BAB II TINJAUAN TEORI HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
B. Konsep Fikih tentang Cerai Talak
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai matinya salah seorang suami isteri. Inilah yang dikehendaki agama Islam. Namun, dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putus perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.8
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami isteri. Dilihat dari sisi pihak-pihak yang berakad, maka sebab putusnya ikatan perkawinan ada yang merupakan hak pada suami dan ada juga yang merupakan hak pada isterinya.9 Putusnya perkawinan atas kehendak dari suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu disebut dengan talak yang merupakan haknya. Sedangkan putusnya perkawinan atas kehendak isteri dan merupakan haknya disebut dengan
8
Amir Syarifuddin,Garis-Garis Besar Fiqh,cet. II, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 124.
9
khulu’. Untuk lebih jelasnya perceraian dalam kitab fikih kifayatul akhyar dibagi menjadi dua macam, yaitu:11
a. Talak
Talak menurut bahasa arab adalah melepaskan ikatan, yang dimaksud dalam penulisan adalah melepaskan ikatan perkawinan. Secara garis besar, dilihat dari boleh tidaknya dirujuk, talak terbagi dua yakni sebagai berikut:
1) Raj’i yakni talak satu dan talak dua. Talak ini suami masih mempunyai
hak untuk merujuk isterinya setelah talak dijatuhkan. Merujuk lagi isterinya itu tidak memerlukan persetujuan isteri, sama seperti mentalak, suami tidak memerlukan persetujuan isteri.
2) Ba’in. talak ini terbagi menjadi dua bagian, yakni:12 Pertama, bai’in
sugra yaitu talak yang jatuh karena akumulasi talak raj’i sehingga menjadi talak tiga. Dalam talak ini suami tidak dapat menikah dengan mantan isterinya kecuali telah terselangi oleh laki-laki lain kemudian diceraikan dan nikah lagi dengannya. Atau talak yang diminta oleh isteri
melalui prosedur khulu’. Dalam talak ini suami tidak boleh kembali
10
Amir Syarifuddin, Hukum Perikatan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan,(Jakarta: Prenada Media, t.th), h. 197.
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini,Terjemahan Kifayatul Akhyar jilid II,
penerjemah Achmad Zaidun, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997), h. 456-466.
Yayan Sopyan,Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
dengan isterinya, kecuali dengan akad baru. Kedua, ba’in kubra yaitu
talak yang sama sekali tidak boleh dirujuk selamanya. Perceraian ini
terjadi karena li’an.13
Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang merupakan jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, ajaran Islam tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu, Allah SWT., memandang talak yang terjadi antara suami-isteri sebagai perbuatan halal yang sangat dimurkai-Nya. Hadist Ibnu Umar menyatakan, Rasulullah SAW., bersabda:
) (
Artinya: “Talak merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah
SWT.”14(HR Abu Daud dan Hakim)
b. Khulu’
Kata khulu’ berasal dari kata yang berarti melepaskan atau
meninggalkan.15 Khulu’ juga dapat berarti “fidaaun” atau tebusan. Karena dalam hal ini, isteri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar
13
Ibid.,h. 186.
14
Hasanuddin AF,Perkawinan dalam Perspektif Al-Qur’an,(Jakarta: Nusantara Damai Press,
2011), h. 57. 15
A. Munawwir,Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
sejumlah uang tebusan atau imbalan.16 Pada dasarnya wewenang talak hanya berada pada tangan suami. Namun, dalam keadaan tertentu
Al-Qur’an membolehkan adanya khulu’ dari pihak isteri. Dengan demikian,
bagi pihak isteri pun tidak tertutup kemungkinan sama sekali untuk memiliki semacam wewenang dalam hal talak. Adapun asbabun nuzul dasar pembolehan khulu’yaitu At Tirmidzi dan Al Hakim dan lainnya dari Aisyah berkata: Ada laki-laki mencerai isterinya semaunya, ia cerai
isterinya dan ruju’ lagi di saat isteri dalam iddahnya, tak ada masalah
baginya walaupun mencerainya hingga seratus kali. Malah ia berkata kepada isterinya: Demi Allah kau akan kucerai dan nanti akan kurujuk lagi, walaupun aku tidak menggauli kau. Isterinya bertanya: Mengapa begitu?
Ya… aku cerai dan bila waktu iddah akan habis aku kawini lagi. Wanita
itupun pergi menghadap Nabi dan melapor. Nabi SAW., diam dan turunlah ayat ini:17
Artinya: “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang imbalan yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”18(Q.S. Al-Baqarah: 229).
16
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar AlHusaini, Kifayatul Akhyar jilid II, (Surabaya: PT Bina
Ilmu Offset, 1997), h. 456. 17
Jalaluddin As Suyuthi,Terjemah Asbabun Nuzul,penerjemah Rohadi Abu Bakar, (Semarang:
Wicaksana-Berkah Ilahi, 1986), h. 56. 18
Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
Hadist dari Ibnu Abbas r.a.:
:
:
:
)
(
Artinya:“Bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi SAW.,
lalu bekata: “saya tidak mencela akhlak dan agama Tsabit bin Qais, tetapi
saya membenci kekufuran setelah berada dalam agama Islam.” Kemudian
Nabi SAW., bertanya kepada perempuan itu: “Sanggupkah engkau mengembalikan kepada Qais kebunnya?” Perempuan itu menjawab: “ya.”
Maka Rasulullah SAW., berkata kepada Tsabit bin Qais: “Terimalah
kebun itu dan talak lah ia (isterimu) sekali talak.19 2. Syarat-syarat Talak
Menjatuhkan talak dianggap sah apabila suami memenuhi syarat-syarat talak,20sebegai berikut:
a. Baligh. Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun dia telah pandai,
b. Berakal sehat. Talak yang dijatuhkan oleh orang gila, baik penyakitnya itu akut maupun jadi-jadian (insidental), pada saat dia gila, tidak sah. Begitu
19
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Terjemahan Kifayatul Akhyar jilid II,
penerjemah Achmad Zaidun, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997), h. 456. 20
pula halnya dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar, dan orang yang hilang kesadarannya lantaran sakit panas yang amat tinggi sehingga ia meracau.
c. Atas kehendak sendiri, talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa (menceraikan istrinya), menurut kesepakatan ulama mazhab, tidak dinyatakan sah. Hal ini berdasarkan hadis sebagai berikut:
“Ketentuan hukum dicabut dari umatku yang melakukan perbuatannya karena keliru, lupa dan dipaksa.”
d. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Menurut Imamiyah mengatakan bahwa seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru, atau main-main maka talaknya dinyatakan tidak jatuh. Pernyataan Imamiyah tersebut menukil hadis dariAhlilbaityang mengatakan:
“Tidak dianggap jatuh suatu talak kecuali bagi orang yang memang bermaksud menjatuhkan talak dan tidak ada talak kecuali disertai niat.”21
3. Hukum Perceraian
Perceraian diambil dari kata “cerai” dan dalam kata bahasa Arab, cerai
sering disebut “talak”.22 Dilihat dari situasi, kondisi, kemaslahatan dan kemudharatan maka hukumnya dapat menjadi lima (5) macam:23
21
Muhammad Jawad Mughniyah,Fiqih Lima Mazhab,cet. XXVI, (Jakarta: Lentera, 2010), h.
a. Wajib, apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, sedangkan dua hakam yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu bercerai. Bahkan memandang perceraian itulah satu-satunya jalan untuk pasangan suami isteri tersebut, kalau tidak terjadi perceraian, maka salah seorang atau keduanya akan masuk pada kondisi yang membahayakan.
b. Sunah, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkah), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya. Atau talak terhadap isteri yang menyia-nyiakan kewajibannya terhadap Allah.
c. Mubah, yaitu suami boleh menceraikan isterinya karena isteri tidak dapat menjaga diri dikala tidak ada suami dirumahnya, isteri yang berbahaya terhadap suami atau yang tidak baik akhlaknya.
d. Haram, yaitu seperti suami yang menceraikan isterinya tanpa sebab yang jelas. Kemudian juga menjatuhkan talak sewaktu isterinya dalam keadaan haid, kedua menjatuhkan talak sewaktu suci tetapi sudah dicampuri ketika waktu suci itu.
22
Ahmad Palahudin, “Cerai Talak Suami Murtad: Analisis Putusan Pengadilan Agama
Tigaraksa No. 2431/Pdt.G/2011/PA.TGRS dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No.
967/Pdt.G/2010/PA.JP),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 15.
23
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
e. Makruh, yaitu suami yang menceraikan isterinya, padahal isteri taat kepada suami, rajin beribadah dan shalihah.24