• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang dapat menjadi saran bagi beberapa pihak, antara lain:

1. Bagi Harian Kompas dalam menampilkan pemberitaan terkait bulan Ramadan. Disamping menjalankan fungsinya sebagai harian nomor 1 di Indonesia dalam menyampaikan informasi yang bermanfaat, sebaiknya lebih banyak menyuguhkan pesan yang sarat akan manfaat yang mendukung dalam ritual puasa.

2. Bagi akademisi Fakultas komunikasi, khususnya Program Studi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengingat banyaknya penelitian yang menggunakan analisis semiotika atau semiologi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, agar metodologi tersebut mendapat perhatian yang lebih besar, sehingga mampu menghadirkan hipotesa dan teori baru yang lebih berkembang dan kajian yang lebih mendalam guna memperkaya khasanah keilmuan khususnya ilmu komunikasi.

3. Bagi peminat fotografi khususnya mahasiswa komunikasi, metode semiotika dapat berperan sebagai kamus bahasa visual yang merupakan diluar bahasa yang dikenal secara konvensional baik secara verbal maupun nonverbal, untuk itu metode tersebut patut didalami agar seorang fotografer dapat mengerti bagaimana suatu kesan dapat terbentuk, hingga dapat memanfaatkannya secara fungsional ketika ingin mengungkapkan suatu pesan, khususnya dalam medium visual.

4. Bagi mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik dan peminat karya-karya fotografi khususnya foto jurnalistik, metode ini juga berfungsi untuk mengungkap

makna lain yang terdapat dalam sebuah foto jurnalistik, baik secara objektif maupun subjektik.

5. Kajian semiotika dapat mengasah paradigma konstruktifis, bahkan wacana kritis dalam menilai makna di balik sebuah karya seni visual. Sehingga dengan semiotika, kita dapat menelaah arah perkembangan karya seni visual, khususnya di Indonesia.

6. Wacana tentang seni fotografi khususnya, tidak lagi hanya mendebatkan foto dari segi teknis bagaimana foto itu dibuat, melainkan sudah harus bergerak pada ranah filosofis. Sehingga budaya visual di Indonesia dapat terus berjalan kearah perkembangan, dan bukan hanya sekedar pengulangan agar dapat terintegrasi dengan banyak hal yang berkaitan dengan fenomena budaya yang berkembang di masyarakat, bekal wawasan budaya secara meluas dapat membuat sebuah karya foto jurnalistik lebih kaya informasi.

Agung, Yuniadhi. Pengantar Fotografi Jurnalistik. Jakarta: 2004.

Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata Fotogafi. Yogyakarta: Galang Press, 2002.

Alwi, Audy Mirza. Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Angeloni, Elvio dan Kluckhohn, Clyde. Classic Edition Sources Antropology. Pasadena: Mc Graw Hill, 2008.

Anirin, Tatang M. Menyusun Rencana Penulisan. Jakarta: PT Raja Grafika Persada, 1995. Arifin, Zainal. Penelitian, Pendidikan Metode dan Paradigma Baru. Bandung: Remaja

Rosdakarya: 2012.

Bactiar, Wardi. Metodologi Penulisan Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos, 1997. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996. Barthes, Roland. Mythologies. New York: The Noonday Press, 1957.

Berger, Arthur. Tehnik-tehnik Analisis Media Second Edition. Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2000.

Berger, Arthur Asa. Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010.

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia, 2001.

Birowo, Antonius. Metodologi Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gitanyali, 2004.

Bogdan dan Biklen. Qualitative Research For Education, an Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon Inc., 1982.

Budiman, Kris. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku baik, 2003.

Budyatna, M. Jurnalistik, Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2009.

Cahn, William. Photojournalism. New York: Time-Life Book, 1972.

Cobley, Paul dan Janz, Litza. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, 1999. Dani, Dahlan. “Fotografi Jurnalistik.” Majalah Cakram, 2 Juli 2002: h. 52.

Effendy, Onong Uchjana. Dimensi-dimensi Komunikasi. Bandung: Mandar Maju, 1981. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti,

1993.

Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS, 2009.

Fiske, John. Cultural and Communication Studies. Penerjemah Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim. Bandung; Jakarta, 1990.

Fitriadi, Firman Eka. “Foto Jurnalistik Bencana Alam Gempa Bumi.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010.

Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.

Hoed, Benny H. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: FIB UI Depok, 2008. Hoy, Frank P. Photo Journalism the Visual Approach. New Jersey : Prentice-Hall, 1986. Hufad, Achmad. “Sosialisasi dan Akulturasi Nilai-niali Budaya Lokal: Kasus pada Keluarga

Inti Orang Menes di Banten.” Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, 2005. Indriyanti, Amilia. Belajar Jurnalistik dari Nilai-nilai Al-Quran. Solo: Samudra, 2006. Irsyad, Roby. “Representasi tentara Amerika Serikat dalam Foto Berita Surat Kabar

Nasional: Analisis Semiotika Foto Berita tentang Tentara Amerika Serikat selama 21 Hari Pertama Perang Irak di Halaman Satu Surat Kabar Republika.” Tesis Universitas Indonesia, 2005.

Junaedhie, Kurniawan. Ensiklopedi Pers Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991. Keene, Martin. Practical Photojournalismn a Proffesional Guide. Inggris: Focal Press, 1993. Kiyanto, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2006.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.

Kroeber, A.L. dan Kluckhohn, Clyde. Culture: A Critical Review Of Concept and Definitions. New York: Vintage Books, 1952.

Kunto, Suharsimi Ari. Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bineka Cipta, 1991.

Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. Magelang : Yayasan Indonesiatera, 2001.

Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Golo Riwu, 2000.

McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa. Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga, 1995. Mehrabian, Albert dan Russel, James. An Approach to Environmental Psychology,

Cambridge. Massachusetts: The MIT Press, 1996.

Mujianto, Yan. dkk. Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010.

Mulyana, Dedy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.

Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi). Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

Ndraha, Taliziduhu. Budaya Organisasi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997. Nugraha, B. Politik Media Mengemas Berita. Jakarta: ISAI, 1999.

Nurhuda, Angga Rizal. “Analisis Semiotik Headline Harian Kompas.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

Oetama, Jakoeb. Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.

Oetama, Jakoeb dan Suryapratomo. Kompas Menulis dari Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007.

Panuti, Sudjiman dan Aart, Van Zoest. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: PT Karya Nusantara, 1996.

Patmono, SK. Teknik Jurnalistik Tuntunan Praktis untuk Menjadi Wartawan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996.

Pearson, Judy C. dkk. Human Communication. New York: McGraw-Hill, 2003.

Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra, 2003.

Pranata, Moeljadi. Apakah Desain Komunikasi Visual Itu?. Surabaya: Fakultas Seni dan Desain UK Petra, 2000.

Prihatana, Hermanus. Foto Berita Hukum dan Etika Penyiaran. Jakarta: LPJA, 2003.

Pusporini, Hihmatun Hayu. “Nilai Budaya dalam Kesenian Srandil di Dusun Kedung Balar, desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri.” Skripsi S1 Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2012.

Ratna Noviani, Ratna. Jalan Tengah Memahami Iklan. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Rodzik, Ali Abdul. “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Seda, Frans. Selamat Ulang Tahun ke-70, Jakob. Jakarta: Humanisme dan Kebebasan Pers, 2001.

Siregar, A. dkk. Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa. Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Soehoet, A. M. Hoeta. Dasar-dasar Jurnalistik. Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta IISIP, 2003.

Sugiarto, Atok. Fotobiografi Kartono Riyadi: Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011.

Suhara, Fri. Ilmu Budaya Dasar, Pokok-pokok Perkuliahan untuk Mahasiswa. Bogor: Maharani Press, 1998.

Sularto, St. Kompas Meluncurkan Tim Ombusman. Jakarta: Humanisme dan Kebebasan Pers, 2001.

Sumaatmadja, Nursid. Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Alumni, 1984.

Sumantri, Arga. “Citra Buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik: Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika Edisi 8 Mei 2013.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.

Sutrisno, Edy. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Kencana, 2009. Sunardi, St. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal, 2002.

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006. Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Rosda, 2012.

Soelarko, R. M. Pengantar Foto Jurnalisitk. Jakarta: PT. Karya Nusantara, 1985.

Tumanggor, Rusmin. dkk. Ilmu Sosial & Budaya Dasar Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Wijaya, Taufan. Foto Jurnalistik dalam Dimensi Utuh. Jakarta: CV Sahabat, 2011.

Yunus, Rasid. “Transformasi Nilai-nilai budaya Lokal sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa: Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo.” Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, 2012.

Yunus, Syafrudin. Jurnalistik Terapan. Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2010.

Non Buku

Ali, Mahrus. “Akomodasi Nilai-nilai Budaya Masyarakat Madura mengenai Penyelesaian Carok dalam Hukum Pidana.” Jurnal Universitas Islam Indonesia, 2010.

Atmoko, Bambang Dwi. “Polemik Manipulasi Foto di Dunia Jurnalistik.” Artikel diakses pada 6 Juli 2014 dari http://ruangkamera.com/mrbambang/2012/02/07/polemik-manipulasi-foto-di-dunia-jurnalistik/

“Bedah Buku Belajar Membelah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes).” Media Indonesia, 25 maret 2007.

Blenzinky. “Perjalanan Sejarah Kompas.” Artikel diakses pada 4 Juli 2014 dari www.Kompas.com

Company Profile Surat Kabar Harian Kompas, 2014.

“Foto jurnalisitik Gabungan Gambar dan Kata.” Fotomedia, April 2003: h. 24-25.

Hasby, Eddy. “Teks Foto dalam Foto Jurnalistik.” Artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari www.kompasimages.com

Hyk. “Mudik dan Idul Fitri.” Artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari http://nasional.sindonews.com/read/769918/16/mudik-dan-idul-fitri

“Mudik.” Artikel diakses pada tanggal 14 Juni 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Mudik “Nilai-nilai Budaya.” Artikel diakses pada 4 Juli 2014 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai-nilai_budaya

“Salat Witir.” Artikel diakses pada 26 Juni 2013 dari Id.m.wikipedia.org/wiki/Salat_Tarawih

“Sejarah Kompas.” Artikel diakses pada 4 Juli 2014 dari

http://print.Kompas.com/about/sejarahKompas.html

Sonesson, Goran. “The Interne Semiotics Encyclopedia.” Artikel diakses pada 26 Juni 2014 dari www.arthist.lu.se

Surat Kabar Harian Kompas Edisi 24 Juni 2014.

Wawancara Pribadi dengan Johnny TG (Ketua Desk Foto Kompas). Jakarta, 19 Mei 2014. Wawancara Pribadi dengan Lasti Kurnia (Fotografer Kompas). Jakarta, 6 Juni 2014. “Warna-warni: Memahami Arti Komposisi.” Fotomedia, Juni 1996: h. 13-15.

Nama : Johnny T.G

Pekerjaan : Ketua Desk Foto Harian Kompas

Tempat : Gedung Kompas Gramedia, Jl. Palmerah Barat 33-37 Tanggal : Senin 19 Mei 2014

Pukul : 13.30 WIB

Keterangan : Wawancara untuk data penelitian Nilai Budaya dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Headline Harian Kompas Edisi Ramadan 2013M./1434 H.)

1. Bisa dijelaskan tentang tugas Bapak sebagai ketua desk foto Kompas seperti apa?

Kurang lebih job desknya sama kayak redaktur foto, kalo di Kompas sebutannya aja yang beda. Kalo di Kompas sebutannya ketua desk foto. Saya ertanggung jawab terhadap setiap rubrikasi yang ada di bidangnya dan berkoordinasio dengan Redaksi Pelaksana dan Koordinator Wartawan.

Kalo untuk foto, secara langsung atau tidak langsung, harus lewat saya. Jadi kalau toh itu yang menseleksi orang lain, itu biasanya udah atas persetujuan saya. Biasanya wakil saya. Kalau wakil sekarang dua orang. Saat seleksi foto, saya juga harus melihat dengan hati-hati. Jangan sampai ada sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan dan kriteria yang sudah ditetapkan.

2. Masuk ke cara kerja redaksional ya, Pak. Bisa dijelaskan sedikit?

Kita selalu ngikutin siklus prosedur. Seminggu sekali diadakan rapat setiap hari rabu, sebutannya rapat pagi, yaitu membicarakan fenomena apa yang sedang hangat, sharing ide, kemudian menentukan konsep berita atau foto apa yang akan

diambil. Setelah itu ketemu lagi pada Rapat sore, yaitu menyampaikan hasil laporan dari data yang sudah diliput. Baru lanjut pada proses penulisan besoknya.

3. Dalam peliputan berita, SOP dari Kompas sendiri seperti apa?

Kalau untuk liputan foto, hampir sama dengan berita. Yang pasti tidak boleh cloning. Kloning itu ada yang copy-paste. Kalau untuk fotografer, misalnya saya gak motret nih, trus ada temen yang motret 5 frame, lalu saya minta 1 frame, nanti saya akuin ini punya saya. Itu gak boleh. Kompas gak boleh lah, kalau tempat lain saya gak tahu.

4. Apabila sudah mendapat izin dari yang orang bersangkutan, tetap tidak boleh?

Tidak boleh, kecuali, ada yang namanya pool. Pool itu artinya, di dalam suatu peristiwa, yang diizinkan meliput itu media atau orang tertentu, yang memang diakreditasi sama yang punya hajat. Lalu setelah diakreditasi, media yang diperbolehkan meliput itu, diwajibkan memberi ke media lain. Tapi nanti kreditnya pool. Misalnya dari Antara, karena yang hanya boleh meliput itu dari Antara. Itu beda sama yang cloning tadi. Kita dikasih memang kita gak boleh masuk. Kalau digital kan gampang transfernya, gak seperti dulu.

5. Selain kloning, apakah ada lagi aturan yang tidak tertulis?

Untuk aturan yang gak tertulis itu setting. Setting dalam arti, misalnya acara kan udah selesai, trus bilang “diulang lagi dong Pak” nah itu gak boleh. Tapi kalau “Pak agak geser sedikit, biar bagus” itu gapapa, selama gak mengubah peristiwa yang terjadi dan maknanya. “Pak senyum sedikit” itu gapapa. Jadi sebenarnya kalau

temen-temen sih berusaha senatural mungkin, makanya harus datang lebih awal. Jadi artinya, ketika media lain mensetting, ke kiri, ke kanan, senyum, segala macam, temen-temen Kompas akan mengambil terus, siapa tau akan ada yang lebih menarik. Karena kalau orang disuruh kan jatohnya maksa atau kurang alami. Nanti ketauan,

apalagi sekarang kalau digital itu kan kita bisa buka metadatanya, jadi ketauan. Misalnya yang lain rata-rata jam 3, kok foto dia jam 5 tapi hasilnya sama. Trus kayak tadi, gak boleh menghasut. Misalnya, orang siding di tipikor. Begitu sidang, trus dia kucek-kucek mata, lalu kita kasih judul “menangis”, padahal faktanya dia gak

nangis, matanya ngantuk atau apa kan. Kompas harus lebih teliti. Sama juga, ya mungkin ini bisa dibilang jadi background Kompas, yaitu penempatan porsi berita yang harus kita tahu secara etika. Misalnya kalau RI 2 di depan, RI 1 harus ada di dalam. Kalau RI 1 di atas, RI 2 di bawah. Begitu juga sebaliknya. Bahkan dulu zamannya Pak Harto, gak boleh dia di dalem, foto beliau harus di depan. Kita pernah taro foto Pak Harto di dalem, itu ditelfon sama pihaknya. Gak ada aturannya, pokoknya gak boleh aja. Kalau yang sekarang sih SBY engga, tapi pernah kita buat

Pak Sby, Ibunya nanya, “kok saya gak pernah dimuat?”. Akhirnya pernah satu edisi

itu, Ibunya ada, tapi di dalem.

6. Kita langsung ke headline. Kriteria untuk foto headline di harian Kompas itu apa saja?

Kalau untuk kriteria tertulis ya kita patokannya kode etik jurnalistik. Kayak misalnya foto gak boleh menghasut, mengandung sara, rasis, dan lain-lain. Kalau di Kompas sendiri sih yang pasti harus mempunyai efek kepada masyarakat, entah itu menimbulkan kepekaan, simpati maupun empati. Sifanya harus informatif, memberikan jalan keluar, dan seimbang.

7. Proses apa saja yang dilakukan sebelum foto berita dimuat di halaman surat kabar harian Kompas?

Jadi di meja saya itu, saya punya fasilitas untuk membuka layout. Cuma dikasih kotak aja. Jadi kalau foto warnanya biru, kalau grafis warnanya merah. Mereka membedakan dari kotak-kotak berwarna itu. Jadi kalau warnanya merah,

saya gausah mikir, karena itu sudah pasti design grafis. Tapi kalau kotaknya warna biru, saya bertanggung jawab pada foto. Lalu kotak itu, apakah terkait dengan tulisan atau engga saya baca dulu. Fotonya cocok gak dengan tulisan. Nanti saya pilih foto, kalau harus dicropping nanti saya akan kasih tanda cropping berarti saya nanti pindah ke pengolah foto. Adjuster namanya, pengolah gambar supaya lebih menarik. Dari situ nanti foto dikirim ke bagian layout. Layout itu nanti masang lalu ditempel di kotak yang kosong tadi yang berwana biru itu, kemudian nanti saya lihat lagi, sudah benar atau belum. Jangan-jangan begitu dipasang ga sesuai. Karena kan, foto itu ada cara memotongnya sendiri. Kalau cropping harus tau prosedurnya. Mungkin aja setelah kita kirim sesuai kotak-kotaknya tadi, nanti ternyata begitu dipasang, itu tulisannya jadi panjang, atau tadinya dua kolom di layout jadi tiga kolom. Kalo udah mendapat persetujuan dari saya, baru naik cetak.

8. Apakah angle dalam sebuah foto berita atau ideologi Kompas memengaruhi foto tersebut?

Tentu. Karena kan tiap media punya karakter yang berbeda-beda. Kompas itu sangat strick. Dalam arti, tiap produk yang dihasilkan, baik foto maupun tulisan harus sangat diperhatikan. Hemm... ingat saat Gusdur meninggal gak? Gusdur kan meninggal tgl 30 atau 31 Desember, saya lupa pokoknya menjelang akhir tahun, waktu itu kebetulan saya jaga. saya juga bingung gitu kan foto apa yang mau kita pasang. Kalo foto jenazah Gusdur kan itu pasti orang juga gamau lihat. Orang kan pengen tahu wajahnya. Tapi kalau wajah orang mati dikasih lihat kan juga serem. Akhirnya kita diskusi, terus kita mencoba mengabstraksikan Gusdur itu seperti apa. Kalau dipasang wajahnya aja yang ketawa, ga sopan juga. Lalu kita terfikir bagaimana image Gusdur sebagai Bapak bangsa, pokoknya kan orang melihat dia itu sosok yang dihormati, berkharisma. Trus kita cari-cari, itu kalau dikasihliat

depannya, matanya merem, aneh juga. Akhirnya kita dapet foto yang dia acara pembacaan pusisi atau apa gitu. Dia mau berorasi tapi dia duduk dulu. Itu kita punya pernah ngambil itu. satu badan, artinya dia dalam kondisi duduk, satu badan agak dari samping. Yaudah kita pasang itu dan backgroundnya item. Bunyi. Dapet emas kita. Se-asia, untuk layout. Layoutnya bagus, fotonya bagus vertical, jadi dia fotonya dari perut ke atas. Trus kalo ga salah cuma dua item. Dan kita dapet emas. Tapi itu kan gak gampang ya, coba sekarang kamu mau menggambarkan orang yang sudah mati.

9. Sejauh mana proses editing foto dalam harian Kompas?

Kalau mengedit itu ada 2 pengertiannya. Artinya mengedit di saya sendiri, sama mengedit di bagian pengolah foto atau adjuster. Kalau saya mengedit itu saya gak boleh ganti-ganti nih background segalanya gak boleh. Saya hanya memotong. Misalnya fotonya horizontal tapi tempatnya vertical. Kalau sejauh masih bisa dibuat vertical, dari foto yang horizontal, dan tidak mengubah makna. Nah kalau nanti di pengolah foto itu, di adjuster, dia hanya mengedit terang gelap, tidak lebih. Dia gak boleh merubah suatu foto menjadi makna berbeda. Dia hanya boleh ngasih terang atau gelap. Itu aja. Sama dia menyesuaikan dengan ukuran yang sudah memang jadi patokan dipercetakan. Misalnya untuk warna merah, harus berapa persen. Itu mereka sudah tau, kita sesuaikan itu.

Di luar negeri pernah ada kejadian, fotografernya itu dikeluarin. Jadi dia mengirim foto, lalu diedit sendiri. Foto perang kalau ga salah. Jadi dia ngirim beberapa sequence foto ke koran itu, terus ada yang dia hilangin background. Saat ditelusuri, baru ketauan. Sayangnya itu, medianya kecolongan disitu. Jadi kalau menghilangkan atau menambah, itu tidak boleh.

10.Perbedaan pada Harian Kompas saat bulan Ramadan dengan bulan lain?

Karena yang namanya koran, apalagi harian, kita harus menyediakan data apa yang terjadi sesuai dengan fenomena. Setiap fenomena yang terjadi harus kita respon sebagai produk yang disajikan ke masyarakat. Jadi, kalau saat Ramadan ya sudah pasti hampir semua rubrikasi berkaitan dengan Ramadan. Tak hanya foto, tulisan juga. Pola-polanya pasti terbaca. Event-event tahunan seperti Natal, bulan puasa, tahun baru, itu semua termasuk event berpola.

11.Bagaimana tekhnisnya?

Ada pembentukan tim untuk kordinator liputan. Bagian redaksi membentuk tim liputan khusus hari raya. Jadi, setiap event yang berulang, misalnya Ramadan, Lebaran dan tahun baru dijadikan satu rangkaian waktu. Istilahnya, mereka dapat SK (Surat Keputusan) sekali jalan. Kalau Ramadan, tim dibentuk biasanya terdiri dari satu fotografer dan beberapa reporter, durasinya dari sebelum Ramadan sampai Lebaran. Tapi kalau Natal dan tahun baru, mulainya sebelum Natal sampai selesai tahun baru, karena waktunya berdekatan. Nanti setelah itu ya bubar, masuk lagi ke desk masing-masing. Kalo waktu itu saya tidak termasuk ke dalam tim Ramadan karena urusannya berbeda. Saya urusannya bencana alam, jadi masuknya ke hardnews. Tapi tidak menutup kemungkinan kalau foto atau berita yang naik berasal dari luar tim Ramadan. Nah ini maksud saya bahwa, Kompas itu ga terpaku harus begini-begini. Hanya, tim Ramadan ini, dia punya tugas, bahwa saat bulan Ramadan itu harus ada foto tema Ramadan yang menarik dan berpengaruh bagi banyak orang. Misalnya foto serial atau foto single. Jadi, isu yang sedang terjadi sebisa mungkin dikaitkan dengan Ramadan. Namun Kompas akan tetap menampilkan berita atau foto

Dokumen terkait