• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. Tinjauan Ekonomi Kota Tangerang Selatan

3.4. Struktur Perekonomian

Struktur perekonomian Kota Tangerang Selatan selama ini didominasi oleh kategori Real Estate sebagai andalan. Kategori ini menyumbang 17,92 persen terhadap penciptaan nilai tambah di Kota Tangerang Selatan dengan nilai nominal 14,84 trilyun rupiah. Kategori dengan kontribusi terbesar kedua adalah Kategori perdagangan besar dan eceran dan reparasi mobil dan sepeda motor, dengan share sebesar 17,24 persen atau dengan nilai sekitar 14,28 triliun rupiah. Selanjutnya diikuti oleh kategori konstruksi yang mempunyai share sebesar 16,26 persen (13,47 trilyun rupiah).

Gambar 3. 4.

Struktur PDRB adhb Kota Tangerang Selatan, 2019

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan Dalam tiga tahun terakhir, kecenderungan peranan kategori yang berbasis jasa mengalami fluktuasi. Sedangkan share dari sektor primer dalam tiga tahun tidak melewati 0,25 persen. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat daya beli masyarakat perkotaan

Real Estate;

Jasa Perusahaan; 3,91% Transportasi dan Pergudangan;

3,40%

Lainnya;

9,31%

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 27 | |

Tahun 2020

sangat tinggi dan luas lahan pertanian semakin berkurang dan tidak menjanjikan terutama bagi para tenaga kerja muda. Maka pilihan lain yang tersedia adalah bekerja pada sektor industri atau bekerja pada sektor berbasis jasa.

Perkembangan kategori berbasis jasa juga tidak terlepas dari potensi yang dimiliki Kota Tangerang Selatan, sehingga sektor yang terkait dengan budaya masyarakat perkotaan seperti perdagangan, hotel, restoran, angkutan, komunikasi dan jasa perorangan masih sangat memungkinkan untuk berkembang terus. Selain itu, bekerja pada sektor berbasis jasa cenderung mudah dan tidak memerlukan keahlian khusus sehingga tidak heran jika kategori ini banyak menampung pekerja.

Pada tahun 2018 share sektor primer (agriculture) terhadap PDRB Kota Tangerang Selatan sebesar 0,24 persen dan pada tahun 2019 kontribusinya turun menjadi 0,22 persen. Hal sebaliknya terjadi pada sektor berbasis jasa (services). Jika pada tahun 2018 kontribusi sektor ini terhadap PDRB Kota Tangerang Selatan sebesar 74,70 persen, pada tahun 2019 meningkat menjadi 74,93 persen.

Tabel 3. 7.

Struktur Perekonomian Kota Tangerang Selatan Menurut Kategori, 2017-2019

Lapangan Usaha Share (%)

2017 2018 2019

(1) (2) (3) (4)

A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,25 0,24 0,22

B Pertambangan dan Penggalian 0,00 0,00 0,00

C Industri Pengolahan 9,53 8,97 8,40

D Pengadaan Listrik dan Gas 0,16 0,15 0,14

E Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah

dan Daur Ulang 0,04 0,04 0,04

F Konstruksi 15,60 15,90 16,26

G Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil

dan Sepeda Motor 17,00 17,09 17,24

H Transportasi dan Pergudangan 3,31 3,35 3,40

I Penyediaan Akomodasi dan

Makan Minum 3,12 3,07 3,02

J Informasi dan Komunikasi 11,03 10,66 10,26

K Jasa Keuangan dan Asuransi 1,31 1,34 1,37

L Real Estat 17,47 17,72 17,92

M,N Jasa Perusahaan 3,84 3,88 3,91

O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan

Sosial Wajib 1,35 1,34 1,35

P Jasa Pendidikan 8,66 8,91 9,09

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 28 | |

Produk Domestik Regional Bruto 100,00 100,00 100,00 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan 3.5. PDRB Pengeluaran

Secara umum PDRB pengeluaran terdiri dari empat jenis pengeluaran yaitu pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran untuk investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor netto.

Komponen lengkap PDRB menurut penggunaan adalah pengeluaran konsumsi rumahtangga, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok, dan ekspor netto (ekspor dikurangi impor).

Dimana :

Y : PDRB (GRDP; gross regional domestic products) Ch : Konsumsi rumah tangga (households consumption)

Cn : Konsumsi lembaga swasta non profit (private non-profit institutions consumption)

Cg : Konsumsi pemerintah dan pertahanan (government consumption) Ii : Pembentukan Modal Tetap Bruto (gross fixed capital formations) Is : Perubahan persediaan (changes in stocks)

X : Ekspor M : Impor

Dilihat dari PDRB Pengeluaran Kota Tangerang Selatan tahun 2019, konsumsi rumah tangga merupakan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB penggunaan yaitu sebesar 73,97 persen. Pembentukan modal tetap bruto (investasi) merupakan konsumsi terbesar kedua setelah konsumsi rumahtangga yaitu sebesar 39,46 persen.

Kontribusi impor di Kota Tangerang Selatan tahun 2019 cukup signifikan jika dibandingkan dengan ekspornya, dimana impor di Kota Tangerang Selatan

Y = Ch + Cn + Cg + Ii + Is + X – M

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 29 | |

Tahun 2020

memberikan kontribusi sebesar 63,86 persen sedangkan ekspornya sebesar 48,57 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar kebutuhan barang-barang di Kota Tangerang Selatan masih tergantung dari impor, baik impor luar negeri maupun impor antar daerah.

Jika dilihat laju pertumbuhannya dari tahun 2018 ke tahun 2019, ternyata pertumbuhan tertinggi berada di Komponen Konsumsi LNPRT dengan pertumbuhannya sebesar 7,28 persen, diikuti Pengeluaran Konsumsi Pemerintah dengan pertumbuhannya sebesar 6,87 persen. Sedangkan laju pertumbuhan untuk Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga sebesar 5,08 persen, Pengeluaran Konsumsi Pembentukan Modal TetapBruto (PMTB) sebesar 5,04 persen dan Pengeluaran Ekspor sebesar 1,91 persen. Sedangkan pertumbuhan Pengeluaran Impor tahun 2019 sebesar -0,55 persen dan pertumbuhan Pengeluaran Perubahan Inventori sebesar -14,40 persen.

Tabel 3. 8.

Hasil Perhitungan PDRB Pengeluaran Kota Tangerang Selatan, 2019

Komponen

dan Penyelenggaraan Rumah Tangga 10,25 7,69 12,37 4,65 1.d. Kesehatan dan Pendidikan 4,74 3,51 5,72 4,57 3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 1,44 0,95 1,74 6,87 4. Pembentukan Modal Tetap Bruto (4.a. +

4.b.) 37,92 23,70 45,78 5,04

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 30 | |

Tahun 2020 3.6. Koefisien Gini

Koefisien Gini atau Gini Rasio adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan atau ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Di banyak negara, syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan adalah melalui pertumbuhan ekonomi. Namun seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat tidak akan secara langsung menaikkan kesejahteraan penduduk, khususnya mereka yang berpendapatan rendah. Pertumbuhan ekonomi tetap perlu walaupun tidak cukup untuk memberantas kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi akan lebih berarti apabila diikuti dengan menurunnya disparitas antara si kaya dan si miskin, terutama dalam hal pendapatan.

Jika pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh si kaya, maka akan terjadi gap yang semakin besar antara si kaya dan si miskin. Bahaya laten yang menunggu adalah munculnya berbagai macam gejolak sosial akibat timbulnya kesenjangan tersebut.

Ukuran standar yang biasa digunakan untuk mengetahui ketimpangan (disparitas) pendapatan adalah koefisien Gini (Gini Ratio) yang berkisar antara 0 (kesetaraan mutlak) hingga 1 (ketimpangan mutlak). Bank Dunia membagi penduduk ke dalam tiga golongan pendapatan, yaitu 40 persen penduduk berpendapatan rendah, 40 persen penduduk berpendapatan sedang dan 20 persen penduduk berpendapatan tinggi. Kondisi ideal adalah jika koefisien gini mencapai angka 0 (kesetaraan mutlak) dimana 40 persen penduduk berpendapatan rendah juga menikmati 40 persen dari total pendapatan, 40 persen penduduk bependapatan sedang menikmati 40 persen dari total pendapatan dan 20 persen penduduk berpendapatan tinggi menikmati 20 persen dari total pendapatan.

Nilai koefisien gini Kota Tangerang Selatan tahun 2019 sebesar 0,33 artinya bahwa ketimpangan pendapatan yang terjadi di Kota Tangerang Selatan masih dalam taraf sedang. Ini menggambarkan bahwa pendapatan antara si kaya dan si miskin terjadi gap/perbedaannya yang sedang. Dengan pemerataan pendapatan yang lebih merata maka akan mengurangi tingkat kemiskinan, tentunya dengan diimbangi pengendalian harga kebutuhan sehari-hari terutama pengenalian harga beras karena sebagian besar pengeluaran penduduk miskin adalah untuk pengeluaran konsumsi makanan.

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 31 | |

Tahun 2020 Tabel 3. 9.

Koefisien Gini dan Kriteria Bank Dunia Kota Tangerang Selatan, 2018-2019 Uraian Tahun 2018 Tahun 2019

(1) (2) (3)

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan

Menurut Kriteria Bank Dunia menyatakan bahwa jika 40% penduduk termiskin menerima kurang dari 12% total pendapatan, maka tingkat kemiskinannya parah, jika 40% penduduk termiskin menerima antara 12% − 17 % total pendapatan, maka tingkat kemiskinannya sedang, jika 40% penduduk termiskin menerima lebih dari 17 % total pendapatan, maka tingkat kemiskinannya rendah. Dalam hal ini untuk wilayah Kota Tangerang Selatan jika dilihat dari persentase yang diterima 40 % persen penduduk berpendapatan rendah yaitu sebesar 19,66 persen, maka Kota Tangerang Selatan mempunyai tingkat kemiskinan rendah, bahkan jika dilihat dari persentase penduduk miskin maka Kota Tangerang Selatan merupakan kota yang paling rendah tingkat kemiskinannya jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya diseluruh wilayah Negara Indonesia yaitu pada tahun 2019 sebesar 1,68 persen.

Bila dilihat dari Garis Kemiskinan di Kota Tangerang Selatan terjadi kenaikan dimana tahun 2018 sebesar Rp 549.150,- naik menjadi Rp 593.781,- tahun 2019. Ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahtraan masyarakat di Kota Tangerang Selatan tahun 2019 mengalami peningkatan dibanding tahun 2018.

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 32 | |

Tahun 2020

IV. Analisis Sektor Basis dan

Ketenagakerjaan

Analisis Location Quotient

Analisis Shift Share

Incremental Capital Output Ratio

Analisis Ketenagakerjaan

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 33 | |

Tahun 2020

4.1 Analisis Location Quotient

Penentuan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi era globalisasi. Langkah menuju efisiensi dapat ditempuh dengan fokus pada pengembangan sektor ekonomi yang mempunyai keunggulan komparatif terhadap daerah lainnya. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sektor ekonomi unggulan adalah metode Location Quotient (LQ).

Secara matematik, Location Quotient atau lebih populer disebut dengan LQ diformulasikan sebagai perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor di daerah yang diamati dengan kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas.

Analisis LQ salah satunya dilakukan untuk menentukan sektor basis atau sektor yang menjadi unggulan suatu daerah. Walaupun pada perkembangannya analisis LQ juga digunakan dengan berbasis pada data tenaga kerja dan pendapatan.

Secara matematis, LQ diformulasikan sebagai berikut:

dimana :

ntbi : Nilai tambah bruto sektor i di suatu daerah yang lebih kecil pdrbi : PDRB daerah yang lebih kecil

NTBi : Nilai tambah bruto sektor i di suatu daerah yang lebih luas PDRBi : PDRB daerah yang lebih luas

Setiap metode analisis memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasi sektor basis antara lain penerapannya sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit. Sedangkan kelemahannya adalah analisis LQ tidak bisa menjawab apa yang menyebabkan sebuah sektor menjadi sektor unggulan. Sealain itu, dalam analisis LQ juga diperlukan data pembanding antara dua wilayah pada periode yang sama.

LQ = ( ntbi / pdrbi) / ( NTBi / PDRBi )

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 34 | |

Tahun 2020 Hasil perhitungan analisis LQ menghasilkan 3 kriteria, yaitu:

1. LQ > 1, artinya sektor tersebut menjadi basis atau memiliki keunggulan komparatif. Komoditas di sektor tersebut tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di wilayahnya sendiri tapi juga dapat diekspor ke luar wilayah.

2. LQ = 1, artinya sektor tersebut tergolong non basis, tidak memiliki keungulan komparatif. Komoditas sektor tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan di wilayahnya sendiri.

3. LQ < 1, artinya sektor tersebut tergolong non basis. Komoditas di sektor tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan atau impor dari luar wilayah.

Metode LQ untuk mengidentifikasi komoditas unggulan diakomodasi dari Miller &

Wright (1991), Isserman (1997), dan Ron Hood (1998). Menurut Hood (1998), Loqation Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang lebih sederhana dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Teknik LQ merupakana salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemicu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.

Berdasarkan hasil analisis LQ Kota Tangerang Selatan dibandingkan dengan Provinsi Banten, kategori Jasa Perusahaan di Tangerang Selatan memiliki kemampuan yang relatif jauh lebih tinggi dibanding kategori yang sama di tingkat Provinsi Banten pada tahun 2019. Hal tersebut bisa dilihat melalui nilai LQ yang sebesar 3,47, artinya bahwa proporsi penciptaan nilai tambah kategori Jasa Perusahaan dan di Kota Tangerang Selatan 3,47 kali lebih besar daripada proporsi penciptaan nilai tambah sektor tersebut di Provinsi Banten.

Untuk beberapa kategori yang masih tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Tangerang Selatan sehingga diperlukan pasokan atau impor dari luar wilayah Kota Tangerang Selatan. Pada tahun 2019, dari 17 kategori pembentukan PDRB ternyata delapan kategori yang harus mengandalkan impor dari luar wilayah Tangerang Selatan. Kedelapan kategori tersebut adalah kategori Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, kategori Pertambangan dan Penggalian, kategori Industri Pengolahan, kategori Pengadaan Listrik dan Gas, kategori Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang, kategori Transportasi dan Pergudangan, kategori Jasa

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 35 | |

Tahun 2020

∆Y r,i,t = ( Psi + Spr,i + Sdr,i )

Keuangan dan Asuransi, dan kategori Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib. Hasil penghitungan LQ selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4. 1.

Nilai LQ Sektoral Kota Tangerang Selatan, 2015-2019

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan

4.2. Analisis Shift Share

Analisis Shift-Share membandingkan perbedaan laju pertumbuhan berbagai sektor di suatu wilayah (region) dengan wilayah yang lebih luas (provinsi). Akan tetapi, berbeda dengan analisis LQ yang tidak dapat menjelaskan apa faktor penyebab perubahannya, analisis Shift-Share merinci penyebab perubahan atas beberapa variabel.

Kategori LQ

2015 2019

(1) (2) (3)

1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 0,05 0,04

2. Pertambangan dan Penggalian 0,00 0,00

3. Industri Pengolahan 0,34 0,27

4. Pengadaan Listrik dan Gas 0,05 0,08

5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah

dan Daur Ulang 0,55 0,51

6. Konstruksi 1,49 1,47

7. Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi

Mobil dan Sepeda Motor 1,43 1,34

8. Transportasi dan Pergudangan 0,32 0,31

9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 1,34 1,26

10. Informasi dan Komunikasi 3,11 2,93

11. Jasa Keuangan dan Asuransi 0,44 0,46

12. Real Estat 2,36 2,26

13. Jasa Perusahaan 3,54 3,47

14. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan

Jaminan Sosial Wajib 0,66 0,66

15. Jasa Pendidikan 2,66 2,54

16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 3,65 3,34

17. Jasa lainnya 2,00 1,89

Total 1,00 1,00

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 36 | |

Tahun 2020

P r,i,t = { ( Y N,i,t / Y N,i,t-n ) – ( Y N,t / Y N,t-n ) } x Y r,i,t-n

Ps i,t = Y r,i,t-n x ( Y N,t / Y N,t-n ) – Y r,i,t-n

∆Y : Perubahan NTB( NTB tahun t – NTB tahun t-n ) P : Provincial atau wilayah yang lebih luas

r : Region atau wilayah analisis i : Sektor PDRB

t : Tahun

PS : Provincial Share P : Proportional Shift D : Differential Shift

Komponen Analisis Shift-Share : 1. Provincial Share

Yaitu seandainya pertambahan Nilai Tambah Bruto regional sektor i sama dengan proporsi pertambahan Nilai Tambah Bruto nasional secara rata-rata.

2. Proportional Shift

Yaitu melihat pengaruh sektor i secara nasional terhadap pertumbuhan Nilai Tambah Bruto sektor i secara region yang dianalisis.

3. Differential Shift

Menggambarkan penyimpangan antara pertumbuhan sektor i di wilayah analisis terhadap pertumbuhan sektor i secara nasional (disebut juga pengaruh keunggulan komparatif).

Total Perubahan Nilai Tambah Bruto (NTB) Kota Tangerang Selatan dari tahun 2015 ke tahun 2019 sebesar Rp.26.602,91 milyar (82.840,31 – 56.237,40) yang terdiri atas:

D r,i,t = Y r,i,t – ( Y N,i,t / Y N,i,t-n ) x Y r,i,t-n

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 37 | |

Analisis Perubahan NTB Kota Tangerang Selatan dengan Metode Shift Share (2015-2019) Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 38 | |

Tahun 2020 Cat: 1. Dibandingkan dengan Provinsi Banten

2. Penghitungan menggunakan data PDRB adhk 2010 (Milyar Rp.)

Dari hasil perhitungan di atas, diketahui bahwa tambahan NTB di Kota Tangerang Selatan sebesar Rp. 26.602,91 milyar disebabkan oleh pengaruh positif dari pertambahan NTB Regional Provinsi Banten. Berdasarkan Tabel 4.2, pertumbuhan komponen proportional shift (P) Kota Tangerang Selatan periode tahun 2015-2019 ada yang bernilai positif dan negatif. Nilai P postif, berarti perekonomian Kota Tangerang Selatan berspesialisasi pada sektor yang sama dan tumbuh cepat pada perekonomian Provinsi Banten. Sebaliknya apabila nilai P negatif, berarti perekonomian Kota Tangerang Selatan berspesialisasi pada sektor yang sama dan tumbuh lambat pada perekonomian Provinsi Banten.

Pengaruh proportional shift sebesar Rp. 4.574,07 milyar, hal ini berarti bahwa perekonomian Kota Tangerang Selatan hampir di semua kategori yang sama dan tumbuh cepat pada perekonomian Provinsi Banten. Jika dilihat per kategorinya, untuk kategori industri pengolahan dan kategori Informasi dan Komunikasi nilai proportional shiftnya ( P ) negatif, hal ini disebabkan karena proporsi pertambahan NTB kategori industri pengolahan dan kategori Informasi dan Komunikasi dari Kota Tangerang selatan terhadap PDRB Provinsi Banten sangat rendah, sementara kategori tersebut mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap pembentukan PDRB Provinsi Banten.

Perubahan NTB oleh differential shift yang merupakan akibat keunggulan komparatif beberapa sektor di Kota Tangerang Selatan terhadap Provinsi Banten sebesar Rp 244,59 milyar rupiah. Nilai ini terjadi karena selama periode 2015-2019 boleh dikatakan bahwa Kota Tangerang Selatan memiliki keunggulan komparatif cukup tinggi, pada kategori Konstruksi, Real Estate, Transportasi dan Pergudangan, Jasa Pendidikan, Jasa Perusahaan, Jasa Pendidikan, Jasa Keungan dan Asuransi, dan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib dengan laju pertumbuhan masing-masing kategorinya lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan pada kategori yang sama di Provinsi Banten.

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 39 | |

Tahun 2020

ICOR = ∆K / ∆Y,

4.3. Incremental Capital Output Ratio (ICOR)

ICOR (Incremental Capital Output Ratio) merupakan sebuah koefisien yang digunakan untuk mengetahui berapa kebutuhan investasi guna menghasilkan penambahan output sebanyak 1 unit. Selain itu juga dapat dilihat terjadinya ineficiency dalam investasi, yaitu bila koefisien ICOR bernilai negatif atau nilai relatif besar. Kondisi investasi yang efisien akan terjadi pada koefisien ICOR yang nilainya relatif kecil.

Dalam konsep ICOR, investasi yang dimaksud adalah total dari pembentukan modal tetap (fixed capital formation) dan stok barang yang terdiri dari gedung, mesin dan perlengkapan, kendaraan, stok bahan baku dan barang modal lainnya. Sedangkan output adalah nilai tambah bruto (NTB) yang merupakan selisih antara nilai produksi dengan biaya –biaya untuk bahan baku dan penolong. Dalam penggunaan koefisien ICOR diasumsikan bahwa faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan tambahan output seperti penambahan tenaga kerja dan penggunaan teknologi pada mesin-mesin produksi dianggap konstan.

Secara matematis ICOR dinyatakan sebagai rasio antara penambahan modal (investasi) terhadap tambahan output. ICOR dapat dinotasikan sebagai berikut:

dimana :

∆K = Investasi atau penambahan kapasitas

∆Y = Pertumbuhan output

Nilai Koefisien ICOR Kota Tangerang Selatan tahun 2019 sebesar 5,77 yang berarti bahwa untuk menghasilkan tambahan (increment) Rp. 1 milyar output diperlukan tambahan modal Rp. 5,77 milyar rupiah. Angka ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan 1 satuan output (NTB) di Kota Tangerang Selatan dibutuhkan investasi sebesar 5,77 milyar rupiah.

Salah satu diantara kegunaan ICOR adalah untuk menghitung kebutuhan investasi riil (PMTB) dalam rangka mewujudkan target indikator ekonomi tertentu yang telah ditetapkan pemerintah dalam dokumen rencana pembangunan.

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 40 | |

Tahun 2020 Tabel 4. 3. Nilai Koefisien ICOR Kota Tangerang Selatan, 2010-2019

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan Cat: *) : Angka perubahan

**) : Angka sementara 4.4. Analisis Ketenagakerjaan

Analisis ketenagakerjaan yang akan dibahas disini sebatas hanya ingin mengetahui seberapa besar dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja di Kota Tangerang Selatan. Dalam analisis ini diasumsikan bahwa penyerapan tenaga kerja terjadi karena adanya pertumbuhan ekonomi, sedangkan faktor lainnya dianggap tetap (Ceteris paribus). Sebagai sumber informasi ketenagakerjaan digunakan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Kota Tangerang Selatan tahun 2018-2019.

Tabel 4. 4. Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi No Lapangan Pekerjaan ∆ TK

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan, data diolah.

Cat *) : Meliputi Kategori pertambangan dan penggalian; listrik, gas dan air bersih;

konstruksi; perdagangan besar dan eceran

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 41 | |

Tahun 2020

Dari hasil penghitungan PDRB Kota Tangerang Selatan, diperoleh angka LPE periode 2019 sebesar 7,35 persen, Laju pertumbuhan ekonomi ini mengalami perlambatan jika dibandingkan 2018. Melambatnya laju pertumbuhan ekonomi terjadi di hampir semua lapangan usaha, hanya lima kategori lapangan usaha saja yang mengalami peningkatan laju pertumbuhan yaitu kategori Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, kategori Industri Pengolahan, kategori Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang, kategori Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum dan kategori Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib.

Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi di Kota Tangerang Selatan diikuti dengan peningkatan jumlah tenaga kerja, dimana pada tahun 2018 jumlah tenaga kerja sejumlah 740.364 orang meningkat menjadi 750.650 orang pada tahun 2019. Ini artinya terjadi peningkatan tenaga kerja sebanyak 10.286 orang, dengan kata lain tenaga kerja di Kota Tangerang Selatan tahun 2019 tumbuh sebesar 1,39 persen.

Dari tabel 4.4 dapat terlihat bahwa peningkatan jumlah tenaga kerja di lapangan usaha Industri Pengolahan mengalami percepatan pertumbuhan yang sangat signifikan yaitu mencapai 6,29 persen. Demikian juga dengan tenaga kerja di lapangan usaha Jasa-jasa mengalami percepatan pertumbuhan sebesar 1,10 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh daya serap tenaga kerja di Kota Tangerang Selatan terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah tenaga kerja khususnya pada sektor Industri Pengolahan dan sektor Jasa-jasa. Sedangkan sektor Pertanian mengalami penurunan jumlah tenaga kerja yang sangat signifikan yaitu dari 8.798 orang tahun 2018 menjadi 5.292 orang tahun 2019. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya lahan pertanian di Kota Tangerang Selatan, dan ini sejalan juga dengan semakin menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Kota Tangerang Selatan.

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 42 | |

Tahun 2020 Tabel 4. 5.

Penduduk 15 Tahun keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan di Kota Tangerang Selatan, 2018-2019

No Lapangan Pekerjaan Tenaga Kerja Share 2019 2018 2019 (%)

(1) (2) (3) (4) (5)

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan

8.798 5.292 0,70

2 Industri Pengolahan 110.563 117.516 15,66 3 Jasa - jasa 621.003 627.842 83,64 Total 740.364 750.650 100,00 Sumber: Sakernas, Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan

Cat *) : Meliputi sektor pertambangan dan penggalian; listrik, gas dan air bersih;

bangunan; angkutan dan komunikasi;

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 43 | |

Tahun 2020

V. Analisis Keuangan

Analisis Location Quotient

Analisis Shift Share

Incremental Capital Output Ratio

Analisis Ketenagakerjaan

Badan Pusat Statistik & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan | | | | 44 | |

Tahun 2020 5.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Peranan pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian pada dasarnya terbagi menjadi tiga peran utama, yaitu pengatur, pengumpul dan penyedia (Teguh Dartanto, 2009). Sebagai pengatur, pemerintah bertugas menciptakan aturan main agar interaksi di antara pelaku ekonomi bersifat adil. Sebagai pengumpul, pemerintah bertugas mengumpulkan pendapatan dari pajak dan sumber pendapatan lain untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan sebagai penyedia, pemerintah bertugas menyediakan jasa layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, infrastruktur fisik dan pemerataan pendapatan melalui penciptaan lapangan pekerjaan.

Peranan pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian pada dasarnya terbagi menjadi tiga peran utama, yaitu pengatur, pengumpul dan penyedia (Teguh Dartanto, 2009). Sebagai pengatur, pemerintah bertugas menciptakan aturan main agar interaksi di antara pelaku ekonomi bersifat adil. Sebagai pengumpul, pemerintah bertugas mengumpulkan pendapatan dari pajak dan sumber pendapatan lain untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan sebagai penyedia, pemerintah bertugas menyediakan jasa layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, infrastruktur fisik dan pemerataan pendapatan melalui penciptaan lapangan pekerjaan.