• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI KELANGSUNGAN HIDUP RUMAH TANGGA PETANI MISKIN DESA SERUT SADANG KECAMATAN WINONG KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGI KELANGSUNGAN HIDUP RUMAH TANGGA PETANI MISKIN DESA SERUT SADANG KECAMATAN WINONG KABUPATEN PATI JAWA TENGAH"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

STRATEGI KELANGSUNGAN HIDUP RUMAH TANGGA PETANI MISKIN DESA SERUT SADANG KECAMATAN WINONG

KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

Disusun Oleh : INDAH SETYANINGSIH

NIM D0304004

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Sosiologi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN

Telah Disetujui Untuk Dipertahankan Di Hadapan Panitia Penguji Skripsi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Dosen Pembimbing

(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN

Skripsi Ini Diterima dan Disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Pada Hari :

Tanggal :

Panitia Penguji

1. Drs. Bambang Santosa, M.Si ( )

NIP. 19560721 198303 1 002 Ketua

2. Siti Zunariyah, S.Sos, M.Si ( )

NIP.19770719 200801 2 016 Sekretaris

3. Dra. Hj.Trisni Utami, M.Si ( )

NIP. 19631014 198803 2 001 Penguji

Disahkan Oleh:

Fakultas Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dekan

Prof.Drs. Pawito, Ph.D

(4)

commit to user

iv

MOTTO

“Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika kaum tersebut tidak mau

mengubah dirinya”

(Al-Qur’an)

”Sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan maka,

apabila kamu telah selesai dari suatu urusan kerjakan

dengan sungguh-sungguh pula urusan yang lainnya”

(Q.S Asy-syarh : 6,7)

“hidup Adalah Pilihan... “

(5)

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Karya Sederhana Ini Aku Persembahkan Teruntuk :

“Yang tercinta Ayah, Ibu, Kakak-kakakku dan adikku”

(terima kasih atas kasih sayang, cinta, pengertian, kesabaran dan pengorbanan selama ini)

(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan kenikmatan dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Strategi

Kelangsungan Hidup Rumah Tangga Petani Miskin Desa Serutsadang Kecamatan

Winong Kabupaten Pati Jawa Tengah”.

Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar

kesarjanaan pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi ini dapat selesai dengan baik tidak

lain dikarenakan bantuan dan dukungan yang telah diberikan dari berbagai pihak.

Sehingga tidak berlebihan apabila penulis dalam lembaran ini menyampaikan

ucapan terima kasih yang sebesar-sebesarnya. Untuk itu penulis menyampaikan

terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya karya

kecil ini. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih setulus hati

kepada :

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini :

1. Prof. Drs. Pawito Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Bagus Haryono, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta dan

sebagai ketua penguji skripsi.

3. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku selaku pembimbing dengan penuh

kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Pandjang Sugiharjono selaku pembimbing akademis yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis melaksanakan

kuliah.

5. Petugas Perpustakaan FISIP UNS yang telah membantu penulis dalam

(7)

commit to user

vii

6. Semua informan yang dengan tulus telah membantu dan memberikan

informasi kepada penulis.

7. Teman-teman Sosiologi FISIP UNS khususnya angkatan 2004, terima

kasih atas kebersamaan kita selama ini.

8. Segala pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang

telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

kekurangannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun dari pembaca Penulis berharap skripsi ini dapat berguna untuk

pembelajaran yang lebih baik. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Surakarta, April 2012

(8)

commit to user

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR MATRIK... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... .. 17

A. Kajian Pustaka ... .. 17

(9)

commit to user

ix

2. Teori yang digunakan... .. 50

B. Definisi Konseptual ... .. 60

C. Kerangka Pemikiran ... .. 60

BAB III. METODE PENELITIAN ... .. 63

A.Lokasi Penelitian ... .. 63

B. Jenis Penelitian ... .. 63

C.Sumber Data ... .. 64

D. Teknik Pengumpulan Data ... .. 65

E. Populasi dan Sampel ... .. 67

F. Teknik Pengambilan Sampel ... .. 67

G. Validitas Data ... .. 68

H. Teknik Analisa Data ... .. 68

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... .. 72

A. Diskripsi Lokasi ... .. 72

1. Kondisi Geografis ... .. 72

2. Komposisi Penduduk dalam Kelompok Umur Menurut. .. Pendidikan dan Tenaga Kerja ... .. 73

3. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... .. 75

4. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... .. 76

5. Komposisi Penduduk Menurut Agama ... .. 77

B. Biodata Secara Umum ... .. 78

1. Jumlah Anggota Keluarga ... .. 78

(10)

commit to user

x

3. Status Rumah ... .. 79

4. Tabungan Keluarga ... .. 80

5. Uang Konsumsi ... .. 80

6. Iuran Sekolah ... .. 81

C. Kondisi, Sarana dan Prasarana ... .. 82

D. Permasalahan Kemiskinan di Desa Serut Sadang ... .. 84

E. Profil Informan ... .. 87

F. Strategi Kelangsungan Hidup Rumah Tangga Petani Miskin 98

G. Pembahasan ... .. 119

BAB V. PENUTUP ... .. 134

A. Kesimpulan ... .. 134

B. Implikasi ... .. 135

1. Implikasi Teoritis ... .. 135

2. Implikasi Metodologis ... .. 138

3. Implikasi Empiris ... .. 139

C. Saran ... .. 141

DAFTAR PUSTAKA ... .. 143

(11)

commit to user

xi

DAFTAR TABEL

Tebel 1 Jumlah Persebaran Kemiskinan Kabupaten Pati ... 1

Tabel 2 Jumlah Penduduk Dalam Kelompok Umur dan Kelamin ... (Dalam Jiwa) ... 72

Tabel 3 Usia Penduduk Menurut Pendidikan... 73

Tabel 4 Usia Penduduk Menurut Tenaga Kerja ... 74

Tabel 5 Tabel Pencaharian (Bagi Umur 10 tahun ke atas)... 75

Tabel 6 Penduduk Menurut Pendidikan (bagi Umur 5 tahun ke atas) ... 76

Tabel 7 Penduduk Menurut Agama ... 77

Tabel 8 Jumlah Anggota Keluarga Responden ... 78

Tabel 9 Luas Rumah Responden... 79

Tabel 10 Status Rumah Responden... 79

Tabel 11 Tabungan Keluarga Responden ... 80

Tabel 12 Uang Konsumsi Responden ... 81

(12)

commit to user

xii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Kerangka Berpiki ...62

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR MATRIK

Matrik 1 Strategi Hidup Rumah Tangga Petani Miskin Menurut kategori

Kemiskinan ... 132

(14)

commit to user

xiv ABSTRAK

Indah Setyaningsih, D0304004. 2012. Strategi Kelangsungan Hidup Rumah Tangga Petani Miskin Desa Serut Sadang Kecamatan Winong Kabupaten Pati. Skripsi: Fakultas ISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Perlu diketahui bahwa pertanian merupakan salah satu kegiatan paling mendasar bagi manusia, kenyatannya penduduk Indonesia yang 220-an juta orang hampir semuanya mengkonsumsi nasi. Indonesia dikenal dengan negara agraris dimana mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah petani, dan sekitar 63,25% tinggal di pedesaan yang notabene petani itu tergolong masyarakat miskin. Dalam sejarah pertanian Indonesia, sejak zaman penjajahan sampai sekarang pun petani selalu saja terlindas dan termajinalkan. Gejala konversi lahan memerlukan pertanian yang lebih luas dari semua pihak. Manakala luas lahan sawah semakin berkurang atau lebih terkikis sama sekali serta berbagai dampak negatif bermunculan, barulah arti penting aspek lingkungan dan sosial dari fungsi sawah tersebut dirasakan.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah strategi kelangsungan hidup rumah tangga petani miskin di desa Serutsadang Kecamatan Winong Kabupaten Pati Jawa?

Penelitian yang dilakukan ini berjenis deskriptif kualitatif. Yaitu penelitian yang dimaksud untuk menguraikan mengenai suati gejala berdasarkan pada indikator-indikator yang dijadikan dasar gejala yang diteliti. Bentuk penelitian mengikuti cara yang dilakukan Weber melalui verstehen yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Penelitian lebih banyak memberi nuansa atau aspek subyektif dari tindakan individu.

Hasil dari penelitian ini adalah strategi kelangsungan hidup yang dilakukan petani miskin desa Serut sadang Kecamatan Winong Kabupaten Pati adalah antara lain strategi kelangsungan kelangsungan hidup yang berupa menghemat pengeluaran, mencari penghasilan tambahan atau pekerjaan lain, mencari pinjaman hutang, serta menjalin kehidupan gotong royong dengan tetangga atau kerabat. Hal ini sesuai dengan teori Weber tentang tindakan sosial.

(15)

commit to user

Keep in mind that agriculture is one of humankind's most basic activities, given the fact that the population of Indonesia's 220 million people mostly consume rice. Indonesia is known as an agricultural country where the livelihoods of the majority of its population are farmers, and about 63.25% live in rural areas that in fact farmers were classified as poor. In the agricultural history of Indonesia, since colonial times until now was just run over and the farmers are always marginalized. Symptoms requiring agricultural land conversion is wider than all the parties. When diminishing wetland or completely eroded, and a variety of negative effects emerge, then the significance of environmental and social aspects of the perceived functions of paddy fields.

Formulation of the problem in this study is how the survival strategies of poor households in Serutsadang Village of Winong Sub District of Pati Regency?

This study conducted a qualitative descriptive type. Research that is intended to describe a phenomenon based on the indicators against which the phenomenon under study. Follow the form of research conducted by Weber Verstehen the interpretive understanding of human understanding. More studies are giving the feel or subjective aspects of individual actions.

The results of this study was carried out survival strategies of poor rural farmers Serut Sadang Winong Sub District Pati is among other survival strategies of survival that save money, extra income or looking for another job, looking for a loan debt, and maintain the life of mutual cooperation with neighbors or relatives . This is consistent with Weber's theory of social action.

(16)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perlu diketahui bahwa pertanian merupakan salah satu kegiatan

paling mendasar bagi manusia, kenyatannya penduduk Indonesia yang

220-an juta orang hampir semuanya mengkonsumsi nasi. Indonesia

dikenal dengan negara agraris dimana mata pencaharian sebagian besar

penduduknya adalah petani, dan sekitar 63,25% tinggal di pedesaan

yang notabene petani itu tergolong masyarakat miskin. Di Kabupaten

(17)

commit to user

Tayu 7939 5913 615 36,41

Cluwak 3701 1173 743 35,58

Gabus 2251 1930 642 35,09

Juwana 6336 4009 702 33,33

Gembong 4975 2834 536 32,79

Pati 15460 9145 681 28,52

Margorejo 4786 2388 591 17,78

Kab. Pati 136278 72812 14457 41.79 (Sumber data diolah: BKKBN, 2009)

Pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi suatu

bangsa karena terkait dengan persediaan makanan rakyat. Apabila

negara tidak mampu menyediakan pangan yang cukup bagi rakyatnya,

maka akan timbul keresahan sosial yang pada akhirnya dapat

mengganggu kestabilan ekonomi dan politik. Kelompok tani merupakan

salah satu kelompok yang mempunyai kecenderungan sebagai

kelompok yang berada dalam dalam garis kemiskinan (Wisnis Septiarti,

1995). Pada tahun 2011 jumlah petani di Indonesia adalah sejumlah

17.830.832. jumlah tersebut telah mengalami penuruan sebesar kurang lebih

dua juta petani dibandingkan tahun tersebut, sedangkan jumlah petani di

dunia secara umum berjumlah 60 juta an petani, yang diklasifikasikan

sebagai petani perkebunan dna petani sawah.

Dalam sejarah pertanian di Indonesia, sejak zaman penjajahan

sampai sekarang pun petani selalu saja terlindas dan termajinalkan.

Pada masa penjajahan, penindasan terhadap rakyat kecil terutama petani

terjadi sedemikian rupa hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial.

(18)

1830-commit to user

1870, pemerintah kolonial memaksakan petani untuk menanam tebu dan

kopi sebagai tanaman perdagangan ekspor.

Pemaksaan penanaman tebu dan kopi dipandang oleh Van Den

Bosch sebagai hal yang wajar, mengingat bahwa pemerintah kolonial

menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja mataram yang

menguasai tanah Jawa. Bertolak dari pemikiran tersebut maka rakyat

dipaksa untuk menyerahkan hasil tanah dan tenaganya untuk

pemerintah kolonial (Huskun,1998:76).

Politik cultuurstelsel telah membuat sumber penghidupan petani

menjadi sempit. Petani merupakan kelompok pekerjaan bercocok tanam

di pedesaan yang produksinya terutama ditujukan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan konsumsi dan ia merupakan bagian dari

masyarakat yang lebih luas (Scott, 1984:238). Sehingga apabila

diharuskan menyerahkan sebagian tanah, hasil panen dan tenaganya

kepada pemerintah kolonial akan sangat mengganggu kelangsungan

hidup petani.

Seiring dengan diakuinya kedaulatan Negara Republik Indonesia

di tahun 1945, tanah-tanah petani dikembalikan. Dengan pengembalian

tanah-tanah tersebut petani diberikan kebebasan untuk menggarapnya.

Dengan adanya kebebasan untuk menggarap tanah pertaniannya itu,

petani sedikit mempunyai harapan untuk mencukupi segala kebutuhan

yang sekian lama tertindas pemerintah kolonial. Dalam perkembangan

(19)

commit to user

Dengan penambahan tersebut dan jumlah lahan yang cenderung tetap

maka akan terjadi pengurangan terhjadap luas lahan pertanian.

Pengurangan luas lahan pertanian tidak hanya disebabkan oleh tekanan

penduduk saja, pelaksanaan pembangunan yang kurang terkendali pun

telah memberikan andil yang sangat besar dalam konversi lahan

pertanian. Saat ini luas sawah hanya 8,11 juta hektar. Dari tahun

ketahun bukan perluasan yang terjadi, tetapi justru luas sawah semakin

kian menyusut.

Gejala konversi lahan memerlukan pertanian yang lebih besar dari

semua pihak. Manakala luas lahan sawah semakin berkurang atau lebih

terkikis sama sekali serta berbagai dampak negatif bermunculan,

barulah arti penting aspek lingkungan dan sosial dari fungsi sawah

tersebut dirasakan. Bagi masyarakat Indonesia, sektor pertanian,

khususnya lahan sawah memilki aneka fungsi. Bagi petani, hilangnya

lahan sawah akan berakibat hilangnya sumber air bersih, meningkatnya

kerawanan banjir, kenaikan suhu udara sekitar, dan berkurang atau

hilangnya berbagai jenis satwa. Dari aspek non teknis, hilangnya lahan

sawah bisa menyebabkan terganggunya kelembagaan hubungan antar

petani, petani cenderung semakin bersifat individual, menurunnya

jumlah pengunjung ke pedesaan, bahkan ada kekhawatiran akan timbul

kelaparan terutama bagi anggota masyarakat yang memiliki

ketergantungan yang tinggi pada usaha tani di sawah. Dari aspek sosio

(20)

commit to user

tambahnya, berkurangnya pendapatan dan hilangnya kesempatan kerja

di sektor pertanian, beserta pendapatan kerja yang dihasilkannya.

Konversi lahan sawah juga akan mengakibatkan mubazirnya

infrastruktur irigasi yang telah dibangun dengan dana yang besar,

timbulnya pencemaran dan degradasi lingkungan (Khudori, 2004:82).

Selain dengan dampak dari konversi lahan pertanian,

permasalahan lain yang dihadapi petani sangatlah kompleks. Mulai dari

masalah modal, gagal panen karena banjir maupun kekeringan dan

hama, serta anjloknya harga hasil pertanian saat panen. Permasalahan

yang terakhir ini akan bertambah parah jika kebijakan impor hasil

pertanian dibuka lebar-lebar. Di pasar, hasil pertanian menumpuk yang

menyebabkan harganya semakin jatuh.

Pemerintah tidak bisa hanya melihat kepentingan petani. Dalam

urusan beras, yang merupakan makanan pokok bangsa ini, harus juga

dilihat dari kepentingan konsumen. Pemerintah harus menjamin

ketersediaan beras dan harga yang terjangkau. Hal ini perlu dilakukan

untuk memberikan jaminan kesejahteraan bagi kelompok tani.

Namun tidakkah kita sadari ketika kita takut produksi tidak

mencukupi, bukankah yang harus dilakukan pemerintah adalah

mendorong agar produksi itu meningkat. Apalagi, sekarang pun

sebenarnya produksi itu sudah melebihi kebutuhan. Sebuah data

menyebutkan bahwa stok beras di Indonesia cukup memadai. Data dari

(21)

commit to user

sebesar 37,8 juta ton, sedangkan kebutuhan beras penduduk mencapai

33,5 juta ton. Dengan demikian, akan terjadi surplus beras nasional 4,3

juta ton. Selain itu Pemerintah berencana tahun ini mengimpor beras

hingga 1,7 juta ton beras. Kepala Badan Pusat Statistik Rusman

Heriawan di Jakarta, mengemukakan bahwa jumlah penduduk tahun ini

diprediksi 241,1 juta orang dengan tingkat konsumsi 139,15 kilogram

beras per kapita per tahun. Perkiraan surplus beras itu merupakan hasil

kumulatif produksi beras. Hanya, surplus beras tidak terjadi sepanjang

tahun karena ada siklus paceklik. Karena itu, patut diwaspadai

penurunan stok beras pada musim paceklik. Pasokan beras berlimpah

berlangsung Januari-April, sedangkan defisit pada Mei-Juli (Kompas,

Rabu, 2 Maret 2011).

Nasib petani memang tidak sesuai dengan lapisan sosialnya,

sebagai masyarakat kecil atau wong cilik, petani selalu termajinalkan,

bahkan cenderung dilupakan oleh negara. Kalau ada kebijakan yang pro

dengan petani, itu hanya semu belaka. Pemerintah oder baru telah

mengeluarkan kebijakan tentang adanya Revolusi Hijau, atau di

Indonesia dikenal dengan gerakan Bimas (Bimbingan Masyarakat).

Gerakan Bimas tersebut merupakan program nasional untuk

meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras.

Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah adalah antara lain : program subsidi

terhadap pupuk, kredit pertanian, penetapan harga dasar gabah,

(22)

commit to user

penanaman bibit yang seragam, hingga penyuluhan. Walhasil pada taun

1984 Indonesia berhasil melaksanakan swasembada beras, tetapi hanya

mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984-1989 (www.

Pustaka-deptan.go.id).

Gerakan Bimas ini telah memberikan perubahan sosial bagi

petani. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan pola pikir dan pola

tingkah laku para petani, yang dahulu sebelum mengenal pupuk kimia,

petani menggunakan kearifan lokal seperti pemuliaan benih secara

alami, penanaman secara bergilir serta pennggunaan pupuk alami,

kemudian pada tahun 1970-an petani dikenalkan dengan pupuk kimia

melalui program bantuan pemerintah. Kenyataan memang hasil

produksinya meningkat, hingga saat itu Indonesia bisa mengekspor

beras/ swasembada pangan, akan tetapi tidak mampu untuk

menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada

pangan secara tetap, setelah itu negeri ini kembali menjadi pengimpor

beras terbesar. Maka dari itu masalah petani yang sebenarnya tidak

akan pernah tersentuh.

Namun, di era sekarang saat ini nasib petani semakin

memperihatinkan. Pangkal munculnya masalah petani adalah masalah

politik atau tepatnya masalah struktural. Kekurangan tanah merupakan

akibat ketimpangan struktur politik. Kekurangan tanah akan

mengaibatkan terjadi perubahan pada rumah tangga petani dari rumah

(23)

commit to user

hutang. Masalah sebenarnya petani Indonesia ada pada alat analisa.

Petani selalu dianalisa melalui pendekatan ekonomi pedesaan dan

ekonomi pertanian ataupun sosiologi pertanian. Mulai dari Boeke,

Vries, Gertz sampai ke Muyarto selalu melihat permasalahan petani

sebagai permasalahan produksi pertanian. Oleh sebab itu, program

pertanian ditujukan untuk pemecahan masalah produksi, dalam hal ini

tanah, pasar, bibit dan teknologi pertanian. Sementara petani yang

menjadi pengelola produksi pertanian tersebut tidak tersentuh.

Kesalahan alat analisa terhadap petani tersebut menimbulkan

permasalahan baru, yaitu sentralisasi konsep. Petani diseluruh

Indonesia dianggap sama, didefinisikan dengan satu definisi. Petani di

pinggir kota, petani dipedalaman, petani di Jawa, petani di pegunungan

dan petani tepi pantai didefinisikan dengan satu definisi. Karena sentral

kekuasaan di Jawa berada pada tahapan perkembangan dan kondisi

yang berbeda. Selain itu, petani di desa tersebut dianggap homogen,

tanpa kelas dan tanpa konflik. Sentralisasi definisi ini, bukan saja

dilakukan pemerintah Indonesia, hal ini juga terjadi pada badan dunia

(PBB) pada program pemberdayaan petani dari tahun 1940-an sampai

tahun 1980-an yang dinyatakan gagal.

Cerita dan kisah keterkungkungan petani dalam lembah

kemiskinan bukanlah kisah baru yang didramatisir secara spekulatif,

tetapi sebagai realitas kehidupan yang empirik. Kemiskinan yang

(24)

commit to user

kemiskinan struktural. (DR. Heru Nugroho: 2001). Kemiskinan alamiah

adalah kemiskinan yang disebabkan kualitas sumber daya alam dan

sumber daya manusia yang rendah sehingga peluang produksi menjadi

kecil. Apabila mereka memproduksi, hal itu dilakukan dengan efisiensi

yang rendah sehingga hasilnya tidak optimal. Dalam lingkup pertanian,

sumber daya yang mempengaruhi munculnya kemiskinan adalah

kualitas lahan dan iklim. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang

secara langsung atau tidak disebabkan tatanan kelembagaan. Dalam hal

ini tatanan kelembagaan dapat diartikan sebagai tatanan organisasi

maupun aturan permainan yang diterapkan. Kemiskinan itu bukan

karena petani tidak produktif maupun aturan permainan yang

diterapkan. Kemiskinan itu bukan karena petani tidak produktif atau

malas. Tetapi kemiskinan petani disebabkan oleh karena memang

dimiskinkan oleh struktur sosial yang menindas dan tidak humanis.

Akibat dari manajemen pemerintah sendiri yang kurang serius terhadap

komitmennya untuk tetap mempertahankan citra Indonesia sebagai

negara agraris.

Dari uraian di atas, kita dapat melihat cerita panjang mengenai

nasib petani yang tak putus dirundung malang. Fenomena tersebut

menunjukkan beban pada sektor pertanian menjadi lebih berat (Prayitno

dan Aryad, 1987:64). Beban pertanian yang lebih berat akan mendorong

terjadinya perubahan petani untuk bisa mencukupi segala

(25)

commit to user

Perubahan orientasi petani merupakan perubahan pandangan atau

cara berfikir untuk mencukupi kebutuhan tidak hanya dari sektor

pertanian, tetapi juga mengandalkan sektor non pertanian. Walaupun

para petani pada umumnya mengerjakan berbagai pekerjaan yang

berhubungan dengan pertanian, namun dalam masyarakat pedesaan juga

terdapat beberapa jenis pekerjaan yang tidak merupakan kegiatan

pertanian. Banyak petani melakukan kegiatan kedua-duanya,

masing-masing sebagai pekerjaan utama dan sekunder (Koentjaraningrat,

1984:194).

Perubahan orientasi petani dari sektor agraris ke sektor nonagraris

biasanya didomonasi oleh generasi muda. Dari survey terhadap 2010

petani padi di pulau Jawa, ternyata sebanyak 82% petani berusia diatas

50 tahun. Sementara sebanyak 10% berusia 30-49 tahun dan hanya 8%

yang berusia di bawah 30 tahun (Kompas, 20 Januari 2010). Hasil

survey tersebut mengindikasikan bahwa orientasi kerja generasi muda

di sektor nonpertanian. Mata pencaharian bertani dipandang tidak

menarik generasi muda di pedesaan. Bertani dapat dianggap sebagai

pekerjaan yang sia-sia bahkan merugi (Solopos, 10 Februari 2010).

Selain itu ada kecenderungan mereka enggan bekerja di sektor

pertanian dengan anggapan status rendah (Efendi,1995:122).

Perkembangan sektor nonpertanian yang sedemikian pesat

memang lebih banyak menyerap tenaga kerja. Fenomena ini juga terjadi

(26)

commit to user

menyerap 2085 (7%) tenaga kerja sedangkan sektor industri pengolahan

menyerap tenaga kerja terbanyak, yaitu 20.711 (72%) tenaga kerja,

sedangkan sebanyak 6.007 (21%) tenaga kerja diserap oleh beberapa

sektor lainnya. Data diatas menjelaskan seberapa jauh sektor

nonpertanian mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan

sektor pertanian. Apabila ditarik kedalam garis kesimpulan berarti

sedang terjadi proses konversi pekerjaan dalam sektor pertanian pada

sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya dan di daerah

penelitian khususnya.

Pangan khususnya beras, di Indonesia memang menempati posisi

yang strategis, karena sebagian besar masyarakat Indonesia

mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Tetapi petani sebagai

penghasil beras, ternyata nasibnya kurang beruntung. Bahkan kalau

sedikit lebih ekstrim, kita dapat mengatakan kehidupan mayoritas

rumah tangga petani di negeri ini berada dibawah garis kemiskinan.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan hampir tidak memberikan harapan

kepada masyarakat untuk menyelesaikan kesulitan ekonomi yang ia

hadapi melalui instansi pemerintah.

Adanya proses pembangunan yang sedang dilaksanakan di negara

Indonesia memberikan dampak terhadap penggiringan masyarakat

petani. Hal ini dapat terjadi karena dalam prosesnya adanya

(27)

commit to user

norma yang ada dalam masyarakat. Proses peminggiran masyarakat

kebanyakan yang terjadi adalah diawali dengan pembebasan lahan.

Gorege Young mengatakan bahwa dampak negatif yang

ditimbulkan dari pembangunan adalah adannya perubahan tata guna

lahan, bangunan yang terjadi yang seharusnya digunakan oleh lahan

pertanian, namun yang terjadi adalah pengembangan kawasan

perumahan, yang acapkali terjadi penggusuran penduduk secara paksa

dan tidak adil.

Dalam khasanah ilmu sosial, ada beberapa definisi dan penjelasan

teoritis mengenai marginalisasi. Menurut Mullaly, marginalisasi

merupakan sebuah proses sosial yang membuat masyarakat menjadi

marginal, baik terjadi secara alamiah maupun dikreasikan sehingga

masyarakat memiliki kedudukan sosial yang terpinggirkan.

Marginalisasi di level masyarakat (community) terjadi dalam

dimensi yang lebih luas. Ia terjadi karena program-program dan

kebijakan pembangunan lebih memihak pada kalangan sosial atas

daripada kalangan bawah. Misalnya masyarakat kelas bawah tidak

memiliki akses yang cukup luas untuk masuk dalam pasar kerja karena

eligibility yang terlalu kompetitif sementara pemerintah tidak berhasil

memberdayakan mereka.

Salah satu kelompok yang mendapatkan dampak terhadap adanya

proses pembangunan adalah kelompok petani. Kondisi ini kelompok

(28)

commit to user

di sisi lain beban yang harus ditanggung oleh keluarga petani akan

semakin besar. Kondisi ini menjadikan kelompok tani merupakan salah

satu kelompok yang terkena dampak terhadap proses pembangunan,

sehingga kelompok petani masih banyak yang berada di bawah garis

kemiskinan.

Untuk dapat mengetahui tingkat kemiskinan dari kelompok petani,

maka dapat digunakan indikator tingkat kemiskinan menurut

International Fund For Agricultural Development (IFAD) menyatakan

bahwa ada delapan indikator kemiskinan pada tingkat rumah tangga

diantaranya: (1) Kekurangan materi (material deprivation) diukur

dengan ketidakcukupan makanan, gizi buruk, ketidakmampuan

menyediakan kebutuhan kesehatan dan pendidikan dasar, kekurangan

pakaian dan tempat tingal; (2) Isolasi (isolation) direfleksikan dalam

letak geografis rumah tangga yang terisolasi dan rumah tangga yang

secara sosial dan politik tersisihkan (marginalization); (3)

Keterbelakangan (alienation), si miskin terbelakang dari proses

perkembangan teknologi dan mereka tidak dapat mengambil

keuntungan dari peluang tersebut; (4) Ketergantungan (dependence)

melemahkan daya si miskin dalam hubungan sosial yang tidak

berimbang diantara tuan tanah dan penggarap lahan, majikan dan buruh,

kreditor dan penghutang; (5) Ketidakberdayaan membuat keputusan

memilih produk, konsumsi, pekerjaan dan keterwakilan sosial politik

(29)

commit to user

dan keterbatasan peluang bagi si miskin; (6) Keterbatasan asset (lack of

assets) yang memaksa orang miskin bekerja dengan tingkat

produktivitas sangat rendah (7) Rentan miskin (vulnerability) yang

muncul dari faktor alam (kekeringan, banjir dan bencana), faktor

perubahan pasar (penurunan harga komoditi), faktor demografi

(kehilangan anggota keluarga pencari nafkah), faktor kesehatan

(anggota keluarga pencari nafkah sakit berkepanjangan), faktor status

perkawinan (perceraian dan janda) dan faktor pasar kerja (PHK) dan (8)

ketidakamanan (insecurity) berupa resiko akibat kekerasan fisik

(perkelahian massal) karena status sosial lemah atau kekuatan fisik

rendah, gender, agama, ras dan etnis (Jazairy, 997).

Munculnya fenomena tersebut, kemudian berbagai strategi dan

tindakan yang dilakukan melalui lembaga-lembaga pedesaan yang

mereka bentuk maupun melalui relasi perseorangan atau kekerabatan.

Strategi kelangsungan hidup seperti itu sebenarnya sudah lama

dilakukan sendiri oleh warga miskin tanpa adanya intervensi negara.

Kemiskinan yang mereka hadapi dari generasi ke generasi telah

memunculkan respons dan strategi penanganan yang berbeda-beda dari

setiap kelompok masyarakat. Gambaran yang menyatakan bahwa

penduduk miskin itu lemah, tidak berdaya, stagnan, bodoh dan pasif,

ternyata tidak semuanya benar. Dalam kerangka inilah penelitian

tentang stategi kelangsungan hidup rumah tangga petani di pedesaan

(30)

commit to user

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi kelangsungan hidup

rumah tangga petani miskin di desa Serut Sadang, Kecamatan Winong,

Kabupaten Pati?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi kelangsungan

hidup rumah tangga petani miskin di Desa Serut Sadang, kecamatan

Winong, Kabupaten Pati.

D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah tentang

permasalahan petani di pedesaan serta dapat sebagai pembanding bagi

penelitian dalam bidang yang sama pada waktu yang akan datang.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan

oleh pemerintah ataupun pihak-pihak lain yang berkepentingan

terhadap pemecahan masalah kemiskinan, khususnya dalam

perumusan kebijakan yang menyangkut program-program

pengentasan kemiskinan di pedesaan. Pemahaman terhadap

potensi dan kemampuan orang miskin dalam mengatasi tekanan

(31)

program-commit to user

program pembangunan pedesaan terutaman yang berkaitan

langsung dengan penduduk miskin.

2) Bagi Masyarakat Petani

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

tentang upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat petani dalam

rangka mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan petani.

3) Bagi Pengambil Kebijakan

Hasil penelitian ini diharapkan dalam memberikan masukan

kepada pihak-pihak terkait yang turut berkepentingan dalam

pengelolaan pertanian sekaligus perdagangan hasil pertanian

untuk dapat melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik

(32)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Konsep Yang Digunakan a. Petani

Petani dapat didefinisikan sebagai penduduk yang secara

eksistensial terlibat dalam kegiatan cocok tanam dan membuat

keputusan yang otonom tentang proses cocok tanam. Kategori ini

mencakup penganggaran atau penerimaan bagi hasil maupun

pemilikan penggarap selama mereka berada dalam posisi pembuat

keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman

mereka (Lansburger dan Alexandrov, 1984: 9-10). Petani

merupakan seseorang yang benar-benar menendalikan tanah

secara efektif yang dia sendiri sudah lama terikat oleh

ikatan-ikatan tradisi dan perasaan (Redfield, 1985:20). Dengan demikian

petani sendiri sudah terikat oleh tradisi masyarakat petani berupa

pengelolaan tanah yang dikerjakannya sendiri dan budaya yang

melingkupinya. Senada dengan pendapat di atas Mubyarto(1973)

menyatakan petani adalah orang yang mengerjakan sebidang

tanah, baik tanahnya sendiri maupun sebagai penyewa dengan

(33)

commit to user

kehidupan petani sendiri terbagi kedalam kelompok-kelompok

sebagi berikut :

1) Pemilik penggarap murni, yaitu petani yang hanya

menggarap tanahnya sendiri.

2) Penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak

mempunyai tanah tapi mempunyai tanah garapan melalui

sewa dan atau bagi hasil.

3) Pemilik penyewa dan atau pemilik penyakap, yaitu mereka

yang disamping menggarap tanahnya sendiri juga menggarap

tanah milik orang lain.

4) Pemilik bukan penggarap.

5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak

mempunyai tanah garapan dan tidak memiliki tanah sendiri,

yang sebagian besar terdiri dari buruh tani (Gunawan Wiradi

dalam Tjondronegoro, 1984:303).

Di dalam masyarakat Jawa, yang sangat kuat agrarisnya,

membagi masyarakat petani di pedesaan menjadi beberapa

golongan berdasarkan penguasaan tanah. Pertama, petani kenceng,

adalah para petani yang memiliki tanah dan pekarangan sekaligus.

Kedua, petani setengah kenceng yang berarti hanya memiliki

pekarangan saja. Ketiga, gundukan, yaitu mereka yang hanya

mempumyai sawah saja. Terakhir dari golongan petani pedesaan

(34)

commit to user

atau tidak mempunyai apa-apa (M.M Billah dalam Soediono

M.P.Tjondronegoro. 1984:261).

Sedangkan Aidit dalam Aminudin Kasdi (2001:8)

membagi masyarakat petani berdasarkan penguasaan tanah secara

nyata di lapangan yaitu sebagai berikut :

1) Tuan tanah, terdiri dari para pemilik tanah seluas sepuluh

sampai ratusan hektar.

2) Petani kaya, yaitu petani yang memiiliki tanah dari 5-10

hektar yang dikerjakannya sendiri. Meskipun mereka

tergolong kaya, namun lebih suka mengerjakan tanahnya

sendiri dengan memakai tenaga buruh daripada

menyakapkannya kepada orang lain.

3) Petani sedang, yaitu memiliki tanah sampai dengan lima

hektar, sekedar untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak

menggunakan buruh ataupun menyakapkannya.

4) Petani miskin, yaitu mereka yang tidak memiliki tanah dan

alat-alat pertanian sama sekali. Mereka tinggal diatas tanah

orang lain atau menumpang (Kasdi, 2001:8).

Petani-petani yang mengerjakan pertanian untuk

penanaman modal dan usaha melihat tanahnya sebagai modal dan

komoditi bukanlah petani melainkan pengusaha petanian

(Redfield, 1985:19). Petani merupakan pencocok tanam di

(35)

commit to user

kebutuhan-kebutuhan konsumsi dan ia merupakan bagian dari

masyarakat yang lebih luas (Scoot, 1984: 238). Eric R. Wolf lebih

lanjut memperjelas kedua pengetian diatas dengan membedakan

pengertian farmer (penguasaha pertanian) dengan peasant (petani

pedesaan). Petani sebagai orang desa yang bercocok tanam,

artinya mereka bercocok tanam dan berternak di daerah pedesaan,

tidak dalam ruangan-ruangan tertutup (green house) di

tengah-tengah kota atau dalam kotak-kotak aspidistra yang diletakkan di

ambang jendela. Mereka bukanlah farmer (pengusaha pertanian)

seperti yang kita kenal di AS. Farmer mengkombinasikan faktor

produksi yang dibeli di pasar untuk memperoleh laba dengan jalan

menjual hasil produksinya secara menguntungkan di pasar hasil

bumi. Peasant (petani pedesan) tidak melakukan usaha dalam arti

ekonomi, ia mengelola sebuah rumah tangga, bukan sebuah bisnis

(Wolf, 1985:2).

Tanah pertanian terdiri dari tegalan dan sawah. Tegalan

adalah tanah pertanian kering yang biasanya terdapat di daerah

curam sehingga tidak dapat digunakan untuk sawah, juga karena

sifat tanahnya yang tidak dapat menahan air. Sawah sendiri ada

dua jenis, yaitu sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Sawah tadah

hujan merupakan sawah yang pengairannya tidak berasal dari

irigasi, melainkan hanya mengandalkan curah hujan

(36)

commit to user

pada akhir musim kering yang berdasarkan kalender jatuh pada

bulan Oktober atau November.

Kehidupan petani yang tidak lepas dari masalah

membuat petani memiliki suatu konsep kepemilikan tanah

tersendiri. Adapun sistem kepemilikan tanah yang ada di

masyarakat ada beberapa jenis. Menurut Koentjaraningrat dalam

Soediono M.P Tjondronegoro (1984:254) setidaknya ada empat

sistem kepemilikan tanah di Jawa, yaitu milik umum atau komunal

dengan pemakaian beralih (norowito), sistem pemakaian bergilir

(norowito gilir), sistem komunal dengan pemakaian tetap

(bengkok), dan sistem individu (yasan). Senada dengan

Koentjaraningrat, Gunawan Wiradi dalam Soediono M.P

Tjondronegoro (1984) juga membagi sistem kepemilikan tanah

menjadi empat, yaitu :

1) Tanah yasan, yasa, atau yoso : yaitu tanah dimana hak

seseorang atas tanah itu berasal dari kenyataan bahwa dia

dan leluhurnyalah yang pertama-tama membuka atau

mengerjakan tanah tersebut.

2) Tanah norowito, gogolan, pekulen, pelayangan, kesikepan,

dan sejenisnya: yaitu tanah pertanian milik bersama, yang

daripadanya para warga desa dapat memperoleh bagian

(37)

commit to user

syarat bahwa si calon sudah kawin, memiliki rumah atau

pekarangan serta bersedia melakukan kerja wajib bagi desa.

3) Tanah nitisari, bondo deso, kas desa : adalah tanah milik

desa yang mau menggarapnya yang hasilnya nanti sebagian

dapat digunakan sebagai kas desa.

4) Tanah bengkok : yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan

bagi pejabat desa terutama lurah, yang hasilnya dapoat

digarap sebagai “gaji” selama mereka menduduki jabatan itu

(Tjondronegoro, 293-294).

Pola pertanian telah mengalami perkembangan dari

yang sederhana ke yang lebih kompleks. Menurut Smith (1972)

ada enam sistem atau cara bertani yang mencakup sistem bertani

yang mencakup sistem paling sederhana dan dianggap paling

modern. Keenam tahapan atau tingkatan usaha tani tersebut antara

lain :

1) Bercocok tanam di pinggir kali,

2) Pertanian yang berpindah-pindah,

3) Sistem pertanian dengan teknologi cangkul,

4) Penggunaan bajak sederhana,

5) Sistem Bajak modern.

Tahapan atau pola sistem pertanian seperti ini merujuk

pula pada tahapan perubahan sosial atau perkembangan

(38)

commit to user

sosial diantara manusia dan tanah. Perubahan sistem ini sering

bersumber pada penerimaan pemakaian inovasi baru atau

teknologi pertanian yang baru (Sugihen, 1997: 118-122).

b. Kemiskinan

Menurut Sayogya, rumah tangga buruh tani dan petani

sempit sudah lama diketahui tergolong miskin disamping rumah

tangga nelayan dan perajin (Ihromi, 1999:240). Mubyarto

mengartikan kemiskinan sebagai :

Situasi kekurangan yang terjadi karena bukan dikehendaki

oleh si miskin, melainkan tidak dapat dihindari dengan kekuatan

atau kemampuan yang ada padanya. Kemiskinan itu ditandai

dengan sikap dan tingkah laku yang mau menerima keadaan yang

seakan-akan tidak dapat berubah, yang tercermin dalam lemahnya

kemauan untuk maju, rendahnya produktifitas, terbatasnya modal

yang dimiliki, rendahnya pendapatan, serta kesempatan untuk

berpartisipasi (Mubyarto, 1997: 17).

Sedangkan menurut Syahrial Syarbaini, yang dimaksud

dengan kemiskinan adalah: Suatu keadaan dimana seseorang tidak

sanggup untuk memelihara dirinya sendiri yang sesuai dengan

kehidupan kelompoknya dan juga tidak mampu untuk

memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam

(39)

commit to user

Kemiskinan memang merupakan persoalan multi dimensial

yang tidak saja melibatkan faktor ekonomi, tetapi juga sosial,

budaya dan politik. Pertama, yang paling kelas adalah bahwa

kemiskinan berdimensi ekonomi atau material. Dimensi ini

menjelma alam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya

material, yaitu seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan,

dan lain-lain. Dimensi dapat diukur dalam rupiah meskipun

harganya akan selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung

dari tingkat inflasi rupiah itu sendiri.

Kedua, kemiskinan berdimensi sosial budaya. Ukuran

kuantitatif kurang dapat dipergunakan untuk memahami dimensi

ini sehingga ukurannya sangat bersifat kualitatif. Lapisan yang

secara ekonomis miskin akan membentuk kantong-kantong

kebudayan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan

hidup mereka. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan

terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik,

keterberdayaan dan lain-lain. Untuk itu serangan terhadap

kemiskinan sama pula artinya dengan pengikisan budaya ini.

Apabila budaya ini tidak dihilangkan maka kemiskinan ekonomi

juga sulit ditanggulangi.

Ketiga, kemiskinan berdimensi struktural atau politik,

artinya orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada

(40)

commit to user

Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak

memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak

mempunyai kekuatan politik, sehingga menduduki struktural

sosial paling bawah. Ada asumsi yang paling menegaskan bahwa

orang yang miskin secara struktural atau politis akan berakibat

pula miskin dalam bidang material (ekonomi). Untuk itu langkah

pengentasan kemiskinan apabila ingin efektif juga harus

mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan

politis.

Dimensi-dimensi kemiskinan ini pada hakikatnya merupakan

gambaran bahwa kemiskinan bukan hanya dalam pengertian

ekonomi saja. Untuk itu program pengentasan kemiskinan

seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan ekonomi tetapi

memperhatikan dimensi yang lain. Dengan kata lain, pemenuhan

kebutuhan pokok memang perlu mendapatkan prioritas, namun

bersamaan dengan itu seyogyanya juga mengejar target mengatasi

kemiskinan non-ekonomi. Ini sejalan dengan pergeseran strategi

pembangunan nasional, bahwa yang dikejar bukan semata-mata

pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pembangunan kualitas manusia

seutuhnya dalam tataran sosial, budaya, dan politik

(Nugroho,2001:191-192).

Kesulitan akan timbul ketika fenomena kemiskinan

(41)

commit to user

dengan pengukuran dan penentuan garis batas kemiskinan yang

hanya kini menjadi perdebatan. Dengan kata lain, tidaklah mudah

untuk menentukan berapa rupiah pendapatan yang harus dimiliki

oleh setiap orang agar terhindar dari garis batas kemiskinan. Jadi

dalam hal ini kemiskinan tidak hanya menyangkut

persoalan-persoalan kuantitatif tetapi juga kualitatif. Sebab di dalam

masyarakat kadang ada orang yang secara kuantitatif atau obyektif

(apabila dihitung pendapatannya dengan rupiah) tergolong miskin

tetapi tinggal dalam lingkup budaya tertentu, orang tersebut

merasa tidak miskin. Bahkan merasa cukup dan justru berterima

kasih kepada nasibnya. Hal ini biasanya berkaitan dengan

nilai-nilai budaya tertentu seperti nilai-nilai nrimo, takdir, nasib dll

(Dewanta, 1995:29-30).

Saat ini terdapat banyak cara pengukuran kemiskinan dengan

standar yang berbeda-beda. Ada dua kategori tingkat kemiskinan,

yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan

absolut adalah suatu kondisi dimana tingkat pendapatan seseorang

tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti pangan,

sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Kemiskina relatif

adalah penghitungan kemiskinan berdasarkan proposi distribusi

pendapatan dalam suatu daerah. Kemiskinan jenis ini dikatakan

relatif karena lebih berkaitan dengan distribusi pendapatan antar

(42)

commit to user

nasional yang diterima oleh sekelompok tertentu dengan

kelompok-kelompok sosial lainnya. Namun yang terjadi ukuran

kemiskinan saat ini adalah ukuran kemiskinan jenis pertama.

Pada tahun 1971, Prof. Sayogyo mengusulkan cara

mengukur kemiskinan dengan pendekatan kemiskinan absolut.

Cara yang dikembangkan adalah memperhitungkan standar

kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Ada

tiga golongan orang miskin, yaitu golongan paling miskin yang

mempunyai pendapatan perkapita pertahun beras sebanyak 240 kg

atau kurang, golongan miskin sekali yang memiliki pendapatan

perkapita pertahun beras sebanyak 240 hingga 360 kg, dan lapisan

miskin yang memiliki pendapatan beras perkapita pertahun lebih

dari 360 kg tetapi kurang dari 480 kg. Meskipun upaya yang

dilakukan oleh Sayogya pada akhirnya juga menimbulkan

perdebatan, namun ia telah berjasa dalam meletakkan standar

obyektif pengukuran garis kemiskinan.

Biro Pusat Statistik juga memberikan alternatif untuk

mengukur garis kemiskinan dengan cara menetukan berapa besar

kalori minimum yang harus dipenuhi setiap orang dalam

sehari-hari. Badan ini mengusulkan bahwa setiap orang harus memenuhi

2100 kalori setiap harinya. Jadi 2100 kalori ini merupakan garis

batas kemiskinan. Namun tidak hanya itu, karena hal-hal lain yang

(43)

commit to user

kebutuhan perumahan, bahan bakar penerangan, air, sandang,

jenis barang yang tahan lama serta jasa-jasa. Kemudian kriteria ini

dirubah dalam angka rupiah. Karena harga kebutuhan-kebutuhan

itu berubah-ubah maka harga yang ditetapkan oleh BPS juga

mengalami perubahan tiap tahun. Dengan kata lain, inflasi yang

terjdi setiap tahun mengakibatkan perubahan harga yang pada

akhirnya mengakibatkan kenaikan (perubahan) garis kemiskinan

(Nugroho, 2001:189-190). Adapun kriteria rumah tangga miskin

menurut BPS antara lain :

1) Luas tanah tempat tinggal kurang dari 8 M² per orang.

2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal dari tanah/bambu/kayu

murahan.

3) Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu

berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester.

4) Tidak punya fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan

rumah tangga lain.

5) Sumber penerangan rumah tangga bukan listrik.

6) Sumber air minum dari sumur/ mata air tidak terlindungi/

sungai/ air hujan.

7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu/ arang/

minyak tanah.

8) Konsumsi daging/ susu/ ayam hanya sekali dalam seminggu

(44)

commit to user

9) Pembelian pakaian baru untuk setiap dalam satu tahun hanya

membeli satu stel/ tidak pernah membeli.

10) Makan dalam satu hari untuk hanya satu kali / dua kali.

11) Tidak mampu membayar untuk berobat ke puskesmas/

poliklinik.

12) Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga petani

dengan luas lahan 0,5/ buruh tani, nelayan, buruh bangunan,

buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan

pendapatan di bawah Rp. 600.000,-/ bulan.

13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya SD/ tidak

tamat SD/ tidak sekolah.

14) Tidak mempunyai tabungan/ barang yang mudah dijual

dengan nilai minimal Rp. 500.000,- seperti motor (kredit,

non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal

lainnya ( Sumber: BPS).

Sebuah rumah tangga dikategorikan miskin apabila

memenuhi sembilan atau lebih dari kriteria rumah tangga miskin

diatas. Saat ini pedesaan Jawa telah mengalami perubahan, hampir

semua ahli sepakat bahwa sumber perubahan itu berasal dari

persebaran teknologi pertanian ke daerah pedesaan (Nasikun dan

Triyono, 1992:50). Modernisasi di satu sisi dipandang sebagai

usaha meningkatkan produktifitas. Namun tidak dapat dipungkiri,

(45)

commit to user

yang patut dicarikan jalan keluarnya, yakni masalah

ketenagakerjaan. Alih teknologi telah menggeser peranan tenaga

manusia yang semula merupakan tenaga inti bagi setiap tahap

pengerjaan lahan pertanian, disamping beberapa tenaga bantu

berupa hewan dan peralatan yang masih diciptakan petani sendiri.

Dengan masuknya teknologi baru, otomatis tenaga mesinlah yang

dianggap lebih efektif. Namun tingkat pengetahuan, modal dan

ketatnya jaringan pemasaran tetap menjadi kendala dalam masalah

alih teknologi ini, disamping tidak semua petani memiliki tanah.

Kebanyakan mereka adalah buruh tani yang hanya bermodal

tenaga kasar, bekerja di tanah-tanah petani pemilik. Modernisasi

dan mekanisasi mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja,

sehingga buruh tani tidak lagi mendapatkan kesempatan bekerja di

sektor ini. Sementara itu, pendapatan para buruh tani yang

semakin rendah mengalami banyak kesulitan dalam pemenuhan

hidup keluarganya, bila ia tidak memiliki pekerjaan sampingan.

Akibatnya, khususnya di daerah Jawa, kita melihat dampak dari

modernisasi (dalam hal ini mekanisme peralatan pertanian) telah

mewujudkan urbanisasi karena masyarakat desa tidak lagi

mempunyai pekerjaan di desanya (Sjamsidar dkk, 1994:3).

Dengan demikian setiap upaya komersialisasi pertanian tidak

mesti akan turut meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

(46)

commit to user

dalam posisi subordinat. Skenario seperti ini banyak dijumpai di

negara-negara berkembang, dimana setiap upaya moderisasi

(komersialisasi) pertanian justru menempatkan petani dalam posisi

yang selalu kalah. Keuntungan ekonomi pertanian lebih banyak

jatuh pada pemilik modal atau kelas pedagang yang relatif

memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan dengan petani

(Yustika,2002:112).

Dari dulu, sejak masih dalam cengkraman kaum kolonial,

hingga kini di jaman reformasi, nasib petani (khususnya petani

padi) tidak beranjak membaik. Bahkan ada kecenderungan kalau

nasib mereka terus saja merosot. Resiko dan potensi kerugian

berusaha tani padi memang berderet-deret. Resiko kegagalan di

satu tingkat memang sangat tergantung kepada iklim, cuaca serta

serangan hama dan penyakit yang semuanya berada di luar kontrol

mereka. Namun pada tingkat lainnya, resiko kerugian itu juga

diakibatkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak

memberikan insentif ekonomi kepada petani supaya mereka

berusaha lebih baik (Khudori, 2004:224).

Kendala utama untuk terbebas dari lingkaran kemiskinan itu

secara umum diketahui adalah :

1) Kelangkaan modal (antara lain disebabkan karena tidak ada

(47)

commit to user

menyebabkan mereka tidak dapat mengadopsi teknologi

yang lebih menguntungkan.

2) Tidak ada akses terhadap pasar yang kompetitif, termasuk

akses terhadap para penguasa (kelompok elit dalam

ekonomi), antara lain karena struktur pasar yang "distortif”,

yang menyebabkan kelompok miskin tidak mempunyai

bergaining position” yang kuat dalam sistem tata niaga.

3) Tidak punya akses terhadap informasi (pasar dan harga)

yang mutakhir sehingga mereka tidak dapat mengalokasikan

sumber daya secara efisien.

4) Mereka memilih kualitas yang relatif rendah sebagai

“entrepreneur”, sebagai wiraswasta yang harus responsif dan

bahkan kalau perlu agresif dalam menangkap peluang

ekonomi dan pasar yang tersedia. Sikap yang statis,

menunggu dan tidak responsif menyebabkan banyak sekali

kesempatan ekonomi yang tersedia di pedesaan yang hanya

dimanfaatkan oleh orang tidak miskin (Racbini dkk, 1995).

Mengatasi kemiskinan pada hakikatnya merupakan upaya

memberdayakan orang miskin untuk dapat mandiri, baik dalam

pengertian ekonomi, budaya, dan politik. Kemiskinan merupakan

problema multidimensial (seperti telah diuraikan diatas) yang

penanggulangannya tidak dapat dengan pemberdayaan ekonomi.

(48)

commit to user

yang tidak terelakkan kalau pemerataan ekonomi dan terwujudnya

kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sosial yang

dikehendaki. Lapisan masyarakat miskin pada dasarnya

merupakan lapisan yang memiliki potensi politik, tetapi karena

berbagai hal suara mereka terpendam dalam struktur politik. Agar

mereka dapat lari dari problematika kemiskinan maka

pemberdayaan politik diperlukan sehingga mereka dapat mampu

bersuara dalam struktur politik tersebut (Nugroho, 2001:194).

Buku bunga rampai yang berjudul Perangkap Kemiskinan,

Problem dan Strategi Pengentasannya editor Bagong Suyanto

sedikit banyak akan menyadarkan kepada kita, bahwa upaya untuk

mengentas sebagian rakyat miskin yang diperlukan bukan Cuma

paket “nasi bungkus” bantuan ekonomi. Paket bantuan ekonomi di

satu sisi rawan bias, sementara disisi lain upaya karitas dengan

cara menyantuni secara penuh justru tidak mendidik masyarakat

untuk bekerja keras. Untuk mengentaskan kemiskinan diperlukan

strategi baru yang komprehensif dan sistematis dalam jangka

pendek dan jangka panjang. Pemberian paket bantuan ekonomi

memang cukup bermanfaat bagi masyarakat miskin dalam angka

pendek. Namun, dalam jangka panjangnya, untuk memerangi

kemiskinan secara frontal disemua sektor, yang diperlukan adalah

upaya pemberdayaan yang memihak pada masyarakat miskin,

(49)

commit to user

pada masyarakat miskin untuk memintal jaring-jaring sosial yang

dapat memperkuat posisi tawarnya.

Indikator yang dapat digunakan sebagai penilaian

kemiskinan menurut International Fund For Agricultural

Development (IFAD) menyatakan bahwa ada delapan indikator

kemiskinan pada tingkat rumah tangga:

1) Kekurangan materi (material deprivation) diukur dengan

ketidakcukupan makanan, gizi buruk, ketidakmampuan

menyediakan kebutuhan kesehatan dan pendidikan dasar,

kekurangan pakaian dan tempat tingal;

2) Isolasi (isolation) direfleksikan dalam letak geografis rumah

tangga yang terisolasi dan rumah tangga yang secara sosial

dan politik tersisihkan (marginalization);

3) Keterbelakangan (alienation), si miskin terbelakang dari

proses perkembangan teknologi dan mereka tidak dapat

mengambil keuntungan dari peluang tersebut;

4) Ketergantungan (dependence) melemahkan daya si miskin

dalam hubungan sosial yang tidak berimbang diantara tuan

tanah dan penggarap lahan, majikan dan buruh, kreditor dan

penghutang;

5) Ketidakberdayaan membuat keputusan memilih produk,

(50)

commit to user

direfleksiskan adanya ketidakmampuan (tidak memiliki)

fleksibilitas dan keterbatasan peluang bagi si miskin;

6) Keterbatasan asset (lack of assets) yang memaksa orang

miskin bekerja dengan tingkatproduktivitas sangat rendah

7) Rentan miskin (vulnerability) yang muncul dari faktor alam

(kekeringan, banjir dan bencana), faktor perubahan pasar

(penurunan harga komoditi), faktor demografi (kehilangan

anggota keluarga pencari nafkah), faktor kesehatan (anggota

keluarga pencari nafkah sakit berkepanjangan), faktor status

perkawinan (perceraian dan janda) dan faktor pasar kerja

(PHK) dan

8) ketidakamanan (insecurity) berupa resiko akibat kekerasan

fisik (perkelahian massal) karena status sosial lemah atau

kekuatan fisik rendah, gender, agama, ras dan etnis (Jazairy,

997).

Kemiskinan tidak terjadi pada Negara berkembang saja, bahkan

Negara seperti di Negara maju seperti Negara Amerika. Hal tersebut

dijelaskan Wiley (2009) dalam jurnalnya yang berjudul “Causes and

Effect of Poverty”. Dan pada jurnal tersebut, ia juga menjelaskan

definisi tentang kemiskinan absolut (poverty absolute) dan kemiskinan

relatif (relative poverty).

(51)

commit to user

it is estimated that more than 35 million Americans approximately 14 percent of the population live in poverty. Of course, like all other social science statistics, these are not without controversy. Other estimates of poverty in the United States range from 10 percent to 21 percent, depending on one's political leanings. This is why many sociologists prefer a relative, rather than an absolute, definition of poverty. According to the definition of relative poverty, the poor are those who lack what is needed by most Americans to live decently because they earn less than half of the nation's median income. By this standard, around 20 percent of Americans live in poverty, and this has been the case for at least the past 40 years. Of these 20 percent, 60 percent are from the working class poor”.

(Setiap diskusi tentang kelas sosial dan mobilitas tidak akan

lengkap tanpa sebuah diskusi tentang kemiskinan, yang didefinisikan

sebagai kekurangan pangan dan papan minimum yang diperlukan

untuk mempertahankan hidup. Lebih khusus lagi, kondisi ini dikenal

sebagai kemiskinan absolut. Hari ini diperkirakan lebih dari 35 juta

warga Amerika sekitar 14 persen dari jumlah penduduk-hidup dalam

kemiskinan. Tentu saja, seperti semua statistik ilmu sosial lainnya, ini

bukan tanpa kontroversi. Perkiraan lain kemiskinan di Amerika

Serikat berkisar dari 10 persen menjadi 21 persen, tergantung pada

kecenderungan politik. Inilah sebabnya mengapa banyak sosiolog

lebih suka relatif, bukan absolut, definisi kemiskinan. Menurut

definisi kemiskinan relatif, orang miskin adalah mereka yang tidak

memiliki apa yang dibutuhkan oleh sebagian besar warga Amerika

untuk hidup layak karena mereka mendapatkan kurang dari setengah

dari pendapatan rata-rata nasional. Dengan standar ini, sekitar 20

(52)

commit to user

setidaknya selama 40 tahun. Dari jumlah tersebut 20 persen, 60 persen

berasal dari kelas pekerja miskin).

Dalam sebuah jurnal lain dengan judul Reinventing Poverty

Alleviation Strategies through Corporate Social Responsibility yang

dibuat oleh Denni Arli, Pamela D. Morrison, dan Mohammed A.

Razzaque, mereka menyebutkan ada tiga strategi untuk

menanggulangi kemiskinan, yaitu:

In general, there are three types of poverty alleviation strategies used by corporations. The first model is the ‘profit’ strategy. This model enables the company to explore the untapped market of low income consumers by creating affordable goods and services with the expectation to find profit within these low income consumers The starting point is the company’s resources and capabilities, then the creation of innovative products and/or services to match the needs of low income consumers. The poor then will bring the wealth back to the company. The second model is the ‘non-profit’ strategy. The poverty alleviation programs are launched by non-profit organizations. The organization directly provides help for the poor with nothing expected in return. The final model is a CSR model. This is where the company has a social mission. This model uses the problems and challenges faced by low income consumers as a starting point. The problems are critically analysed and solved with both parties reaping the benefits. The starting point of this strategy is the poor. The poor offer challenges and opportunities; subsequently social strategy is created to solve these problems. The products and services will bring wealth to the low income consumer and then transfers back to the company who supplies it.

(Secara umum, ada tiga jenis strategi pengentasan kemiskinan

yang digunakan oleh perusahaan. Model pertama adalah 'keuntungan'

strategi. Model ini memungkinkan perusahaan untuk menjelajahi

belum dimanfaatkan pasar konsumen berpenghasilan rendah dengan

(53)

commit to user

untuk mencari keuntungan dalam konsumen berpenghasilan rendah

ini. Titik awalnya adalah perusahaan sumber daya dan kemampuan,

maka penciptaan inovatif produk dan / atau jasa yang sesuai dengan

kebutuhan konsumen berpenghasilan rendah. Orang miskin kemudian

akan membawa kekayaan kembali ke perusahaan. Model kedua adalah

'non-profit' strategi. Program-program pengentasan kemiskinan yang

diluncurkan oleh organisasi nirlaba. Organisasi secara langsung

memberikan bantuan bagi masyarakat miskin dengan apa-apa

diharapkan kembali. Model terakhir adalah model CSR. Ini adalah di

mana perusahaan memiliki misi sosial. Model ini menggunakan

masalah dan tantangan yang dihadapi oleh konsumen berpenghasilan

rendah sebagai titik awal. Masalah-masalah yang kritis dianalisis dan

dipecahkan dengan kedua belah pihak memetik manfaat. Titik awal

dari strategi ini adalah masyarakat miskin. Orang miskin menawarkan

tantangan dan kesempatan; strategi sosial kemudian dibuat untuk

menyelesaikan masalah ini. Produk dan jasa akan membawa kekayaan

kepada konsumen berpendapatan rendah dan kemudian transfer

kembali ke perusahaan yang menyediakannya itu).

c. Strategi Kelangsungan Hidup

Rumah tangga petani miskin di pedesaan mempunyai

strategi bertahan hidup demi kelangsungan hidup anggota

Gambar

Tabel 1 Sebaran Kemiskinan di Kabupaten Pati
Gambar 1. Analysis Interactive Model
Tabel 2 Jumlah Penduduk Dalam Kelompok Umur dan Kelamin
  Tabel 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah metode predictor- corrector, dimana kita pertama-tama memprediksikan solusi numerik dari suatu persamaan differensial

Hal yang sama juga ditemui pada data Riskesdas 2007 dimana 43% pola penyakit penyebab kematian pada kelompok umur 55 tahun ke atas adalah sistem sirkulasi yaitu stroke,

Dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kinerja Reksa Dana Syariah (Studi Empiris pada Perusahaan.. Reksa Dana Syariah di Indonesia)”

Pada kasus ini dilakukan penelitian dalam pencarian informasi yang tersimpan pada data akademik tersebut yaitu, kebiasaan mahasiswa beberapa jurusan dalam mengambil

(Salim, 2010) :1) Pasal 108 ayat (1) pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, 2) Pasal 100 pemegang IUP wajib menyerahkan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa FBIR secara parsial mempunya pengaruh positif yang signifikan terhadap ROA terhadap Bank Umum

Sebagian besar responden adalah ibu-ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan sedang tentang imunisasi dasar anak dan mempunyai pengalaman menjadi kader lebih dari 5 sampai dengan

Menurut Kuipers (1993), besarnya tenaga tarik efektif dari traktor untuk menarik sebuah alat sangat tergantung pada kemampuan roda penggerak (bagian belakang)