• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Hukum pada Masyarakat Modern

Dalam dokumen Antropologi Hukum Islam (Halaman 57-65)

A. Konsep Hukum pada Masyarakat Modern

Secara antropologis, dalam kehidupan masyarakat, bila kita tanyakan apa alat ukur sebuah kemoderenan, maka akan didapat jawaban yang bermacam-macam. Sebagian masyarakat mengatakan, moderen bisa digambarkan dengan banyaknya rumah makan cepat saji: Mc Donald’s, Kentucky Fried Chicken (KFC), Pizza Hut, Wendy’s, Arby’s, Canswell’s, Imperial Kitchen, dan sebagainya. Sementara yang lain mengatakan tentang gaya hidup yang cosmopolitan, memakai kendaraan mewah, memiliki rumah megah, memiliki mobil mewah yang lengkap dengan segala kebutuhan, handphone yang mahal, mengikuti perkembangan jaman -–bahasa sekarang disebutkan untuk sebagian masalah ini dengan gaul, dan sebagainya.

Sedikit berbeda dengan masyarakat yang lebih terdidik yang mengatakan bahwa moderen adalah masyarakat yang efisiensi dari segi waktu dan ruang. Maka seseorang yang makan pagi di Bandung, makan siang di Jakarta, dan malamnya makan di Bandung, dikategorikan sebagai modern. Termasuk juga tapal batas yang tidak lagi ditandai lewat batas teritorial, tapi maya yang jauh lebih melampaui teritorial.

Semua itu, menjadi cermin bagaimana asosiasi orang ketika mendengar moderen, dan itu akan berbeda dari waktu ke waktu. Sesuatu yang moderen saat ini, untuk 10 atau 20 tahun mendatang mungkin bukan lagi moderen.

Reinhard Bendix (1980) dalam Belling dan Tottem (1980: 1-10), mengatakan bahwa moderen sebagai salah satu jenis perubahan sosial sejak abad ke-18 berupa kemajuan ekonomi dan politik, dalam beberapa masyarakat perintis, disusul oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat pengikut. Salah satu kata kunci adalah masyarakat pengikut.

Namun ditekankan bahwa moderen telah berlangsung jauh sebelum abad ke-18. Dalam hal seni cetak misalnya, atau

50

lembaga-lembaga perwakilan atau ide-ide tentang persamaan. Moderen juga terwujud dalam struktur masyarakat dan suasana kekerabatan.

Modernsasi menurut Fred Riggs (1980) sebagai proses menandingi ciri dari suatu kebudayaan superior lain. Ditunjuk Helenisasi dan Sincisasi merupakan bentuk-bentuk kuno modernisasi. Sedangkan Westernisasi dengan komponen-komponennya yang terdiri dari industrialisasi, demokrasi, science dan ekonomi pasar.

Konsep seperti ini juga memerlukan masyarakat sebagai prasyarat. Bila diambil konsep Tallcott Parsons (1968 dalam Sunarto, 2000), menunjukkan masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang swasembada (self-subsistent) melebihi masa individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi penerusnya.

Mariam Leve (1965, dalam Sunarto, 2000), mensyaratkan empat kritera agar sebuah kelompok bisa disebut sebagai masyarakat: (1) kemampuan bertahan melebihi masa hidup individu; (2) rekruitmen seorang atau sebagian anggota melalui reproduksi; (3) kesetiaan pada suatu sistem tindakan utama bersama; dan (4) adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada.

Dalam kaitan dengan hukum, konsep demikian menjadi menarik --khususnya dengan perubahan sosial yang sepertinya juga terjadi terus-menerus. Hukum ini dapat saja dipahami sebagai (salah satu) pengendalian sosial, yang dalam konsep Reklek (1965) disebutkan sebagai elemen yang digunakan untuk masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang dan diiringi dengan proses sosialisasi terhadap cara itu.

Secara umum, hukum sebagai aturan yang mengandung perintah dan larangan. Menariknya ketika dikaitkan dengan proses modernisasi adalah moderen yang ternyata sangat berpengaruh terhadap hukum itu sendiri. Motornya adalah manusia, yang digambarkan Parsons (1937) sebagai socialized animal.

51

Dengan demikian hukum dan modernisme sangat berkaitan. Otje Salman dan Sutanto (2004) memberi gambaran bahwa pada abad ke-19 terjadi suatu perubahan secara revolusioner yang turut berpengaruh ke bidang hukum, khususnya cara pandang hukum yang secara abstrak dan formal legalitas menuju cara pandang yang bersifat yuridis sosiologis atau yuridis empiris. Salah satu yang berpengaruh adalah mazhab sejarah yang dipelopori Von Savigny. Menurut Savigny, hukum merupakan perwujudan dari kesadaran masyarakat. Semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan, bukan dari pembentuk Undang-Undang.

Untuk memberikan gambaran yang lebih tegas tentang hubungan antara hukum dan modernitas disebutkan Satjipto Rahardjo (2000), dengan mengatakan bahwa ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Demikian luasnya masalah ini sehingga memancing pendapat orang yang menyatakan bahwa batas-batasnya tidak bisa ditentukan.

Satjipto Rahardjo (2000) mengatakan: “Kelahiran hukum moderen berkaitan sangat erat dengan fenomena munculnya Negara moderen. Tapi sekarang, dunia mengalami perubahan mendasar di mana eksistensi dari Negara modern yang begitu teguh ada abad ke-18 menjadi semakin mencair. Uni Eropa lahir. Penataan regional seperti ASEAN sudah lama muncul jelas keadaan demikian sangat berpengaruh terhadap faktor kedaulatan yang merupakan unsur penting dalam hukum.”

Namun demikian, hukum dan modern tetap bertumpu pada masyarakat. Sebagaimana dikatakan Ergen Eurligh (1862-1922), bahwa sekarang atau pada waktu yang lain, pusat daya tarik perkembangan hukum tidak pada ilmu hukum, tidak pada UU atau hakim, tapi pada masyarakat itu sendiri.

Dalam disiplin hukum sudah dikenal disiplin presriptif, yaitu suatu ajaran yang menentukan apakah yang seyogianya atau yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi kenyataan (Satjipto Rahardjo, 1982). Soerjono Soekanto (1979) menyebut tiga lingkup

52

disiplin presriptif, yakni: Pertama, ilmu hukum. Ilmu hukum di sini yang dilihat adalah: (1) ilmu tentang kaidah yang menelaah hukum sebagai kaedah atau sistem kaedah-kaedah dengan dogmatic dan sistematik hukum; (2) ilmu pengertian, tentang pengertian-pengertian dari dasar dari sistem hukum mencakup subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek hukum; (3) ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai perangkat sikap, tindak dan perilaku yang terdiri dari Sosiologi Hukum (hubungan timbal balik antara hukum dan gejolak sosial), Antropologi Hukum (pola-pola sengketa dan penyelesaiannya), Psikologi Hukum (hukum sebagai suatu perwujudan daripada jiwa manusia), Perbandingan Hukum (membadingkan sistem hukum antar beberapa masyarakat, dan Sejarah Hukum (perkembangan dan asal usul daripada sistem hukum).

Kedua, Politik Hukum yang mencakup kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nila yang dipilih itu. Ketiga, Filsafat Hukum yang mencakup perenungan nilai-nilai, perumusan nilai-nilai, dan keserasian nilai-nilai yang berpasangan dan kadangkala bersitegang/ berbenturan.

Semua penjelasan di atas, menggambarkan betapa hukum itu sama sekali tidak sederhana, dalam masyarakat sederhana sekalipun. Perkembangan masyarakat menjadi modern, pada bagian-bagian tertentu akan menimbulkan kemudahan, dan selebihnya cukup banyak dihadapi persoalan-persoalan dalam masyarakat, termasuk masalah hukum itu sendiri.

B. Latihan dan Tugas

1. Apa yang dimaksud dengan moderen oleh Reinhard Bendix? 2. Apa perbedaan antara modernisasi dan westernisasi? Berikan

contoh!

3. Diskusikan ciri suatu masyarakat menurut anda dan teman anda, lalu bandingkan dengan yang dikemkakan oleh Mariam Leve.

53

4. Jelaskan hubungan antara hukum dan modernisasi! Berikan contoh dalam konteks Indonesia!

54 Bab 7

Fungsi Hukum dan Tujuannya A. Pengertian Hukum

Kata hukum secara etimologis biasa diterjemahkan dengan kata ‘law’ (Inggris), ‘recht’ (Belanda), ‘loi atau droit’ (Francis), ‘ius’ (Latin), ‘derecto’ (Spanyol), ‘dirrito’ (Italia). Dalam bahasa Indonesia, kata hukum diambil dari bahasa Arab, yaitu “ﺎﻤﻜﺣ – ﻢﻜﺤﯾ – ﻢﻜﺣ”, yang berarti “ﺮﻣﻷﺎﺑﻞﺼﻓوﻰﻀﻗ” (memutuskan sebuah perkara).

Pada umumnya, pengertian hukum dapat diartikan sangat beragam, antara lain sebagai berikut:

1. Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa; perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan lain-lain.

2. Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim; putusan-putusan yang dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang dikenal dengan jurisprudence (yurisprudensi). 3. Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum; hukum

diartikan sebagai sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang bertugas. Pandagan ini sering dijumpai di dalam masyarakat tradisionil.

4. Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku; sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai hukum. Seperti perkataan: “setiap orang yang kos, hukumnya harus membayar uang kos”. Sering terdengar dalam pembicaraan masyarakat dan bagi mereka itu adalah aturannya/hukumnya.

5. Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah. Kaidah/norma adalah aturan yang hidup di tengah masyarakat. Kaidah/norma ini dapat berupa norma kesopanan, kesusilaan, agama dan hukum (yang tertulis) uang berlakunya mengikat kepada seluruh anggota masyarakat dan mendapat sanksi bagi pelanggar.

6. Hukum diartikan sebagai tata hukum; berbeda dengan penjelasan angka 1, dalam konteks ini hukum diartikan sebagai peraturan yang saat ini sedang berlaku (hukum positif) dan

55

mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut kepentingan individu (hukum privat) maupun kepentingan dengan negara (hukum publik). Peraturan privat dan publik ini terjelma di berbagai aturan hukum dengan tingkatan, batas kewenangan dan kekuatan mengikat yang berbeda satu sama lain. Hukum sebagai tata hukum, keberadaannya digunakan untuk mengatur tata tertib masyarakat dan berbentuk hierarkis.

7. Hukum diartikan sebagai tata nilai; hukum mengandung nilai tentang baik-buruk, salah-benar, adil-tidak adil dan lain-lain, yang berlaku secara umum.

8. Hukum diartikan sebagai ilmu; hukum yang diartikan sebagai pengetahuan yang akan dijelaskan secara sistematis, metodis, objektif, dan universal. Keempat perkara tersebut adalah syarat ilmu pengetahuan.

9. Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin hukum); sebagai sistem ajaran, hukum akan dikaji dari dimensi dassollen dan das-sein. Sebagai das-sollen, hukum menguraikan tentang hukum yang dicita-citakan. Kajian ini akan melahirkan hukum yang seharusnya dijalankan. Sedangkan sisi das-sein mrupakan wujud pelaksanaan hukum pada masyarakat. Antara das-sollen dan das-sein harus sewarna. Antara teori dan praktik harus sejalan. Jika das-sein menyimpang dari das-sollen, maka akan terjadi penyimpangan pelaksanaan hukum.

10. Hukum diartikan sebagai gejala sosial; hukum merupakan suatu gejala yang berada di masyarakat. Sebagai gejala sosial, hukum bertujuan untuk mengusahakan adanya keseimbangan dari berbagai macam kepentingan seseorang dalam masyarakat, sehingga akan meminimalisasi terjadinya konflik. Proses interaksi anggota masyarakat untuk mencukupi kepentingan hidupnya, perlu dijaga oleh aturan-aturan hukum agar hubungan kerjasama positif antar anggota masyarakat dapat berjalan aman dan tertib.

Hukum secara terminologis masih sangat sulit untuk diberikan secara tepat dan dapat memuaskan. Ini dikarenakan

56

hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu di dalam suatu definisi. Sebagai gambaran, contoh-contoh tentang definisi kukum yang berbeda-beda itu dapat dilihat di bawah ini.

1. Aristoteles: “Particular law is that which each community lays down

and applies to its own members. Universal law is the law of nature”

(Hukum tertentu adalah sebuah hukum yang setiap komunitas meletakkan ia sebagai dasar dan mengaplikasikannya kepada anggotanya sendiri. Hukum universal adalah hukum alam). 2. Grotius: “Law is a rule of moral action obliging to that which is right”

(Hukum adalah sebuah aturan tindakan moral yang mengarahkan kepada apa yang benar). 3. Hobbes: “Where as law, properly is the word of him, that by right

had command over others” (Pada dasarnya hukum adalah sebuah

kata seseorang, yang dengan haknya, telah memerintah pada yang lain).

4. Phillip S. James: “Law is body of rule for the guidance of human

conduct which are imposed upon, and enforced among the members of a given state” (Hukum adalah tubuh bagi aturan agar menjadi

pedoman bagi manusia dalam melakukan perbuatan dan diterapkan diantara penduduk sutu negara).

5. Immanuel Kant: “Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan”.

Walaupun cukup sulit untuk membuat definisi hukum yang lengkap, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli seperti di bawah ini.

1. E. Utrecht mendefinisikan hukum sebagai “himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”.

2. EM. Meyers mendefinisikan hukum sebagai “semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada

57

tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya”. 3. Leon Duquit: “Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota

masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu”.

4. SM. Amin: “Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan

dan ketertiban terjamin”.

5. MH. Tirtaatmidjaja: “Hukum adalah seluruh aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu, akan membahagiakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaan dan didenda”.

6. Wasis: “Hukum adalah perangkat peraturan baik yang bentuknya tertulis atau tidak tertulis, dibuat oleh penguasa yang berwenang, mempunyai sifat memaksa dan atau mengatur, mengandung sanksi bagi pelanggarnya, ditujukan pada tingkah laku manusia dengan maksud agar kehidupan individu dan masyarakat terjamin keamanan dan ketertibannya”.

Dalam dokumen Antropologi Hukum Islam (Halaman 57-65)