• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

D. Konsep Nilai Budaya

Nilai (value) berasal dari bahasa latin “valere” yang berarti berguna, berdaya, dan berlaku. Dalam hal ini mengandung beberapa pengertian, bahwa nilai merupakan kualitas dari sesuatu yang disukai, diinginkan, dimanfaatkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan.46

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai berarti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Misalnya dalam konteks keagamaan, ini merupakan konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok di kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga menjadi pedoman tingkah laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan.47

Seperti yang dikutip Andreas A. Danandjaja berpendapat bahwa nilai adalah pengertian-pengertian (conception) yang dihayati seseorang mengenai

46

Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Golo Riwu, 2000), h. 721.

47

apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar.48 Masih dalam buku yang sama, J. M Soebijanta menyatakan bahwa nilai hanya dapat dipahami jika dikaitkan dengan sikap dan tingkah laku dalam sebuah model metodologis:

Gambar 5: Model Metodologis Nilai

Nilai Sikap Tingkah Laku

Sebuah nilai dapat dikategorikan sebagai:49 a. Nilai Subjektif

Sesuatu yang oleh seseorang dianggap dapat memenuhi kebutuhannya pada suatu waktu dan oleh karena itu (seseorang tadi) berkepentingan atasnya (sesuatu itu), disebut bernilai atau mengandung nilai bagi orang yang bersangkutan. Oleh karena itu ia dicari, diburu, dan dikejar dengan menggunakan berbagai cara dan alat. Dalam hal ini nilai dianggap subjektif dan ekstrinsik. Nilai ekstrinsik sesuatu atau suatu barang berbeda menurut seseorang dibanding orang lain.

b. Nilai Objektif

Nilai yang didasarkan pada standar dan kriteria tertentu, yang objektif, yang disepakati bersama atau ditetapkan oleh lembaga berwenang. Dalam hal ini nilai dianggap intrinsik.

Dari beberapa definisi nilai yang telah disebutkan di atas, maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu yang

48

Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), h. 18. 49

membuat sesuatu itu dihargai dan nilai tinggi sebagai suatu kebaikan dan dapat dijadikan pedoman oleh seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku.50

2. Budaya

Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.51

Menurut Tylor, “culture is the complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities acquired by man

as a member of society.”52

Sedangkan menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni agama, kelembagaan, dan samua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.53

Menurut Elvio, “Culture is a set of learned adaptive techniques.”54 Jika bicara masalah budaya, bukan hal yang secara singkat dapat dipahami, ini menyangkut masalah bagaimana budaya berangsur-angsur secara pasti terbentuk melalui proses interaksi manusia dengan alam atau manusia dengan manusia itu sendiri.

50

Bagus, Kamus Filsafat, h. 713. 51

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 181.

52

Fri Suhara, Ilmu Budaya Dasar, Pokok-pokok Perkuliahan Untuk Mahasiswa (Bogor: Maharani Press, 1998), h. 72.

53

Yan Mujianto, dkk., Pengantar Ilmu Budaya (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), h. 1.

54

Elvio Angeloni dan Clyde Kluckhohn, Classic Edition Sources Antropology (Pasadena: Mc Graw Hill, 2008), h. 4.

Selanjutnya, Elvio juga memiliki persepsi tentang budaya itu sendiri, “Culture is a way of thinking, feeling, believing. It is the group’s knowledge

stored up (in memories of men; in books and aobjects) for future use.”55 Bagaimana cara seseorang berfikir, merasakan dan memercayai sangatlah berbeda dari manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Ini terbentuk karena adanya ideologi yang dilahirkan dari karakteristik budaya yang ia anut. Budaya juga bisa dikatakan sebagai sistem pengetahuan, nilai, adar istiadat, tatakrama dan ritual keagamaan yang menjadi identitas masing-masing individu.

Judy C. Pearson pun ikut andil memberikan persepsi lain tentang budaya yang ia rumuskan. “Culture can be defined as a system of shared beliefs, values, customs, behaviors, and rituals that the member of society use to cope with one another and with their world.”56

Lebih jauh ia menjelaskan pengertian sub-budaya, “a group that is similar to and part of the larger culture but is distinguished by beliefs and behaviors that differ from the larger culture. And number of co-culture exist based on language, race, religion, economics, age, gender, and sexual orientation.”57

Inti penting dari budaya adalah mempunyai pandangan bagaimana cara beradaptasi terhadap lingkungan sekitar. Budaya juga memiliki fungsi yang sangat berarti dalam kehidupan sebagai makhluk sosial, budaya

55

Angeloni dan Kluckhohn, Classic Edition Sources Antropology, h. 5. 56

Judy C. Pearson, dkk., Human Communication (New York: McGraw-Hill, 2003), h. 212.

57

dilambangkan sebagai aturan atau sistem sosial yang menjadi penunjuk dalam menjalani hidup dan meneruskannya pada kehidupan selanjutnya.

Budaya terakhir guna memberikan gambaran terhadap pengalaman empiris dan membagikannya pada generasi selanjutnya. Menjadikan pelajaran dalam berbagai hal dalam menjalani kehidupan sosial.

Budaya juga memiliki banyak elemen-elemen, seperti makanan, tempat tinggal, pekerjaan, pertahanan, control sosial, perlindungan, psikologis, tujuan hidup dan lain-lain. Namun budaya juga memiliki komponen-komponen umum seperti sejarah, agama, nilai, organisasi sosial, dan bahasa.

Karakteristik-karakteristik budaya adalah sebagai berikut:58  Budaya itu dipelajari

 Budaya itu dibagikan

 Budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi  Budaya itu didasarkan pada simbol

 Budaya itu dinamis

 Budaya itu sistem yang terintegrasi

3. Nilai Budaya

Dalam kehidupan bermasyarakat, semua wujud-wujud kebudayaan tidak bisa terpisahkan dan saling berkaitan. Wujud kebudayaan yang berupa aktivitas/kelakuan mengaitkan semua wujud kebudayaan dengan manusia yang kemudian membentuk sistem nilai yang membuat suatu kelakuan yang berpola dalam masyarakat.

58

Keterkaitan komponen-komponen tersebut dalam kebudayaan modern sekarang sangat terkait dengan pembentukan budaya visual dalam kehidupan manusia modern. Karena budaya visual merupakan salah satu wujud kebudayaan yang berupa konsep (nilai) dan materi (artefak/benda) yang ditangkap oleh panca indera visual manusia kemudian dapat dipahami sebagai tautan pikiran untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Wujud dari kebudayaan visual yang berupa artefak inilah yang diapresiasikan manusia kemudian membentuk sebuah aktivitas komunikasi non-verbal yang akhirnya memunculkan pemaknaan-pemaknaan terhadap artefak tersebut.59 Dalam studi ilmu komunikasi, artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan manusia. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung makna-makna tertentu.60

Media komunikasi visual yang berupa foto dapat dipandang sebagai budaya visual yang sangat fungsional serta telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari di masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat modern, foto merupakan hasil kebudayaan yang menyentuh sisi kehidupan manusia tentang arti dan makna dalam sebuah kehidupan. Foto merupakan wujud dari pencapaian kreatifitas serta kecerdasan manusia yang dapat segera diserap secara visual oleh panca indera manusia. Oleh karena itu foto merupakan fenomena visual yang mengalami perkembangan teknologi cukup pesat.

Kehadiran fotografi disebut sebagai alat perekam dan penghadir ulang sebuah kenyataan yang ampuh. Fotografi disebut-sebut mempunyai kepekaan

59

Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1957), h. 88. 60

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 380.

dalam merekam detail yang membuat manusia modern mengagungkannya sebagai kemajuan manusia dalam merekam kenyataan yang ada, baik dari sejarah sampai dengan foto-foto yang sifatnya dokumentasi sampai dengan foto-foto yang bersifat komersial. Serbuan budaya populer membuat fotografi menggiring pada anggapan sebagai media penghadir kenyataan yang objektif. Dengan perkembangan masyarakat modern yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan informasi membuat fotografi menjadi salah satu media yang paling handal.61

Dihadirkannya kembali kenyataan dalam bentuk visual berperan besar pada pembentukan opini publik. Para fotografer jurnalistik maupun fotografer seni dalam dunia sosialis sangat meyakini bahwa fotografi dapat berperan dan bertanggung jawab dalam pembentukan masyarakat yang ideal, berlawanan dengan mereka yang mengagungkan obyektivitas dalam fotografi, yang akhirnya menggunakan fotografi untuk memanipulatif.62

Sebuah kisah menarik ketika Roland Barthes membawa skandal fotografis dalam peristiwa Komune Paris. Berawal dari sebuah foto yang menampilkan sosok-sosok yang berjajar dengan pose bangga di depan kamera. Kemenangan baru saja mereka raih. Mereka berhasil menguasai salah satu sudut Paris, merebutnya dari tangan kaum borjuis konservatif. Teori telah dipraktekkan, dan mereka melihat masa depan realisasi sebuah ideologi. Dalam pose itu, setiap pribadi begitu mengemuka, penuh dengan cita-cita. Setiap wajah mengguratkan kehendak dan keberanian dalam kekhasan ekspresi masing-masing. Tanpa mereka sangka, justru karena foto inilah hidup mereka

61

Barthes, Mythologies, h. 93. 62

berakhir. Ketika sebuah foto lain berhasil membangkitkan amarah warga Paris pada para anggota Komune Paris itu. Foto yang menampilkan mayat polisi bergelimpangan, dengan keterangan mereka dibantai para pejuang revolusioner itu. Foto itu membuat warga Paris berubah pikiran dan memberi mandat kepada polisi untuk menghukum kaum revolusioner itu sesuai dengan perbuatan mereka. Dari foto kemenangan itu, masing-masing orang itu dikenali, kemudian satu demi satu ditembak mati, hampir semuanya. Namun, warga Paris tidak tahu bahwa mayat-mayat yang bergelimpangan yang mereka lihat itu, bangkit kembali setelah sesi pemotretan selesai.63

Skandal fotografis Roland Barthes di Paris menunjukan fotografi dalam se buah kebudayaan menunjukan nilai tersendiri yaitu free value. Free value merupakan sebuah nilai bebas atau mempunyai banyak arti. Nilai ini terlihat ketika pada saat foto bisa menunjukan arti dan makna yang berbeda bagi setiap orang yang melihatnya. Bagi kaum revolusioner Paris, foto yang diambil Roland Barthes merupakan foto kejayaan dan kemenangan. Di lain pihak bagi kaum borjuis koservatif di Paris, foto yang diambil Barthes merupakan foto yang membuat mereka malu dan mereka melihat tokoh-tokoh di balik pemberontakan dari foto itu. Kebebasan dalam memaknai foto inilah akhirnya bisa menjadi kelemahan sebuah foto saat orang tidak tahu bagaimana cara memaknainya dan jatuh ke tangan orang yang bertentangan opini. Baik atau buruknya makna yang dibawa oleh foto tergantung dengan kepentingan yang digunakan seseorang saat mempublikasikan foto tersebut.64

63

Barthes, Mythologies, h. 99. 64

Kekuatan foto dalam kebudayaan visual dapat dibuktikan dengan banyaknya konsumsi masyarakat terhadap kamera foto. Dalam melihat hasil foto tidak dibutuhkan sebuah peralatan khusus, seperti saat masyarakat ingin melihat hasil yang diproduksi dari kamera video. Foto bisa dilihat setiap saat dan di mana saja. Ini yang menjadikan media komunikasi yang disebut dengan foto ini mempunyai sifat timeless. Foto merupakan media komunikasi yang tidak akan lekang oleh waktu, karena tidak membutuhkan perawatan khusus untuk menyimpan dokumen-dokumen yang berbentuk foto. Sifat foto yang sangat fleksible membuat media ini banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu di media massa.65

Pada abad ke-19 para ilmuwan mengira bahwa apa yang ditangkap panca indra kita sebagai sesuatu yang nyata dan akurat. Para psikolog menyebut mata sebagai kamera dan retina sebagai film yang merekam pola-pola cahaya yang jatuh di atasnya. Para ilmuan modern menantang asusmsi itu: Kebanyakan percaya bahwa apa yang kita amati dipengaruhi sebagian oleh citra retina mata dan terutama kondisi pikiran pengamat.66 Oleh karena itu gambar-gambar dalam media visual tersebut mengkonstruksi pikiran manusia melalui suatu proses aktif dan kreatif yang biasa disebut presepsi. Presepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku kita.67 Pada akhirnya kebudayaan visual

65

Barthes, Mythologies, h. 177. 66

Estelle Zannes, Communication: The Widening Circle (Massachusetts: Addison-Wesley, 1982), h. 27.

67

Robert A. Baron & Paul B. Paulus, Understanding Human Relations: A Practical Guide to people at Work (2nd ed.) (A Division of Simon, 1991), h. 34.

melalui pencitraan fotografis mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan kebuadayaan visual manusia.68

Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan budaya dalam mengelompokkan nilai menurut Rusmin Tumanggor dkk. Sekurang-kurangnya, ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat, yaitu: teori, ekonomi, agama, seni, kuasa, dan solidaritas.69

a. Nilai teori

Rusmin menjelaskan, pengertian dari nilai teori ini adalah ketika manusia menentukan dengan objektif identitas benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.

b. Nilai ekonomi

Adalah ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Lebih lanjut Rusmin menjelaskan, kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa maju disebut aspel progresif dari kebudayaan.

c. Nilai agama

Terjadi ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya ada konsep kekudusan dan ketakziman kepada yang Maha gaib, maka manusia mengenal nilai agama.

68

Barthes, Mythologies, h. 137-142. 69

d. Nilai seni

Jika yang dialami itu keindahan di mana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekspresif dari kebudayaan.

e. Nilai kuasa

Saat manusia merasa puas jika orang lain mengikuti pikirannya, norma-normanya, dan kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa.

f. Nilai solidaritas

Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan, dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas.

Enam nilai budaya itu merupakan kristalisasi dari berbagai macam nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apa yang paling dominan pada seseorang atau kelompok orang, akan menentukan “sosok” mereka sebagai manusia budaya.70

Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang memerhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori cenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung tega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga ada sosok yang materialis, seniman, dan pekerja sosial. Bisa juga adailmuwan yang mengabdi kepada

70

materi, politisi yang pejuan, ulama yang rasional, ilmuwan yang mistis, dan sebagainya.71

Budaya progresif akan mengembangkan cara berfikir ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak dari budaya ekspresif bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progresif pada umumnya dinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuan baru, sedangkan pendukung budaya ekspresif biasanya statis atau tradisional, memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah final.72

Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya, yaitu :73

1. Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas) 2. Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut 3. Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi

kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).

71

Tumanggor, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, h. 143. 72

Tumanggor, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, h. 144.

73“Nilai-nilai Budaya,” diakses pada 4 Juli 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai -nilai_budaya

Dokumen terkait