• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORI HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

B. Teori Hukum Progresif

Progresif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kearah kemajuan, berhalu kearah perbaikan keadaan sekarang, bertingkat tingkat naik.7 Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Terobosan tersebut di dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.

2. Hukum Sebagai Teks

Manusia tidak memulai kehidupan bersamanya dengan membuat sistem hukum, melainkan membangun suatu masyarakat. Baru dari kehidupan bersama yang bernama masyarakat itu dilahirkan hukum. Modal pertama untuk membangun suatu kehidupan bersama adalah adanya saling percaya antara para anggotanya, tanpa modal tersebut yang ada hanyalah kumpulan dari sejumlah manusia yang tinggal pada suatu wilayah geografi tertentu yang

7

Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia,cet. III, edisi III, (Jakarta:

biasa disebut dengan komunitas. Selanjutnya kehidupan bersama yang lebih luas disebut sebagai masyarakat.8

Untuk mengerti hukum dengan baik kita perlu mengawalinya dengan perbincangan mengenai masyarakat. Hukum bermula dari masyarakat dan sepanjang waktu akan terus seperti itu. Persoalan-persoalan timbul manakala hukum diabstrakkan, yaitu dengan mengabaikan konteks kemasyarakatannya. Masyarakat manusia itu adalah otentik, sedang hukum itu institut yang lebih artifisial. Sejak hukum itu berbasis masyarakat (manusia), maka dari dalam kehidupan bersama itulah bahan-bahan untuk membangun sistem hukum diambil. Hukum menjadi institut yang otentik, oleh karena ia berangkat dari realitas masyarakat dan manusia. Hukum yang baik adalah yang ditimba dari bahan kehidupan bersama itu sendiri.9

Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana di jumpai dalam teks atau perundang-undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional. Sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam kekakuannya (Lex dura sed tamen scripta-hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai sebuah dokumen tertulis. Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah

8

Satjipto Rahardjo,Hukum dan Perilaku, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h. 5-6.

9

keadilan atau pencarian keadilan, maka hukum itu sendiri dihadapkan kepada teks, pembacaan teks dan permaknaan teks.10

Beberapa praktisi dan pemikir hukum, seperti hakim Agung Oliver Wendell Holmes, meyadari ketidakadilan yang akan muncul dari penerapan rumusan yang umum atau teks-teks itu secara begitu saja. Karena banyak hal yang tidak terwadahi dalam teks tertulis, seperti suasana dan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada suatu saat, serta moral yang dipeluk masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu, tidak mungkin tertulis dalam teks hukum tersebut. Menurut Holmes hukum itu juga merupakan endapan dari pengalaman sejarah suatu bangsa selama berabad-abad, sehingga hukum tidak

boleh digarap menggunakan silogisme. “it cannot be dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics.”

Puchta dan Von Savigny mengatakan bahwa, hukum itu tidak dibuat secara sengaja, tetapi muncul dari dalam masyarakat sendiri. Maka hukum itu akan selalu ada selama masyarakatnya juga masih ada. Hukum itu akan lenyap seiring dengan punahnya masyarakat. Aliran ini dikenal sebagai Aliran Sejarah (Historische school, Historical Jurisprudence). Eugen Ehrlich juga berpendapat sama dan mengatakan, bahwa hukum itu tidak muncul dalam

10

teks, dalam pengadilan dan dalam ilmu hukum, melainkan dalam masyarakat.11

3. Hukum Sebagai Perilaku

Pada awalnya, hukum disebut sebagaifolkways(kebiasaan). Kebiasaan merupakan perilaku yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Perilaku tersebut menjadi pola perilaku yang kemudian disebut norma. Misalnya kebiasaan untuk tidak makan di depan pintu, atau kebiasaan untuk melempar daun sirih dalam suatu upacara perkawinan adat jawa.12

Mengetahui perilaku manusia jika dilihat sebagai hukum, maka diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep kita mengenal hukum, yaitu tidak hanya sebagai peratuan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Selama kita bersikukuh, bahwa hukum itu adalah peraturan dan tidak ada yang lain, maka sulitlah untuk memahami, bahwa hukum itu juga muncul dalam bentuk perilaku. Pada waktu para mahasiswa turun ke jalan di tahun 1998 mendesak Presiden Soeharto turun, secara sosiologis dapat dibaca, para mahasiswa sedang menulis teks konstitusi untuk memberhentikan Pemerintahan Soeharto. Apa yang kemudian dilakukan oleh MPR yang membuat putusan menurunkan Presiden Soeharto, hanyalah menyalin teks yang sudah di tulis para mahasiswa melalui perilaku berdemonstrasinya itu.

11

Ibid.,h. 15-17. 12

Rianto Adi, Sosiologi Hukum kajian Hukum secara Sosiologis,(Jakarta: Yayasan Pustaka

Hukum sebagai teks itu diam dan hanya melalui perantaraan

manusialah ia menjadi “hidup”. Dalam kepustakaan sosiologi hukum

perantaraan seperti itu disebut sebagai mobilisasi hukum. Perilaku atau tindakan manusia itu dapat menambah dan mengubah teks. Penegakan hukum (law enforcement) adalah konsep normatif, di mana orang hanya tinggal mengaplikasikan apa yang ada dalam perundang-undangan.13

Hukum merupakan suatu produk budaya apabila dilihat sebagai suatu norma sosial, hukum hadir dalam masyarakat dengan bentuk budaya apapun. Pada masyarakat primitif pun sudah dijumpai hukum. Malinowski menegaskan, bahwa pada suatu masyarakat primitf, hukum timbul dari kebutuhan masyarakat. Gagasan itu terungkap bahwa ketika masyarakat tertentu hidup bersama, masyarakat tersebut menghasilkan pola tingkah laku tertentu. Anggota-anggota masyarakat harus memenuhi kebutuhan fisik, biologis, dan sosial sehingga mereka harus berusaha untuk bekerja sama dengan sesamanya dalam suatu kehidupan bermasyarakat.14

Hukum sebagai perilaku itu muncul secara merta-merta atau spontan lewat interaksi antara para anggota masyarakat sendiri. Di situ masyarakat sendirilah merupakan pabrik yang memproduksi hukum, yaitu melalui

perilaku. Indonesia mempunyai pengalaman dengan fenomena “hukum di

-13

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,

2010), h. 15. 14

luar-teks”, seperti diuraikan mengenai penurunan Presiden Soeharto oleh para

mahasiswa di muka. Perilaku hukum yang tampak sebagai mematuhi hukum, tidak selalu bertolak dari kesadaran untuk patuh kepada hukum. Perilaku tersebut dapat berupa sebuah perilaku yang mandiri tanpa ada hubungannya dengan kepatuhan hukum. Dengan demikian, hukum bereksistensi sebagai hasil kerja sama suatu masyarakat. Oleh karena itu, hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi manusia, hukum merupakan suatu yang inheren dengan kehidupan masyarakat manusia.15

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tiada hukum tanpa masyarakat. Karena hukum tercipta dan diciptakan oleh masyarakat untuk dijadikan pedoman bertingkah laku anggota masyarakat dalam hubungannya dengan sesamanya.16 Hukum merupakan kebiasaan dari perilaku yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Perilaku tersebut menjadi pola perilaku yang lahir karna kebutuhan masyarakat yang disebut dengan hukum kebiasaan.

Dokumen terkait