• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan Hukum

Dalam dokumen Antropologi Hukum Islam (Halaman 66-74)

Dari sekian pengertian, unsur, ciri-ciri, sifat, dan fungsi hukum, maka tujuan dari perwujudan hukum itu haruslah ada. Sesuai dengan banyaknya pendapat tentang pengertian hukum, maka tujuan hukum juga terjadi perbedaan pendapat antara satu ahli dengan ahli yang lain. Berikut ini beberapa pendapat ahli hukum tentang tujuan hukum:

1. Lj. Van Apeldorn: Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Demi mencapai

59

kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya. Pendapat Apeldorn ini dapat dikatakan jalan tengah antara dua teori tujuan hukum, teori etis dan utilitis.

2. Aristoteles: Tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil.

3. Soebekti: Tujuan hukum adalah melayani kehendak negara yakni mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat. Dalam melayani tujuan negara, hukum akan memberikan keadilan dan ketertiban bagi masyarakatnya. 4. Geny (Teori Ethic): Menurut Geny dengan teori etisnya, bahwa

tujuan hukum adalah untuk keadilan semata-mata. Tujuan hukum ditentukan oleh unsur keyakinan seseorang yang dinilai etis. Adil atau tidak, benar atau tidak, berada pada sisi batin seseorang, menjadi tumpuan dari teori ini. Kesadaran etis yang berada pada tiap-tiap batin orang menjadi ukuran untuk menentukan warna keadilan dan kebenaran.

5. Jeremy Bentham (Teori Utility): Menurut Bentham dengan teori utilitasnya, bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk memberikan faedah kepada orang. Pendapat ini dititikberatkan kepada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan soal keadilan. Maka teori ini menetapkan bahwa tujuan hukum ialah untuk memberikan faedah sebanyak-sebanyaknya.

6. J.H.P. Bellefroid: Bellefroid menggabungkan dua pandangan ekstrem tersebut. Menurut Bellefroid, isi hukum harus ditentukan menurut dua asas yaitu asas keadilan dan faedah. Jadi, tujuan hukum menurutnya adalah untuk memberikan keadilan dan faedah.

7. J Van Kan: Tujuan hukum adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingannya tidak dapat diganggu. Dengan tujuan ini, akan dicegah terjadinya perilaku

60

main hakim sendiri terhadap orang lain, karena tindakan itu dicegah oleh hukum.

D. Latihan dan Tugas

1. Hukum dapat diartikan sebagai produk keputusan penguasa; perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan lain-lain. Coba diskusikan dengan teman-teman anda tentang salah satu contohnya yang berhubungan dengan hukum Islam.

2. Apa yang dimaksud dengan norma/kaidah? Berikan contoh norma/ kaidah yang hidup pada masyarakat tempat anda berada!

3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum sebagai tata nilai! 4. Apa yang anda ketahui tentang hukum sebagai gejala sosial? 5. Diskusikan dengan teman-teman anda topik tentang ”apa

61 Bab 8

Sumber dan Prinsip-prinsip Hukum Islam A. Pengertian Dalil dan Sumber Hukum

1. Pengertian Dalil

Kajian tentang ijtihad dalam Ushul Fiqh, umumnya tidak terlepas dari kajian tentang dalil dan sumber hukum sebagai dasar tempat bertolak dalam melakukan penggalian hukum (Istinbath al

Ahkam). Tanpa terlebih dahulu mengkaji dalil dan sumber

hukum, kajian tentang ijtihad akan menjadi tidak utuh, karena tidak berangkat dari pondasi hukum yang akan menjadi acuan dalam setiap aktifitas ijtihad (Nasrun Rusli, 1999: 19). Oleh sebab itu, sebelum memasuki kajian tentang metode istinbath hukum yang digunakan oleh ulama Sunni dan ulama Syi’i dalam menentukan hukum nikah mut’ah, terlebih dahulu akan dikaji tenang dalil dan sumber hukum. Disamping itu pembahasan ini dimaksudkan untuk melihat konsep ijtihad serta metode istinbath yang digunakan oleh ulama Sunni dan ulama Syi’i sehingga dapat diketahui persamaan dan perbedaaan diantara mereka dalam menggunakan sumber hukum dan metode istinbath al-ahkam dalam menyelesaikan suatu kasus hukum.

Istilah dalil (al-dalil kata jamaknya adillah) menurut pengertian kebahasaan mengandung beberapa makna yakni: petunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti dan saksi (al-Ragib al-Isfahani, 1992: 173). Wahbah al Zuhaili mengartikan dalil adalah petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material (isi) maupun yang non material (maknawi) (Wahbah al Zuhaili, 1986, I : 417).

Menurut Urf (kebiasaaan) para fuqoha “dalil” diartikan dengan “sesuatu yang mengandung petunjuk (dalalah) atau bimbingan (Irsyad) (al-Amidi, 1996, I:13). Pengertian demikian, sacara labih jelas terlihat pada kandungan kitab-kitab fiqh ketika membicarakan suatu masalah, para penulis kitab-kitab tersebut merujuk ayat-ayat atau pun hadits-hadits karena di dalam ayat-ayat atau hadits-hadits tersebut terkandung suatu petunjuk atau

62

bimbingan yang akan dijadikan acuan dalam meyelesaikan permasalahan bersama.

Istilah dalil secara khusus dan komprehensif dibahas dalam Ushul Fiqh dalam hal ini para ushuli (ulama ushul fiqh) mengemukakan beberapa definisi antara lain, Abdul Wahab al Subhi (W 1771 H) memberikan definisi sebagai berikut :

نﻛﻣﯾﺎﻣ لﺻوﺗﻟا ﺢﯾﺣﺻﺑ رظﻧﻟا ﮫﯾﻓ ﻰﻟا بوﻠطﻣ ىرﺑﺧ

“Dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan seseorang dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang digunakannya” (Abd Wahab al-Subhi, t.th., I : 124-125).

Dari definisi di atas terlihat bahwa pengertian dalil mengacu kepada landasan berfikir yang dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh suatu objek yang diinginkannya. Sebagai contoh untuk memahami definisi tersebut, al-Banani mengemukakan alam ini merupakan dalil yang menunjukkan adanya Tuhan pencipta. Menurutnya orang akan sampai kepada kesimpulan demikian bila ia dapat menggunakan fikirannya yang benar dalam melihat sifat dan kondisi alam, yakni baru (kudus) yang memerlukan pencipta yang qadim demikian pula jika dikatakan “dirikanlah shalat” ini merupakan dalil yang menjadi landasan berfikir tentang adanya kewajiban shalat (al-Banani, t. Th., I: 124-125).

Akan tetapi menurut al-Amidi, para ulama ushul fiqh biasa memeberikan definisi dalil dengan “sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan orang kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif” (al-Amidi, 1996, I: 13). Al-Amidi menjelaskan bahwa pakar ushul fiqh membedakan antara sesuatu yang dapat mengantarkan orang kepada pengetahuan pasti dan yang dapat mengantarkan orang pada ketidakpastian. Dalil adalah petunjuk yang mengantarkan orang pada pengetahuan pasti sedangkan yang mengantarkan orang pada pengetahuan yang mengandung ketidakpastian disebut amarah. Bertolak dari definisi demikian al-Amidi membagi dalil atas tiga bentuk. Pertama, dalil

63

transmisi murni) seperti nash Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Ketiga, kombinasi antara kedua dalil di atas seperti dalam pengharaman perasan anggur (al-Amidi, 1996 J I : 13-14).

Definisi tentang dalil yang lebih mengarah kepada landasan hukum ialah dengan definisi yang dikemukakan oleh dua ulama ushul fiqh kotemporer. Wahbah al-Zuhaili, dosen fiqh dan ushul fiqh Universitas Damaskus dan Abd Wahab Khallaf dosen ushul fiqh Universitas Cairo Mesir. Kedua ulama ini mengemukakan bahwa yang disebut dalil adalah “sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum Syara yang bersifat praktis”. Jadi dalil merupakan landasan bagi para pakar hukum Islam dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh seseorang atau oleh masayarakat. Ketetapan itu bisa bersifat qath’i atau zhann’i.

Berdasarkan pengertian di atas Abd Wahab Khallaf menghitung adanya sembilan belas dalil ‘syara yang biasa digunakan oleh para ulama ushul yaitu : al Qur’an, Sunnah, Ijma’

Ummat, Ijma’ ahli Madinah, Qiyas, qoul shahabi, maslahah mursalah. Ishtishlah, Bara’ah, al Ashliyah, ‘awaid, Istiqra, Sadd al-Dzara’i, Istidlal, Istihsan, mengambil yang paling ringan, ‘ismah, Ijma’ penduduk Kufah, Ijma’ ahlul Bait dan Ijma Khalifah yang empat (Abd Wahhab Khallaf,

1982 : 109).

Akan tetapi umumnya para ulama hanya menempatkan sebelas dalil yang menjadi landasan penetapan suatu hukum yaitu:

al Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, Ishtishlah, Istishhab, Sad al-dzari’ah, ‘urf, Syar Man Qablana dan Madzhab Shabi. Mengenai

dalil-dalil tersebut para ulama sepakat menempatkan Qur’an dan al-Sunnah sebagai dalil dan terhadap dalil-dalil sebelumnya. Ada yang menerimanya sebagai dalil, ada juga yang menolaknya; atau ada yang menerima dan menolak selebihnya.

2. Pengertian Sumber Hukum

Istilah sumber hukum biasa dipakai dalam hukum umum dalam pengertian “segala yang menimbulkan aturan, yang bila dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas”. Sumber, dalam bahasa Arab disebut mashdar. Kata jamaknya ialah mashadir.

64

Kata mashdar sendiri, menurut pengertian kebahasaan, mengandung pengertian antara lain: “asal, permulaan sesuatu atau sumber tempat munculnya sesuatu (Ibn Manzhur al-Ifriqi, t.th., III: 448-449). Al-Raghib, pakar leksikologi al-Qur’an mengatakan bahwa kata mashdar dapat bermakna “tempat dimana air muncul atau sumber air”. Mata air disebut mashdar (Al-Raghib, 1992: 415). Wacana tersebut kemudian dipakai sebagai istilah ushul fiqh, sehingga menjadi mashdar al-hukm (sumber hukum) dalam bentuk jamak, mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) (Nasrun Rusli, 1999: 24).

Bila dilihat perkembangan ushul fiqh, istilah mashadir

al-ahkam atau mashdar al-Tasyri baru muncul pada akhir abad ke-14

atau sekitar pertengahan abad ke-20 M. Ini terlihat pada beberapa hasil karya yang diberi judul demikian seperti, Mashadir Tasyri

al-Islami fi ma la Nashsh Fih karya Abd. Wahab Khalaf, Mashadir Ahkam al-Islamiyyah karya Zakariya al-Birri dan lain-lain (Nasrun

Rusli, 1992: 24).

Abd. Wahab Khalaf cenderung mengidentikkan pengertian mashdar/ mashadir dengan pengertian dalil/adillah dan

ashal/ushul, sehingga muncullah istilah-istilah adillah al-ahkam, mashadir al-ahkam dan ushul al-ahkam. Ketiga istilah tersebut telah

biasa dipakai oleh ulama ushul fiqh dalam pengertian yang identik (Abd. Wahab Khalaf, 1968 : 20).

Zaki al-Din Sya’ban salah seorang pakar ushul fiqh komtemporer, juga cenderung kepada pendapat Khalaf di atas, hanya menurutnya terdapat adillah, ushul atau mashadir ahkam ada yang bersifat mustaqil (bebas, tidak terlihat dengan sumber hukum lainnya), seperti al-Qur’an, sunnah dan Ijma’; dan ada yang lam

yakun mustaqillan (tidak bebas, terkait dengan dalil lain atau sumber

hukum lain), seperti Qiyas yang terkait dengan al-Qur’an, sunnah ataupun Ijma’ sebagai hukum dasar (ashal) (Zaki al-Din Sya’ban, 1965 : 29-30). Imam al-Syafi’i menyebutnya dengan ma’ ‘ulima min

al-din bidharary (al-Syafi’i, 1990,VII : 287-300).

Pendapat Khalaf dan Zaki al-Din Sya’ban tentang pengertian sumber hukum banyak dipraktekkan dalam

karya-65

karya ushul fiqh kontemporer, yaitu menyebut adillah al-ahkam (dalam ushul fiqh klasik) dengan mashadir al-ahkam atau mashadir

al-tasyri; biasanya para penulis ushul fiqh kontemporer

membaginya atas dua bagian, yaitu mashdir al-ahkam al-muttafaq

alaih (sumber yang disepakati yakni al-Qur’an dan al-Sunnah; dan mashadir al-ahkam al-mukhtalaf ‘alaih (sumber hukum yang tidak

disepakati yakni dalil-dalil selebihnya seperti Ijma’, Qiyas, Istihsan dan seterusnya).

Tetapi menurut ‘Ali Hasbalah, Dosen Hukum Islam Cairo University, terdapat perbedaan antara dalil dengan sumber hukum, menurutnya dalil merupakan petunjuk atau alasan untuk mengetahui sesuatu, sedangkan sumber merupakan ashal sesuatu. Jika sumber ditempatkan dalam lapangan hukum, maka ia merupakan asal yang merupakan tempat munculnya hukum. Maka dalam pengertian ini, hanya al-Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber hukum. Bahkan lebih lanjut ia menyatakan karena sunnah hanya berfungsi sebagai penjelas dan pemberi keterangan atas Qur’an ia cenderung hanya menyebut al-Qur’an saja sebagai sumber hukum (ushul al-syari’ah) atau sumber primer syari’at (‘Ali Hasbalah, 1971: 16).

Dari kajian di atas terlihat bahwa yang dikatakan dalil (dalil/ adillah al-ahkam) ialah alasan yang menyebabkan timbulnya hukum, yang sifatnya hanya sebagai mudzhir li al-hukm la mustbit (yang munculnya hukum bukan sebagai penetap hukum) (Zaki al-Din Sya’ban, 1965 : 29-30).

Berdasarkan pengertian di atas, suatu dalil tidak dapat dikatakan sumber bila memerlukan dalil lain untuk dijadikan sebagai hujjah, karena yang dikatakan sumber adalah bersifat mandiri. Jadi sumber hukum (mashdar/mashadir al-ahkam) ialah asal yang darinya muncul hukum. Dengan demikian yang menjadi sumber hukum ialah al-Qur’an/al Kitab dan sunnah yang sekaligus sebagai dalil hukum. Sementara Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishhab,

Ishtishlah, ‘urf dan yang lain-lain berfungsi sebagai dalil hukum.

Atau paling tinggi disebut sebagai sumber sekunder hukum

66

bertentangan dengan sumber hukum, karena fungsi dalil hanya sebagai pemuncul hukum yang terdapat dalam sumbernya. Ulama ushul fiqh biasa menyebut kelompok dalil hukum yang terakhir ini (sumber-sumber sekunder hukum) dengan thuruq al istinbath

al-hukm (metode penggalian hukum).

Dalam dokumen Antropologi Hukum Islam (Halaman 66-74)