.
b. Dasar Penagihan Pajak
Penagihan pajak dilakukan terhadap utang pajak yang telah
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Berdasarkan ketentuan pasal 18
ayat (1) UU PPSP disebutkan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak. Ketentuan ini sama
dengan yang diatur dalam pasal 18 UU KUP (UU No. 16 Tahun 2000: 70).
Penagihan dilaksanakan oleh fiskus sehubungan dengan adanya
kewajiban Wajib Pajak, baik sebagian maupun keseluruhan yang masih
terutang pada negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
penerimaan pajak melalui pencairan tunggakan pajak. Yang dimaksud
dengan penagihan yang optimal di sini adalah memaksimalkan penerimaan
pajak dari jumlah tunggakan pajak yang dapat ditagih dengan biaya yang
seminimal mungkin (Sari, 2002: 21).
c. Sanksi Perpajakan di Bidang Penagihan
Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua jenis sanksi, yaitu
sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan
sejumlah pembayaran kerugian berupa uang kepada negara dalam bentuk
bunga, denda, atau kenaikan. Sanksi ini diatur dalam undang-undang KUP.
Sedangkan sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan terhadap
WP/PP agar norma perpajakan dipatuhi. Sanksi pidana berupa denda pidana,
pidana kurungan atau pidana penjara yang ditetapkan oleh Hakim Pidana.
Sanksi administrasi di bidang penagihan berupa bunga penagihan.
Bunga penagihan adalah bunga atas pajak yang terutang menurut Surat
Ketapan Pajak dan tambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar
berdasarkan SK. Pembetulan, SK. Keberatan, atau Putusan Banding yang
saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar. Bunga penagihan
ditagih dengan STP Bunga Penagihan yang dihitung dua persen per bulan
dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal
terbitnya STP Bunga Penagihan, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu
bulan.
Sanksi pidana dapat dikenakan kepada Penanggung Pajak maupun
Jurusita Pajak. Dalam praktik mungkin Jurusita Pajak mendapatkan
ancaman keras, dicegah, dirintangi bahkan digagalkan tugasnya oleh
melawan seorang pegawai negeri (Jurusita Pajak) yang mengerjakan tugas
jabatan dengan sah karena kewajibannya menurut undang-undang diancam
dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan. Hal ini
tersurat dalam KUHP pasal 212, 213, 214, 215. Demikian juga terhadap
Penanggung Pajak yang dengan sengaja mimindahtangankan,
menggelapkan atau merusak barang sitaan menurut peraturan
undang-undang diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun
sesuai pasal 231 KUHP. Sanksi ini dapat ditambah denda setinggi-tingginya
12 juta rupiah menurut pasal 41 A UU PPSP.
Selain itu sanksi pidana dapat juga ditujukan kepada Jurusita Pajak
yang dengan melampaui batas wewenangnya telah memaksa dengan jalan
mendobrak pintu rumah PP yang dalam keadaan tertutup dan lain-lain,
tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai kejahatan dalam jabatan yang
tercantum dalam pasal 429 KUHP. Ancaman pidananya terhadap tindakan
pegawai Negeri tersebut (Jurusita Pajak) adalah satu tahun empat bulan
penjara.
Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta bantuan
pihak lain. Pihak lain tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Badan
Pemerintahan Nasional, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan
Negeri, Bank, ataupun pihak lainnya. Hal ini diatur dalam pasal 5 ayat (4)
UU PPSP. Dalam hal ini Bank menjadi pihak terkait dalam penagihan pajak
apabila barang yang disita berupa deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Pihak
Bank wajib memberikan bantuan kepada Jurusita Pajak. Apabila Bank
dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu dan denda
paling banyak 10 juta rupiah. Hal tersebut tercantum dalam pasal 41 A ayat
(2) UU PPSP.
d. Tugas dan Wewenang Jurusita Pajak
Pengertian Jurusita Pajak sesuai dengan Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang berbunyi: “Jurusita Pajak adalah
pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan
sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:
562/KMK.04/2000 tentang Syarat-syarat Pengangkatan dan Pemberhentian
Jurusita Pajak disebutkan bahwa Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat, dan oleh Gubernur
atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak daerah. Sedangkan untuk
menjadi Jurusita Pajak diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1) Berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau sederajat.
2) Berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda/Golongan II/a.
3) Berbadan sehat.
4) Lulus pendidikan dan latihan Jurusita Pajak.
5) Jujur bertanggung jawab dan penuh pengabdian.
Dalam melaksanakan tugasnya Jurusita Pajak harus dilengkapi dengan
Pajak/Penanggung Pajak. Hal ini dimaksudkan agar Jurusita Pajak
mempunyai bukti diri yang kuat dan bisa menjelaskan bahwa yang
bersangkutan adalah benar-benar Jurusita Pajak yang sah dan mempunyai
tugas dan wewenang melaksanakan tindakan penagihan pajak. Adapun
tugas Jurusita Pajak sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 dan 3 UU PPSP adalah:
1) Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus.
2) Memberitahukan Surat Paksa.
3) Melaksanakan penyitaan atas barang penanggung pajak berdasarkan
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
4) Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.
Jurusita Pajak juga berwenang untuk memasuki dan memeriksa semua
ruangan untuk menemukan objek sita di tempat usaha dan melakukan
penyitaan di tempat kedudukan, di tempat tinggal penanggung pajak atau di
tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita
(Kurniawan dan Pamungkas, 2006:55).
e. Pengertian Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
Berdasarkan pasal 1 angka 25 UU KUP dan pasal 1 angka 3 UU PPSP
disebutkan bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan kewajiban Wajib Pajak menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan (Iswahyudi. 2005: 14).
Pengertian Penanggung Pajak harus dibedakan dengan Wajib Pajak.
Penanggung Pajak terdiri atas Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang
pajak. Orang pribadi atau badan juga dapat menunjuk kuasa untuk
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan yang
berlaku. Pengertian Wajib Pajak atau Subjek Pajak sebagaimana disebutkan
dalam UU No. 28 tahun 2007 pasal 1 angka 2 atas perubahan UU No. 6
tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah
orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
f. Jadwal Waktu Penagihan Pajak
1) Fiskus akan menerbitkan Surat Teguran setelah tujuh hari sejak saat
jatuh tempo pembayaran yang tercantum dalam STP, SKPKB/SKPKBT,
SK. Pembetulan, SK. Keberatan, atau Putusan Banding yang
menyebabkan pajak harus bertambah.
2) Apabila setelah lewat waktu 21 hari sejak Surat Teguran Wajib Pajak
tetap tidak melunasi utang pajak seperti yang dimaksud dalam Surat
Teguran, tindakan penagihan akan dilanjutkan dengan pemberitahuan
Surat Paksa.
3) Apabila dalam waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan Wajib
Pajak tetap tidak mengindahkan pelunasan pajaknya, tindakan
selanjutnya adalah melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan Wajib
Pajak.
4) Apabila dalam waktu 14 hari setelah tanggal penyitaan Wajib Pajak
tetap saja tidak mau melunasi utang pajaknya, fiskus akan melakukan
5) Apabila setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pengumuman lelang
Wajib Pajak tetap saja tidak melunasi utang pajaknya, fiskus akan
melakukan penagihan berupa lelang yang akan dilakukan oleh Kantor
Lelang Negara guna untuk mengambil pelunasan utang pajaknya beserta
sanksi-sanksinya melalui barang yang dilelang.
g. Penerbitan Surat Paksa
Apabila Penanggung Pajak tidak melakukan kewajiban membayar
besarnya pajak yang terutang dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran, pelaksanaan penagihan yang akan dilakukan
selanjutnya adalah menerbitkan Surat Paksa yang salinannya diberitahukan
oleh Jurisita Pajak kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
Dalam Pasal 10 sub 10 UU PPSP disebutkan bahwa, “Surat Paksa
adalah surat perintah membayar utang pajak dan tagihan pajak.” Apabila
pajak yang terutang tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam sesudah
tanggal pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak, tindak
lanjutnya adalah diterbitkannya Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
(SPMP).
h. Proses Penyitaan Barang Milik Penanggung Pajak
1) Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilakukan oleh
Jurusita Pajak berdasarkan SPMP yang diterbitkan oleh Kantor
Pelayanan Pajak.
2) Penyitaan dilakukan dalam waktu 2 x 24 jam sejak tanggal Surat Paksa
3) Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan dua orang saksi
dengan syarat dewasa, penduduk Indonesia, dikenal, dan dapat
dipercaya.
4) Barang yang dapat disita adalah barang yang berada di tempat tinggal,
tempat usaha, tempat kedudukan atau tempat lain, termasuk yang
penguasaannya berada ditangan pihak lain.
i. Objek Sita
Pada prinsipnya semua barang milik Penanggung Pajak dapat disita.
Barang yang dapat disita menurut pasal 14 ayat (1) UU PPSP berupa :
1) Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito
berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga
lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau
2) Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi
kotor tertentu.
Barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan menurut pasal 15 ayat (1
UU PPSP ) adalah:
1) Pakaian dan tempat tidur beserta perlengakapannya yang digunakan oleh
Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
2) Persedian makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta
peralatan memasak yang berada di rumah;
3) Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari
4) Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung
Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan,
dan keilmuan;
5) Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk
melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah
seluruhnya tidak melebihi dari Rp. 20.000.000,00 ;atau
6) Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan
keluarga yang menjadi tanggungannya
j. Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang
Tidak semua barang yang disita akan dilelang meskipun Penanggung Pajak
tidak melunasi utang pajaknya setelah dilakukan penyitaan. Barang sitaan
berupa uang tunai, deposito berjangka, saldo rekening koran, obligasi,
saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada
perusahaan lain menurut pasal 25 ayat (2) tidak perlu dilelang.
Barang-barang tersebut digunakan untuk membayar biaya penagihan dan utang
pajak dengan cara:
1) Uang tunai disetor ke Kas Negara atau Kas Daerah;
2) Deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke Kas Negara
atau Kas Daerah atas permintaan Pejabat kepada bank yang
bersangkutan;
3) Obligasi, saham, dan surat berharga lainnya yang diperdagangkan di
4) Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan
di bursa efek segera dijual oleh Pejabat;
5) Piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak
menagih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat;
6) Penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan
pengalihan hak menjual dari Penanggung Pajak kepada Pejabat.
k. Daluarsa Penagihan Pajak
Daluarsa penagihan merupakan suatu batasan waktu yang ditentukan oleh
undang-undang yang berlaku bahwa fiskus tidak mempunyai hak lagi untuk
melakukan penagihan terhadap utang pajak Wajib Pajak. Daluarsa
penagihan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kepastian hukum bagi
Wajib Pajak terhadap suatu utang pajak untuk tidak ditagih lagi. Ketentuan
mengenai daluarsa penagihan tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2007 tentang
perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi sebagai berikut:
“Hak utuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluarsa setelah lampau 5 tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan banding, serta Putusan Peninjauan Kembali .”