• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Implementasi Kebijakan

C. Tujuan Penelitian

3. Konsep Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan adalah suatu tahap yang paling berpengaruh, bahkan jauh lebih berpengaruh dari pada pembuatan kebijakan. Udoji dengan tegas mengatakan bahwa “the execution of policies is an important if not more important than policy making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented” (Pelaksanaan kebijakan adalah suatu yang berpengaruh, bahkan mungkin jauh lebih berpengaruh dari pada pembuatan kebijakan. Sebuah kebijakan akan sekedar berupa impian maupun rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip jika tidak diimplementasikan). (Solichin, 2012)

Pada prinsipnya implementasi kebijakan merupakan cara atau metode supaya sebuah kebijakan dapat memperoleh tujuannya, tidak lebih atau tidak kurang. Ada dua langkah Untuk mengimplementasikan kebijakan publik yaitu mengimplementasikan langsung dalam bentuk program maupun melalui formulasi kebijakan turunan dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang dan Perda merupakan bentuk kebijakan publik yang perlu kebijakan publik penjelas atau biasa diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan.

Kebijakan publik yang dapat langsung operasional yaitu Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain (Nugroho, 2009).

Dijelaskan dalam perkembangan studi implementasi kebijakan tentang untuk memahami implementasi kebijakan terdapat dua pendekatan, antara lain

pendekatan top down dan pendekatan bottom up dan biasa juga disebut seperti pendekatan yang mendominasi awal dari kemajuan studi implementasi kebijakan, meskipun dikemudian hari terdapat perbedaan-perbedaan sehingga menelurkan pendekatan bottom up, tetapi pada dasarnya kedua pendekatan ini bertitik tolak pada anggapan yang sama dalam memajukan kerangka analisis mengenai studi implementasi, terdapat inti dalam kedua pendekatan ini yaitu seberapa jauh tindakan para penyelenggara (administrator dan birokrat) sesuai dengan mekanisme maupun tujuan yang telah digariskan mereka para pembuat kebijakan.

Berikut ini ada beberapa macam model-model Implementasi Kebijakan (dalam Mustari, 2015:150-178) yaitu:

 Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III

Model implementasi kebijakan ini memakai pendekatan top down, dalam menganalisis implementasi kebijakan, model implementasi kebijakan George C. Edward III berfokus pada empat variable yang dianggap meyakinkan sebuah proses implementasi kebijakan, adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi (Communication) 2. Sumber daya (Resources) 3. Disposisi (Disposition)

4. Struktur birokrasi (Bureucratic Structure)

 Model Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier

Model ini disebut sebagai model kerangka analisis implementasi.

Mazmanian dan Sabatier (Arpansiregar-Wordpress) mengklarifikasikan proses implementasi kebijakan dalam tiga variabel, yaitu:

1. Karakteristik dari masalah (tractability of the problems) biasa disebut dengan variabel independen, Indikatornya yaitu:

a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan.

b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran.

c. Proporsi kelompok target terhadap total populasi.

d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan.

2. Karakteristik kebijakan atau undang-undang (ability of statute to structure implementation) sering disebut dengan istilah variabel intervening, Indikatornya yaitu:

a. Kejelasan isi kebijakan.

b. Sejauh mana kebijakan itu memiliki dukungan teoritis.

c. Besarnya alokasi sumber daya keuangan kepada kebijakan tersebut.

d. Sebesar apa adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana.

e. Kepastian dan konsistensi aturan yang ada pada badan penyelenggara.

f. Tingkat komitmen aparat pada tujuan kebijakan.

g. Seberapa besar akses kelompok-kelompok luar dalam berpartisipasi dalam implementasi kebijakan.

3. Variabel lingkungan (non statutory variables affecting implementation) sering disebut dengan istilah dependen. Indikatornya, yaitu:

a. Tingkat kemajuan teknologi dan Kondisi sosial ekonomi masyarakat.

b. Dukungan publik kepada sebuah kebijakan.

c. Sikap dari kelompok pemilihan (constituency groups).

d. Tingkat loyalitas dan keterampilan dari pejabat dan implementor.

 Model Van Meter dan Van Horn

Model implementasi kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn menjelaskan bahwa proses implementasi kebijakan adalah sebuah abstraksi atau performansi yang pada dasarnya secara sengaja dibuat untuk memperoleh kinerja implementasi yang dipengaruhi atas enam variabel, antara lain yaitu: tujuan dan ukuran kebijakan, sumber daya, karakteristik cabang penyelenggara, sikap dan kecenderungan para penyelenggara, komunikasi antar organisasi dan lingkungan sosial, ekonomi juga politik.

 Model Merilee S. Grindle

Model ini menjelaskan bahwa implementasi kebijakan ditentukan dengan isi dan konteks implementasinya. Dari kedua perihal tersebut harus didukung oleh proyek individu dan program aksi yang didesain dan dibiayai atas tujuan kebijakan, sehingga dalam penyelenggaraan kegiatan akan mendapat hasil berupa dampak kepada masyarakat individu dan kelompok beserta perubahan dan penerimaan bagi masyarakat terhadap kebijakan yang dilakukan. Indikator isi kebijakan menurut Grindle yaitu:

a. Kepentingan yang dipengaruhi.

b. Tipe manfaat.

c. Derajat perubahan yang diharapkan.

d. Letak pengambilan keputusan.

e. Pelaksanaan program.

f. Sumber daya yang dilibatkan.

Adapun konteks implementasi indikator-indikatornya yaitu:

a. Kekuasaan, strategi aktor yang terlibat.

b. Karakteristik lembaga penguasa.

c. Kepatutan daya tangkap.

 Model Implementasi Kebijakan Soren C. Winter

Winter dalam peters and pierre mengemukakan model implementasi Integratif (Integrated Implementation Model). Winter berpendapat pengaruh keberhasilan implementasi kebijakan yaitu perumusan kebijakan, proses implementasi kebijakan, dan efek atau hasil implementasi kebijakan itu sendiri.

Keberhasilan dari proses implementasi ada tiga variabel yang mempengaruhi yaitu:

1. Perilaku antar organisasi. Dimensinya ada dua yaitu: komitmen dan koordinasi antar organisasi.

2. Perilaku implementor (aparat atau birokrat) tingkat bawah. Dimensinya ada tiga yaitu: kontrol organisasi, etos kerja, dan norma-norma profesionalisme.

3. Perilaku kelompok sasaran. Kelompok sasaran bukan hanya memberi pengaruh kepada dampak kebijakan namun juga mempengaruhi kinerja birokrat tingkat bawah, kalau dampak yang dihasilkan baik maka kinerja birokrat tingkat bawah juga baik begitupun sebaliknya.

Menurut Edward III dalam (Sukur, 2019) berpandangan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:

1. Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.

2. Sumberdaya, meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial.

3. Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh

pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

4. Struktur Birokrasi, Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek dari struktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Menurut pandangan Edwards sumber-sumber yang penting meliputi, staff yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik. (Sukur, 2019)

Implementasi merupakan proses krusial dalam kebijakan publik. Setelah kebijakan selesai diformulasikan dan legislasi, maka selanjutnya adalah mengimplementasikannya. Dalam menganalisis kebijakan diperlukan model kebijakan. Model kebijakan ini akan mempermudah peneliti dalam menentukan indikator yang akan diukur. Ada beberapa model dalam proses implementasi kebijakan publik (dalam Agustino 2016:133-152), diantaranya adalah model implementasi kebijakan Donald van Metter dan Carl van Metter, George C.

Edward III, Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier, Merilee S. Grindle. (Aziz, 2019)

a. Implementasi Kebijakan model Donald van Metter & Carl van Horn

Ada enam variabel, menurut Van Metter & Carl van Horn (dalam Leo Agustino 2016:133-136) yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik.

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan.

Kinerja implementasi kebijakan publik dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan-hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultu yang mengada di tingkat pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan ditingkat warga, maka akan sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2. Sumber daya.

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyarakat oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumber daya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat

sulit untuk diharapkan. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber-sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga ialah sumber-sumber daya finansial dan waktu. Ini karena mau tidak mau ketika sumber daya manusia yang kompeten dan kapabel telah tersedia, maka akan timbul masalah untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh tujuan kebijakan. Demikian pula halnya dengan sumber daya waktu. Saat sumber daya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik, tetapi terbentur dengan masalah waktu yang berlalu ketat, maka hal ini pun dapat menjadi penyebab ketidakberhasilan suatu implementasi kebijakan publik.

3. Karakteristik Agen Pelaksana.

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen dilibatkan.

4. Sikap atau Kecenderungan (Disposition) Para Pelaksana.

Sikap penerima atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang

mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah kebijakan „dari atas‟

(top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.

5. Komunikasi Antar-Organisasi dan Aktivitas Pelaksana.

Koordinasi merupakan mekanisme sekaligus syarat utama dalam menentukan keberhasilan pelaksana kebijakan. Semakin baik koordinasi dan komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil terjadi dan begitu pula sebaliknya.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi public dalam perspektif yang ditawarkan oleh van Metter &

van Horn adalah sejauhmana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan yang dimaksud termasuk lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Dan lingkungan yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Oleh sebab itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

b. Implementasi Kebijakan Model George C. Edward III

Model Implementasi kebijakan ketiga yang berperspektif top-down dikembangkan oleh George C. Edward III (dalam Leo Agustino 2016:136-141). Edward III menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan istilah Direct and Indirect Impact on Implementation. Dalam pendekatan yang diteorikan oleh Edward III, terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu : komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

c. Implementasi Kebijakan Model Daniel H. Mazmanian & Paul A. Sabatier Implementasi Kebijakan menurut Daniel Mazmanian & Paul A. Sabatier sebagaimana dikutip dalam buku Leo Agustino (2016:146-152) mengatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu karakteristik dari masalah (Tractabikity of The Problem), karakteristik kebijakan atau undang-undang (Ability to Structure Implementation) dan variabel lingkungan (Nonstatutory Variable Affecting Implementation).

d. Implementasi kebijakan Model Merilee S. Grindle

Menurut Grindle (dalam Leo Agustino 2016:142) keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian outcomes (yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih). Yang mana hal ini dapat dilihat dari dua hal berikut :

1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya.

2. Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua faktor, yaitu:

a. Impak atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok.

b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi.

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik menurut Grindle, amat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas Content of Policy dan Context of Policy.

1. Content of Policy terdiri dari 6 (enam) poin yaitu :

a. Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi, berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan, indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya.

b. Jenis manfaat yang bisa diperoleh. Pada poin ini Content of Policy berupaya untuk menunjukan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.

c. Derajat perubahan yang ingin dicapai. Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Adapun yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.

d. Letak pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang hendak diimplementasikan.

e. Pelaksana program. Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabe demi keberhasilan suatu kebijakan. Hal ini harus terdata atau terpapar dengan baik pada bagian ini.

f. Sumber-sumber daya yang digunakan. Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumber-sumber daya yang mendukung agar pelaksanaanya berjalan dengan baik.

2. Context of Policy terdapat 3 (tiga) poin yaitu :

a. Kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat. Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan-kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para aktor guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan dengan

matang, besar kemungkinan program yang hendak diimplementasikan akan jauh panggang dari api.

b. Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa. Lingkungan dimana suatu kebijakan dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.

c. Tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana. Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana. Maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauhmana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.

Pelaksanaan kebijakan yang ditentukan oleh isi atau konten dan lingkungan atau konteks yang diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, juga dapat diketahui apakah suatu kebijakan dipengaruhi oleh suatu lingkungan, sehingga tingkat perubahan yang diharapkan terjadi. (Aziz, 2019) B. Konsep Fullday School

Full day school berasal dari bahasa Inggris, yang memiliki arti sekolah sepanjang hari. Baharuddin (2009) mengungkapkan bahwa Full day school merupakan sekolah sepanjang hari, atau proses belajar mengajar yang dilakukan mulai pukul 06.45-15.00 dengan durasi istirahat setiap dua jam sekali. Dengan demikian sekolah dapat mengatur jadwal pelajaran dengan pendalaman materi.

Menurut etimologi, kata Full Day School berasal dari Bahasa Inggris.

Dimana terdiri dari kata Full yang mengandung arti penuh, dan day artinya hari.

Maka Full Day mengandung arti sehari penuh. Full Day juga berarti hari sibuk.

Sedangkan School artinya Sekolah. Jadi, arti dari Full Day School jika dilihat dari segi etimologinya berarti kegiatan belajar yang dilakukan sehari penuh disekolah.

Sedangkan menurut terminologi atau arti secara luas, Full day School mengandung arti sistem pendidikan yang menerapkan pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar sehari penuh dengan memadukan sistem pengajaran yang intensif yakni dengan menambah jam pelajaran untuk pendalaman materi pelajaran serta pengembangan diri dan kreatifitas (Sukur, 2019)

Menurut pendapat Arsyadana, A. (2017), full day school didirikan karena lingkungan masyarakat yang kurang baik, kurangnya waktu orang tua dalam mengawasi anak karena kesibukan pekerjaan dan anak-anak cenderung lebih memilih bermain dari pada belajar setelah mereka pulang sekolah. Sedangkan menurut Astuti, M., (2013), full day school didirikan karena adanya beberapa alasan diantaranya, pertama minimnya waktu orang tua di rumah karena tuntutan pekerjaan, hal ini dimaksudkan agar anak-anak tidak terjerumus ke hal-hal negatif, kedua karena perlunya pengawasan terhadap keselamatan anak selama orang tua bekerja, ketiga kerena perlunya tambahan pelajaran agama karena minimnya waktu orang tua untuk anak, dan keempat yaitu perlu adanya peningkatan kualitas pendidikan. (Irayasa, 2018)

Menurut Mujayanah (2013:13) full day school merupakan sebuah model pendidikan alternatif, dimana peserta didik sehari penuh berada di sekolah untuk

melakukan proses pembelajaran dan proses beribadah. Proses pembelajaran dalam sistem full day school tidak hanya bersifat formal, tetapi terdapat banyak suasana pembelajaran yang bersifat informal dan tidak kaku serta menyenangkan bagi siswa.

Full Day School menurut Mushlihah (2009: 17) merupakan salah satu kreasi atau inovasi pembelajaran untuk menjadikan sekolah unggul, inovatif dan kreatif dengan sistem pembelajaran terpadu yang berlandaskan iman dan taqwa (imtaq, serta ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Selain itu, sistem full day school memberikan banyak kesempatan bagi siswa untuk mengeksplorasi topiktopik pelajaran secara lebih mendalam, memberi keleluasaan dalam beraktifitas positif, serta menyediakan lingkungan yang baik untuk mengembangkan pendidikan secara tepat sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan.

Hilalah (2009) berpendapat bahwa full day school merupakan suatu proses pembelajaran yang dilaksanakan sehari penuh yang menerapkan dasar integrated curriculum dan integrated activity yang berarti hampir seluruh aktivitas anak berada di sekolah, mulai dari belajar, makan, bermain, dan ibadah di kemas dalam dunia pendidikan. Full day school menekankan pada komponen-komponen yang disusun dengan teratur dan baik untuk menunjang proses pendewasaan manusia (siswa) melalui upaya pengajaran dan pelatihan dengan waktu di sekolah yang lebih panjang atau lama dibandingkan dengan sekolah-sekolah pada umumnya berdasarkan konsep integrated curriculum dan integrated activity.

Sejalan dengan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa full day school merupakan inovasi baru sistem pendidikan yang menerapkan pembelajaran sepanjang hari sejak pagi hingga sore dimana seluruh aktivitasnya dilakukan di sekolah dengan menggunakan proses pembelajaran yang dapat memberikan kegiatan belajar yang aktif dan menyenangkan bagi siswa. Sekolah diharapkan dapat mengembangkan dan menambah jam pelajaran untuk pendalaman materi serta menumbuhkan kreatifitas siswa.

Pelaksanaan full day school menurut Baharuddin (2009) merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi berbagai masalah pendidikan, baik dalam prestasi maupun dalam hal moral atau akhlak. Dengan mengikuti fullday school, orang tua dapat mencegah dan menetralisir kemungkinan dari kegiatan-kegiatan anak yang menjerumus pada kegiatan yang negatif. Salah satu alasan para orangtua memilih dan memasukkan anaknya ke full day school adalah dari segi edukasi siswa.

Full day school selain bertujuan mengembangkan mutu pendidikan yang paling utama adalah full day school bertujuan sebagai salah satu upaya pembentukan akidah dan akhlak siswa dan menanamkan nilai-nilai positif.

Fullday school juga memberikan dasar yang kuat dalam belajar pada segala aspek yaitu perkembangan intelektual, fisik, sosial dan emosional. Sebagaimana yang dikatakan oleh Seli (2009) bahwa dengan full day school sekolah lebih bisa intensif dan optimal dalam memberikan pendidikan kepada anak, terutama dalam pembentukan akhlak dan akidah. Waktu untuk mendidik siswa lebih banyak sehingga tidak hanya teori, tetapi praktek mendapatkan proporsi waktu yang lebih, sehingga pendidikan tidak hanya teori mineed tetapi aplikasi ilmu.

Pelaksanaan full day school merupakan model sekolah umum yang memadukan sistem pengajaran agama secara intensif yaitu dengan memberi tambahan waktu khusus untuk pendalaman keagamaan siswa. Oleh karena itu, pembelajaran dimulai pukul 07.00 hingga pukul 15.00, sedangkan pada sekolah-sekolah umum, anak biasanya sekolah-sekolah sampai pukul 13.00. Pelaksanaan full day school, dilengkapi program rekreatif dalam pembelajaran agar tidak timbul kejenuhan pada siswa.

Menurut Susanti dan Asyhar (2015), full day school adalah salah satu karya cerdik para pemikir dan praktisi pendidikan untuk menyiasati minimnya control orang tua terhadap anak di luar jam-jam sekolah formal sehingga sekolah yang awalnya dilaksanakan 5 sampai 6 jam berubah menjadi 8 bahkan sampai 9 jam.

Full day school sendiri menurut Sunardi dkk (2014) merupakan satu istilah dari proses pembelajaran yang dilaksanakan secara penuh, aktifitas anak lebih banyak dilakukan di sekolah dari pada di rumah. Meskipun begitu, proses pembelajaran yang lebih lama di sekolah tidak hanya berlangsung di dalam kelas, karena konsep awal dibentuknya sistem full day school ini bukan menambah materi ajar dan jam pelajaran yang sudah ditetapkan oleh Depdiknas seperti yang ada dalam kurikulum tersebut, melainkan tambahan jam sekolah digunakan untuk

Full day school sendiri menurut Sunardi dkk (2014) merupakan satu istilah dari proses pembelajaran yang dilaksanakan secara penuh, aktifitas anak lebih banyak dilakukan di sekolah dari pada di rumah. Meskipun begitu, proses pembelajaran yang lebih lama di sekolah tidak hanya berlangsung di dalam kelas, karena konsep awal dibentuknya sistem full day school ini bukan menambah materi ajar dan jam pelajaran yang sudah ditetapkan oleh Depdiknas seperti yang ada dalam kurikulum tersebut, melainkan tambahan jam sekolah digunakan untuk

Dokumen terkait