• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Konsep yang digunakan

Petani dapat didefinisikan sebagai penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam kegiatan cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses cocok tanam. Kategori ini mencakup penganggaran atau penerimaan bagi hasil maupun pemilikan penggarap selama mereka berada dalam posisi pembuat keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka (Lansburger dan Alexandrov, 1984: 9-10). Petani merupakan seseorang yang benar-benar menendalikan tanah secara efektif yang dia sendiri sudah lama terikat oleh ikatan- ikatan tradisi dan perasaan (Redfield, 1985:20). Dengan demikian petani sendiri sudah terikat oleh tradisi masyarakat petani berupa pengelolaan tanah yang dikerjakannya sendiri dan budaya yang melingkupinya. Senada dengan pendapat di atas Mubyarto(1973) menyatakan petani adalah orang yang mengerjakan sebidang tanah, baik tanahnya sendiri maupun sebagai penyewa dengan imbalan bagi hasil, keadaan yang demikian dikarenakan dalam

commit to user

kehidupan petani sendiri terbagi kedalam kelompok-kelompok sebagi berikut :

1) Pemilik penggarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap tanahnya sendiri.

2) Penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak mempunyai tanah tapi mempunyai tanah garapan melalui sewa dan atau bagi hasil.

3) Pemilik penyewa dan atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang disamping menggarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah milik orang lain.

4) Pemilik bukan penggarap.

5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak mempunyai tanah garapan dan tidak memiliki tanah sendiri, yang sebagian besar terdiri dari buruh tani (Gunawan Wiradi dalam Tjondronegoro, 1984:303).

Di dalam masyarakat Jawa, yang sangat kuat agrarisnya, membagi masyarakat petani di pedesaan menjadi beberapa golongan berdasarkan penguasaan tanah. Pertama, petani kenceng, adalah para petani yang memiliki tanah dan pekarangan sekaligus. Kedua, petani setengah kenceng yang berarti hanya memiliki pekarangan saja. Ketiga, gundukan, yaitu mereka yang hanya mempumyai sawah saja. Terakhir dari golongan petani pedesaan adalah pengindung, yaitu mereka yang hanya mempunyai rumah

commit to user

atau tidak mempunyai apa-apa (M.M Billah dalam Soediono M.P.Tjondronegoro. 1984:261).

Sedangkan Aidit dalam Aminudin Kasdi (2001:8) membagi masyarakat petani berdasarkan penguasaan tanah secara nyata di lapangan yaitu sebagai berikut :

1) Tuan tanah, terdiri dari para pemilik tanah seluas sepuluh sampai ratusan hektar.

2) Petani kaya, yaitu petani yang memiiliki tanah dari 5-10 hektar yang dikerjakannya sendiri. Meskipun mereka tergolong kaya, namun lebih suka mengerjakan tanahnya sendiri dengan memakai tenaga buruh daripada menyakapkannya kepada orang lain.

3) Petani sedang, yaitu memiliki tanah sampai dengan lima hektar, sekedar untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak menggunakan buruh ataupun menyakapkannya.

4) Petani miskin, yaitu mereka yang tidak memiliki tanah dan alat-alat pertanian sama sekali. Mereka tinggal diatas tanah orang lain atau menumpang (Kasdi, 2001:8).

Petani-petani yang mengerjakan pertanian untuk penanaman modal dan usaha melihat tanahnya sebagai modal dan komoditi bukanlah petani melainkan pengusaha petanian (Redfield, 1985:19). Petani merupakan pencocok tanam di pedesaan yang produksinya terutama ditujukan untuk memenuhi

commit to user

kebutuhan-kebutuhan konsumsi dan ia merupakan bagian dari masyarakat yang lebih luas (Scoot, 1984: 238). Eric R. Wolf lebih lanjut memperjelas kedua pengetian diatas dengan membedakan pengertian farmer (penguasaha pertanian) dengan peasant (petani pedesaan). Petani sebagai orang desa yang bercocok tanam, artinya mereka bercocok tanam dan berternak di daerah pedesaan, tidak dalam ruangan-ruangan tertutup (green house) di tengah- tengah kota atau dalam kotak-kotak aspidistra yang diletakkan di ambang jendela. Mereka bukanlah farmer (pengusaha pertanian) seperti yang kita kenal di AS. Farmer mengkombinasikan faktor produksi yang dibeli di pasar untuk memperoleh laba dengan jalan menjual hasil produksinya secara menguntungkan di pasar hasil bumi. Peasant (petani pedesan) tidak melakukan usaha dalam arti ekonomi, ia mengelola sebuah rumah tangga, bukan sebuah bisnis (Wolf, 1985:2).

Tanah pertanian terdiri dari tegalan dan sawah. Tegalan adalah tanah pertanian kering yang biasanya terdapat di daerah curam sehingga tidak dapat digunakan untuk sawah, juga karena sifat tanahnya yang tidak dapat menahan air. Sawah sendiri ada dua jenis, yaitu sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Sawah tadah hujan merupakan sawah yang pengairannya tidak berasal dari irigasi, melainkan hanya mengandalkan curah hujan (Koentjaraningrat, 1984:72). Siklus pertanian di sawah dimulai

commit to user

pada akhir musim kering yang berdasarkan kalender jatuh pada bulan Oktober atau November.

Kehidupan petani yang tidak lepas dari masalah membuat petani memiliki suatu konsep kepemilikan tanah tersendiri. Adapun sistem kepemilikan tanah yang ada di masyarakat ada beberapa jenis. Menurut Koentjaraningrat dalam Soediono M.P Tjondronegoro (1984:254) setidaknya ada empat sistem kepemilikan tanah di Jawa, yaitu milik umum atau komunal dengan pemakaian beralih (norowito), sistem pemakaian bergilir (norowito gilir), sistem komunal dengan pemakaian tetap (bengkok), dan sistem individu (yasan). Senada dengan Koentjaraningrat, Gunawan Wiradi dalam Soediono M.P Tjondronegoro (1984) juga membagi sistem kepemilikan tanah menjadi empat, yaitu :

1) Tanah yasan, yasa, atau yoso : yaitu tanah dimana hak seseorang atas tanah itu berasal dari kenyataan bahwa dia dan leluhurnyalah yang pertama-tama membuka atau mengerjakan tanah tersebut.

2) Tanah norowito, gogolan, pekulen, pelayangan, kesikepan, dan sejenisnya: yaitu tanah pertanian milik bersama, yang daripadanya para warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir atau secara tetap, dengan

commit to user

syarat bahwa si calon sudah kawin, memiliki rumah atau pekarangan serta bersedia melakukan kerja wajib bagi desa. 3) Tanah nitisari, bondo deso, kas desa : adalah tanah milik

desa yang mau menggarapnya yang hasilnya nanti sebagian dapat digunakan sebagai kas desa.

4) Tanah bengkok : yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa terutama lurah, yang hasilnya dapoat digarap sebagai “gaji” selama mereka menduduki jabatan itu (Tjondronegoro, 293-294).

Pola pertanian telah mengalami perkembangan dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Menurut Smith (1972) ada enam sistem atau cara bertani yang mencakup sistem bertani yang mencakup sistem paling sederhana dan dianggap paling modern. Keenam tahapan atau tingkatan usaha tani tersebut antara lain :

1) Bercocok tanam di pinggir kali, 2) Pertanian yang berpindah-pindah,

3) Sistem pertanian dengan teknologi cangkul, 4) Penggunaan bajak sederhana,

5) Sistem Bajak modern.

Tahapan atau pola sistem pertanian seperti ini merujuk pula pada tahapan perubahan sosial atau perkembangan masyarakat modern yang dilihat dari sudut perubahan hubungan

commit to user

sosial diantara manusia dan tanah. Perubahan sistem ini sering bersumber pada penerimaan pemakaian inovasi baru atau teknologi pertanian yang baru (Sugihen, 1997: 118-122).

b. Kemiskinan

Menurut Sayogya, rumah tangga buruh tani dan petani sempit sudah lama diketahui tergolong miskin disamping rumah tangga nelayan dan perajin (Ihromi, 1999:240). Mubyarto mengartikan kemiskinan sebagai :

Situasi kekurangan yang terjadi karena bukan dikehendaki oleh si miskin, melainkan tidak dapat dihindari dengan kekuatan atau kemampuan yang ada padanya. Kemiskinan itu ditandai dengan sikap dan tingkah laku yang mau menerima keadaan yang seakan-akan tidak dapat berubah, yang tercermin dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya produktifitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan, serta kesempatan untuk berpartisipasi (Mubyarto, 1997: 17).

Sedangkan menurut Syahrial Syarbaini, yang dimaksud dengan kemiskinan adalah: Suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup untuk memelihara dirinya sendiri yang sesuai dengan kehidupan kelompoknya dan juga tidak mampu untuk memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompoknya itu (Syarbaini, 2002:21).

commit to user

Kemiskinan memang merupakan persoalan multi dimensial yang tidak saja melibatkan faktor ekonomi, tetapi juga sosial, budaya dan politik. Pertama, yang paling kelas adalah bahwa kemiskinan berdimensi ekonomi atau material. Dimensi ini menjelma alam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material, yaitu seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan lain-lain. Dimensi dapat diukur dalam rupiah meskipun harganya akan selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung dari tingkat inflasi rupiah itu sendiri.

Kedua, kemiskinan berdimensi sosial budaya. Ukuran kuantitatif kurang dapat dipergunakan untuk memahami dimensi ini sehingga ukurannya sangat bersifat kualitatif. Lapisan yang secara ekonomis miskin akan membentuk kantong-kantong kebudayan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan hidup mereka. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, keterberdayaan dan lain-lain. Untuk itu serangan terhadap kemiskinan sama pula artinya dengan pengikisan budaya ini. Apabila budaya ini tidak dihilangkan maka kemiskinan ekonomi juga sulit ditanggulangi.

Ketiga, kemiskinan berdimensi struktural atau politik, artinya orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural atau politis.

commit to user

Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak mempunyai kekuatan politik, sehingga menduduki struktural sosial paling bawah. Ada asumsi yang paling menegaskan bahwa orang yang miskin secara struktural atau politis akan berakibat pula miskin dalam bidang material (ekonomi). Untuk itu langkah pengentasan kemiskinan apabila ingin efektif juga harus mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis.

Dimensi-dimensi kemiskinan ini pada hakikatnya merupakan gambaran bahwa kemiskinan bukan hanya dalam pengertian ekonomi saja. Untuk itu program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan ekonomi tetapi memperhatikan dimensi yang lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapatkan prioritas, namun bersamaan dengan itu seyogyanya juga mengejar target mengatasi kemiskinan non-ekonomi. Ini sejalan dengan pergeseran strategi pembangunan nasional, bahwa yang dikejar bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pembangunan kualitas manusia seutuhnya dalam tataran sosial, budaya, dan politik (Nugroho,2001:191-192).

Kesulitan akan timbul ketika fenomena kemiskinan diobyektifkan dalam bentuk angka-angka. Ini seperti halnya

commit to user

dengan pengukuran dan penentuan garis batas kemiskinan yang hanya kini menjadi perdebatan. Dengan kata lain, tidaklah mudah untuk menentukan berapa rupiah pendapatan yang harus dimiliki oleh setiap orang agar terhindar dari garis batas kemiskinan. Jadi dalam hal ini kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan- persoalan kuantitatif tetapi juga kualitatif. Sebab di dalam masyarakat kadang ada orang yang secara kuantitatif atau obyektif (apabila dihitung pendapatannya dengan rupiah) tergolong miskin tetapi tinggal dalam lingkup budaya tertentu, orang tersebut merasa tidak miskin. Bahkan merasa cukup dan justru berterima kasih kepada nasibnya. Hal ini biasanya berkaitan dengan nilai- nilai budaya tertentu seperti nilai nrimo, takdir, nasib dll (Dewanta, 1995:29-30).

Saat ini terdapat banyak cara pengukuran kemiskinan dengan standar yang berbeda-beda. Ada dua kategori tingkat kemiskinan, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah suatu kondisi dimana tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Kemiskina relatif adalah penghitungan kemiskinan berdasarkan proposi distribusi pendapatan dalam suatu daerah. Kemiskinan jenis ini dikatakan relatif karena lebih berkaitan dengan distribusi pendapatan antar lapisan sosial. Misalnya membandingkan proporsi pendapatan

commit to user

nasional yang diterima oleh sekelompok tertentu dengan kelompok-kelompok sosial lainnya. Namun yang terjadi ukuran kemiskinan saat ini adalah ukuran kemiskinan jenis pertama.

Pada tahun 1971, Prof. Sayogyo mengusulkan cara mengukur kemiskinan dengan pendekatan kemiskinan absolut. Cara yang dikembangkan adalah memperhitungkan standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Ada tiga golongan orang miskin, yaitu golongan paling miskin yang mempunyai pendapatan perkapita pertahun beras sebanyak 240 kg atau kurang, golongan miskin sekali yang memiliki pendapatan perkapita pertahun beras sebanyak 240 hingga 360 kg, dan lapisan miskin yang memiliki pendapatan beras perkapita pertahun lebih dari 360 kg tetapi kurang dari 480 kg. Meskipun upaya yang dilakukan oleh Sayogya pada akhirnya juga menimbulkan perdebatan, namun ia telah berjasa dalam meletakkan standar obyektif pengukuran garis kemiskinan.

Biro Pusat Statistik juga memberikan alternatif untuk mengukur garis kemiskinan dengan cara menetukan berapa besar kalori minimum yang harus dipenuhi setiap orang dalam sehari- hari. Badan ini mengusulkan bahwa setiap orang harus memenuhi 2100 kalori setiap harinya. Jadi 2100 kalori ini merupakan garis batas kemiskinan. Namun tidak hanya itu, karena hal-hal lain yang perlu juga diperhitungkan adalah kebutuhan non pangan seperti

commit to user

kebutuhan perumahan, bahan bakar penerangan, air, sandang, jenis barang yang tahan lama serta jasa-jasa. Kemudian kriteria ini dirubah dalam angka rupiah. Karena harga kebutuhan-kebutuhan itu berubah-ubah maka harga yang ditetapkan oleh BPS juga mengalami perubahan tiap tahun. Dengan kata lain, inflasi yang terjdi setiap tahun mengakibatkan perubahan harga yang pada akhirnya mengakibatkan kenaikan (perubahan) garis kemiskinan (Nugroho, 2001:189-190). Adapun kriteria rumah tangga miskin menurut BPS antara lain :

1) Luas tanah tempat tinggal kurang dari 8 M² per orang.

2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal dari tanah/bambu/kayu murahan.

3) Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester.

4) Tidak punya fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5) Sumber penerangan rumah tangga bukan listrik.

6) Sumber air minum dari sumur/ mata air tidak terlindungi/ sungai/ air hujan.

7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu/ arang/ minyak tanah.

8) Konsumsi daging/ susu/ ayam hanya sekali dalam seminggu atau tidak pernah mengkonsumsi.

commit to user

9) Pembelian pakaian baru untuk setiap dalam satu tahun hanya membeli satu stel/ tidak pernah membeli.

10) Makan dalam satu hari untuk hanya satu kali / dua kali. 11) Tidak mampu membayar untuk berobat ke puskesmas/

poliklinik.

12) Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga petani dengan luas lahan 0,5/ buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,-/ bulan.

13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya SD/ tidak tamat SD/ tidak sekolah.

14) Tidak mempunyai tabungan/ barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- seperti motor (kredit, non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya ( Sumber: BPS).

Sebuah rumah tangga dikategorikan miskin apabila memenuhi sembilan atau lebih dari kriteria rumah tangga miskin diatas. Saat ini pedesaan Jawa telah mengalami perubahan, hampir semua ahli sepakat bahwa sumber perubahan itu berasal dari persebaran teknologi pertanian ke daerah pedesaan (Nasikun dan Triyono, 1992:50). Modernisasi di satu sisi dipandang sebagai usaha meningkatkan produktifitas. Namun tidak dapat dipungkiri, bersamaan dengan itu timbul masalah-masalah sosial ekonomi

commit to user

yang patut dicarikan jalan keluarnya, yakni masalah ketenagakerjaan. Alih teknologi telah menggeser peranan tenaga manusia yang semula merupakan tenaga inti bagi setiap tahap pengerjaan lahan pertanian, disamping beberapa tenaga bantu berupa hewan dan peralatan yang masih diciptakan petani sendiri. Dengan masuknya teknologi baru, otomatis tenaga mesinlah yang dianggap lebih efektif. Namun tingkat pengetahuan, modal dan ketatnya jaringan pemasaran tetap menjadi kendala dalam masalah alih teknologi ini, disamping tidak semua petani memiliki tanah. Kebanyakan mereka adalah buruh tani yang hanya bermodal tenaga kasar, bekerja di tanah-tanah petani pemilik. Modernisasi dan mekanisasi mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja, sehingga buruh tani tidak lagi mendapatkan kesempatan bekerja di sektor ini. Sementara itu, pendapatan para buruh tani yang semakin rendah mengalami banyak kesulitan dalam pemenuhan hidup keluarganya, bila ia tidak memiliki pekerjaan sampingan. Akibatnya, khususnya di daerah Jawa, kita melihat dampak dari modernisasi (dalam hal ini mekanisme peralatan pertanian) telah mewujudkan urbanisasi karena masyarakat desa tidak lagi mempunyai pekerjaan di desanya (Sjamsidar dkk, 1994:3).

Dengan demikian setiap upaya komersialisasi pertanian tidak mesti akan turut meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani apabila sifat dari komersialisasi pasar meletakkan petani

commit to user

dalam posisi subordinat. Skenario seperti ini banyak dijumpai di negara-negara berkembang, dimana setiap upaya moderisasi (komersialisasi) pertanian justru menempatkan petani dalam posisi yang selalu kalah. Keuntungan ekonomi pertanian lebih banyak jatuh pada pemilik modal atau kelas pedagang yang relatif memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan dengan petani (Yustika,2002:112).

Dari dulu, sejak masih dalam cengkraman kaum kolonial, hingga kini di jaman reformasi, nasib petani (khususnya petani padi) tidak beranjak membaik. Bahkan ada kecenderungan kalau nasib mereka terus saja merosot. Resiko dan potensi kerugian berusaha tani padi memang berderet-deret. Resiko kegagalan di satu tingkat memang sangat tergantung kepada iklim, cuaca serta serangan hama dan penyakit yang semuanya berada di luar kontrol mereka. Namun pada tingkat lainnya, resiko kerugian itu juga diakibatkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memberikan insentif ekonomi kepada petani supaya mereka berusaha lebih baik (Khudori, 2004:224).

Kendala utama untuk terbebas dari lingkaran kemiskinan itu secara umum diketahui adalah :

1) Kelangkaan modal (antara lain disebabkan karena tidak ada akses yang cukup terhadap kelembagaan kredit) yang

commit to user

menyebabkan mereka tidak dapat mengadopsi teknologi yang lebih menguntungkan.

2) Tidak ada akses terhadap pasar yang kompetitif, termasuk akses terhadap para penguasa (kelompok elit dalam ekonomi), antara lain karena struktur pasar yang "distortif”, yang menyebabkan kelompok miskin tidak mempunyai “bergaining position” yang kuat dalam sistem tata niaga. 3) Tidak punya akses terhadap informasi (pasar dan harga)

yang mutakhir sehingga mereka tidak dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien.

4) Mereka memilih kualitas yang relatif rendah sebagai “entrepreneur”, sebagai wiraswasta yang harus responsif dan bahkan kalau perlu agresif dalam menangkap peluang ekonomi dan pasar yang tersedia. Sikap yang statis, menunggu dan tidak responsif menyebabkan banyak sekali kesempatan ekonomi yang tersedia di pedesaan yang hanya dimanfaatkan oleh orang tidak miskin (Racbini dkk, 1995). Mengatasi kemiskinan pada hakikatnya merupakan upaya memberdayakan orang miskin untuk dapat mandiri, baik dalam pengertian ekonomi, budaya, dan politik. Kemiskinan merupakan problema multidimensial (seperti telah diuraikan diatas) yang penanggulangannya tidak dapat dengan pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan politik bagi lapisan miskin merupakan sesuatu

commit to user

yang tidak terelakkan kalau pemerataan ekonomi dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sosial yang dikehendaki. Lapisan masyarakat miskin pada dasarnya merupakan lapisan yang memiliki potensi politik, tetapi karena berbagai hal suara mereka terpendam dalam struktur politik. Agar mereka dapat lari dari problematika kemiskinan maka pemberdayaan politik diperlukan sehingga mereka dapat mampu bersuara dalam struktur politik tersebut (Nugroho, 2001:194).

Buku bunga rampai yang berjudul Perangkap Kemiskinan, Problem dan Strategi Pengentasannya editor Bagong Suyanto sedikit banyak akan menyadarkan kepada kita, bahwa upaya untuk mengentas sebagian rakyat miskin yang diperlukan bukan Cuma paket “nasi bungkus” bantuan ekonomi. Paket bantuan ekonomi di satu sisi rawan bias, sementara disisi lain upaya karitas dengan cara menyantuni secara penuh justru tidak mendidik masyarakat untuk bekerja keras. Untuk mengentaskan kemiskinan diperlukan strategi baru yang komprehensif dan sistematis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pemberian paket bantuan ekonomi memang cukup bermanfaat bagi masyarakat miskin dalam angka pendek. Namun, dalam jangka panjangnya, untuk memerangi kemiskinan secara frontal disemua sektor, yang diperlukan adalah upaya pemberdayaan yang memihak pada masyarakat miskin, memberi perlindungan dan kesempatan berusaha seluas-luasnya

commit to user

pada masyarakat miskin untuk memintal jaring-jaring sosial yang dapat memperkuat posisi tawarnya.

Indikator yang dapat digunakan sebagai penilaian kemiskinan menurut International Fund For Agricultural Development (IFAD) menyatakan bahwa ada delapan indikator kemiskinan pada tingkat rumah tangga:

1) Kekurangan materi (material deprivation) diukur dengan ketidakcukupan makanan, gizi buruk, ketidakmampuan menyediakan kebutuhan kesehatan dan pendidikan dasar, kekurangan pakaian dan tempat tingal;

2) Isolasi (isolation) direfleksikan dalam letak geografis rumah tangga yang terisolasi dan rumah tangga yang secara sosial dan politik tersisihkan (marginalization);

3) Keterbelakangan (alienation), si miskin terbelakang dari proses perkembangan teknologi dan mereka tidak dapat mengambil keuntungan dari peluang tersebut;

4) Ketergantungan (dependence) melemahkan daya si miskin dalam hubungan sosial yang tidak berimbang diantara tuan tanah dan penggarap lahan, majikan dan buruh, kreditor dan penghutang;

5) Ketidakberdayaan membuat keputusan memilih produk, konsumsi, pekerjaan dan keterwakilan sosial politik

commit to user

direfleksiskan adanya ketidakmampuan (tidak memiliki) fleksibilitas dan keterbatasan peluang bagi si miskin;

6) Keterbatasan asset (lack of assets) yang memaksa orang miskin bekerja dengan tingkatproduktivitas sangat rendah 7) Rentan miskin (vulnerability) yang muncul dari faktor alam

(kekeringan, banjir dan bencana), faktor perubahan pasar (penurunan harga komoditi), faktor demografi (kehilangan anggota keluarga pencari nafkah), faktor kesehatan (anggota keluarga pencari nafkah sakit berkepanjangan), faktor status perkawinan (perceraian dan janda) dan faktor pasar kerja (PHK) dan

8) ketidakamanan (insecurity) berupa resiko akibat kekerasan fisik (perkelahian massal) karena status sosial lemah atau kekuatan fisik rendah, gender, agama, ras dan etnis (Jazairy, 997).

Kemiskinan tidak terjadi pada Negara berkembang saja, bahkan Negara seperti di Negara maju seperti Negara Amerika. Hal tersebut dijelaskan Wiley (2009) dalam jurnalnya yang berjudul “Causes and Effect of Poverty”. Dan pada jurnal tersebut, ia juga menjelaskan definisi tentang kemiskinan absolut (poverty absolute) dan kemiskinan relatif (relative poverty).

“Any discussion of social class and mobility would be incomplete without a discussion of poverty, which is defined as the lack of the minimum food and shelter necessary for maintaining life. More specifically, this condition is known as absolute poverty. Today

commit to user

it is estimated that more than 35 million Americans approximately 14

Dokumen terkait