• Tidak ada hasil yang ditemukan

CALON JEMAAH HAJI DAN UMRAH SEBAGAI KONSUMEN YANG DILINDUNGI OLEH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

C. Konsep Hukum Force Majeure dalam Hukum Kontrak

Sebuah kontrak membentuk suatu hubungan privat di antara para pihak di mana masing-masing pihak memiliki hak secara yuridis untuk menuntut pelaksanaan serta kepatuhan terhadap pembatasan-pembatasan yang telah

disepakati oleh pihak yang lain secara sukarela.55 Hubungan hukum yang lahir melalui kontrak tidak selalu terlaksana maksud dan tujuannya, keadaan tersebut dapat terjadi akibat wanprestasi baik itu dilakukan oleh kreditur maupun debitur, adanya paksaan, kekeliruan, perbuatan curang, maupun keadaan yang memaksaan atau dikenal dengan force majeure atau dikenal dalam hukum Indonesia dengan force majeure. Konsekuensi yang muncul dari keadaan ini menyebabkan suatu perjanjian (kontrak) dapat dibatalkan dan yang batal demi hukum.56

Berkaitan dengan ketidaktercapaiannya maksud dan tujuan perjanjian dapat disebabkan oleh force majeure atau keadaan memaksa yang pada umumnya ditujukan terhadap suatu peristiwa yang berada di luar jangkauan manusia. Force majeure merupakan konsep hukum yang berasal dari hukum Roma (vis motor cui resisti non potest) yang diadopsi dalam berbagai macam sistem hukum.

Menurut R. Subekti, keadaan memaksa mempunyai pengertian, yaitu

“Suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi”57. Selanjutnya, R. Setiawan memberikan pengertian keadaan memaksa suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya kontrak, yang menghalangi debitor untuk melaksanakan prestasinya, di mana debitor tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat da waktu persetujuan dibuat.

Kesemuanya itu sebelum debitor lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut"58.

55 Bayu Seto Hardjowahono (Ketua Tim), Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Hukum Kontrak, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Ham RI, 2013, hlm. 3.

56 Elly Erawati, Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform Program, Gramedia, Jakarta, 2010, hlm. 5

57 R. Subekti, Loc.Cit.

58 R. Subekti, Hukum Perikatan, Intermasa, Jakarta, 1994, hlm 27.

Kemudian, Munir Fuady memahami "Keadaan memaksa merupakan keadaan atau peristiwa yang tidak diduga pada saat dibuatnya kontrak, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor, karena debitor tidak beritikad buruk"59. Adapun Abdul Kadir Muhammad menyimpulkan pengertian keadaan memaksa, yaitu "Keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya dan tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuar perikatan”60.

Buku III BW mengatur Force majeure (Daya Paksa) secara fragmentaris (tersebar) dalam beberapa pasal, yaitu Bagian IV tentang Penggantian Biaya, Rugi dan Bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan (Pasal 1244 - 1245 BW) Bagian VII tentang Musnahnya Barang yang terutang (Pasal 1444 - 1445 BW).

Rumusan force majeure menurut pasal-pasal tersebut, adalah sebagai berikut:

Pasal 1244 BW, menyatakan:

Tika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum untuk mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungiawabkan padanya, kesemuanya itu jika tidak ada iktikad buruk padanya.

Pasal 1245 BW, menyatakan:

Tidak ada penggantian biaya, rugi dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena suatu kejadian yang tidakdisengaja, si berutang

59 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 113.

60 Abdul Khadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 27

debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Pasal 1444 BW, menyatakan:

Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya.

Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tak terduga, yang dimajukannya itu.

Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang ini tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya untuk mengganti harganya.

Pasal 1445 BW, menyatakan:

Tika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang, musnah, tak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.

Berdasarkan rumusan pasal-pasal diatas, force majeure atau daya paksa dapat disimpulkan merupakan peristiwa yang tidak terduga di di luar kesalahan debitur setelah adanya penutupan kontrak yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, sebelum ia dinyatakan lalai dan karenanya tidak dapat dipersalahkan serta tidak menanggung risiko atas kejadian tersebut. Untuk itu, sebagai sarana bagi debitur melepaskan diri dari gugatan keditor, maka dalil adanya force majeure harus memenuhi bahwa:

a. Pemenuhan prestasi terhalang atau tercegah;

b. Terhalangnya pemenuhan prestasi tersebut di luar kesalahan debitor; dan c. Peristiwa yang menyebabkan terhalangnya prestasi tersebut bukan

merupakan risiko debitor.

Akibat hukum yang terjadi pabila peristiwa yang dikategorikan sebagai force majeure adalah sebagai berikut.

a. Kreditor tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi b. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai

c. Debitur tidak wajib membayar ganti rugi d. Risiko tidak beralih kepada debitur

e. Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal balik.

f. Perikatan dianggap gugur.

Adanya force majeure selalu berkaitan dengan risiko tanggung gugat bagi para pihak. Undang-undang memberikan mekanisme penyelesaian terkait dengan risiko terjadinya force majeure pada perjanjian timbal balik (misal dalam Pasal 1545, 1553, dan 1563 BW).

Selain itu, perlu diperhatikan sifat dari force majeure terhadap kemungkinan pelaksanaan prestasi, yaitu: (i) force majeure yang bersifat absolut (permanen), yang mengakibatkan pelaksanaan prestasi tidak mungkin dilakukan; dan (ii) force majeure yang bersifat relatif (tidak tetap, temporer), yang mengakibatkan pelaksanaan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, namun secara tidak normal mungkin dilakukan atau untuk sementara waktu ditangguhkan sampai dimungkinnya pemenuhan prestasi kembali.

Untuk membahas risiko tanggung gugat dalam terjadi force majeure terdapat beberapa teori yang mencoba memberikan argumentasi masing-masing, meliputi :61

a. Teori Objektif

Teori ini bertitik tolak dari asumsi bahwa ‘prestasi tidak mungkin bagi setiap orang’, artinya terkait dengan ketidakmungkinan mutlak bagi setiap orang (Pasal 1444 BW)

b. Teori Subjektif

Titik tolak teori ini adalah ‘prestasi tidak mungkin bagi debitur yang bersangkutan’ artinya terkait dengan ketidakmungkinan relatif (dengan mengingat ke adaan pribadi atau subjek debitur).

c. Teori Risiko

J.L.L. Wery beranjak dari pemikiran bahwa ‘force majeure mulai dimana risiko berhenti’, artinya debitor harus dihukum membayar ganti rugi apabila tidak dapat membuktikan bahwa terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari keadaan yang selayaknya ia tidak bertanggung gugat. Dengan kata lain,

61 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam kontrak Komersial, KENCANA, Jakarta, 2010, hlm. 274-275.

meskipun debitur tidak bersalah, apakah ia harus bertanggung gugat? Apabila jawabannya positif, maka debitur memikul risiko tanggung gugat. Teori menimbulkan bahaya atau teori ambil alih risiko (Gevaarzetting Theorie) merupakan contoh dari teori risiko, bahwa disini debitor telah mengambil risiko untuk pemenuhan prestasi tersebut.

D. Implikasi Hukum Pandemi Covid-19 terhadap Perjanjian Penyediaan