• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cumi-cumi (Urotheutis chinensis) merupakan sumberdaya perikanan

bernilai ekonomis tinggi dan komoditas unggulan perikanan Kabupaten Bangka Selatan yang ditangkap dengan menggunakan bagan perahu, bagan tancap, dan pancing. Populasi cumi-cumi di perairan Kabupaten Bangka Selatan ada indikasi semakin hari kian terancam keberadaanya, karena adanya intensitas pencemaran yang disebabkan oleh adanya aktivitas penambangan timah di laut. Selain itu pengaruh limbah dari aktivitas penambangan timah di laut tersebut diduga juga dapat merusak ekosistem laut.

Selain aktivitas eksploitasi penambangan timah di laut, tekanan dari aktivitas penangkapan cumi-cumi yang intensif oleh nelayan juga secara langsung dapat mempengaruhi keberadaan sumberdaya cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan. Hal ini disebabkan laju pertumbuhan alami sumberdaya cumi-cumi tidak sejalan dengan eksploitasi penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Untuk menjaga dan mempertahankan keberadaan sumberdaya cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, maka perlu dilakukan pengkajian secara menyeluruh yang berkaitan dengan keberdaan sumberdaya cumi-cumi. Adapun kajian yang perlu dilakukan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan, yaitu kajian yang berkaitan dengan analisis biotenik dan analisis bioekonomi.

Analisis bioteknik digunakan untuk mengetahui kondisi potensi sumberdaya cumi-cumi dari tingkat upaya penangkapan serta untuk mengetahui apakah pengoperasian unit penangkapan (bagan perahu, bagan tancap, dan pancing) telah optimum pengoperasiannya. Selanjutnya untuk menetapkan tingkat upaya pemanfaatan maksimum lestari cumi-cumi secara ekonomi, maka digunakan analisis bioekonomi. Pendekatan ini dilakukan untuk memaksimumkan keuntungan.

Upaya mempertahankan ketersediaan dan kesinambungan sumberdaya cumi-cumi perlu dilakukan pendekatan kehati-hatian sehingga keberlanjutan sumberdaya cumi-cumi secara ekologi dapat dipertahankan. Oleh karena itu dalam eksploitasi sumberdaya cumi-cumi diperlukan potensi dugaan sumberdaya perikanan cumi-cumi yang dapat memberikan gambaran mengenai tingkat dan batas maksimum dalam pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan, sehingga pengeloaan penangkapan perikanan cumi- cumi dapat direncanakan sedemikian rupa dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pada dasarnya secara ekologi, kegiatan perikanan cumi-cumi dapat dilaksanakan dan berkelanjutan apabila komponen yang merupakan persyaratan pokok dapat dipenuhi. Persyaratan tersebut diantaranya adalah terjaminnya tingkat pertumbuhan (r), terjaganya daya dukung lingkungan perairan (K), dan tingkat

pemanfaatan koefisien daya tangkap (q) yang terkendali.

Upaya keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan dihadapkan pada beberapa permasalahan yang dapat menjadi faktor penghambat keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tersebut di masa akan datang. Permasalahan yang dimaksud mencakup belum

46

adanya informasi akurat mengenai potensi sumberdaya cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan. Oleh karena perlu adanya kajian mengenai potensi lestari, tingkat pemanfaatan eksisting, dan prediksi peluang pengembangan ke depan. Hasil kajian ini selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka mencegah terjadinya degredasi sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan.

Tujuan

(1) Menganalisis potensi sumberdaya cumi-cumi dan peluang pengembangan usaha penangkapan cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan.

(2) Menganalisis laju degradasi sumberdaya cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis metode survey. Metode deskriftif tujuannya untuk membuat pecandraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu dan biasanya metode penelitian ini menggunakan istilah metode penelitian survei (Suryabrata 2008). Menurut Sulistyo dan Basuki (2006) metode survei ini berkaitan dengan mengumpulkan data tentang perulangan atau kejadian peristiwa atau masalah dalam berbagai situasi dan lingkungan dan alat survei yang digunakan adalah kuesioner.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian merupakan data crossextion yang

meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung di lapangan melalui pengamatan mengenai trip dan produksi penangkapan cumi- cumi. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran pustaka. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data berkala (time series) hasil dan upaya

penangkapan. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Selatan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung. Penjelasan rinci dari metode pengumpulan data dan analisis data pada setiap tahapan penelitian telah dijelaskan pada Bab 2 Metodologi Umum.

Analisis Data

Potensi sumber daya cumi-Cumi : Input yang digunakan adalah jumlah trip

penangkapan dari semua jenis alat tangkap dengan indeks penangkapan yang telah distandardisasi. Standardisasi alat tangkap pada penelitian ini menggunakan persamaan Tai dan Heaps (1996) yang diacu dalam Bintoro (2005). Standarisasi dimaksudkan untuk menyeragamkan kemampuan tangkap bagan perahu, bagan tancap, dan pancing. Ketiga alat tangkap tersebut digunakan nelayan di Kabupaten Bangka Selatan untuk menangkap cumi-cumi. Standarisasi

perlu dilakukan karena kemampuan dari ketiga alat tangkap tersebut berbeda dalam menangkap cumi-cumi. Hal ini tergantung pada dimensi alat, metode pengoperasian, alat bantu, dan faktor-faktor lainnya. Dalam proses standarisasi

47

ditentukan alat tangkap standar berdasarkan kriteria nilai CPUE rata-rata

tertinggi. Penggunaan kriteria tersebut didasarkan pada hipotesis bahwa alat tangkap yang memiliki nilai CPUE rata-rata terbesar pasti memiliki kemampuan

tangkap yang lebih baik dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Perbandingan kemampuan tangkap antar alat tangkap selanjutnya dinyatakan dalam bentuk indeks yang disebut fishing power index (FPI). Output akhir dari proses

standarisasi adalah diperolehnya nilai CPUE standar dan nilai effort standar.

Nilai-nilai tersebut akan menjadi input bagi perhitungan parameter biologi

selanjutnya.

Terjadi atau tidak gejala penangkapan lebih (biological overfishing) dapat

dianalisis dengan menggunakan analisis bio-teknik. Analisis bio-teknis didekati menggunakan metode surplus produksi dari Schaefer (1954). Metode surplus produksi merupakan salah satu metode untuk menentukan tingkat upaya penangkapan optimum, yaitu kegiatan penangkapan yang menghasilkan tangkapan maksimum tanpa mempengaruhi produktivitas populasi sumberdaya dalam waktu panjang. Hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan dilihat dengan menggunakan metode surplus produksi Schaefer. Metode produksi Schaefer yang menghubungkan antara upaya tangkap (E) dengan hasil tangkapan

per upaya (CPUE), diperoleh dari hubungan antara upaya tangkap (E) dengan

hasil tangkapan (h) yang kedua sisanya dibagi dengan upaya tangkap (E).

Model bio-ekonomi penangkapan dalam penelitian ini diduga menggunakan model Gordon Schaefer, dengan berdasarkan pada model biologi Schaefer (1954)

dan model ekonomi Gordon (1954). Model bioekonomi yang digunakan adalah model bio-ekonomi statik dengan harga tetap. Model ini disusun dari model parameter biologi, biaya penangkapan dan harga ikan yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh merupakan selisih antara total penerimaan (total revenue) dan total biaya yang digunakan (total cost). Total penerimaan terdiri atas komponen harga rata-rata cumi-cumi (Rp) dan

hasil tangkapan (Rp) sedangkan total biaya didapatkan dari biaya penangkapan per satuan upaya (Rp) dan upaya penangkapan (trip).

Laju degredasi: Analisis degradasi merupakan penurunan kualitas atau kuantitas sumberdaya alam dapat diperbarukan (renewable resources). Dalam hal ini,

kemampuan alami sumberdaya alam dapat diperbarukan untuk beregenerasi sesuai kapasitas produksinya berkurang. Kondisi ini dapat terjadi baik karena kondisi alami maupun karena pengaruh aktivitas manusia.

Pada sumberdaya alam pesisir dan laut, kebanyakan degradasi terjadi karena ulah manusia (anthropogenic), baik berupa aktivitas produksi

(eksploitasi/penangkapan, pertambangan), maupun karena aktivitas nonproduksi, seperti pencemaran akibat limbah domestik mau pun industri (Fauzi dan Anna 2005). Laju degredasi sumberdaya perikanan ini secara matematis dapat ditentukan dengan memanfaatkan hasil penelitian Anna (2003). Sumberdaya perikanan sangat rentan mengalami degradasi akibat adanya aktivitas pemanfaatan terhadap sumberdaya perikanan tersebut (upaya penangkapan cumi-cumi).

48

Hasil Penelitian

Potensi sumberdaya cumi-cumi: Perkembangan produksi cumi-cumi aktual bagan perahu dan bagan tancap di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan selama 5 tahun (2009-2013) meningkat, sedangkan pancing menurun. Produksi cumi-cumi aktual bagan perahu tertinggi pada tahun 2013 sebesar 3.814,90 ton dan terendah pada tahun 2009 sebesar 115,00 ton, dengan rata-rata produksi sebesar 2.369,02 ton. Selanjutnya produksi cumi-cumi aktual bagan tancap tertinggi pada tahun 2013 sebesar 2.252,80 ton dan terendah pada tahun 2009 sebesar 344,00 ton, dengan rata-rata produksi sebesar 8.936,10 ton. Sedangkan produksi cumi-cumi aktual pancing tertinggi pada tahun 2009 sebesar 2.545,00 ton dengan rata-rata produksi sebesar 806,82 ton (Gambar 15 dan Lampiran 12).

- 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 2009 2010 2011 2012 2013 Pr od uks i000 (ton ) Tahun

Bagan Perahu Bagan Tancap Pancing

Gambar 15 Perkembangan produksi cumi-cumi aktual bagan perahu, bagan tancap, dan pancing di Kabupaten Bangka Selatan, Tahun 2009-2013 Perkembangan upaya/effort (trip) penangkapan cumi-cumi aktual bagan

perahu dan bagan tancap di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan selama 5 tahun (2009-2013) meningkat dan mencapai puncak pada tahun 2011, kemudian menurun pada tahun 2012. Sedangkan pancing menurun pada tahun 2010 dan meningkat pada tahun 2011. Upaya/effort (trip) penangkapan cumi-cumi bagan

perahu tertinggi pada tahun 2011 sebesar 64.652 trip dan terendah pada tahun 2013 sebesar 2.487 trip. Selanjutnya upaya/effort (trip) bagan tancap tertinggi

pada tahun 2011 sebesar 2.590 trip dan terendah pada tahun 2009 sebesar 344 trip. Sedangkan upaya/effort (trip) pancing tertinggi pada tahun 2009 sebesar 195.238

49 0 25 50 75 100 125 150 175 200 2009 2010 2011 2012 2013 E ff or t 000 (tr ip) Tahun

Bagan Perahu Bagan Tancap Pancing

Gambar 16 Perkembangan upaya/effort (trip) penangkapan cumi-cumi aktual

bagan perahu, bagan tancap, dan pancing di Kabupaten Bangka Selatan, Tahun 2009-2013

Upaya/effort (trip) standar dilakukan dengan menggunakan jumlah trip per

tahun selama 5 tahun (2009-2013) dari 3 (tiga) alat tangkap yaitu bagan perahu, bagan tancap, dan pancing yang distandarisasikan ke alat tangkap bagan perahu. Penentuan ketiga alat tangkap tersebut didasarkan pada kondisi bahwa ketiga alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang dominan digunakan untuk menangkap cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan. Bagan perahu dijadikan alat tangkap standar karena nilai rata-rata CPUE bagan perahu sebesar

0,451 ton/trip lebih besar dibandingkan dengan bagan tancap sebesar 0,20 ton/trip, dan pancing sebesar 0.28 ton/trip (Lampiran 13). Perkembangan total CPUE

standar selama 5 tahun (2009-2013) meningkat, dimana total CPUE standar

tertinggi pada tahun 2013 sebesar 1,534 ton/trip dan terendah pada tahun 2009 sebesar 0,010 ton/trip (Gambar 17 dan Lampiran 14).

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2009 2010 2011 2012 2013 CP U E St an da r (t on /tri p) Tahun

Gambar 17 Perkembangan total CPUE standar di wilayah perairan Kabupaten

50

Perkembangan total upaya/effort standar selama 5 tahun (2009-2013) di

wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan menurun pada tahun 2010 dan kemudian meningkat pada tahun 2011. Total upaya/standar tertinggi pada tahun 2009 sebesar 297.788 trip dan terendah pada tahun 2013 sebesar 4.242 trip (Gambar 18 dan Lampiran 14).

0 50 100 150 200 250 300 2009 2010 2011 2012 2013 Ef fo rt St an da rt 00 0 (tr ip ) Tahun

Gambar 18 Perkembangan total upaya atau effort (trip) standar di wilayah

perairan Kabupaten Bangka Selatan, Tahun 2009-2013

Hubungan antara CPUE dan effort yang digambarkan oleh persamaan

regresi Y = -0,000004x + 0,8279 (Gambar 19), dapat diartikan bahwa jika

dilakukan peningkatan upaya penangkapan sebesar satu trip, maka akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan sebesar 0,000004 ton/trip. Nilai R2 sebesar 0,4399 yang menandakan bahwa data hanya dapat menjelaskan 43,99% dari fakta. Apabila nilai R2 semakin mendekati 100%, maka data akan semakin

mendekati keadaan sebenarnya.

y = -4E-06x + 0.8279 R² = 0.4399 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 C P U E St an da r (ton )

Upaya/Effort Standar (trip)

Gambar 19 Hubungan antara CPUE standar dengan upaya/effort standar tahunan

51

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi Schaefer dimana hmsy= α²/4β dan Emsy = α/2β, maka diperoleh nilai produksi lestari (hmsy) sebesar 47.125,57 ton, dan effort (Emsy) sebesar 113.840 trip (Gambar 20). Sedangkan tingkat produksi dan effort aktual cumi-cumi diperoleh

rata-rata sebesar 4.963,06 per tahun dan 103.613 trip per tahun.

Gambar 20 Kurva MSY cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka

Selatan

Penggunaan suatu metode untuk menentukan parameter biologi tergantung dari ketersediaan data yang baik dan lengkap. Penggunaan metode OLS di dalam

model Walter-Hilborn-Schnute dan Clark-Yoshimoto-Pooley mensyaratkan data harus stasioner. Apabila data yang digunakan tidak baik, maka akan menghasilkan model yang tidak best fit. Model Schaefer merupakan cara sederhana dan paling

bisa diterima untuk perikanan di Negara berkembang seperti Indonesia (Fauzi 2004). Dalam model Schaefer parameter-parameter biologi K (daya dukung), q

(koefisien daya tangkap), dan r (pertumbuhan intrinsik) dapat dicari dengan

menggunakan metode algoritma Fox (Lampiran 16). Hasil dari perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Hasil estimasi parameter biologi cumi-cumi

Parameter Biologi

r (ton/tahun) q (ton/trip) K (ton/tahun)

18,00 0,00008 10.470,74

Berdasarkan estimasi parameter biologi pada Tabel 10, dihasilkan nilai koefisien pertumbuhan intrinsik atau alami (r) sumberdaya cumi-cumi sebesar

18,00 yang berarti sumberdaya cumi-cumi akan tumbuh secara alami tanpa ada gangguan dari alam maupun kegiatan manusia dengan koefisien/laju sebesar 18,00 ton/tahun. Nilai koefisien daya tangkap (q) cumi-cumi sebesar 0,00008, ini

52

meningkatkan sebesar 0,00008 ton/trip terhadap hasil tangkapan sumberdaya cumi-cumi. Nilai koefisien daya dukung lingkungan perairan (K) sebesar

10.470,74 ini menunjukkan bahwa lingkungan dapat mendukung produksi sumberdaya cumi-cumi sebesar 10.470,74 ton/tahun dari aspek biologinya, diantaranya kelimpahan makanan, pertumbuhan populasi, dan ukuran cumi-cumi.

Hasil ketiga parameter biologi tersebut sangat berguna dalam menentukan tingkat produksi lestari, seperti MSY, MEY dan open access. Berdasarkan nilai

parameter biologi pada Tabel 10, maka dapat dihitung nilai produksi lestari. Produksi lestari merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan effort dalam

bentuk kuadratik, dimana tingkat effort maupun hasil tangkapan yang diperoleh

tidak akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan.

Total rata-rata nilai produksi lestari cumi-cumi selama periode tahun 2009- 2013 sebesar 134.702,17 ton lebih besar dibandingkan dengan rata-rata produksi aktual Hal ini menunjukkan bahwa produksi sumberdaya cumi-cumi di perairan Bangka Selatan belum mencapai titik maksimum daya dukung lingkungan perairan untuk mendukung produksinya. Dilihat dari nilai produksi aktual tahun 2009-2013 sebagian besar kondisinya belum mengalami biological overfishing.

Namun pada

tahun 2014 dan 2015 telah terindikasi overfishing secara biologi, karena nilai

produksi aktual pada tahun tersebut telah melewati batas nilai produksi lestari (Tabel 11 dan Gambar 22).

Tabel 11 Hasil estimasi produksi lestari

Tahun Produksi Aktual (ton) Produksi Lestari (ton) Effort Aktual (trip)

2009 3.004,00 322.464,83 297.788 2010 3.267,00 23.742,81 80.804 2011 6.137,20 57.506,80 125.755 2012 5.899,90 326,65 9.478 2013 6.507,20 65,44 4.242 Jumlah 24.815,30 404.106,52 518.067 Rata-rata 4.963,06 134.702,17 103.613 0 50 100 150 200 250 300 350 2009 2010 2011 2012 2013 Pt od uk si 00 0 (to n) Tahun

Produksi Aktual Produksi Lestari

Gambar 21 Produksi aktual dan lestari sumber daya cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan

53

Analisis bio-ekonomi ditujukan untuk menentukan tingkat pengusahaan maksimum bagi pelaku perikanan. Perkembangan usaha perikanan cumi-cumi tidak dapat lepas dari faktor ekonomi yang mempengaruhinya antara lain biaya penangkapan, harga ikan dan discount rate. Model bio-ekonomi merupakan salah

satu alternatif pengelolaan yang dapat diterapkan demi upaya optimalisasi pengusahaan sumberdaya perikanan cumi-cumi yang berkelanjutan.

Analisis biekonomi statik pada rejim pengelolaan sumberdaya cumi-cumi pada kondisi sole owner (MEY), open access (OA) dan maximum sustainable yield

(MEY) pada tahun 2009-2013 menunjukkan kondisi biomassa sumberdaya cumi-

cumi pada kondisi MSY sebesar 5.235,37 ton per tahun. Kondisi biomassa

sumberdaya cumi tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi OA

sebesar 298,24 ton per tahun akan tetapi lebih rendah apabila dibandingkan dengan biomass dengan estimasi MEY yang sebesar 5.384,49 ton per tahun. Hasil

perhitungan menunjukkan bahwa pengusahaan sumberdaya yang dibatasi pada kondisi MEY akan memberikan keuntungan yang maksimum. Besarnya upaya

pemanfaatan maksimum lestari secara ekonomi (EMEY) sebesar 110.597,27 trip dengan rente ekonomi yang diperoleh sebesar Rp 144.736.690.700.

Produksi (h) yang didapat pada kondisi MSY sebesar 47.125,57 ton. Hasil

tangkapan ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil tangkapan yang didapat pada kondisi pengelolaan OA sebesar 5.216,22 ton dan kondisi pengelolaan MEY

sebesar 47.087,34 ton. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi sumberdaya cumi-cumi masih lestari. Hal ini dikarenakan hasil tangkapan cumi- cumi pada kondisi MSY adalah kondisi hasil tangkapan yang maksimum lestari.

Pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan diduga belum terjadi economic overfishing, karena pada kondisi aktual effort yang diupayakan

sebanyak 103.613,00 trip per tahun lebih kecil dibandingkan dengan effort pada

kondisi MSY (113.839,79 trip), MEY (110.597,27 trip) dan OA (221.194,53 trip)

Tabel 12 dan Gambar 22.

Tabel 12 Analisis bio-ekonomi model statik pada rejim pengelolaan sumberdaya cumi-cumi

Parameter MEY MSY OA Aktual

x (ton) 5.384,49 5.235,37 298,24 -

h (ton) 47.087,34 47.125,57 5.216,22 4.963,06

E (trip) 110.597,00 113.840.00 221.195,00 103.613,00

Π (Rp) 1.445.574,97 1.444.332,41 - 81.888,48

Kondisi MSY merupakan batas dari pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi

yang dapat dilakukan tanpa mengganggu kelestariannya untuk tumbuh kembali. Pada kondisi ini merupakan kondisi maksimum lestari, yang apabila hasil tangkapan aktual lebih besar dari pada kondisi ini akan menyebabkan hasil tangkapan cumi-cumi menjadi tidak sustainable.

Besarnya nilai potensi lestari cumi-cumi di di Kabupaten Bangka Selatan adalah 47.125,57 ton per tahun, yang dapat ditangkap dengan upaya sebesar 113.840 trip per tahun. Nilai rente ekonomi yang diperoleh pada pengusahaan kondisi MSY adalah sebesar Rp 1.444.332,41 per tahun. Perbandingan hasil

tangkapan cumi-cumi pada kondisi MSY dengan hasil tangkapan pada kondisi

aktual menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pada kondisi aktual hasil tangkapan cumi-cumi yang diperoleh yaitu sebesar 4.963,06 ton per tahun,

54

sedangkan pada hasil tangkapan lestari adalah 47.125,57 ton. Jika dilihat dari besarnya tingkat upaya yang dilakukan, dapat terlihat bahwa pada upaya lestari sebesar 113.840.00 trip/tahun sangat berbeda jauh bila dibandingkan pada kondisi aktual yaitu sebesar 103.613,00 trip/tahun.

Gambar 22 Hubungan antara hasil lestari cumi-cumi dengan upaya penangkapan di Kabupaten Bangka Selatan

Kondisi MEY atau kondisi optimal secara statik merupakan kondisi ideal

untuk pemanfaatan sumberdaya ikan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa

effort pada rejim pengelolaan MEY, yaitu 110.597,00 trip/tahun lebih rendah

dibandingkan dengan rejim pengelolaan OA dan MSY, yaitu 221.195.00 dan

113.840.00 trip/tahun. Jika dilihat dari tingkat rente ekonomi, nilai MEY sebesar

Rp. 1.445.574,97 merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan rejim pengelolaan MSY, yaitu sebesar Rp. 1.444.332,41. Dengan kata lain nilai rente

ekonomi MEY berada pada kondisi maksimum. Hal tersebut menunjukkan bahwa

pada tingkat produksi ini tingkat upaya penangkapan sudah dilakukan dengan efisien, sehingga diperoleh hasil tangkapan yang lebih baik dan kemudian diikuti oleh pencapaian rente ekonomi maksimum.

Pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi oleh kondisi MEY (terkendali) akan

memberikan rente ekonomi yang maksimum, karena upaya penangkapan yang terkendali, sehingga total penerimaan yang diperoleh lebih besar daripada total pengeluaran. Implikasi pemanfaatan sumberdaya yang terkendali dapat dilihat dari penggunaan effort yang dibutuhkan (EMEY) dalam penangkapan jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MEY maupun kondisi OA. Lebih jelasnya dikatakan bahwa rejim pengelolaan MEY terlihat lebih

bersahabat dengan lingkungan (conservative munded) dibandingkan dengan

kondisi EMEY.

Effort pada rejim pengelolaan OA di Perairan Kabupaten Bangka Selatan

55

dengan effort pada kondisi pengelolaan MSY dan MEY. Besarnya effort pada rejim

pengelolaan OA disebabkan oleh sifat dari rejim OA dimana setiap orang boleh

melakukan kegiatan penangkapan di Indonesia termasuk di Perairan Kabupaten Bangka Selatan. Produksi yang diperoleh didapat pada rejim pengelolaan OA di

Perairan Kabupaten Bangka Selatan sebesar 5.216,22 ton per tahun dimana yang diperoleh sama dengan nol (TR=TC) (Gambar 24). Artinya jika sumberdaya cumi-

cumi dibiarkan ditangkap oleh nelayan, maka persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak terbatas dan dampaknya tingkat resiko yang harus ditanggung nelayan menjadi lebih besar karena persaingan untuk mendapatkan produksi menjadi lebih ketat. Akibat sifat sumberdaya yang terbuka, nelayan cenderung mengembangkan jumlah alat tangkapnya maupun tingkat upaya penangkapan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sebanyak-banyaknya.

Gambar 23 Perbandingan rejim pengelolaan sumberdaya cumi-cumi

Laju degradasi sumberdaya cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan: Degradasi sumberdaya dapat diartikan sebagai penurunan nilai dari sumberdaya baik secara kuantitas maupun kualitas dan manfaat secara ekonomi bagi dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Analisis degradasi sumberdaya cumi-cumi di perairan Kabupaten Bangka Selatan dilakukan untuk mengetahui berapa besar koefisien laju degredasi yang diduga terjadi akibat aktivitas penambangan timah di laut. Degredasi standar merupakan suatu nilai yang menunjukkan sumberdaya yang telah terdegredasi. Jika nilai koefisien degradasi (øD) dari sumberdaya tersebut berada pada kisaran 0-0,5, maka

sumberdaya tersebut belum mengalami degradasi.

Laju degradasi sumberdaya cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka selatan diperoleh rata-rata pertahun adalah 0,20. Nilai tersebut menunjukkan bahwa cumi-cumi belum mengalami tekanan yang cukup besar atau belum mengalami degradasi sumberdaya. Namun pada tahun 2012 dan 2013 laju degradasi mengalami peningkatan hingga mencapai batas toleransinya. Tahun 2012 laju degradasi sebesar 0,48616 dan pada tahun 2013 laju degradasi sebesar 0,49749 (Tabel 13 dan Gambar 24). Nilai ini menunjukkan bahwa tahun 2013 dan 2013 cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan mulai mengalami

0 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400 1,600 0 50 100 150 200 250

MEY MSY Open

Access Aktual R en te ek on om i 0 00 (R p) C PUE 0 00 (to n/trip ) Rejim pengelolaan h* E* π (juta)

56

tekanan yang cukup besar atau mulai mengalami kondisi kearah degradasi sumberdaya.

Tabel 13 Laju degradasi sumberdaya cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan

Tahun Produksi Aktual (ton) Produksi Lestari (ton) Koefisien Degradasi Ø DG Std Koefisien Degradasi ( Std Ø DG) 2009 3.004,00 322.464,83 2,4E-47 0-0.5 2010 3.267,00 23.742,81 0,00070 0-0.5 2011 6.137,20 57.506,80 0,00009 0-0.5 2012 5.899,90 326,65 0,48616 0-0.5 2013 6.507,20 65,44 0,49749 Rata-Rata 4.963,06 80.821,30 0,20 0,50 0 0.050.1 0.150.2 0.250.3 0.350.4 0.450.5 0.55 2009 2010 2011 2012 2013 K oe fis en D eg ra da si (øD ) Tahun

Laju Degradasi Standar Degradasi

Gambar 24 Laju degradasi sumber daya cumi-cumi di wilayah perairan Kabupaten Bangka Selatan, 2009-2013.

Pembahasan

Model bioekonomi merupakan alat yang dianggap efektif dalam pengelolaan perikanan. Model ini merupakan kombinasi kondisi stok dengan fungsi produksi dan biaya produksi serta nilai ekonomi dari sumberdaya yang dimanfaatkan dengan tujuan optimasi hasil tangkapan ekonomis (economic yield)

(Larkin et al., 2011). Dibandingkan dengan estimasi MSY, MEY dianggap lebih

bersifat keberlanjutan (sustainable) karena menggabungkan antara efisiensi

ekonomi dan hasil tangkapan lestari, sehingga bersifat sensitif terhadap kondisi

Dokumen terkait