• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macam-macam Dalil dan Sumber Hukum

Dalam dokumen Antropologi Hukum Islam (Halaman 74-79)

Seperti telah disinggung di atas, para ulama membagi dalil/sumber hukum atas dua bentuk yang disepakati sebagai dalil atau sumber hukum dan yang tidak disepakati sebagai dalil atau sumber hukum. Secara keseluruhan dalil/sumber hukum yang biasa digunakan oleh para ulama ushul fiqh berjumlah sebelas. Dalil-dalil atau sumber hukum tersebut adalah sebagai berikut: 1. Al-Qur’an

Kaum muslimin dari semua kalangan sepakat menerima al-Qur’an sebagai sumber/dalil hukum bahkan semua kalangan menerima keotentikan al-Qur’an. Oleh sebab itu al-Qur’an dari segi riwayat dipandang qhat’i al-tsubut (riwayatnya diterima secara meyakinkan). Para ulama ushul fiqh memberikan berbagai definisi tentang al-Qur’an, tapi pada umumnya definisi-definisi tersebut sama. Diantara definisi tersebut adalah definisi yang dilontarkan Abd. Wahab Khalaf, ia memberikan definisi al-Qur’an dengan “firman Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril pada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab sebagai hujjah atas kenabiannya serta sebagai pedoman hidup bagi kaum muslimin” (Abd. Wahab Khalaf, 1978 : 23)

Bertolak dari definisi di atas, segenap kaum muslimin sepakat menerima al-Qur’an sebagai dalil/sumber hukum yang paling asasi. Al-Qur’an sendiri memerintahkan agar menetapkan hukum atas dasar hukum Allah yang termaktub di dalamnya, seperti terdapat dalam surat al-Maidah 48:

“Dan telah Kami turunkan al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai timbangan terhadap

67

kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah hukum di antara mereka dengan yang telah diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu ... (Soenarjo dkk, 1971: 18).

2. Sunnah

Kaum muslimin juga sepakat terhadap Sunnah Nabi Saw. hanya ada segelintir kaum Khawarij yang tidak memandang Sunnah sebagai dalil/sumber huhum. Pandangan mereka kemudian memunculkan kaum inkar sunnah. Para ulama ushul fiqh di kalangan ahli sunnah mengartikan sunnah dengan segala sesuatu yang bersumber dari Rasul Saw., baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir (diamnya Nabi Saw. terhadap suatu ucapan atau tindakan) yang berkaitan dengan tasyri ahkam

al-‘amaliyyah (Ibn Amir al-Hajj, 1996, II: 297). Berbeda dengan

pandangan tersebut, menurut ulama Syi’ah Imamiyah, yang dikatakan sunnah bukan hanya ucapan, perbuatan dan taqrir Rasulullah Saw. saja, tetapi termasuk pula ucapan, perbuatan dan taqrir Syi’ah (Murtadha Muthahari, 1971: 144).

3. Ijma’

Ijma’ ialah konsensus para mujtahid dari kalangan umat

Muhammad, setelah beliau wafat, pada suatu masa (Abd. Al-Wahhab Khalaf, 1978: 35). Empat madzhab Sunni memandang

Ijma’ sebagai hujjah yang berdiri sendiri (mustaqil/bersifat qat’i).

Oleh sebab itu tidak boleh mengingkarinya. Orang yang memngingkarinya dihukum kafir. Tetapi, kaum Khawarij dan kaum Rawafidh tidak memandang Ijma’ sebagai hujjah, bahkan para ulama ushul fiqh kontemporer dari kalangan Sunni pun seperti Muhammad ibn Abd. Wahab Khalaf, Wahbah Zuhaili dan lain-lain, juga melihat bahwa Ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah

Ijma’ pada masa sahabat. Ketidakmungkiknan itu mengingat

luasnya wilayah Islam, sehingga sulit mengumpulkan segenap mujtahid. Disamping itu juga yang bukan mujtahid (Mahmud Abu Zahrah, 1958: 159; Abd. Wahab Khalaf, 1978: 48). Tetapi M.

68

Hasbi ash-Shiddieqy (W 1975 M) Ulama fiqh Indonesia, melihat bahwa dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, justru semakin mempermudah mengumpulkan para mujtahid. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya Ijma’ bukan sesuatu hal yang mustahil (M. Hasbi ash-Shiddieqy, 1975: 2030).

4. Qiyas

Para ulama berbeda pendapat dalam memandang Qiyas sebagai dalil hukum, keempat madzhab Sunni dan madzhab zaidi melihat Qiyas sebagai dalil hukum hanya mereka memakai Qiyas dalam volume yang berbeda. Tetapi al-Nadhan, Madzhab Zhahiri, Madzhab Syi’ah Imamah aliran akhburi menolak kehujjahan

Qiyas.

5. Istihsan

Istihsan ialah meninggalkan Qiyas jali dan beralih keqiyas khafi, karena ada dalil yang menghendakinya, serta lebih sesuai

dengan kemaslahatan manusia (al-Suradeksi, 1971, II: 200). Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian Hanabilah menjadikan Istihsan sebagai dalil hukum (Wahbah Zuhaili, 1986, II: 748). Akan tetapi, mereka berbeda dalam volume penerapannya. Ulama Hanafiyah adalah yang terbanyak menerapkan Istihsan begitu juga ulama Hanabilah (Ali Hasbalah, 1971: 194). Namun ulama Hanafiyah adalah yang lebih populer menerapkan Istihsan sebagai metode ijtihad. Sebaliknya ulama Syafi’iyah, Zahiriyyah, Syi’ah Mutajalah menolak Istihsan sebagai dalil hukum (Wahbah Zuhaili, 1986: 739). Al-Syafi’i pernah mengatakan: “Barangsiapa yang menggunakan Istihsan, ial telah membuat syari’at (al-Syafi’i, 1990, VII: 309-320). Sementara Ibn Hazm memandang bahwa berhujjah dengan menggunakan

Istihsan adalah mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan (Ibn

69 6. Ishtishlah

Ishtishlah atau mashlahah adalah suatu ucapan penetapan

hukum didasarkan atas kemaslahatan (Mashlahah), yang kendati tidak terdapat dalam nash ataupun Ijma’, tidak pula terdapat penolakan secara tegas terhadap permasalahan tersebut, tetapi kemaslahatan tersebut didukung oleh syariat yang bersifat umum dan pasti sesuai dengan maksud syara (Wahbah Zuhaili, 1986, II: 760). Ulama Hanafiyah tidak menerima Istihsan (al-Syatibi, 1991IV: 148-149).

Sedangkan al-Syafi’i terlihat tidak secara tegas menolak

Ishtishlah, tetapi ia hanya menegaskan bahwa apa saja yang tidak

memiliki rujukan nash tidak dapat diterima sebagai dalil hukum (al-Syafi’i, t.th.: 223).

Ulama Malikiyah dan Hanabilah menjadikan Ishtishlah sebagai dalil hukum. Menurut mereka, Ishtishlah merupakan deduksi logis terhadap sekumpulan nash, bukan dari nash yang muhkamat seperti yang berlaku dalam Qiyas (al-Syatibi, 1991, I: 27). Konsep Ishtishlah kemudian dikembangkan oleh Najm al-Din al-Thufi (W. 716 H/1316 M), seorang ulama Hanabilah. Menurutnya, inti segenap ajaran Islam yang dikandung oleh nash adalah kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, segenap kemaslahatan merupakan dalil syara yang paling kuat dan mandiri (Mustafa Zaid, 1964: 127-32).

7. Istishhab

Istishhab ialah melestarikan hukum yang telah ada pada

masa lalu, hingga ada dalil yang mengubahnya (Wahab Khalaf, 1978: 91). Mayoritas ulama menolah Istishhab sebagai hujjah syari’at, karena sesuatu yang diterapkan pada masa lalu harus dengan dalil sebagaimana hukum yang diterapkan pada masa sekarang dan akan datang. Sementara itu, ulama mutaakhirin Hanafiyah berpendapat, ishtishhab hanya dapat diterapkan untuk melestarikan hukum yang telah ada pada masa lalu, tidak dapat diterapkan pada hukum baru yang belum ada sebelumnya. Berbeda dengan pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah,

70

Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah mereka memandang Istishhab dapat dijadikan dalil hukum secara mutlak (al-Syaukani, t.th.: 73).

8. ‘Urf

‘Urf ialah sesuatu yang dibiasakan oleh manusia dan

mereka telah menjalaninya dalam berbagai aspek kehidupan (Abdul Wahab Khalaf, 1978: 89). Mayoritas ulama menerima ‘urf sebagai dalil hukum, tetapi berbeda pendapat dalam menetapkannya sebagai dalil hukum yang mustaqil/yang mandiri. Menurut Ibn Hajar para ulama Syafi’iyah mensyaratkan penamaan

‘urf sebagai dalil hukum, apabila ‘urf tersebut ditunjuki oleh nash

atau tidak bertentangan dengan nash. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadikan ‘urf sebagai dalil hukum yang mustaqil dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang qath’i dan tidak ada larangan syariat terhadapnya. Sedangkan ulama Syi’ah menerima ‘urf dan memandangnya sebagai dalil hukum yang tidak mandiri tetapi terkait dengan dalil lain, yakni sunnah (Muhammad Taqi al-Hakim, 1963: 269).

9. Syadd al-Dzari’ah

Syadd al-Dzari’ah (menutup sarana). Yang dimaksud dzari’ah dalam ushul fiqh ialah “sesuatu yang menjadikan sarana

diharamkan atau dihalalkan”. Jika terdapat sesuatu sebagai sarana kepada yang diharamkan (membawa kerusakan/mafsadah), maka sarana tersebut harus ditutup/dicegah, dan inilah yang disebut

syad al-dzari’ah, sebagai lawan daripada al-dzari’ah yakni suatu

sarana yang membawa kemaslahatan (Wahbah Zuhaili, 1986, II: 873-874). Malik dan Ahmad Ibn Hanbal menempatkan syad

al-dzari’ah pada kondisi tertentu (Wahbah Zuhaili, II: 888-889).

10. Syar Man Qablana

Syar man qablana ialah syari’at umat sebelum Islam. Para

ulama ushul fiqh mengkaji syari’at sebelum Islam dalam kaitannya dengan penerapan syari’at tersebut bagi umat Islam. Dalam hal

71

ini, didapati bagian-bagian dari syari’at sebelum Islam yang telah dibatalkan oleh syari’at Islam yang disertai oleh dalil; sementara ada pula yang masih tetap diberlakukan dan disertai pula oleh dalil seperti syari’at puasa dalam Islam.

Yang menjadi persoalan adalah mengenai syari’at sebelum Islam yang tidak disertai dalil pembatasnya, serta dalil pelestarian pemberlakuannya. Menurut jumhur ulama Hanafiyah, sebagian Syafi’iyah dan salah satu pendapat Ibn Hanbal syari’at tersebut berlaku bagi umat Islam. Akan tetapi aliran Asy’ariyah, Mu’tazilah, Syi’ah, Imam Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Ghzali, al-Amdi, al-Razi dan Ibn Hazm berpendapat bahwa syari’at tersebut tidak berlaku bagi umat Islam (al-Syaukani, t.th.:240).

11. Madzhab Shahabi

Madzhab Shahabi yaitu pendapat para sahabat Rasul tentang suatu kasus, baik berupa fatwa atau ketetapan hukum. Sedangkan nash tidak menjelaskan hukum tersebut yang dalam hal ini terdapat empat pandangan ulama. Pertama, Madzhab Shahabi tidak dijadikan sebagai dalil hukum. Ini merupakan pendapat ulama al-Asy’ariyah, Mu’tazilah, Syi’ah, dan yang kuat di kalangan Syafi’iyah dan salah satu riwayat Ahmad ibn Hanbal. Kedua, madzhab Shahabi dapat dijadikan dalil hukum dan didahulukan dari Qiyas. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama Hanafiyah, Malikiyah, qaul qadim al-Syafi’i dan salah satu riwayat Ahmad. Ketiga, madzhab Shahabi dapat dijadikan dalil hukum bila dikuatkan dengan Qiyas. Ini adalah pendapat al-Syafi’i dalam qaul jadidnya. Keempat, madzhab Shahabi bisa dijadikan dalil hukum bila kontroversi demikian berarti ia bukan bersumber dari Qiyas, tetapi dari sunnah. Pendapat ini bersumber dari kalangan Hanafiyah (Wahbah Zuhaili, 1986, II: 851-852).

Dalam dokumen Antropologi Hukum Islam (Halaman 74-79)