• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-prinsip Hukum Islam

Dalam dokumen Antropologi Hukum Islam (Halaman 79-85)

Perjalanan sejarah berlakunya hukum Islam di kalangan masyarakat muslim telah bergeser dari sudut normativitas vertikal menjadi lebih horizontal. Hal ini disebabkan perkembangan

72

berlakunya hukum Islam telah dipengaruhi pula oleh dinamika sosial-budaya dan politik hukum dalam masyarakat Islam itu sendiri.

Bagi sebagian besar muslim, Islam difahami bukan semata-mata merupakan agama yang mengajarkan tentang kesadaran untuk tunduk kepada Tuhan yang diwujudkan dalam kegiatan ritual semata, akan tetapi mengajarkan pula pedoman hidup untuk saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia. Islam merupakan agama wahyu karena di dalamnya syarat dengan muatan-muatan norma-norma hukum berdasar kepada kehendak Tuhan, agar manusia dapat menjunjung tinggi persamaan derajat kemanusiaannya.

Munculnya kesadaran eklusif dalam menjalankan ajaran Islam, tidak dapat disangkal telah memunculkan corak penerimaan Islam lebih dari sekedar sistem keyakinan terhadap Tuhan, tetapi juga merupakan suatu sistem hukum yang universal. Norma-norma ideal dalam ajaran Islam lebih banyak difahami sebagai kumpulan norma hukum yang sebagian atau seluruhnya berasal dari kehendak Tuhan, sedangkan manusia hanya menjadi komponen yang melaksanakan hukum Tuhan. Sebaliknya corak kesadaran inklusif lebih menitikberatkan pemahaman bahwa agama merupakan pedoman dasar ketuhanan dan kemanusiaan. Agama tidak hanya mengarahkan manusia untuk tunduk dan patuh kepada Tuhan dalam bentuk kegiatan ritual yang bersifat vertikal, tetapi hendaknya berimplikasi kepada kesadaran akan kemanusiaannya, sehingga melahirkan sikap saling terbuka, saling menghargai, dan mengakui persamaan derajat kemanusiaan tanpa membeda-bedakan apapun.

Hubungan antara Islam dan hak azasi manusia, terletak pada universalitas ajaran Islam. Universalitas hak azasi manusia telah digaransi di dalam prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang berasal dari teks-teks suci maupun konstruksi pemikiran ulama. Prinsip-prinsip dasar tersebut mencakup: ketuhanan, keadilan, persamaan, kebebasan, toleransi, dan sebagainya. Namun demikian, prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum tersebut

73

sangat terbuka dengan perbedaan pada tingkat implementasinya. Sebab hal ini sangat dipengaruhi oleh corak politik hukum dan situasi sosial-budaya dalam masyarakat Islam.

Pada gilirannya muncullah corak keberlakuan hukum Islam yang bercorak lokal. Perkembangan hukum Islam di negara-negara muslim yang berlangsung sejak periode kenabian hingga periode modern, diduga telah bersentuhan dengan sistem hukum lainnya.

Keadilan secara umum didefinisikan sebagai "menempatkan sesuatu secara proporsional" dan "memberikan hak kepada pemiliknya". Definisi ini memperlihatkan, dia selalu berkaitan dengan pemenuhan hak seseorang atas orang lain yang seharusnya dia terima tanpa diminta karena hak itu ada dan menjadi miliknya. Dalam konteks relasi jender, wujud pemenuhan hak atas perempuan masih merupakan problem kemanusiaan yang serius. Realitas sosial, kebudayaan, ekonomi dan politik masih menempatkan perempuan sebagai entitas yang direndahkan.

Persepsi kebudayaan masih melekatkan stereotipe yang merendahkan, mendiskriminasi dan memarjinalkan mereka. Satu-satunya potensi perempuan yang dipersepsi kebudayaan adalah tubuhnya. Pandangan ini pada gilirannya mendasari perspektif kebudayaan tubuh perempuan seakan sah dieksploitasi, secara intelektual, ekonomi dan seksual, melalui beragam cara dan bentuknya di ruang privat maupun publik.

Laporan Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2006 yang membukukan 22.350 kasus kekerasan terhadap kaum perempuan. Demikianlah perempuan masih menjadi korban kebudayaan yang dirumuskan berdasarkan ideologi patriarkhis dan serba maskulin. Maka, keadilan bagi perempuan tampak masih sebatas sebagai retorika. Lalu ke arah mana perempuan korban ketidakadilan tersebut harus diakhiri?

Komunitas dunia sepakat, ketidakadilan harus diakhiri melalui diktum hukum, termasuk fikih. Hal yang diidealkan dari hukum adalah keputusannya memastikan tercapainya keadilan

74

substansial. Tetapi, produk perundangan dan fikih tidak selamanya melahirkan keadilan bagi korban (perempuan). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), misalnya, belum mengafirmasi keadilan bagi perempuan. Dalam konteks Islam, menarik mengemukakan pandangan ahli hukum Islam klasik; Ibnu al Qayyim al Jauziyah (w. 1350 M). Dia mengatakan, tidak masuk akal jika hukum Islam menciptakan ketidakadilan, meskipun dengan mengatasnamakan teks ketuhanan. Jika ini terjadi, pastilah pemaknaan dan rumusan hukum positif tersebut mengandung kekeliruan. Dia juga mengatakan keadilan manusia harus diusahakan dari mana pun ia ditemukan karena ia juga adalah keadilan Tuhan yang hanya untuk tujuan itulah hukum Tuhan diturunkan.

Dengan begitu, interpretasi dan pemaknaan atas teks ketuhanan yang tidak mampu menangkap esensi keadilan harus diluruskan. Pandangan ini juga bisa menjadi rujukan bagi hukum positif lain. Kegagalan instrumen hukum memenuhi keadilan bagi perempuan lebih disebabkan masih kokohnya pengaruh persepsi dan konstruksi kebudayaan patriarkhis. Adalah niscaya di atas premis kebudayaan dan tradisi ini terminologi hukum dan kebijakan publik, termasuk postulat fikih, harus dibangun. Dari sinilah kita perlu membangun kembali makna keadilan berdasarkan konteks sosial baru dan dengan paradigma keadilan substantif sebagaimana sudah dikemukakan pada awal tulisan.

Penyusunan makna keadilan bagi perempuan dalam konteks ini harus didasarkan pada dan dengan mendengarkan pengalaman perempuan korban. Pemenuhan keadilan bagaimanapun hanya dapat tercapai jika kebudayaan dan tradisi masyarakat menunjukkan pemihakannya kepada korban. Hal lain yang lebih mendasar adalah pemaknaan keadilan bagi perempuan harus didasarkan pada paradigma hak asasi manusia. Bagi saya, hak asasi manusia bukan saja sejalan melainkan menjadi tujuan keputusan Tuhan. Perempuan dalam paradigma ini memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki laki-laki.

75

Dari sini konstruksi sosial baru yang menjamin keadilan jender diharapkan lahir menjadi basis pendefinisian kembali pranata sosial, regulasi, kebijakan politik, dan ekonomi, tidak terkecuali fikih.

D. Latihan dan Tugas

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan dalil dalam hukum Islam? Berikan contoh-contohnya!

2. Diskusikan bebrbagai macam dalil yang biasa digunakan oleh para ulama ushul fiqh pada umumnya!

3. Apa perbedaan antara dalil dan sumber hukum?

4. Apakah syar’u man qablana itu ada batas-batsnya? Bagaimana?

5. Coba kemukakan prinsip-prinsip hukum Islam yang anda ketahui!

76 Bab 9

Unsur, Ciri-ciri dan Sifat Hukum A. Unsur-unsur Hukum

Berdasarkan atas definisi-definisi hukum yang sudah dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat difahami bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu:

1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.

2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib. 3. Peraturan itu bersifat memaksa.

4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas. B. Ciri-ciri Hukum

Agar hukum itu dapat dikenal dengan baik, haruslah diketahui ciri-cirinya. Ciri-ciri hukum adalah sebagai berikut: 1. Terdapat perintah dan/atau larangan.

2. Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang. Setiap orang berkewajiban untuk bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata-tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, hukum meliputi pelbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lainnya, yakni peraturan-peraturan hidup bermasyarakat yang dinamakan dengan ‘Kaedah Hukum’. Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar suatu ‘Kaedah Hukum’ akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran ‘Kaedah Hukum’) yang berupa ‘hukuman’.

Pada dasarnya, hukuman atau pidana itu bermacam-macam bentuknya. Sesuai dengan Bab II (PIDANA), Pasal 10, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bentuk-bentuk hukuman itu adalah sebagai berikut:

77 1. Pidana mati;

2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. pidana denda; dan 5. pidana tutupan. b. Pidana tambahan:

1. pencabutan hak-hak tertentu;

2. perampasan barang-barang tertentu; dan 3. pengumuman putusan hakim.

Dalam dokumen Antropologi Hukum Islam (Halaman 79-85)