• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Pengelolaan perikanan bertujuan untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat berlanjut dalam jangka panjang. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Menurut UU Perikanan No 45 tahun 2009 bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Kaitan dengan pengelolaan perikanan yaitu perlu adanya pengelolaan secara arif, bijaksana, dan terintegrasi karena kompleksitasnya permasalahan.

Sebagaimana dituangkan dalam code of conduct for responsible fisheries

menurut FAO (1995), pengelolaan perikanan harus mengacu pada konsep pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab. Pengelolaan perikanan yang komprehensif harus mempertimbangkan bio-technico-socio-economic approach

yaitu secara biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, secara teknis alat tangkap harus efektif untuk dioperasikan, secara sosial alat tangkap harus dapat diterima oleh masyarakat nelayan, secara ekonomi alat tangkap tersebut harus menguntungkan (Kesteven 1973). Selain itu, Parson (1980)

diacu dalam Merta (1989), menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah

mengawasi atau menyesuaikan operasi-operasi penangkapan (jumlah penangkapan, tipe alat yang dipakai, ukuran ikan yang tertangkap) untuk mengoptimasikan pemanfaatan dari suatu sumber daya. Oleh karenanya, pengelolaan perikanan meliputi tidak saja cara-cara pengaturan yang bersifat pembatas, tetapi rencana-rencana pengembangan yang didasarkan kepada pengetahuan mengenai sumber daya yang tersedia.

Ketersediaan sumber daya bagi pembangunan yang semakin terbatas, eksplorasi, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang dimiliki menjadi penting dan merupakan prioritas perhatian bagi daerah. Sebagai kabupaten yang memiliki sumberdaya perikanan seperti cumi-cumi dan pertambangan laut seperti timah mempunyai potensi besar untuk dijadikan tumpuan (prime mover)

pembangunan ekonomi daerah berbasis sumber daya alam (resource based economy). Sementara itu, kondisi empiris pada Bab V menyatakan bahwa

pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan cumi-cumi masih dihadapkan pada dampak dari aktivitas penambangan timah laut terhadap perikanan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan.

Cumi-cumi (Urotheutis chinensis) merupakan komoditi komersial yang

memiliki karakteristik khusus, sebab cumi-cumi yang mengandung protein dan bermanfaat bagi tubuh manusia, tersedia secara bebas di laut. Chin et al. (2010)

menyatakan bahwa cumi-cumi Urotheuthis (Photololigo) edulis dan Urotheuthis (Photololigo) chinensis (keluarga Loliginidae) adalah spesies ikan komersial

84

penting di banyak wilayah pesisir Asia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, dimana daerah diberi kewenangan untuk mengatur kebijakan pembangunan sesuai karakteristik daerah masing-masing. Pengembangan perikanan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan, merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat potensial. Akan tetapi, karena sumber daya cumi-cumi merupakan jenis sumber daya yang renewable, maka tingkat

pemanfaatannya dan adanya aktivitas penambangan selalu mengancam keberlanjutan sumber daya cumi-cumi tersebut. Menurut Kamaluddin (2002), lingkungan sumberdaya perikanan yang berada pada alam (laut) yang setiap orang bebas memanfaatkannya. Karena laut masih dianggap sebagai wilayah bebas, maka laut tetap dikategorikan sebagai sumber daya bersifat open acces atau

sebagai sumber daya yang setiap individu atau kelompok dengan bebas mengakses sumber dayanya. Menurut (Fauzi 2006), keadaan ini menimbulkan dampak negatif, antara lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik

berupa kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan maupun konflik antar orang yang memanfaatkannya. Oleh karena itu, perlu diatur regulasi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Sumber daya perikanan yang bersifat diperbaharui (renewable) ini menuntut adanya pengelolaan dengan pendekatan

yang bersifat menyeluruh dan hati-hati.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 (tiga) bab sebelumnya, yaitu; 1) kondisi umum perikanan cumi-cumi; 2) potensi sumberdaya perikanan cumi-cumi; dan 3) dampak aktivitas penambangan timah laut terhadap perikanan cumi-cumi dapat dijadikan sebagai dasar dalam menyusun konsep pengelolaan perikanan cumi-cumi berkelanjutan di Wilayah Perairan Kabupaten Bangka Selatan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan konsep pengelolaan perikanan cumi-cumi berkelanjutan di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan metode deskriptif berdasarkan penelitian pada Bab 3 tentang kondisi perikanan cumi-cumi di daerah penambangan dan di luar daerah penambangan timah laut di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan; Bab 4 tentang potensi sumberdaya perikanan cumi- cumi; dan Bab 5 tentang dampak terhadap daerah penangkapan cumi-cumi sebagai akibat aktivitas penambangan timah laut di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan. Berdasarkan metode penelitian yang dideskripsikan pada bab-bab sebelumnya, maka analisis konsep pengelolaan dengan menggunakan diagram alir.

Rumusan konsep pengelolaan perikanan cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan (di daerah penambangan timah maupun di luar daerah penambangan timah) mengacu pada karakteristik sebagai berikut:

1) Sumberdaya perikanan cumi-cumi merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui namun jumlahnya terbatas

85

2) Wilayah pengelolaannya di wilayah daerah penambangan dan di luar daerah penambangan timah laut Kabupaten Bangka Selatan

3) Tujuan pengelolaannya agar kegiatan perikanan cumi-cumi dapat berkelanjutan dan aktivitas penambangan timah laut tetap berlangsung 4) Cakupan pengelolaannya terbatas pada perikanan cumi-cumi

5) Pendekatan pengelolaannya yang diterapkan adalah strategi manajemen terhadap faktor input dan output. Faktor input yaitu jumlah upaya

penangkapan (berdasarkan trip) dan faktor output adalah jumlah hasil

tangkapan.

Hasil Penelitian

Kondisi umum perikanan cumi-cumi: Kegiatan penangkapan cumi-cumi di wilayah perairan daerah penambangan timah menggunakan alat tangkap pancing dan bagan tancap, sedangkan di luar daerah penambangan timah Kabupaten Bangka Selatan menggunakan alat tangkap bagan apung, bagan tancap, dan pancing. Selanjutnya tekologi penangkapan ikan dalam melakukan kegiatan penangkapan cumi-cumi adalah dengan menggunakan alat tangkap pancing, disamping alat tangkap lain seperti bagan tancap dan bagan apung, namun kedua alat tangkap tersebut tidak menangkap secara khusus cumi-cumi.

Di daerah penambangan dan luar daerah penambangan timah Kabupaten Bangka Selatan mengenal dua musim penangkapan ikan yaitu, musim timur dan musim barat. Berdasarkan wawancara dengan nelayan, hasil tangkap cumi-cumi di lokasi tersebut dapat digolongkan menjadi dua musim penangkapan yaitu; musim banyak cumi-cumi (Maret-Oktober) dan musim kurang cumi-cumi (Desember-Februari).

Nilai produksi cumi-cumi tahunan berdasarkan akumulasi dari kedua alat tangkap (pancing dan bagan tancap) untuk daerah penambangan timah dan akumulasi dari ketiga alat tangkap (pancing, bagan apung, dan bagan tancap) di luar daerah penambangan timah Kabupaten Bangka Selatan selama 5 tahun (2009- 2013) cenderung meningkat. Produksi tertinggi untuk luar daerah penambangan timah pada tahun 2013 sebesar 5.228,358 ton dan terendah pada tahun 2009 sebesar 1.631,725 ton. Sedangkan produksi tertinggi pada daerah penambangan timah pada tahun 2011 sebesar 1.416,450 ton dan terendah pada tahun 2010 sebesar 768,075 ton (Gambar 7 dan Lampiran 6).

Rata-rata nilai produksi cumi-cumi tahunan tertinggi berdasarkan alat tangkap di daerah penambangan timah selama kurun waktu 5 tahun (2009-2013) adalah bagan tancap dan kemudian pancing (Gambar 9). Selanjutnya rata-rata nilai produksi cumi-cumi tahunan tertinggi berdasarkan alat tangkap di luar daerah penambangan timah adalah bagan perahu, bagan tancap, dan pancing (Gambar 8). Secara umum nilai produksi cumi-cumi di luar daerah penambangan timah lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah penambangan timah (Gambar 7).

Berdasarkan nilai indeks musim penangkapan (IMP) sebagai indikator pola

musim penangkapan cumi-cumi, maka musim cumi-cumi di wilayah perairan luar daerah penambangan timah laut Kabupaten Bangka Selatan, yaitu pada Musim Peralihan II (September, Oktober, dan November) dan puncak musimnya pada bulan November (Gambar 12). Sedangkan di wilayah perairan daerah

86

penambangan timah laut Kabupaten Bangka Selatan, yaitu pada Musim Barat (Desember, Januar, dan Februari) dan puncak musimnya pada bulan Desember (Gambar 13).

Potensi sumberdaya cumi-cumi: Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan (sustainable) memerlukan suatu kebijakan dalam pengelolaannya,

oleh karena dalam pemanfaatan sumberadaya secara optimal perlu memperhatikan keberlanjutan dari sumberdaya tersebut sehingga generasi mendatang memperoleh nilai manfaat yang paling tidak sama dengan kondisi sekarang dari sumberdaya tersebut.

Produksi cumi-cumi aktual bagan perahu dan bagan tancap di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan selama 5 tahun (2009-2013) meningkat, sedangkan pancing menurun (Gambar 14). Dengan rata-rata produksi tertinggi dihasilkan oleh bagan perahu yaitu sebesar 2.369,02 ton/tahun, kemudian bagan tancap sebesar 8.936,10 ton/tahun, dan pancing sebesar 806,82 ton per tahun.

Perkembangan upaya/effort (trip) penangkapan cumi-cumi aktual bagan

perahu dan bagan tancap di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan selama 5 tahun (2009-2013) meningkat dan mencapai puncak pada tahun 2011, kemudian menurun pada tahun 2012. Sedangkan pancing menurun pada tahun 2010 dan meningkat pada tahun 2011 (Gambar 15).

Penentuan ketiga alat tangkap yaitu; bagan perahu, bagan tancap, dan pancing didasarkan pada kondisi bahwa ketiga alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang dominan digunakan untuk menangkap cumi-cumi di lokasi penelitian. Alat tangkap tersebut memiliki kemampuan tangkap yang berbeda dalam menangkap cumi-cumi, maka diperlukan standarisasi unit fishing effort.

Bagan perahu dijadikan alat tangkap standard, mengingat rasio rata-rata CPUE

dari alat tangkap bagan perahu sebesar 0,451 ton per trip lebih besar dibandingkan alat tangkap bagan tancap 0,20 ton per trip, dan alat tangkap pancing 0,28 ton per trip (Lampiran 14).

Besarnya nilai potensi lestari cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan adalah 47.125,57 ton per tahun, yang dapat ditangkap dengan upaya sebesar 113.840 trip per tahun. Nilai rente ekonomi yang diperoleh pada pengusahaan kondisi MSY adalah sebesar Rp 1.444.332,41 per tahun.

Effort pada rejim pengelolaan MEY, yaitu 110.597,00 trip per tahun lebih

rendah dibandingkan dengan rejim pengelolaan OA dan MSY, yaitu 221.195.00

dan 113.840.00 trip per tahun. Jika dilihat dari tingkat rente ekonomi, nilai MEY

sebesar Rp. 1.445.574,97 merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan rejim pengelolaan MSY, yaitu sebesar Rp. 1.444.332,41.

Laju degradasi sumberdaya cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka selatan diperoleh rata-rata pertahun adalah 0,20. Nilai tersebut menunjukkan bahwa cumi-cumi belum mengalami tekanan yang cukup besar atau belum mengalami degradasi sumberdaya. Namun pada tahun 2012 dan 2013 laju degradasi mengalami peningkatan hingga mencapai batas toleransinya. Tahun 2012 laju degradasi sebesar 0,48616 dan pada tahun 2013 laju degradasi sebesar 0,49749 (Tabel 13 dan Gambar 23). Nilai ini menunjukkan bahwa tahun 2013 dan 2013 cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan mulai mengalami tekanan yang cukup besar atau mulai mengalami kondisi kearah degradasi sumberdaya.

87

Dampak akibat aktivitas penambangan timah terhadap perikanan cumi : Nilai rata-rata suhu perairan luar daerah penambangan timah (29,00 oC) dan

daerah penambangan timah laut (29,43 oC) yang merupakan daerah penangkapan

cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan masih berada pada batas normal suatu perairan sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI) tentang batas suhu normal di daerah laut yaitu berkisar antara 28-320C. Berdasarkan matriks

perbandingan kualitas perairan di luar daerah penambangan dan daerah penambang timah laut, menunjukkan bahwa suhu tidak memberikan pengaruh langsung terhadap daerah penangkapan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan. Suhu di kedua lokasi penelitian masih berada pada batas normal suatu perairan sesuai dengan SNI tentang batas suhu normal di daerah laut yaitu berkisar antara

28-320C (Tabel 17).

Rata-rata salinitas perairan di luar daerah penambangan timah laut sebesar 27,44‰ dan di daerah penambangan timah laut sebesar 34,39‰. Nilai rata-rata salinitas tersebut masih berada di batas normal suatu perairan laut sesuai dengan Kepmen. LH Nomor 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut yaitu 33-34o/oo. Berdasarkan matriks perbandingan kualitas perairan di luar daerah

penambangan dan daerah penambang timah laut, menunjukkan bahwa salinitas tidak memberikan pengaruh langsung (dampak negatif) terhadap daerah penangkapan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan (Tabel 17).

Rata-rata kecepatan arus di luar daerah penambangan timah laut sebesar 0,23 cm/detik dan di daerah penambangan timah laut sebesar 0,11 cm/detik. Hal tersebut menunjukkan arus di daerah penelitian relatif lemah. Ini disebabkan di daerah penelitian merupakan perairan tertutup gugusan Pulau Lepar dan Pulau Pongok serta perairan selat yang relatif sempit. Berdasarkan matriks perbandingan kualitas perairan di luar daerah penambangan dan daerah penambang timah laut, menunjukkan bahwa arus tidak memberikan pengaruh langsung terhadap daerah penangkapan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan (Tabel 17).

Rata-rata Kecerahan di perairan luar daerah penambangan timah laut sebesar 2,16 m dan di perairan daerah penambangan timah laut sebesar 0,74 m. Rata-rata kecerahan di kedua lokasi tersebut jika dibandingkan dengan baku mutu lingkungan SNI 05-2413-1991 tentang kecerahan yaitu sebesar > 5 meter masih sangat jauh di bawah angka standar. Berdasarkan matriks perbandingan kualitas perairan di luar daerah penambangan dan daerah penambang timah laut, menunjukkan bahwa kecerahan memberikan pengaruh langsung (dampak negatif) terhadap daerah penangkapan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan (Tabel 17).

Rata-rata TSS di perairan luar daerah penambangan timah laut sebesar

566,44 mg/l dan di perairan daerah penambangan timah laut sebesar 911,83 mg/l. Secara umum nilai TSS di kedua lokasi penelitian telah melebihi baku mutu untuk

lokasi habitat terumbu karang (>20 mg/l). Berdasarkan matriks perbandingan kualitas perairan di luar daerah penambangan dan daerah penambang timah laut, menunjukkan bahwa TSS memberikan pengaruh langsung (dampak negatif)

terhadap daerah penangkapan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan (Tabel 17).

Rata-rata DO di perairan luar daerah penambangan timah laut sebesar 5,30

mg/l dan di perairan daerah penambangan timah laut sebesar 4,63 mg/l. Berdasarkan matriks perbandingan kualitas perairan di luar daerah penambangan

88

dan daerah penambang timah laut, menunjukkan bahwa DO memberikan

pengaruh langsung (dampak negatif) terhadap daerah penangkapan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan, khususnya untuk DO di daerah penambangan timah

laut (Tabel 17). Hal ini disebabkan nilai rata-rata DO di daerah penambangan timah laut masih berada di atas rata-rata nilai minimal DO air laut SNI 06-6989.

14-2004 yaitu >5 mg/l, sehingga diduga mempengaruhi kelimpahan dan daerah penyebaran cumi-cumi serta daerah penangkapan cumi-cumi.

Kandungan nilai Pb dan Fe pada daerah penangkapan cumi-cumi yang

terdapat di daerah penambangan timah laut sudah melebihi ambang batas merujuk pada standar baku mutu lingkungan Kep 51/MENLH/2004, sehingga dapat mempengaruhi cumi-cumi tersebut . Berdasarkan nilai rata-rata dari logam berat

Pb dan Fe yang terdapat pada air laut, sedimen, plankton, cumi di daerah

penambangan timah laut menunjukkan bahwa telah terjadi bioakumulasi. Bioakumulas terjadi pada logam berat timbal (Pb) di sedimen dengan nilai

bioakumulasi sebesar 1,32 mg/l, di plankton dengan nilai bioakumulasi sebesar 1,06 mg/l, dan di insang cumi-cumi dengan nilai bioakumulasi sebesar 1,78. Sedangkan bioakumulasi yang terjadi pada logam berat besi (Fe) di sedimen

sebesar 55,96 mg/l dan di plankton sebesar 1,83 mg/l (Tabel 18). Dalam proses biologi pada air yang tercemar, bahan pencemar akan memasuki tubuh biota air melalui mekanisme penyerapan aktif (absorbsi dan regulasi ion) dan rantai makanan. Adanya Pb dan Fe dalam peredaran darah dan otak dapat menyebabkan

gangguan sintesis hemoglobin darah, gangguan neurologi (susunan syaraf), gangguan pada ginjal, sistem reproduksi, penyakit akut atau kronik sistem syaraf, dan gangguan fungsi paru-paru. Jika kandungan yang masuk ke tubuh cumi-cumi sudah melebihi ambang batas maka akan bersifat toksik sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan stok dan pada akhirnya dapat mempengaruhi jumlah hasil tangkapan cumi-cumi.

Konsep pengelolaan perikanan cumi-cumi: Konsep pengelolaan perikanan cumi-cumi di luar daerah penambangan dan daerah penambangan timah laut Kabupaten Bangka Selatan digambarkan dalam bentuk atau pola pemanfaatan terhadap sumberdaya cumi-cumi dan bukan merupakan pemodelan atau model matematik.

Secara umum pengelolaan perikanan cumi-cumi berkelanjutan memiliki arti penting dalam dunia perikanan tangkap karena berkaitan dengan lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan laut. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan cumi-cumi dikaitkan dengan aspek teknis yaitu kondisi perikanan cumi-cumi, aspek biologi seperti potensi perikanan cumi-cumi dan aspek lingkungan seperti dampak aktivitas lingkungan (penambangan timah) terhadap perikanan cumi- cumi. Konsep pengelolaan perikanan cumi-cumi berkelanjutan dapat dilakukan dalam 6 cara, yaitu : (1) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi; (2) pengaturan daerah penangkapan cumi-cumi; (3) meningkatkan stok cumi-cumi melalui pengelolaan daerah konservasi fishing ground di luar daerah

penambangan dan daerah penambangan timah; (4) Konsistensi pelaksanaan

monitoring, controlling dan law enforcement (penegakkan hukum); (5)

Pengendalian dampak pencemaran dan penerapan good mining practice.

Cara (1) dan (2) mengacu pada penelitian Bab 3, dimana selama kurun waktu 5 tahun (2009-2013) perkembangan produksi cumi-cumi, mengalami

89

kecenderungan trend meningkat dan mencapai puncak pada tahun 2011, kemudian menurun (Gambar 7) namun effort menunjukkan trend yang meningkat (Gambar

10 dan 11). Sehingga dengan demikian penambahan unit armada masih berpengaruh terhadap penurunan produksi hasil tangkapan. Oleh karena itu guna mempertahankan keberlanjutan sumberdaya cumi-cumi dan peningkatan produksi cumi-cumi adalah dengan mengatur upaya penangkapan cumi-cumi dan daerah penangkapan baik di luar daerah penambangan timah maupun daerah penambangan timah laut dengan memperhatikan ketersediaan sumberdaya cumi- cumi.

Cara (3) dan (4) mengacu pada penelitian Bab 4. Potensi perikanan cumi berpengaruh pada tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan (sustainable) diperlukan suatu kebijakan dalam pengelolaannya,

oleh karena itu dalam pemanfaatan sumberdaya dilakukan secara optimal pada masa sekarang supaya generasi mendatang memperoleh nilai manfaat yang paling tidak sama dengan kondisi sekarang dari sumberdaya tersebut. Rata-rata produksi aktual dari pemanfaatan sumberdaya perikanan cumi-cumi dari hasil standarisasi ke bagan perahu sebanyak 4.963,06 ton per tahun, dengan jumlah effort sebanyak

103.613trip per tahun.

Cara (5) mengacu pada penelitian Bab 5. Kandungan logam berat seperti timbal (Pb) dan besi (Fe) sebagai dampak akibat aktivitas penambangan timah

terhadap perikanan cumi-cumi menunjukkan bahwa kandungan Pb dan Fe air laut

di daerah penambangan timah lebih tinggi dibandingkan dengan di luar daerah penambangan timah dan di ambang batas baku mutu lingkungan yaitu sebesar 0,08 mg/l. Kandungan Fe pada air laut di daerah penambangan timah lebih tinggi

dibandingkan dengan kandungan Pb air laut dengan rata-rata 0,311 mg/l dan 0,11

mg/l. Kandungan logam Fe di air laut lebih tinggi dari kandungan logam Pb di air

laut. Logam Fe di air laut berada pada kisaran 0,107 mg/l – 0,740 mg/l.

Sedangkan kandungan Pb di air laut berada pada kisaran 0,085 mg/l – 0,135 mg/l.

Kandungan Fe pada air laut di luar daerah penambangan timah lebih tinggi

dibandingkan dengan kandungan Pb air laut dengan rata-rata 0,067 mg/l dan

0,055 mg/l. Kandungan logam Fe di air laut lebih tinggi dari kandungan logam Pb

di air laut. Logam Fe di air laut berada pada kisaran 0,0478 mg/l – 0,099 mg/l.

Sedangkan kandungan Pb di air laut berada pada kisaran 0,0184 mg/l – 0,0946

mg/l.

Kandungan Fe pada sedimen di daerah penambangan timah lebih tinggi

dibandingkan dengan kandungan Pb air laut dengan rata-rata 0,148 mg/l dan

17,457 mg/l. Kandungan logam Fe di air laut lebih tinggi dari kandungan logam Pb di air laut. Logam Fe di air laut berada pada kisaran 8,62 mg/l – 21,92 mg/l.

Sedangkan kandungan Pb di air laut berada pada kisaran 0,092 mg/l – 0,199 mg/l.

Kandungan Fe pada sedimen di daerah penambangan timah lebih tinggi

dibandingkan dengan kandungan Pb air laut dengan rata-rata 0,108 mg/l dan

11,314 mg/l. Kandungan logam Fe di air laut lebih tinggi dari kandungan logam Pb di air laut. Logam Fe di air laut berada pada kisaran 0,057 mg/l – 18,93 mg/l.

Sedangkan kandungan Pb di air laut berada pada kisaran 0,092 mg/l – 0,0185

mg/l.

Kandungan Pb pada plankton daerah terdapat penambangan dan luar daerah

90

kandungan Fe plankton di daerah terdapat penambangan dan luar daerah

penambangan adalah 0,111 mg/l dan 0,343 mg/l.

Bioakumulasi terjadi pada Pb di insang cumi-cumi dengan nilai

bioakumulasi sebesar 1,77 mg/l dan sedangkan Fe pada insang dan ginjal cumi-

cumi menunjukkan nilai yang lebih kecil dari 1. Besarnya kemampuan plankton dalam mengakumulasi logam ini akan berdampak pada kandungan logam yang ada pada tingkat rantai makanan yang lebih tinggi seperti ikan herbivor, ikan karnivor, ikan omnivor dan moluska lainnya seperti cumi-cumi yang merupakan predator yang pada akhir sampai pada tingkat tropik yang lebih tinggi.

Berdasarkan komponen perikanan cumi-cumi yang dikaji serta keterkaitan antara berbagai komponen tersebut, maka dihasilkan konsep pengelolaan yang nantinya sangat berguna dan diharapkan akan menjadi acuan dalam pengelolaan perikanan cumi-cumi berkelanjutan di perairan Kabupaten Bangka Selatan baik di luar daerah penambangan timah maupun daerah penambangan timah.

Beberapa konsep kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang dihasilkan dari pola pemanfaatan sumberdaya perikanan cumi-cumi di wilayah perairan luar daerah penambangan dan daerah penambangan timah laut Kabupaten Bangka Selatan seperti yang di sajikan pada Gambar 45, adalah sebagai berikut:

Langkah pertama adalah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi melalui pengaturan musim penangkapan, pengembangan teknologi penangkapan dan peningkatan kopetensi nelayan. Pengaturan musim penangkapan pada daerah penambangan timah yaitu musim barat (Desember, Januari dan Februari) dan

Dokumen terkait