• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi kitab fikih dalam pertimbangan putusan hakim perkara cerai talak di pengadilan agama Jakarta Selatan Tahun 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eksistensi kitab fikih dalam pertimbangan putusan hakim perkara cerai talak di pengadilan agama Jakarta Selatan Tahun 2010"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

ZAHROTUL KAMILAH NIM : 1111044100077

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

a

,

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)

Oleh:

ZAHROTUL

KAMILAH

NIM:

1111044100077

a

KONSENTRASI

PERADILAN

AGAM

PROGRAM STUDI

IIUKUM

KELUARGA

FAKI'LTAS

SYARIAII

DAN

IIUKUM

UNWERSITAS

ISLAM

NEGERI SYARIF

IIIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)

I

LEMBAR PER}TYATA.AI\T

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

l.

Skripsi ini merupakan karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan untuk memenuhi gelar Stata Satu (SD di Universitas Islam Negeri runD Syarif flidayatullah Jalorta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri ([mD Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika dikemudian hari terbukti bt*u karya ini bukan hasil karya asli saya atau

menrpakan hasil jiplakan dmi karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islarn Negeri (uhD Syarif Hidayatullatr

Jakarta.

(5)

i

Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015, vii + 77 + 29.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui posisi kitab fikih dalam pertimbangan hukum pada putusan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis. Sumber penelitian terdiri dari data primer berupa salinan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta selatan dan data sekunder berasal dari buku-buku. Subyek dalam penelitian ini adalah individu yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan berupa wawancara, dan observasi.

Berdasarkan data yang telah penulis jelaskan maka dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan kitab fikih di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010 dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara cerai talak sebanyak 6% sebagai landasan hukum. Hal ini sesuai dengan data perkara cerai talak pada tahun 2010. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan lebih banyak menggunakan KHI sebagai dasar pertimbangan putusan, diketahui bahwa sebanyak 100% KHI digunakan sebagai landasan hukum perkara cerai talak, PP No. 9 Tahun 1975 menempati 94% sebagai landasan hukum, UU No. 1 Tahun 1974 menempati 86% sebagai landasan hukum, UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan Perubahan ke-II dengan UU No. 50 Tahun 2009 menempati 80% sebagai landasan hukum dan Yurisprudensi menempati 3% sebagai landasan hukum. Dari hasil persentase tersebut menandakan bahwa hakim agama hanya merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai rujukan atau sumber utama dalam memutus perkara. Tidak lagi melakukan ijtihad dengan mencari dasar dalam kitab fikih, dengan demikian bahwa hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara menganut teori hukum positivisme, dimana hakim dalam melakukan pertimbangan terfokus pada peraturan perundang-undangan.

Kata Kunci : Fikih, Cerai Talak, Pengadilan Agama, Teori Hukum Positivisme, Teori Hukum Progresif dan Teori Penegakan Hukum.

(6)

ii

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., yang

senantiasa memberi rahmat, taufik, dan hidayah-Nya-lah penulis dapat

menyelesaikan skripsi dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar

Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan

kepada Nabi dan Rasul Muhammad SAW., kepada segenap keluarganya,

sahabat-sahabatnya serta ummatnya sepanjang zaman.

Selama proses dan perjalanan untuk menyelesaikan skripsi ini tidaklah

mudah. Banyak hambatan dan rintangan yang penulis temui dan alami, berkat

kesungguhan hati dan kerja keras serta doa, akhirnya penulis sampai pada titik

akhir penulisan skripsi ini.

Penulis juga tidak menutup mata akan peran berbagai pihak yang telah

banyak membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Untuk itu

perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Asep Saepudin Jahar, MA.,Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku

Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan

(7)

iii

4. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang

selama menjalani aktifitas di kampus yang selalu memberikan motivasi dan

dukunga serta dorongan agar selalu bekerja dan berusaha maksimal demi

menggapai mimpi.

5. Seluruh Dosen, Staf dan Karyawan FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan pemberitahuan, pemahaman dan pelayanan selama

melaksanakan studi.

6. Bapak Drs. Mustofa, SH., dan Bapak Saifuddin selaku Hakim, Bapak

Pahrurrozi, SH., selaku panitera muda hukum dan seluruh Staf Pengadilan

Agama Jakarta Selatan yang telah membantu dan memberikan izin untuk

melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan

penelitian.

7. Yang tercinta Ayahanda (H. Mukhtar Rosyidi, S.Ag), yang telah ikhlas

memotivasi dengan moril maupun materil dan menjadi inspirasi penulis

dalam penulisan skripsi ini. Demikian pula, yang tercinta Ibunda (Hj. Siti

Hodijah), yang dengan ikhlas mencurahkan kasih sayang untuk penulis, yang

tiada henti-hentinya mendoakan agar menjadi wanita yang tegar dalam

menghadapi cobaan hidup dan menjadi kebanggaan Ayah dan Bunda.Amin.

8. Untuk kakak dan adik-adikku yang tersayang: Arifudi, S.Pd.I., Nur’Aeni

(8)

iv

Juniarti Harahap, Intan Pratiwi, Vemi Zauhara, Ai Siti Wasillah, Burhanatut

Diana, Viviet Alfianita, Denise Nurhidyani, Am.Keb., Hatoli, S.Sy., Ana

Matopani, S.H.I., dan Wawan Solihin, S.Sy., yang selalu sedia mendengarkan

keluh kesah penulis selama penyususnan skripsi serta tiada hentinya

memberikan semangat, motivasi dan dukungan kepada penulis dikala penulis

sedang terpuruk dalam penyusunan skripsi.

10. Kawan-kawan seperjuangan Keluarga Besar Peradilan Agama dan

Administrasi Keperdataan Islam Angkatan 2011 yang telah memberikan

warna serta pengalaman dalam menjalani perkuliahan selama ini. Serta semua

pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima

kasih atas dukungan dan bantuannya.

Akhirnya tiada kata yang paling berharga kecuali ucapan Alhamdulillah atas

Rahmat dan Karunia serta Ridha-Nya dan ucapan terima kasih penulis kepada

semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini.

Besar harapan penulis bahwa penulisan ini dapat memberikan kontribusi

yang positif untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan peradilan agama.

Jakarta, 1 April 2015

(9)

v

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...8

D. Review Studi Terdahulu ...8

E. Metode Penelitian ...10

F. Sistematika Penulisan ...14

BAB II TINJAUAN TEORI HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA ...15

A. Teori Hukum Positivisme ...15

B. Teori Hukum Progresif ...18

1. Pengertian ...18

2. Hukum Sebagai Teks ...18

3. Hukum Sebagai Perilaku ...21

(10)

vi

2. Dasar Hukum Cerai ...32

B. Konsep Fikih tentang Cerai Talak ...34

1. Macam-macam Perceraian ...34

2. Syarat-syarat Talak ...38

3. Hukum Perceraian ...39

C. Cerai Talak di Pengadilan Agama ...40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...45

A. Statistik Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan...45

B. Posisi Kitab Fikih dalam Putusan Perkara Cerai Talak Tahun 2010 ...50

C. Pendekatan Teori Hukum dalam Putusan Cerai Talak ...63

D. Analisis Penulis...68

BAB V PENUTUP ...73

A. Kesimpulan...73

B. Saran-saran ...73

(11)
(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Peradilan Agama adalah salah satu dari empat peradilan di lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia.1 Peradilan Agama bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam, yaitu di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Peradilan Agama Pasal 49, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Intruksi Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang mencari keadilan, yang beragama Islam, berdasarkan hukum Islam.2

Dalam catatan sejarah, sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, cerai talak tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian cukup dilaksanakan di Kantor Urusan

1

Erfaniah Zuhriah,Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut,(Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 15.

2

(13)

Agama Kecamatan setempat. Cerai talak baru diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam bagian-bagian sendiri

dengan sebutan “cerai talak”, demikian juga Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama lebih mempertegas lagi mengenai keberadaan cerai talak.3

Mengenai perkara perceraian, dalam penjelasan Pasal 49 ayat (2) UUPA, dibedakan antara perceraian talak, dan gugatan perceraian. Dilihat dari pihak-pihak yang mengajukan, perceraian karena talak adalah permohonan cerai yang diajukan oleh suami, sedangkan gugatan perceraian adalah gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri. Menghindari perkara perceraian, suami dan isteri haruslah dapat membentuk keluarga yang sejahtera, dan bahagia, hal tersebut diperlukan norma agama dan tata aturan yang berlaku. Persoalan perkara cerai talak dalam pertimbangan hakim pada putusan cerai talak, dalam regulasi hukum di Indonesia selain mengacu pada: Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juga diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Melihat kepada ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 38, dijelaskan ada tiga sebab yang menjadi penyebab putusnya ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang isteri yang menjadi pihak-pihak terikat dalam perkawinan yaitu karena

3

(14)

kematian, karena perceraian, dan atas keputusan pengadilan.4 Selanjutnya ketentuan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 66 ayat (1) menjelaskan, bahwa seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.5

Berkaca pada kehidupan rumah tangga saat ini, seringkali antara suami isteri terjadi silang pendapat, percekcokan, dan pertengkaran terus menerus hingga berujung pada perceraian, hal ini sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f ) KHI. Dimana alasan tersebut dijadikan oleh suami sebagai jalan terakhir untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara perceraian. Maka, penggunaan hak talak oleh suami hanya diperkenankan apabila mempunyai alasan tersebut.6

Hukum Islam menetapkan hak talak bagi suami dan suamilah yang memegang kendali talak, karena suami dipandang telah mampu memelihara kelangsungan hidup bersama. Suami diberi beban membayar mahar dan memikul nafkah isteri dan anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah isteri selama ia menjalankan masa iddahnya. Hal-hal tersebut menjadi pengikat bagi suami untuk tidak menjatuhkan talak dengan

4

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 117.

5

Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama,cet. V, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 28.

6

(15)

sesuka hati.7 Meskipun suami memiliki hak untuk menjatuhkan talak, namun dalam pelaksanaannya hak itu harus dibatasi. Qur’an memberikan prosedur

perceraian yang baik yaitu apabila dikhawatirkan percekcokan antara suami isteri akan menyebabkan putusnya ikatan perkawinan, maka tunjuklah dua juru damai dari masing-masing pihak. Hal pertama kali yang dilakukan juru pendamai ialah harus mengusahakan kerukunan kembali antara keduanya, dan jika itu gagal, barulah ditempuh perceraian.8Oleh karena itu, Islam hanya mengijinkan perceraian karena tidak ada jalan lain untuk keluar dari lingkaran ketegangan yang terus menerus dalam rumah tangga.9

Dapat diambil kesimpulan bahwa, cerai talak jika dilihat dari segi pihak-pihak yang mengajukannya dibedakan menjadi dua yaitu cerai gugat dan cerai talak. Perceraian yang diajukan oleh suami yaitu cerai talak dalam perkembangannya tidak hanya diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1975 tetapi juga diatur pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada sejumlah Peraturan Perundang-undangan tersebut jelas mengatur aturan cerai talak. Dimana Peraturan Perundang-undangan tersebut dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara cerai talak. Sejumlah putusan cerai talak pada tahun 2010 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, mencatat pada dasar pertimbangan hukumnya, hakim menggunakan sumber pada; Undang-undang

7

Abdul Rahman Ghozali,Fiqih Munakahat,(Jakarta: Kencana, 2010), h. 205.

8

Kamarusdiana dan Jaenal Aripin,Perbandingan Hukum Perdata, h. 30-31.

9

(16)

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.

Dalam hukum Islam ada beberapa syarat bagi seseorang yang menalak, di antaranya: (1) Baligh, (2) Berakal Sehat, (3) Atas Kehendak sendiri, (4) Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Talak seseorang yang sedang marah dianggap sah manakala terbukti bahwa dia memang mempunyai maksud menjatuhkan talak. Sementara, Imamiyah menukil hadits dari Ahlilbait yang mengatakan bahwa tidak dianggap jatuh suatu talak kecuali bagi orang yang memang bermaksud menjatuhkan talak dan tidak ada talak kecuali disertai niat. Adapun pengarang kitab Al-Jawahir mengatakan bahwa kalau seseorang telah menjatuhkan talak dan sesudah mengucapkan talaknya itu dia mengatakan “saya tidak bermaksud menjatuhkan talak”, maka pernytaannya ini diterima sepanjang si istri masih dalam masa ‘iddah. Sebab, yang demikian itu merupakan informasi tentang niatnya yang tidak bisa diketahui siapa pun kecuali melalui pemberitahuannya sendiri.10

Persoalan cerai talak dapat dipahami mengingat banyaknya perkara yang masuk di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan minimnya ketersediaan waktu pada persidangan membuat para hakim kurang efesien dalam memutuskan perkara cerai talak, dan lebih mengacu pada peraturan perudang-undangan saja. Sehingga, membuat keberadaan kitab fiqih menjadi semakin terbelakang.

Peradilan menurut istilah ahli fiqih, adalah (1) lembaga hukum, dimana seseorang yang beragama Islam dapat mengajukan permohonan keadilan (2) perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya. Dari pengertian tersebut membawa kesimpulan bahwa

10

(17)

tugas peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan sesuatu hukum. karena hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal yang dihadapi hakim, dimana hukum Islam itu (syariat) telah ada sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.11

Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu lembaga peradilan, mempunyai wewenang untuk menerima, mengadili dan menyelesaikan perkara perdata tertentu tingkat pertama bagi masyarakat Jakarta Selatan yang beragama Islam, diantaranya perkara permohonan cerai talak. Berdasarkan penelitian awal yang penyusun lakukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, diketahui bahwa umumnya dari putusan cerai talak tahun 2010 dalam pertimbangan hukum yang dilakukan oleh hakim mengacu pada: Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun `1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Namun, penulis belum melihat eksistensi kitab-kitab fikih dalam putusan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sehingga penulis tertarik pada tema “EKSISTENSI KITAB FIKIH DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN

AGAMA JAKARTA SELATAN TAHUN 2010”.

11

(18)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan masalah

Sejumlah Peraturan Perundang-undangan tentang perkawinan dijadikan rujukan oleh hakim dalam pertimbangan hukum pada perkara cerai talak. Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini, penulis memfokuskan dan membatasi pada salinan putusan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010 dengan jumlah putusan sebanyak 549 perkara cerai talak. Pengambilan sampel 10% dari jumlah salinan putusan dan dilakukan secara acak, sehingga jumlah putusan yang diteliti sejumlah 50 putusan. Adapun yang dimaksud dengan kitab fikih klasik adalah kitab asli hasil ijtihad para ulama yang salah satu pembahasannya tentang masalah-masalah perkawinan, seperti: kitab Al-Mahalli dengan karangan Imam Jalaluddin al Mahalli, kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh karangan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, kitab Fiqh as-Sunnah karangan as-Sayyid Sabiq, kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd, kitab Fathul Baari karangan Ibnu Hajar Asqalani dan kitab Kifayatul Akhyar karangan Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar AlHusaini.

2. Perumusan masalah

(19)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui posisi kitab fikih dalam pertimbangan hukum pada putusan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010.

Sementara manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan hukum keluarga dalam masalah perceraian pada masyarakat luas.

2. Secara praktisi, (a) diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi mahasiswa UIN syarif Hidayatullah Jakarta dan khusunya bagi mahasiswa Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah sserta masyarakat luas lainnya. (b) penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi hukum terutama di lingkungan Pengadilan Agama dan juga pihak-pihak yang berminat terhadap masalah-masalah perceraian.

D. Review Studi Terdahulu

Berdasarkan telaah yang dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan, penulis perlu melengkapi ataupun menyempurnakan penelitian ini karena dengan melakukan review studi terdahulu dapat menghindarkan penulis dari tuduhan duplikasi dan penjiplakan. Adapun review studi yang mirip dengan fokus penelitian adalah:

No. Penulis dan Judul Isi Perbedaan

1. Moch. Fahmi Firmansyah,

Eksistensi Peradilan

Skripsi ini membahas bahwa sistem penyelenggaraan

Skripsi ini

(20)

Agama Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi No.

93/PUU-X/2012, SAS, 2013.

kekuasaan kehakiman di Indonesia saat ini tidak lagi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada dibawahnya.

permasalahan

tentang bagaimana eksistensi kitab fikih dalam pertimbangan hukum perkara cerai talak.

2. Miftahul Arwani,

Pertimbangan Hakim

dalam memutuskan

Perceraian Karena

Perselingkuhan (Studi

terhadap putusan di

Pengadilan Agama

Ponorogo tahun 2007),

SAS, 2008.

Skripsi ini membahas tentang hakim dalam pemerikasaan suatu perkara juga

memerlukan adanya

pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara karena pembuktian merupakan tahapan yang penting dalam pemeriksaan di Persidangan.

Skripsi ini

membahas dasar pertimbangan yang digunakan hakim dalam pertimbangan hukum pada perkara cerai talak yang mengacu pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

3. Asmiroh, Pelaksanaan Pasal 41C

Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Oleh Hakim Terhadap

Perkara Cerai Talak di

Skripsi ini mengenai ketidakkonsistenan hakim di Pengadilan Agama Bantul dalam melaksanakan Pasal 41 c Undang-undang Nomor 1

Dalam pertimbangan hukum pada perkara cerai talak yang dilakukan oleh

(21)

Pengadilan Agama Bantul

Tahun 2010,SAS, 2002.

Tahun 1974 menggunakan asas

keadilan.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran atau menguji pengetahuan penulis dalam melakukan pendalaman secara kritis dan bijaksana. Metode penelitian pada dasarnya merupakan carailmiahuntuk mendapatkandatadengantujuan

dan kegunaan tertentu.12 Dalam pengumpulan bahan atau data penyusunan skripsi ini agar menemukan suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode penelitian ilmiah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan.13 Sehingga dapat menggambarkan secara mendalam terhadap masalah yang diteliti14 dengan melakukan metode kualitatif, seperti observasi dimana peneliti mengumpulkan data dengan

12

Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,cet. XV, (Bandung: CV Alfabeta, 2012), h. 2.

13

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo, 2001), h. 26.

14

(22)

cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan data-data di tempat penelitian.15

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif kualitatif, yakni bertujuan untuk mengetahui apa yang terjadi dilingkungan yang akan diteliti,16 hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari dokumen tertulis berupa putusan serta hasil wawancara. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sikap, dan persepsi Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam mengambil rujukan pada putusan cerai talak.

2. Sumber Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan data yang berhubungan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Sumber data yang penulis gunakan terbagi dalam tiga bagian yaitu:

a. Data primer

Data primer ini berupa salinan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam perkara cerai talak tahun 2010.

b. Data sekunder

Data ini didapat dari hasil penelitian lapangan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang tidak hanya mengadakan penelitian langsung melalui wawancara dengan salah satu Hakim yang bertugas di

15

Syamsudin dan Vismala S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahas,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 73.

16

(23)

Pengadilan Agama Jakarta Selatan tetapi juga dengan menggunakan beberapa literatur seperti buku-buku dan jurnal.

c. Data tersier

Data ini diperoleh dengan cara mengumpulkan dan menelaah beberapa literatur buku-buku ilmiah, kamus, ensiklopedia ataupun internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai tindak lanjut dalam rangka memperoleh data sebagaimana di harapkan, maka penulis melakukan pengumpulan dengan dua teknik penelitian yaitu:

a. Penelitian kepustakaan (library research), dalam hal ini penulis mengadakan penelitian terhadap beberapa literatur yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini, yang berupa putusan cerai talak 2010 Pengadilan Agama Jakarta Selatan, buku, artikel, jurnal, skripsi, surat kabar dan lain sebagainya. Hal yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian kepustakaan ini adalah dengan cara membaca, mengutip, menganalisa dan merumuskan hal-hal yang dianggap perlu dalam memenuhi data dalam penelitian ini.

(24)

1) Wawancara

Wawancara dapat diartikan sebagai tukar-menukar pandangan antara dua orang atau lebih17. Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu dengan cara tanya jawab secara langsung menggunakan instrument pengumpulan data. Wawancara ini dimaksudkan untuk memperoleh data atau informasi dari pihak terkait yaitu Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 2) Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung pada salinan putusan perkara cerai talak tahun 2010, yang kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penulisan skripsi ini.

4. Analisis data

Data yang diperoleh yaitu data primer dan data sekunder, diolah kemudian dianalisis secara kualitatif dan selanjutnya disajikan secara deskriptif.

5. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian pada skripsi ini adalah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Lokasi dipilih karena Pengadilan Agama yang berada di Jakarta Selatan merupaka kota yang komplek dan masyarakatnya metropolis.

17

(25)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan terdiri dari 5 (lima) bab yang terdiri dari sub-sub yang dirinci sebagai berikut:

Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, membahas tentang teori positivisme, teori hukum progresif, dan teori penegakan hukum.

Bab Ketiga, membahas tentang pengertian dan dasar hukum cerai talak, konsep fikih tentang cerai talak, dan cerai talak di Pengadilan Agama.

Bab Keempat, berisi data statistik perkara cerai talak, posisi kitab fikih terhadap dalam putusan perkara cerai talak tahun 2010, pendekatan teori hukum dalam putusan cerai talak dan analisis penulis.

(26)

A. Teori Hukum Positivisme

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan positivisme sebagai aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.1Positivisme adalah sebuah posisi filosofis yang menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah yang berasal dari observasi terhadap data dari pengalaman dan bukan dari spekulasi yang berusaha untuk “melihat ke balik” fakta-fakta yang diobservasi untuk mengetahui sebab utama, makna ataupun esensi.2

Hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas daari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada dibelakang hukum. Hukum itu sendiri tidak bisa dielakkan selalu berkembang, namun perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kearah-arah tertentu. Masyarakat berubah, hukum juga harus berubah. Jika masyarakat Indonesia

1

Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia,cet. III, edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 890.

2

(27)

sudah merdeka dari bangsa jajahan, maka hukumnya juga harus bersejalan dengan perubahan itu.3

H.L.A. Hart mengemukakan ciri-ciri positivisme, sebagai berikut: 1. Hukum hanyalah perintah penguasa,

2. Tidak ada hubungan mutlak antara hukum,moral dan etika,’

3. Analisa tentang konsepsi-konsepsi hukum dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologi,

4. Sistem hukum haruslah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang diperoleh atas dasar logika, tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik, moral, maupun etika.4

Positivisme hukum dalam perkembangannya terbagi menjadi 2 (dua) aliran, yaitu: aliran Hukum Positif Analitis (Analitical Jurisprudence) dengan tokohnya John Austin, dan aliran Hukum Murni (Reine Rechts Lehre) dari Hans Kelsen. Austin mengemukakan tiga hal pokok positivisme hukum, yaitu:

1. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi pada suatu negara. Dengan demikian, hukum adalah perintah dari kekuatan politik di suatu negara yang memegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan) di suatu negara,

3

Sabian Utsman,Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 219-220.

4

(28)

2. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (Closed Logical system). Oleh karena itu, sebagai objek kajian, maka hukum harus dilepas dari unsur nilai,

3. Hukum haruslah memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Tidak terpenuhinya keempat unsur tersebut, berarti hal tersebut bukanlah hukum, akan tetapi berupa moral positif.5

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik pengertian bahwa, apabila disarikan makabagi penganut mazhab positivisme hukum, dari segi bentuk maka “hukum dilihat sebagai undang-undang”, dari segi isi sebagai “perintah

penguasa”, dan dari segi persyaratan terdiri dari “sanksi, perintah, kewajiban dan

kedaulatan”, dengan demikian, otoritas yang membentuk hukum adalah

penguasa yang berdaulat, yang bentuknya diidentikkan dengan undang-undang

dan diberlakukan terhadap pihak yang dikuasi.6 Dengan demikian, hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, hukum haruslah berfungsi sebagai sarana penggerak, hukum sebagai penegak keadilan. Untuk itu hukum harus diterima sebagai salah satu bagian sistem nilai kemasyarakatan yang bermanfaat bagi masyarakat sehingga keberlakuan hukum berguna bagi masyarakat.

5

Ibid.,h. 163.

6

(29)

B. Teori Hukum Progresif 1. Pengertian

Progresif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kearah kemajuan, berhalu kearah perbaikan keadaan sekarang, bertingkat tingkat naik.7 Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Terobosan tersebut di dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.

2. Hukum Sebagai Teks

Manusia tidak memulai kehidupan bersamanya dengan membuat sistem hukum, melainkan membangun suatu masyarakat. Baru dari kehidupan bersama yang bernama masyarakat itu dilahirkan hukum. Modal pertama untuk membangun suatu kehidupan bersama adalah adanya saling percaya antara para anggotanya, tanpa modal tersebut yang ada hanyalah kumpulan dari sejumlah manusia yang tinggal pada suatu wilayah geografi tertentu yang

7

(30)

biasa disebut dengan komunitas. Selanjutnya kehidupan bersama yang lebih luas disebut sebagai masyarakat.8

Untuk mengerti hukum dengan baik kita perlu mengawalinya dengan perbincangan mengenai masyarakat. Hukum bermula dari masyarakat dan sepanjang waktu akan terus seperti itu. Persoalan-persoalan timbul manakala hukum diabstrakkan, yaitu dengan mengabaikan konteks kemasyarakatannya. Masyarakat manusia itu adalah otentik, sedang hukum itu institut yang lebih artifisial. Sejak hukum itu berbasis masyarakat (manusia), maka dari dalam kehidupan bersama itulah bahan-bahan untuk membangun sistem hukum diambil. Hukum menjadi institut yang otentik, oleh karena ia berangkat dari realitas masyarakat dan manusia. Hukum yang baik adalah yang ditimba dari bahan kehidupan bersama itu sendiri.9

Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana di jumpai dalam teks atau perundang-undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional. Sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam kekakuannya (Lex dura sed tamen scripta-hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai sebuah dokumen tertulis. Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah

8

Satjipto Rahardjo,Hukum dan Perilaku, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h. 5-6.

9

(31)

keadilan atau pencarian keadilan, maka hukum itu sendiri dihadapkan kepada teks, pembacaan teks dan permaknaan teks.10

Beberapa praktisi dan pemikir hukum, seperti hakim Agung Oliver Wendell Holmes, meyadari ketidakadilan yang akan muncul dari penerapan rumusan yang umum atau teks-teks itu secara begitu saja. Karena banyak hal yang tidak terwadahi dalam teks tertulis, seperti suasana dan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada suatu saat, serta moral yang dipeluk masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu, tidak mungkin tertulis dalam teks hukum tersebut. Menurut Holmes hukum itu juga merupakan endapan dari pengalaman sejarah suatu bangsa selama berabad-abad, sehingga hukum tidak boleh digarap menggunakan silogisme. “it cannot be dealt with as if it

contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics.”

Puchta dan Von Savigny mengatakan bahwa, hukum itu tidak dibuat secara sengaja, tetapi muncul dari dalam masyarakat sendiri. Maka hukum itu akan selalu ada selama masyarakatnya juga masih ada. Hukum itu akan lenyap seiring dengan punahnya masyarakat. Aliran ini dikenal sebagai Aliran Sejarah (Historische school, Historical Jurisprudence). Eugen Ehrlich juga berpendapat sama dan mengatakan, bahwa hukum itu tidak muncul dalam

10

(32)

teks, dalam pengadilan dan dalam ilmu hukum, melainkan dalam masyarakat.11

3. Hukum Sebagai Perilaku

Pada awalnya, hukum disebut sebagaifolkways(kebiasaan). Kebiasaan merupakan perilaku yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Perilaku tersebut menjadi pola perilaku yang kemudian disebut norma. Misalnya kebiasaan untuk tidak makan di depan pintu, atau kebiasaan untuk melempar daun sirih dalam suatu upacara perkawinan adat jawa.12

Mengetahui perilaku manusia jika dilihat sebagai hukum, maka diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep kita mengenal hukum, yaitu tidak hanya sebagai peratuan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Selama kita bersikukuh, bahwa hukum itu adalah peraturan dan tidak ada yang lain, maka sulitlah untuk memahami, bahwa hukum itu juga muncul dalam bentuk perilaku. Pada waktu para mahasiswa turun ke jalan di tahun 1998 mendesak Presiden Soeharto turun, secara sosiologis dapat dibaca, para mahasiswa sedang menulis teks konstitusi untuk memberhentikan Pemerintahan Soeharto. Apa yang kemudian dilakukan oleh MPR yang membuat putusan menurunkan Presiden Soeharto, hanyalah menyalin teks yang sudah di tulis para mahasiswa melalui perilaku berdemonstrasinya itu.

11

Ibid.,h. 15-17.

12

(33)

Hukum sebagai teks itu diam dan hanya melalui perantaraan manusialah ia menjadi “hidup”. Dalam kepustakaan sosiologi hukum perantaraan seperti itu disebut sebagai mobilisasi hukum. Perilaku atau tindakan manusia itu dapat menambah dan mengubah teks. Penegakan hukum

(law enforcement) adalah konsep normatif, di mana orang hanya tinggal mengaplikasikan apa yang ada dalam perundang-undangan.13

Hukum merupakan suatu produk budaya apabila dilihat sebagai suatu norma sosial, hukum hadir dalam masyarakat dengan bentuk budaya apapun. Pada masyarakat primitif pun sudah dijumpai hukum. Malinowski menegaskan, bahwa pada suatu masyarakat primitf, hukum timbul dari kebutuhan masyarakat. Gagasan itu terungkap bahwa ketika masyarakat tertentu hidup bersama, masyarakat tersebut menghasilkan pola tingkah laku tertentu. Anggota-anggota masyarakat harus memenuhi kebutuhan fisik, biologis, dan sosial sehingga mereka harus berusaha untuk bekerja sama dengan sesamanya dalam suatu kehidupan bermasyarakat.14

Hukum sebagai perilaku itu muncul secara merta-merta atau spontan lewat interaksi antara para anggota masyarakat sendiri. Di situ masyarakat sendirilah merupakan pabrik yang memproduksi hukum, yaitu melalui perilaku. Indonesia mempunyai pengalaman dengan fenomena “hukum

di-13

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h. 15.

14

(34)

luar-teks”, seperti diuraikan mengenai penurunan Presiden Soeharto oleh para mahasiswa di muka. Perilaku hukum yang tampak sebagai mematuhi hukum, tidak selalu bertolak dari kesadaran untuk patuh kepada hukum. Perilaku tersebut dapat berupa sebuah perilaku yang mandiri tanpa ada hubungannya dengan kepatuhan hukum. Dengan demikian, hukum bereksistensi sebagai hasil kerja sama suatu masyarakat. Oleh karena itu, hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi manusia, hukum merupakan suatu yang inheren dengan kehidupan masyarakat manusia.15

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tiada hukum tanpa masyarakat. Karena hukum tercipta dan diciptakan oleh masyarakat untuk dijadikan pedoman bertingkah laku anggota masyarakat dalam hubungannya dengan sesamanya.16 Hukum merupakan kebiasaan dari perilaku yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Perilaku tersebut menjadi pola perilaku yang lahir karna kebutuhan masyarakat yang disebut dengan hukum kebiasaan.

C. Teori Penegakan Hukum

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan penegakan sebagai proses, cara, perbuatan menegakkan.17 Penegakan hukum adalah proses

15

Satjipto Rahardjo,Penegakan Hukum Progresif,h. 16.

16

Rianto Adi, Sosiologi Hukum kajian Hukum secara Sosiologis,(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 9.

17

(35)

dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jimly Asshiddiqie menyatakan:

Penegakan hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya. Bahkan, dalam artian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normaif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana semestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap segala pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perUndang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi, melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat, atau pengacara, dan badan-badan peradilan.18

Masa transisi lazimnya dikatakan masa peralihan dari masa lalu ke masa depan, masa yang penuh konflik-konflik sosial dan konflik norma-norma. Peranan hukum dalam masa transisi lazimnya hanya ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum sebagai dampak pemberlakuan hukum baru dalam konteks hukum lama untuk memelihara kelangsungan kehidupan masyarakat.19

18

Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 243-244.

19

(36)

Pada negara-negara yang sedang dalam masa transisi menuju demokrasi dan menuju ke negara yang menganut prinsip “Rule of law” atau “Rechtstaat”, hukum yang berlaku belum sepenuhnya mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Karena hukum-hukum tersebut (kepastian dan keadilan hukum) beluma spiratif (belum sepenuhnya dapat menyuarakan dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.20

Era kabinet reformasi pembangunan yang dibentuk sejak pengangkatan Habibie sebagai Presiden R.I ketiga dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan R.I merupakan era transisi, baik dalam bidang politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya. Hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa. Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis dimana transparansi, supremasi hukum, promosi dan perlindungan HAM dikesampingkan. Penegakan hukum dalam era transisi tidak boleh surut karena dalam dunia akademis, para juris selalu berkata “sekalipun langit akan runtuh hukum tetap harus ditegakkan”. Oleh karena itu, masa transisi

bukanlah alasan untuk tidak menegakkan secara baik, benar dan bertanggung jawab.21

20

Sutan Remy Sjahdeini dan dkk.Penegakan Hukum di Indonesia,(Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), h. 120.

21

(37)

Proses penegakan hukum (law enforcement process) dan proses pembentukan hukum nasional (law making process) saling berkaitan satu sama lain karena proses penegakan hukum yang baik, benar, dan bertanggung jawab dapat dipengaruhi oleh proses pembentukan hukum yang aspiratif, proaktif dan kredibel pada masanya. Proses pembentukan hukum yang aspiratif, proaktif, dan kredibel hanya dapat berlangsung dengan baik jika dilaksanakan dengan memenuhi 3 (tiga) koridor utama yaitu koridor akademik (penyusunan naskah akademik), koridor administrative (koordinasi horizontal antar departemen terkait), dan koridor sosial politik (pembahasan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR), sehingga dalam proses pembentukan hukum perlu dimasukkan dan dipertimbangkan pula kendala-kendala dalam penegakan hukumnya.

(38)

proses sosialisasi hukum (law illumination process/LIP) dan proses penegakan hukum (law enforcement process/LEP).22

Penyiapan suatu perangkat hukum yang demokratis memerlukan beberapa syarat, yaitu: suatu masyarakat yang terbuka/transparan dan demokratis, suatu kelembagaan politik (partai-partai politik) yang terbuka dan demokratis, suatu kelembagaan perwakilan rakyat yang dihasilkan oleh suatu proses pemilu yang demokratis, dan sesuatu pemerintah (eksekutif) yang lahir dari proses pemilu yang demokratis.23 Penegakan hukum menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat itu sendiri, dan lembaga-lembaga peradilan yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta lembaga-lembaga advokasi yang ada.

Terwujudnya penegakan hukum yang adil dan menjamin kepastian hukum merupakan harapan seluruh warga masyarakat yang memiliki rasa keadilan dan telah lama mengharapkan instansi/lembaga-lembaga tersebut berperan aktif dengan menjungjung tinggi rasa keadilan masyarakat.24

Sesungguhnya penegakan hukum itu berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian serta ketentraman di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat bukan saja dapat memengaruhi tetapi sangat

22

Ibid.,h. 55.

23

Sutan Remy Sjahdeini dan dkk.Penegakan Hukum di Indonesia,(Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), h. 120.

24

(39)

menentukan penegakan supremasi hukum. Dengan demikian, tidaklah cocok kalau aparat pembuat dan penegak hukum hanya berkiblat kepada aliran legisme atau legal positivisme.25 Selain masyarakat bagian penting dalam pelaksanaan penegakan hukum lainnya adalah peranan dari para penegak hukum26 karena tujuan dari pada penegakan hukum bukan menimbulkan disintegrasi di antara lembaga penegakan hukum, tetapi bagaimana memaksimalkan penegakan hukum yang nondiskriminatif.27

Penegakan hukum dapat terwujud dimulai dari partisipasi masyarakat itu sendiri, kemudian dibantu oleh aparat penegak hukum dalam menerapkan keadilan. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam membentuk keadilan. Masyarakat mengharapkan terciptanya rasa keadilan dan aparat menginginkan adanya kontribusi baik dari masyarakat dalam bekerja sama membangun kehidupan lebih baik lagi, kehidupan masyarakat lebih tertib lagi, dan terciptanya rasa keadilan. Kedua faktor tersebut berperan penting dalam penegakan hukum.

25

Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 239.

26

Sutan Remy Sjahdeini dan dkk.Penegakan Hukum di Indonesia,h. 136.

27

(40)

9

A. Pengertian dan Dasar Hukum Cerai Talak 1. Pengertian Cerai Talak

Talak secara etimologi adalah yang mempunyai arti

“melepaskan atau meninggalkan”.1Wahbah Zuhaily dalam kitabnya “Al-Fiqh

Al-Islami Wa Adillatuhu” memberikan definisi talak sebagai berikut:

Talak ialah “Melepaskan ikatan pernikahan atau melepaskan tali akad nikah dengan lafaz at-talak dansemisalnya.”2

Abdurrahman Al-Jaziry dalam kitabnya “Al-Fiqh Ala Mazahib Al Arba’ah mendefinisikan talak sebagai berikut:

Talak ialah “Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi

pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu.”3

1

Imam Al-Allamah ibn Manzur,Lisan al-Arab,(Kairo: Dar Al Hadis, 2003), h. 630.

2

Wahbah Zuhaily,Al-Fikh Al-Islamy Wa Adillatuhu,Juz IX (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2007), h. 6873

3

(41)

Secara harfiyah talak itu berarti lepas dan bebas. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologis kelihatannya ulama mengemukakan rumusan yang berbeda namun essensinya sama. Al-Mahalli dalam kitabnya“Syarh Minhaj al-Thalibin”merumuskan:

“Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya.”4

Talak dapat terjadi bila diantara suami dan isteri sudah tidak dapat mempertahankan mahligai rumah tangganya. Islam memang membolehkan talak tersebut dengan catatan bahwa dalam perkawinan tersebut sudah tidak ada manfaatnya, justru yang terlihat lebih banyak mudharatnya, barulah pintu perceraian dapat terbuka.

Kata talak secara terminologi terdapat beberapa para ulama mendefiniskannya, sebagai berikut:

a. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali mendefinisikan talak sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung

b. Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafadz talak atau semakna dengan lafaz itu.

c. Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri.

4

(42)

d. Prof. Subekti, S.H. mengatakan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.5

e. Sayyid Sabiq dalam kitabnya Al-Fiqhu Sunnah mendefinisikan:

Talak adalah “Melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.”(fotenote)

f. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 117, bahwa talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.6

g. Sahlani Hensyah mendefinisikan perceraian dalam hukum positif ialah suatu keadaan dimana antara seorang suami dan seorang isteri telah terjadi ketidakcocokan batin yang berakibat pada putusnya suatu perkawinan, melalui putusan pengadilan setelah tidak berhasil didamaikan.7

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa talak adalah sebuah lafaz yang di ucapkan seorang suami kepada isterinya untuk melepaskan ikatan perkawinan yang terjadi akibat ketidakcocokan diantara mereka.

5

Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,cet. XXXIII, (Jakarta: Intermasa, 2011), h. 42.

6

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan,(Jakarta: Kencana, 2007), h. 227.

7

(43)

2. Dasar Hukum Cerai Talak

Dasar hukum yang digunakan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist, penulis akan mencantumkan beberapa ayat Al-Qur’an serta hadist yang menjadi dasar hukum cerai talak, antara lain:

a. Firman Allah SWT:

(44)

Artinya:“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah

(2): 229-230).























Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang

kamu tidak mengetahui.”(Q.S. Al-Baqarah, (2): 232).

b. Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Hakim, berbunyi:

(45)

Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. berkata: dari Nabi SAW., bersabda:

perbuatan halal yang dibenci Allah adalah talak.” (H.R. Abu Daud dan Hakim dan disahkan olehnya)

B. Konsep Fikih tentang Cerai Talak 1. Macam-macam Perceraian

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai matinya salah seorang suami isteri. Inilah yang dikehendaki agama Islam. Namun, dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putus perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.8

Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami isteri. Dilihat dari sisi pihak-pihak yang berakad, maka sebab putusnya ikatan perkawinan ada yang merupakan hak pada suami dan ada juga yang merupakan hak pada isterinya.9 Putusnya perkawinan atas kehendak dari suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu disebut dengan talak yang merupakan haknya. Sedangkan putusnya perkawinan atas kehendak isteri dan merupakan haknya disebut dengan

8

Amir Syarifuddin,Garis-Garis Besar Fiqh,cet. II, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 124.

9

(46)

khulu’. Untuk lebih jelasnya perceraian dalam kitab fikih kifayatul akhyar

dibagi menjadi dua macam, yaitu:11 a. Talak

Talak menurut bahasa arab adalah melepaskan ikatan, yang dimaksud dalam penulisan adalah melepaskan ikatan perkawinan. Secara garis besar, dilihat dari boleh tidaknya dirujuk, talak terbagi dua yakni sebagai berikut:

1) Raj’i yakni talak satu dan talak dua. Talak ini suami masih mempunyai hak untuk merujuk isterinya setelah talak dijatuhkan. Merujuk lagi isterinya itu tidak memerlukan persetujuan isteri, sama seperti mentalak, suami tidak memerlukan persetujuan isteri.

2) Ba’in. talak ini terbagi menjadi dua bagian, yakni:12 Pertama, bai’in sugra yaitu talak yang jatuh karena akumulasi talak raj’i sehingga menjadi talak tiga. Dalam talak ini suami tidak dapat menikah dengan mantan isterinya kecuali telah terselangi oleh laki-laki lain kemudian diceraikan dan nikah lagi dengannya. Atau talak yang diminta oleh isteri melalui prosedur khulu’. Dalam talak ini suami tidak boleh kembali

10

Amir Syarifuddin, Hukum Perikatan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan,(Jakarta: Prenada Media, t.th), h. 197.

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini,Terjemahan Kifayatul Akhyar jilid II, penerjemah Achmad Zaidun, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997), h. 456-466.

(47)

dengan isterinya, kecuali dengan akad baru. Kedua, ba’in kubra yaitu talak yang sama sekali tidak boleh dirujuk selamanya. Perceraian ini terjadi karena li’an.13

Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang merupakan jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, ajaran Islam tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu, Allah SWT., memandang talak yang terjadi antara suami-isteri sebagai perbuatan halal yang sangat dimurkai-Nya. Hadist Ibnu Umar menyatakan, Rasulullah SAW., bersabda:

) (

Artinya: “Talak merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah SWT.”14(HR Abu Daud dan Hakim)

b. Khulu’

Kata khulu’ berasal dari kata yang berarti melepaskan atau

meninggalkan.15 Khulu’ juga dapat berarti “fidaaun” atau tebusan. Karena dalam hal ini, isteri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar

13

Ibid.,h. 186.

14

Hasanuddin AF,Perkawinan dalam Perspektif Al-Qur’an,(Jakarta: Nusantara Damai Press, 2011), h. 57.

15

(48)

sejumlah uang tebusan atau imbalan.16 Pada dasarnya wewenang talak hanya berada pada tangan suami. Namun, dalam keadaan tertentu Al-Qur’an membolehkan adanya khulu’ dari pihak isteri. Dengan demikian,

bagi pihak isteri pun tidak tertutup kemungkinan sama sekali untuk memiliki semacam wewenang dalam hal talak. Adapun asbabun nuzul dasar pembolehan khulu’yaitu At Tirmidzi dan Al Hakim dan lainnya dari Aisyah berkata: Ada laki-laki mencerai isterinya semaunya, ia cerai isterinya dan ruju’ lagi di saat isteri dalam iddahnya, tak ada masalah

baginya walaupun mencerainya hingga seratus kali. Malah ia berkata kepada isterinya: Demi Allah kau akan kucerai dan nanti akan kurujuk lagi, walaupun aku tidak menggauli kau. Isterinya bertanya: Mengapa begitu? Ya… aku cerai dan bila waktu iddah akan habis aku kawini lagi. Wanita

itupun pergi menghadap Nabi dan melapor. Nabi SAW., diam dan turunlah ayat ini:17





Artinya: “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang imbalan yang

diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”18(Q.S. Al-Baqarah: 229).

16

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar AlHusaini, Kifayatul Akhyar jilid II, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997), h. 456.

17

Jalaluddin As Suyuthi,Terjemah Asbabun Nuzul,penerjemah Rohadi Abu Bakar, (Semarang: Wicaksana-Berkah Ilahi, 1986), h. 56.

18

(49)

Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.

Hadist dari Ibnu Abbas r.a.:

:

:

:

)

(

Artinya:“Bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi SAW.,

lalu bekata: “saya tidak mencela akhlak dan agama Tsabit bin Qais, tetapi

saya membenci kekufuran setelah berada dalam agama Islam.” Kemudian

Nabi SAW., bertanya kepada perempuan itu: “Sanggupkah engkau mengembalikan kepada Qais kebunnya?” Perempuan itu menjawab: “ya.”

Maka Rasulullah SAW., berkata kepada Tsabit bin Qais: “Terimalah

kebun itu dan talak lah ia (isterimu) sekali talak.19

2. Syarat-syarat Talak

Menjatuhkan talak dianggap sah apabila suami memenuhi syarat-syarat talak,20sebegai berikut:

a. Baligh. Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun dia telah pandai,

b. Berakal sehat. Talak yang dijatuhkan oleh orang gila, baik penyakitnya itu akut maupun jadi-jadian (insidental), pada saat dia gila, tidak sah. Begitu

19

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Terjemahan Kifayatul Akhyar jilid II, penerjemah Achmad Zaidun, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1997), h. 456.

20

(50)

pula halnya dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar, dan orang yang hilang kesadarannya lantaran sakit panas yang amat tinggi sehingga ia meracau.

c. Atas kehendak sendiri, talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa (menceraikan istrinya), menurut kesepakatan ulama mazhab, tidak dinyatakan sah. Hal ini berdasarkan hadis sebagai berikut:

“Ketentuan hukum dicabut dari umatku yang melakukan perbuatannya karena keliru, lupa dan dipaksa.”

d. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Menurut Imamiyah mengatakan bahwa seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru, atau main-main maka talaknya dinyatakan tidak jatuh. Pernyataan Imamiyah tersebut menukil hadis dariAhlilbaityang mengatakan:

“Tidak dianggap jatuh suatu talak kecuali bagi orang yang memang bermaksud menjatuhkan talak dan tidak ada talak kecuali disertai niat.”21

3. Hukum Perceraian

Perceraian diambil dari kata “cerai” dan dalam kata bahasa Arab, cerai sering disebut “talak”.22 Dilihat dari situasi, kondisi, kemaslahatan dan kemudharatan maka hukumnya dapat menjadi lima (5) macam:23

21

(51)

a. Wajib, apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, sedangkan dua hakam yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu bercerai. Bahkan memandang perceraian itulah satu-satunya jalan untuk pasangan suami isteri tersebut, kalau tidak terjadi perceraian, maka salah seorang atau keduanya akan masuk pada kondisi yang membahayakan.

b. Sunah, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkah), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya. Atau talak terhadap isteri yang menyia-nyiakan kewajibannya terhadap Allah.

c. Mubah, yaitu suami boleh menceraikan isterinya karena isteri tidak dapat menjaga diri dikala tidak ada suami dirumahnya, isteri yang berbahaya terhadap suami atau yang tidak baik akhlaknya.

d. Haram, yaitu seperti suami yang menceraikan isterinya tanpa sebab yang jelas. Kemudian juga menjatuhkan talak sewaktu isterinya dalam keadaan haid, kedua menjatuhkan talak sewaktu suci tetapi sudah dicampuri ketika waktu suci itu.

22

Ahmad Palahudin, “Cerai Talak Suami Murtad: Analisis Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa No. 2431/Pdt.G/2011/PA.TGRS dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 967/Pdt.G/2010/PA.JP),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 15.

23

(52)

e. Makruh, yaitu suami yang menceraikan isterinya, padahal isteri taat kepada suami, rajin beribadah dan shalihah.24

C. Cerai Talak di Pengadilan Agama

Hukum acara yang digunakan mengenai tata cara pemeriksaan sengketa perkawinan dapat ditemukan dalam peraturan dan Perundang-undangan sebagai berikut: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan ke-II dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang aturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dan aturan lain berkenaan dengan sengketa perkawinan serta kitab fikih Islam sebagai sumber penemuan hukum.25

Perceraian tidak dapat dilakukan oleh suami atau isteri dengan semaunya, tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang telah diatur oleh Undang-undang dan Peraturan Pemerintah sebagaimana tersebut dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 115 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 menjelaskan bahwa, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

24

Ibid.,h. 181.

25

(53)

Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Kewenangan pengadilan dalam melaksanakan proses perceraian dapat dilihat dari agama yang dianut oleh suami isteri. Jika perkawinan mereka dilakukan menurut agama Islam, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili adalah Pengadilan Agama. Bagi suami isteri yang melaksanakan pernikahan menurut agama selain Islam dan perkawinannya dicatat di Kantor Catatan Sipil, maka yang berwenang adalah Pengadilan Negeri.

Perceraian di lingkungan Peradilan Agama sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 pada Bab IV Bagian kedua paragrap 2 dan 3 bahwa perceraian itu ada dua bentuk: pertama, cerai talak adalah pemecahan perkawinan atau perceraian yang datang dari pihak suami,

kedua, cerai gugat adalah pemecahan perkawinan atau perceraian yang diajukan oleh isteri.26 Kedua bentuk tersebut hasil akhirnya memang sama-sama perceraian, akan tetapi prosedurnya menurut perundang-undangan adalah berbeda.

Perundang-undangan memberikan pembedaan terhadap perkara perceraian, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Hal ini disebabkan karena karakteristik perundang-undangan menghendaki demikian, sehingga proses atas kehendak suami berbeda dengan proses atas kehendak isteri. Yang dimaksud

26

(54)

dengan cerai talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.27

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 66 ayat (1) menjelaskan bahwa, pengertian cerai talak yaitu “Seorang suami yang

beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan

kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak”.

Dengan demikian, apabila suami hendak mengucapkan ikar talak, ia tidak mengajukan gugatan cerai melainkan mengajukan permohonan izin untuk mengucapkan ikrar talak.28 Sedangkan cerai gugat yaitu perceraian suami isteri yang inisiatif perceraiannya itu berasal dari isteri.29Dalam UU No. 7 Tahun 1989 Pasal 73 ayat (1), menjelaskan bahwa “Gugatan perceraian diajukan oleh isteri

atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan

tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat”. Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 132 ayat (1) menerangkan bahwa “Gugatan perceraian diajukan

oleh isteri atau kuasanya, pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya

27

Undang-undang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusindo Mandiri, 2003), h. 46.

28

A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 41.

29

(55)

mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat

kediaman bersama tanpa izin suami.”30

Berdasarkan uraian diatas, bahwasannya suami untuk menyatakan talak kepada isteri harus dilaksankan dihadapan sidang Pengadilan Agama, jika dilaksanakan diluar sidang maka perceraian cerai talak dianggap tidak sah, masih berstatus suami isteri. Bagi suami isteri yang beragama Islam dalam melaksanakan proses perceraian untuk memeriksa dan mengadili menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Sedangkan unt[uk suami isteri yang melakukan perkawinan berdasarkan selain agama Islam dan perkawinannya dicatat di Kantor Catatan Sipil maka yang berwenang adalah Pengadilan Negeri.

Cerai talak dan cerai gugat apabila dilihat dari segi perbedaanya maka diketahui bahwa cerai talak adalah permohonan cerai yang diajukan oleh suami, suami sebagai Permohon dan Isteri sebagai Termohon. Sedangkan cerai gugat adalah gugatan yang inisiatifnya berasal dari isteri, isteri sebagai Penggugat dan suami sebagai Tergugat.

30

Gambar

Tabel 4.1Perkara Perceraian Yang Diterima dan Diputus Pada Pengadilan Agama
Tabel 4.2
Tabel 4.3Perkara Cerai Talak Yang Diterima Bulan Januari-Desember Tahun
Tabel 4.4Faktor Cerai Talak (2010)
+2

Referensi

Dokumen terkait

9 Tidak mengganggu teman sebangku 10 Aktif dalam belajar kelompok/individu.. Penelitian dikatakan berhasil apabila 80% siswa sudah memenuhi seluruh indikator

Hal ini diperkuat hasil Penelitian kabat zin (dalam west, 2008) menunjukkan bahwa individu yang memiliki mindfulness adalah individu yang memiliki fisik dan

Semakin tinggi stres, maka semakin banyak pula permasalahan-permasalahan emosional yang dialami oleh penderita diabetes mellitus, dimana kondisi ini berhubungan dengan

Perhitungan korelasi bivariat dengan spearman’s rank menunjukkan adanya hubungan signifikan (p = 0,000) antara konsumsi energi dari pangan hewani dengan kadar hemoglobin pada

Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu, pada penelitian ini variabel yang digunakan untuk mengukur kinerja adalah kepemimpinan, motivasi, kepuasan

Hal tersebut ditunjukkan oleh presentase sebaran petani pada daerah hulu yang lebih dari 60% dan sekitar 90% daerah hilir telah mendapatkan layanan jadwal pengairan yang

Prasarana yang belum memenuhi standar Perpustakaan SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta adalah ruang perpustakaan, karena ukuran standar ruang perpustakaan yang ditentukan dengan

Penelitian ini didasarkan pada penelitian yang mengambil setting dunia barat dengan tradisi simfoni orkestra, maka belum tentu juga menjadi ukuran-ukuran yang mutlak