• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

C. Semiotik Model Roland Barthes

Barthes menyempurnakan teori semiotik Saussure yang hanya berhenti pada pemaknaan penanda dan petanda saja (denotasi). Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of signification), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi.

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti.27

Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makan-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan, emosi atau keyakinan.28

Model Barthes ini dikenal dengan signifikasi dua tahap (two way of signification) seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.

27

Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (Bandung: Jalasutra, 2003), h. 261.

28

Tabel 3: Peta Tanda Roland Barthes29

1. Signifier (Penanda)

2. Signified (Petanda) 3. Denotative Sign (Tanda Denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGN

(PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya.

Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos adalah cerita yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Tidak ada mitos yang universal pada suatu kebudayaan. Mitos ini bersifat dinamis. Mitos berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut.

29

Konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda berfungsi dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlangsungnya interkasi antara tanda dan pengguna / budayanya yang sangat aktif.30

Teori tentang mitos tersebut kemudian diterangkannya dengan mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signified (petanda) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, ia akan menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi.31 Seperti pada gambar di bawah:

Gambar 4: Tatanan Penandaan Barthes32

Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.33

Denotasi dan Konotasi

Denotasi adalah penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, yaitu apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah obyek.

30

John Fiske, Cultural and Communication Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 1990), h. 121. 31

Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Jakarta: PT Serambi Ilmu, 2008), h. 14.

32

Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, h. 22. 33

Denotasi didapat dari pengamatan langsung dari tanda-tanda yang ada yang menghasilkan makna nyata, makna yang sebenarnya hadir. Dalam hal ini, digambarkan bahwa denotasi lebih menitik beratkan pada ketertutupan makna.34 Sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Konotasi merupakan penciptaan makna lapis kedua yang terbentuk ketika lambang denotasi dikaitkan dengan aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Karena pada dasarnya penanda konotasi dibangun dari tanda-tanda dari sistem denotasi.35

Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi dan denotasi sebagai berikut:

Tabel 4: Perbandingan antara Konotatif dan Denotatif36

KONOTASI DENOTASI

Pemakaian figur Literatur

Petanda Penanda

Kesimpulan Jelas

Memberi kesan tentang makna Menjabarkan

Dunia Mitos Dunia keberadaan/eksistensi

Menurut Barthes, citra pesan ikonik/iconic message (yang dapat kita lihat, baik berupa adegan/scene, lanskep, atau realitas harfiah yang terekam) dapat dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu:37

34

Fiske, Cultural and communication Studies, h. 122. 35

Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 71. 36

Berger, Tehnik-tehnik Analisis Media, h. 55. 37

Yuwono dan Christomy, Semiotika Budaya (Depok: Universitas Indonesia, 2004), h. 77-78.

a. Pesan harfiah/pesan ikonik tak berkode (non-coded iconic message), sebagai sebuah analogon yang berada pada tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan pesan simbolik.

b. Pesan simbolik/pesan ikonik berkode (coded iconic message), sebagai analogon yang berada pada tataran konotasi yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap stereotip tertentu. Pada tataran ini, Barthes mengemukakan enam prosedur konotasi citra –khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes. Prosedur-prosedur tersebut terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita itu sendiri (Trick Effect, Pose, dan Object) dan konotasi yang diproduksi melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism dan Syntax), yaitu:38

Trick Effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.

Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih objek yang sedang diambil.

 Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI) pada sebuah gambar/foto.

38

Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar. Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) dan sebagainya.39

Tabel 5: Pemaknaan Photogenia dalam menganalisis foto40 TANDA

MAKNA KONOTASI

Photogenia Teknis Fotografi

Pemilihan lensa

Normal Normalitas keseharian

Lebar Dramatis

Tele Tidak personal, voyeuritis

Shot size

Close up Intimate, dekat

Medium up Hubungan personal dengan subjek Full shot Hubungan tidak personal

Long shot Menghubungkan subjek dengan konteks, tidak personal

Sudut pandang

High angle Membuat subjek tampak tidak berdaya, didominasi, dikuasai, kurang otoritas Eye level

Khalayak tampil sejajar dengan subjek, memberi kesan sejajar, kesamaan, sederajat.

Low angle

Menambah kesan subjek berkuasa, mendominasi, dan memperlihatkan otoritas

Pencahayaan

High Key Kebahagiaan, cerah Low key Suram, muram Datar Keseharian, realistis Penempatan

subjek/objek pada bidang foto

Atas Memberi kesan subjek berkuasa Tengah Subjek penting

Bawah Subjek tidak penting Pinggir Subjek tidak penting

39

Sunardi, Semiotika Negativa, h. 174. 40

M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 43.

Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.

 Syntax, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Fungsi caption ialah:  Fungsi Penambat/ Pembatasa (anchorage) agar pokok pikiran dari

pesan dapat dibatasi sesuai dengan maksud penyampaiannya  Fungsi Pemancar/Percepatan (relay) agar langsung dipahami

maksud dari pesan yang disampaikan.41

John Fiske menjelaskan masalah denotasi dan konotasi dengan menggunakan contoh fotografi. Menurut Fiske, denotasi ialah apa yang difoto yang memunculkan pertanyaan „ini foto apa‟, sedangkan konotasi adalah bagaimana ini bisa difoto? Atau menitikberatkan pertanyaan „mengapa fotonya ditampilkan dengan cara seperti itu?.‟42

Atau dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.

Mitos menurut Roland Barthes, mitos bukanlah seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur. Tetapi mitos menurut Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of specch (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang.43 Mitos digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika

41

Sobur, Analisis Teks Media, h. 128. 42

Fiske, Cultural and Communication Studies, h. 48. 43

segala kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar). Roland Barthes pernah mengatakan “Apa yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya”. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.44

Menurut Barthes, mitos memiliki empat ciri, yaitu:45

1. Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan deformatif. Concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya.

2. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan, dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu. 3. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita

menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.

4. Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung motivasi. Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai

44

Sobur, Analisis Teks Media, h. 128.

45 “Bedah Buku Belajar Membelah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes),” Media Indonesia, Minggu, 25 Maret 2007, h. 4.

kemungkinan konsep yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik tingkat pertamanya.

Dalam penelitian ini, penulis merumuskan bagaimana pembacaan nilai budaya dalam foto jurnalistik yang terdapat dalam foto headline koran Kompas edisi 10 Juli 2013 sampai 7 Agustus 2013. Selanjutnya, untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan enam prosedur konotasi citra yang dikemukakan Barthes, yakni meliputi trick effects, pose, objects (objek), photogenia (fotogenia), aestheticism (estetisme), dan syntax (sintaksis).

D. Konsep Nilai Budaya

Dokumen terkait